Friday, June 17, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XV)

Badai Menjelang Subuh
Bagian 1



JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang tumbuh liar di rimba-rimba, buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda di Minangkabau telah menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri sebuah acara, biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang merupakan alat musik tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak Agam. Dendang jalu-jalu dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai lagu perpisahan;

“Jalu-jalu di dalam parak,
makanan anak tiuang rimbo.
Sagitu dulu oi... urang banyak,
bapisahlah dulu kito samantaro.”



Pasukan Datuak Rajo Pangulu dan Siti Aisyah sudah bergabung dengan Haji Abdul Manan menyelesaikan pekerjaaan yang masih terbengkalai. Dalam gabungan pasukan Haji Abdul Manan dan Datuak Rajo Pangulu, Siti Aisyah berusaha untuk mendekati Siti Anisyah guna menyampaikan taktik serangan yang sudah di atur di rumah Haji Abdul Manan.

Ternyata tidak gampang pula untuk mengenali wajah Siti Anisyah dalam kerumunan pasukan itu, karena disamping hari malam adalah karena Siti Anisyah pun sama dengan Siti Aisyah yaitu sama-sama berpakaian laki-laki berwarna putih.

Setelah mereka bertemu dan membicarakan strategi, maka Aisyah dan Anisyah merayap dalam selokan antara sawah dan jalan raya. Siti Aisyah di sebelah kiri jalan sedangkan Siti Anisyah di sebelah kanan jalan, masing-masingnya didampingi pula oleh pasukan laki-laki, tentu saja yang sangat dekat di sisinya adalah suami-suaminya sendiri.

Untuk mengelabui pasukan Belanda yang sedang waspada di sepanjang jalan raya, maka sebahagian lagi pasukan berpakaian laki laki berwarna serba putih itu tetap meratib menyebut asma’ul husna Lailahailallah..., sambil berjalan di tengah jalan raya dengan rudus yang selalu waspada pada masing-masing tangan mereka.

Sesampai dipertengahan barisan serdadu Belanda, kedua srikandi yang merayap membungkuk-bungkuk sambil mengendap mengendap itu berhenti sejenak menunggu pasukan yang bergerak dari arah Timur, dan bersiap-siap pula menunggu aba-aba berikutnya dari komandan pertempuran.

Pasukan Westenenk terpukau oleh gerakan pasukan yang berada di ujung jalan raya, baik dari arah Barat maupun dari arah Timur. Apalagi mendengar gemuruh suara ratib Lailahailallah...! Lailahailallah...! Lailahailallah...!, Secara serentak, yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.

Pada kondisi pasukan L.C. Westenenk dalam keadaan terkepung barulah teriakan komando Allahuakbar...! menggema, menggelegar, keluar dari kerongkongan Syekh Jenggot. Dan dengan secapatnya pula pasukan rakyat secara serentak berhamburan dari dalam sawah ke tengah pasukan Belanda itu.

Dalam keadaan serdadu Belanda terpana itu terdengar pula suara teriakan wanita yang melengking dari sebelah kiri dan kanan jalan, yang diringi oleh bayangan putih yang melayang ke tengah jalan membelah barisan pasukan Belanda tersebut. Seketika itu pula rudus di tangan dua orang srikandi dari Kamang Hilir itu, Siti Aisyah dan Siti Anisyah berdecak merambah batang leher, punggung, dada dan pangkal bahu serdadu Belanda. Rudus-rudus srikandi itu sangat leluasanya meliyuk kiri dan kanan dari arah atas ke bawah, karena kelincahan dan kelihaian pemiliknya memainkan rudus diantara tubuh musuhnya. Srikandi-srikandi itu dengan pinggangnya yang lemah melompat terbang kiri dan kanan, muka dan belakang seakan tidak mendapat perlawanan dari serdadu Belanda, yang terdengar hanyalah erangan dan jeritan mereka karena di ‘semba’ klewang perempuan perempuan yang sudah bringas itu.

Decakan klewang dan rudus para pasukan putih itu hanya dibalas dengan tembakan serdadu yang tidak tentu arah dan membabi buta. Hanya untuk satu kali tembakan bagi masing-masing serdadu itu, karena tidak sempat lagi mengisi peluru untuk tembakan berikutnya. Untuk kesekian kalinya guna menyelamatkan diri terpaksalah mereka mempergunakan bayonet yang menempel di ujung senapannya tersebut. Dan secara kebetulan pula diantra tembakan mereka itu ada yang mengenai sasaran, mayat para kawan kawan srikandi itu satu persatu berjatuhan dan bergelimpangan juga di dalam sawah, di dalam selokan dan di tengah jalan raya, seperti ronde ronde sebelumnya.

Pertempuran yang membutuhkan stamina yang kuat itu menyebabkan perlawanan dilakukan beberapa kali gelombangan serangan, dengan cara silih berganti antara kelompok yang maju dan kelompok yang beristirahat. Sewaktu beberapa kelompok yang sudah bertempur mengundurkan diri, maka beberapa kelompok dalam keadaan siap sedia di belakangnya maju untuk menggantikan. Pasukan yang mundur langsung ke tempat perlindungan yang sudah dikondisikan untuk beristirahat guna memulihkan tenaganya sambil mengkoordinasikan kembali anggota pasukan, sehingga dapat pula sekaligus menghitung jumlah anggota yang tinggal dan sebaliknya yang telah menjadi korban. Dalam kondisi frontal, serangan berlapis itulah taktik perlawanan yang dilakukan pasukan Kamang yang tergabung dari berbagai anak nagari di Minangkabau sebagai utusan partisipatif atas perjuangan anti belasting dengan pusat pergerakan dan perlawanannya di Kamang, Agam.

Sewaktu Siti Aisyah beristirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba bangun dan melompat ke arah serdadu Belanda yang tetap waspada. Siti Aisyah berlari dengan rambut yang tergerai lagi dan pakaian putihnya yang telah berhiaskan semburan darah-darah musuhnya. Aisyah melompat, menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang sedang bersusah payah karena terburu-buru mengisi peluru senapannya. Siti Aisyah menebas batang leher dua orang serdadu kiri dan kanan dengan sebilah klewang dalam genggamannya. Dengan secepat kilat dia kembali bagaikan ‘naga mengamuk’. Sewaktu Aisyah mengejar yang seorang lagi, terkilat oleh suaminya Datuak Rajo Pangulu dan seketika itu juga Datuak Rajo Pangulu berteriak memperingatkan Aisyah untuk berhenti mengejar serdadu itu.
“Aisyah. Jangan...!,” teriak Datuak Rajo Pangulu.

Tetapi si ‘guru tuo’, Siti Maryam itu sudah terlanjur membuat reaksi melompat dan melayang di udara maka dia seakan tidak memperdulikan larangan suaminya itu.
Pada jarak sekitar tiga meter menjelang berhadapan dengan serdadu yang terbirit lari memanggul senjatanya ketengah sawah mencari tempat bersembunyi, tau-taunya kaki Siti Aisyah terpeleset pada sebuah unggukan tanah di dipematang sawah, Aisyah terjatuh masuk selokan kecil. Dia berusaha untuk bangun secepatnya, tapi pergelangan kakinya yang terperosok itu terasa sakit untuk diangkat. Tau taunya dua orang serdadu lagi sudah berdiri di dekatnya dan langsung mengacungkan laras senjata ke arahnya.

Dalam keadaan sedang terlentang tak berdaya, Siti Aisyah hanya menggelinjang sebentar tanpa rintihan apa-apa ketika salah seorang dari dua serdadu masrose itu memasukkan ujung laras senjatanya ke mulut Aisyah dan langsung menarik pelatuknya. Dalam satu letusan yang membelah kesunyian malam itu terkaparlah ‘srikandi’ yang perkasa itu dalam lumuran darah bercampur keringat. Meskipun kedua serdadu itu adalah bangsanya sendiri. Karena memang rekrukment prajurit marsose itu umumnya orang Batak, Ambon, Bugis, Jawa dan Madura.

Dengan wajah yang tenang Siti Aisyah telah menghadap Sang Illahi sebagai seorang syuhada, darahnya mengalir mewarnai air sawah yang baru ditanami padi.

Melihat istrinya terkapar di pinggir sawah yang baru beberapa hari selesai ditanami padi itu Datuak Rajo Pangulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang serdadu Belanda lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Datuak Rajo Pangulu merangkul, memeluk – ‘menghibai’ – istrinya itu, adalah ciuman terakhir yang penuh kepiliuan.

Kemudian dia bangkit kembali meninggalkan istrinya di pematang sawah itu untuk kembali mengejar serdadu Belanda, untuk menuntut balas dalam kekalapan. Namun sebelum mencapai musuh terdengar lagi sebuah letusan, ternyata punggungnya telah ditembus timah panas pula.

Akan tetapi Datuak Rajo Pangulu tetap berusaha untuk bertahan dan berbalik melangkah ke arah istrinya. Dengan langkah terseot-seot Datuak Rajo Pangulu berusaha menuju pembaringan istrinya. Pada saat bersamaan, ternyata peluru senjata api Belanda kembali menembus bahagian bawah dada sebelah kanan Dt. Rajo Pangulu dan berapa langkah kemudian dia tersungkur tepat disamping tubuh istrinya, Siti Aisyah. Datuak Rajo Pangulu menyertai kepergian istri tercintanya sebagai seorang syahid dalam menentang kaum kafir itu. Cinta sejati dibawa mati.

Westenenk menembakkan pestol komando, diiringi terompet perang dari arah Barat, tetapi tidak dibalas oleh terompet di arah Timur. Wetenenk terpaksa memberanikan diri, maju dari arah Barat.

Haji Abdul Manan yang didampingi anakanya Haji Ahmad dan Kari Bagindo dengan pasukan intinya yang semenjak tadi sudah siap sedia – ‘mengelus’ – kuduk Westenenk, dengan klewangnya yang terhunus di tanggannya.

Haji Abdul Manan dengan suaranya yang nyaring mengomandokan pasukannya untuk serentak maju ke tengah-tengah pasukan Westenenk yang telah mulai bergerak lagi setelah mendengarkan tembakan salvo dan bunyi terompet perang. Haji Abdul Manan langsung ‘melalah’, mengejar ke arah tembakan salvo tadi, tetapi Westenek tidak ditemukannya. Amarahnya pun mulai memuncak, dengan suara lantang Haji Abdul Manan berteriak.

“Hai... Westenenk majulah kau, aku ada di sini!!!” Tapi westenenk tidak menjawab.
“Katanya kamu mencari aku! Ini aku, Haji Abdul Manan yang kau cari-cari itu. Majulah, Westenenk!!! Tunjukkanlah keberanian mu!!! Jangan hanya bisanya mengancam-ancam kami rakyat. Jangan hanya bisanya memerintah saja!!!,” teriak Haji Abdul Manan lagi. Tetapi Westenenk jangankan memperlihatkan sosoknya menjawab pun tidak.
‘Biang ka cabiak, gantiang kaputuih’. Supaya jelas jantan betinanya. Haji Abdul Manan menerjang musuh kiri dan kanan yang didampingi oleh darah dagingnya sendiri Haji Ahmad dan Kari Bagindo. Sayap Kanan Haji Abdul Manan serentak maju menghantam musuh, Rauangan, rintihan pasukan inti Westenenk yang kena tebas pedang, klewang dan rudus itu sangat mengerikan, merindingkan bulu roma. Sayatan senjata tajam itu seperti sengatan bisa seekor reptil, mereka menggelapar seperti ikan terpental ke atas pematang sawah yang berjemur matahari. Sisanya mundur, tetapi pasukan inti Haji Abdul Manan mendesak terus, semakin garang, mengganas seperti sekawanan binatang ‘fanther’ yang lapar memburu sekawanan zebra di kaki Gunung Kilimanjoro, Afrika. Lonjakan spirit, semangat seirama hentakan suara ratib, zikir La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...! yang tak putus-putusnya.

Tiba-tiba dari arah kiri Haji Abdul Manan terdengar orang memanggil.
“Ayah...!, ayah...!,” dengan pelan, seperti Haji Abdul Manan mengenal persis suara itu dan berlari ke arah suara itu.
“Ayah, aku ada di sini!” Dan Haji Abdul Manan segera melompat ke arah suara itu. Ternyata anaknya, Kari Bagindo.
“Ayah, aku kenah. ‘Yah!,” kata Kari Bagindo.

Haji Abdul Manan berjongkok dan membungkuk memeluk anaknya. Beliau terharu mendengar rintihan anaknya itu.
“Kamu kena, Kari?!” Dan merobek baju putih anaknya yang sudah berlumuran darah untuk memeriksa lukanya. “Apamu yang kena, Kari?!”
“Dadaku, Ayah!” Dengan suara lembut, letih Kari Mudo menjawab, memberi tau lukanya. Baju Kari Bagindo disobek, lukanya dibersihkan ayahnya. Haji Ahmad, abang Kari Bagindo pun menghampiri ayahnya untuk memberikan pertolongan untuk adiknya.
Kari Bagindo semakin melemah, lunglai dan tidak berdaya lagi karena kehabisan darah. Haji Abdul Manan membuka sorbannya yang melilit kepala, leher dan sebahagian wajahnya dan disobek untuk membalut luka anaknya. Kemudian Kari Bagindo dibaringkan di atas lutut Haji Ahmad yang sudah dapat melumpuhkan musuh, menyelesaikan tugasnya.
“Bagaimana ayah, berat lukanya, Ayah?,” Haji Ahmad bertanya sambil memangku adiknya menggantikan Haji Abdul Manan yang sudah kelihatan letih. Letih bukan hanya karena seorang – ‘gaek’ – tenaganya terkuras, tetapi melihat anak – sibuah hati – merintih kesakitan, luka terganga di dada anaknya merontokkan seluruh stamina, persendiannya terasa lemah. Haji Abdul Manan tidak bersuara, hanya mengangguk saja menjawab tanya Haji Ahmad. Suasan kembali sunyi seketika.

Haji Jabang menyusul ke arah Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah serta Datuak Marajo Kaluang sudah duluan kembali keharibaan Allah, Swt Yang Maha Suci, gugur dalam pertempuran. Tetapi Westenenk sudah tidak dapat ditemukan lagi, namun kawan kawannya masih tetap mencari Kontroleur tersebut.

Haji Abdul Manan semakin terhenyak, terharu karena satu persatu orang-orang yang disayanginya berangsur meninggalkannya untuk selama-lamanya.

“Aisyah. Kamu luar biasa!.” Hanya dengusan itu terdengar lembut dari mulut Haji Abdul Manan, sebagai reaksinya atas laporan Haji Jabang.
“Angkatlah semua kawan-kawan yang telah gugur ketempat yang patut dan aman, dan sebahagian lagi kerahkan mencari Westenenk beserta sisa pasukannya,” perintah Haji Abdul Manan kemudian. Bersamaan dengan itu Pandeka Mukmin pun datang melapor.
“Pasukan Musuh sudah habis. Karena hari sudah mulai dekat Subuh, kita harus berpisah supaya kami dapat kembali lagi ke Bukittinggi,” kata Hendrick, si Pandeka Mukmin.
“Ya, terimakasih atas bantuanmu, Nak! Upayakan dirimu tidak sengsara, Ya!”
“Baiklah, Ayah!,” jawab Pandeka Mukmin yang tersohor juga denga sebutan ‘Pendeka Ulando’ itu. Mereka bersalam-salaman sebagai tanda perpisahan. Pandeka Mukmin kembali menemui kawan-kawannya dan pakaian dinas militernya pun dikenakan kembali.

Haji Jabang yang mendapat perintah sudah menggerakkan anak buahnya untuk menyelamatkan pasukan yang menjadi korban ke Kampung Tangah. Suasana semakin hening, Kari Bagindo masih bernapas lemah diangkat oleh kawan-kawannya ke atas Surau di Kampung Tangah.(bersambung ke bagian 2)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023