Thursday, October 18, 2012

Empat Pintu Masuk ke Baduy




 LAPORAN PERJALANAN :
Apa saja di Baduy ?

Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang waktu, sepanjang musim kawasan-kawasan wisata budaya dan alam selalu dikunjungi. Manusia perlu hiburan, perlu “pencucian otak”, setelah dihimpit oleh berbagai persoalan pekerjaan sehari-hari dan kerutinan rumah tangga. Anak-anak pun memerlukan hiburan, dengan wisata setelah berjam-jam, berhari-hari belajar. Jalan-jalan merupakan terapi terbaik agar pikiran manusia pulih kembali.
 
Jakarta sebagai kota Negara, sebagai kota bisnis, sesak oleh aktivitas jutaan manusia. Kemacetan lalu-lintas, persoalan tambahan yang mereka dapatkan. Kemacetan lalu lintas betul-betul telah menimbulkan penyakit baru bagi pekerja kota.
 
Banten dalam posisinya sebagai tetangga Jakarta, mendapatkan suatu keuntungan geographis. Mudah dijangkau, karena terdapat jalan tol Jakarta Merak. Pada penghujung jalan tol ini, Banten menyediakan obat itu bagi kaum Jakarta yang sudah penat otaknya. Apa yang disediakan oleh Banten ? Banten memiliki Pantai Carita, Labuan dan Plorida yang sudah kondang. Banten memiliki wisata budaya, seperti perkampungan Orang Baduy. Dan setelah disusuri, ternyata Banten lebih banyak memiliki wisata Budaya dibandingkan dengan Jawa Barat.  Sebut saja misalnya Perkampungan Adat Ciptagelar, Cisungsang, Pasir Eurih, dan lainnya.



 
Anyer / Carita dan Baduy sudah menjadi icon wisata Banten, termasuk Taman Nasional Ujung Kulon. Keuntungan dari berkembangnya suatu kawasan wisata, bertambahnya inkam bagi warga setempat dan penambahan pendapatan bagi kas pemerintah daerah.  Namun, tidak serta merta suatu keelokan alam dan keunikan budaya - jika tidak tersedia dukungan prasarana dan sarana akan dikunjungi orang. Orang tau bahwa Carita atau Anyer elok pantainya, dan dekat dari Jakarta. Jika memasuki kawasan Kratau Steel jalan bekubang dan terjadi kemacetan, tentu membuat enggan orang untuk datang. Bagi yang sudah terlanjur mendatanginya, akan membawa kabar yang buruk kepada orang lain. Apabila wisatawan menuju Cijahe, pintu masuk lain ke Baduy dalam perjalananya dihadapkan pada jalan yang berlubang dan jalan bebatuan, tentu akan mengurungkan niatnya pula.
 
Wisata sebenarnya dimulai sejak dalam perjalanan, tiba di gerbang dan di dalam kawasan itu. Gerbang kawasan merupakan serambi atau teras sebuah rumah. Kesan baik di plaza atau perparkiran tentulah harus diciptakan untuk menumbuhkan rasa senang, nyaman dan aman. Siapa yang tak was-was, misalnya, tamu meninggalkan kendaraan di Cijahe jika kondisinya seperti saat ini.
 
Jalan – jalan di lingkaran luar Baduy baru terasa nyaman dan terkesan baik ketika menelusuri jalan dari Persimpangan Muncang ke Desa Suka Jaya.

Selama ini pintu masuk ke Baduy ditandai ada 3, yaitu Pintu Ciboleger, Pintu Nangrang, dan Pintu Cijahe. Pintu Ciboleger merupakan pintu utama.

Gerbang Ciboleger
Gerbang Ciboleger ditandai dengan Patung satu keluarga, terdiri Ayah, Ibu dan satu anak laki-laki serta anak perempuan. Berbaju putih, dengan pakaian bawah berwarna hitam. Sang Ayah bercaping, dan menyandang pacul. Di tiang patung tertera “Selamat datang di Ciboleger”. Patung ini tidak dapat mendiskripsikan apapun, tidak mewakili suatu kelompok masyarakat apapun, namun masyarakat pendatang mengetahuinya sebagai Patung Orang Baduy. Untuk menggambarkan atau men-simbolkan Orang Baduy, tentu tidak tepat, karena Orang Baduy tidak memakai caping dan tidak menggunakan pacul sebagai alat pertanian.  Patung ini tidaklah mewakili budaya Baduy sebagai tujuan wisata di kawasan tersebut. Patung ini justru menyesatkan masyarakat luar dengan atribut yang terpasang pada patung tersebut. Wisatawan mengira patung tersebut, adalah patung orang Baduy.
 
Patung tersebut terlah menjadi issu sensitive bagi orang Baduy. Mereka merasa telah dijadikan sebagai sebuah objek belaka. Karena bangunan tersebut berada di luar kawasan Baduy, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
 
Kawasan parkir Ciboleger sudah kumuh dan lusuh. Sungguh kawasan ini tidak mencerminkan sebagai pintu gerbang ke Baduy, yang berbudaya tinggi. Beberapa mini bus di parkir permanen, sepeda motor sebagai angkutan ojek, di parkir di jalan tangga, sehingga mengganggu keleluasaan pejalan kaki. Petugas pakir amatiran bersikap tidak ramah. Sikap macam ini sudah barang tentu tidak nyaman bagi tamu yang membawa kendaraan sendiri.
 
Sebagian besar tujuan wisata di Baduy umunya sampai di Dusun Gazeboh, sebagai penyekat memasuki Baduy Dalam. Rumah-rumah di Gazeboh tertata apik, bersusun-susun, dengan pedestarian berbatu. Setiap rumah memiliki pelanta atau serambi atau bale. Di bale yang terbuat dari belahan bambu inilah tamu diterima. Berada di Gazeboh, atau di Marenggo, sungguh memberikan kesan yang kuat. Disini dapat dilihat wanita-wanita menenun dengan suara alat tenun yang sahut - menyahut. Anak laki-laki berbaju hitam, anak perempuan berkebaya mini dengan warna ungu, bermain-main dan lalu-lalang disisi-sisi perumahan. Ini tentu menjadi pemandangan yang unik. Di Dusun Gazeboh inilah terbentang jembatan bambu menghubungkan ke Baduy Dalam. Dibawahnya mengalir  Sungai Ciujung.
 
Dusun Gazeboh mampu menampung tamu sampai 300 orang. Jika tamu berlebihan, maka ditempatkan di dusun berdekatan, yaitu di Dusun Marengo dan Dusun Kedu Ketu.

Tamu-tamu tersebut tentunya harus terlayani dengan baik. Untuk pelayanan makan dan tidur, tidak menjadi masalah. Namun menjadi masalah kebutuhan MCK. Untuk mandi, bisa dilakukan di Sungai Ciujung bagi tamu-tamu yang memiliki keinginan khusus. Tapi bagi yang enggan mandi di sungai, mutlaklah adanya kamar mandi. Selain kamar mandi, dibutuhkan pula kakus atau WC. Menjadi persoalan sensitiv jika diadakan atau dibuatkan kakus di kawasan Baduy karena betentangan dengan adat. Untuk sebatas kamar mandi, bisa dibuatkan dan dapat diterima oleh masyarakat Baduy.
 
Pada musim kemarau, beberapa anak sungai mengalami kekeringan. Distirbusi air menjadi jauh menuju sumber air. Dari sumbernya,  air harus disalurkan ke pemukiman. Maka diperlukan intstalasi air ke pemukiman. Melalui pipainisasi atau dengan selang, berlawanan dengan tatanan adat, karena ada benda atau material asing yang dipakai. Namun, penyaluran air dengan selang sudah dilakukan oleh penduduk Baduy. Pemakaian selang ini sudah mencapai Kampung Gazeboh.

Penampungan air boleh diadakan atau dibuatkan, asalkan terbuat dari bahan non semen. Lazim dipakai oleh warga untuk penampungan air di kamar mandi, adalah dengan menggunakan ember besar.

Gerbang Nangrang
Kampung Nangrang, Desa Kebun Cauk, Kecamatan Cirinten. Rupanya di Nanggerang pernah ditetapkan sebagai pintu masuk ke Baduy, dengan repitalisasi kawasan. Gerbang Nanggerang dapat dicapai melalui Persimpangan Kampung Kuranji, di Jalan Raya Mojong Manik-Malimping.
 
Sebelum mencapai Nangrang, di Persimpangan Cinangka juga terdapat jalan menuju Baduy.  Kampung Baduy terdekat dari sini yaitu Kampung Cikakal Girang, bertemu di jalan setapak yang menghubungkan ke Gazeboh dan Cibeo.
 
Melalui jalan kecil berbatu ini, melewati jembatan gantung besi. Ada yang menyebutnya jembatan gantung Ciawi. Jembatan gantung tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Sekitar 1 km dari jembatan gantung, terdapat simpang tiga. Ke kanan menuju Persimpangan Kedu Hejo di jalan raya Malimping-Bojong Manik, ke kiri lebih kurang 500 meter ke Gerbang Cijahe menuju Baduy.

Gerbang Cijahe
Di kawasan Cijahe terdapat replika lumbung khas Baduy. Di pelatarannya tertata bebatuan seolah-olah peninggalan megalitik. Entah apa pula maksudnya dengan replika megalitik itu. Terdapat pula pengumuman prinsip hukum adat Baduy dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.
 
Terdapat beberapa kedai kelontong di jalan menuju perbatasan Baduy dengan desa. Antara desa dengan Baduy, dibatasi oleh Sungai Cibarani yang dihubungkan sebuah jembatan bambu. Begitu memasuki kawasan Baduy, tugu setinggi 1 meter, menyatakan sebagai kawasan Baduy. Jalan setapak akan bercabang.  Arah kanan ke Kampung Cikesik, arah kiri ke Cikatawarna dan ke Cibeo. Dari sini juga dapat menuju Dusun Nyalindung, Desa Cibelang, Kecamatan Sobang setelah melewati Cikesik.
 
Menurut Pak Saiman, pemilik kedai di ujung jembatan bambu, pengunjung yang datang memlalui Cijahe, umunya bertujuan ke Cikesik. Tamu-tamu Cikesik lebih bersifat ziarah ke pemimpin spiritual Kampung Cikesik, ketimbang rekreasi. Kunjungan ke Cikatawarna dan Cibeo sedikit sekali. Dalam sepekan, setidaknya ada 4 group yang mendatangi Cikesik. Mereka yang kemalaman, baik waktu tiba atau hendak pulang, bermalam di warung miliknya. Tiga warung yang terdapat di Cijahe, merupakan tempat belanja kebutuhan sehari-hari warga Baduy dari Kampung Cikesik, Kampung Cisadane,  Kampung Batu Belah dan Kampung Cikatawarna. Warung-warung ini juga sebagai tempat jajan makanan kecil bagi anak-anak Cikesik dan kampung-kampung terdekat Baduy.
 
Cijahe – Cikesik berjarak lebih kurang 2 km, dapat dicapai setengah jam jalan kaki. Sedangkan ke Cibeo, dicapai 2-3 jam jalan kaki. Melalui Cijahe, Cibeo lebih cepat dicapai. Jalan menuju Cibeo relatif lebih landai dibandingkan melalui Gazeboh yang mana naik - turun perbukitan.
 
Jalan menuju Cijahe sangat buruk, terutama dari Persimpangan Kedu Hejo sejauh 3 km. Jalan kecil dan berbatu. Jalan raya Bojong Manik – Malimping juga berlobang-lobang dalam. Tamu – tamu melalui Cijahe tidak terlayani dengan baik. Tidak terdapat parkir yang nyaman, tidak terlayani transportasi regular, kedai-kedai yang kusam, jalan buruk yang menyusahkan pengunjung. Cijahe berada 33 km dari Ciboleger.

Jembatan Akar
Inilah objek wisata alam yang diabaikan selama ini. Baduy tidak saja manusianya, juga keunikan alamnya. Salah satu keunikan alam yang dimiliki Baduy yaitu Jembatan Akar, yang terentang di atas Sungai Cisimut.  Semua peminat Baduy, pasti tertarik terhadap  Jembatan Akar ini. Dimana ? Inilah yang menjadi pertanyaan. Karena itulah hampir tidak ada pengunjung kesini, padahal tidak terlalu jauh dicapai dari Ciboleger.
 
Sisi Jembatan Akar di Baduy, berada di Dusun Batara Baduy yang menghubungkan dengan Desa Karang Combong, Kecamatan Muncang. Ke Jembatan Akar dapat dicapai dengan jalan kaki, sepeda motor atau dengan kendaraan roda empat. Dari Ciboleger, berjalan kaki selama 2 jam. Rute jalan kaki ini dapat juga ditempuh dengan sepeda motor. Sedangkan dengan kendaraan roda empat, melalui jalan raya Muncang-Ciboleger. Dengan mobil, di Persimpangan Pondei, menuju Dusun Cilangir. Di Dusun Cilangir merupakan batas berhenti bagi kendaraan. Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan berjalan kaki memasuki hutan, melewati Dusun Grendeng dan Dusun Batara di kawasan Baduy.

Sekali lagi, jalan menuju Dusun Cilangir rusak parah.

Gerbang Sobang
Satu pintu masuk lain yang yang tidak diketahui umum adalah melalui Sobang. Sobang dapat dicapai melalui Ciminyak. Rute kesana adalah Ciboleger – Ciminyak. Dari Pasar Ciminyak ke kanan. Jalan ini melalui Kampung Adat Pasir Eurih. Jalan mulus, berbelok-belok dan turun naik di sisi Taman Nasioanal Halimun Salak dengan lingkungan hijau.
 
Gerbang Sobang, tujuan ke Baduy langsung menuju Kampung Cikesik setelah melewati Dusun Nyalindung. Sulit menemukan jalan menuju Baduy dari sini, karena tidak terdapat tanda-tanda. Sebelum menyeberang perbatasan Baduy, jalan setapak melalui pematang sawah. Jalan ini jarang dilalui oleh warga.
 
Di Sobang, dapat ditemukan perkampungan unik, dimana adat setempat masih berlaku. Kampung Adat dipimpin oleh seorang pemangku adat, dikenal dengan Abah Aden. Pendatang dapat singgah dan bertemu dengan Abah Aden tanpa kesulitan. “Ooo, silahkan saja kalo mau istirhat disini,” tutur Abah Aden, dengan bahasa Indonesia berlogat bahasa Sunda.
 
Keunikan kawasan ini adalah rumah yang bersusun rapat dengan atapnya yang terbuat dari ijuk. Rumah penduduk bertrap-trap, seperti pematang sawah.  

 Benahi Ciboleger
Tukul, nama sehari-harinya, adalah seorang pendamping tamu ke Baduy di Ciboleger. Dia juga mendampingi Jaro Pamerentahan setiap ada urusan keluar Baduy. Tukul mengatakan, kunjungan terbanyak ke Baduy terjadi pada masa libur sekolah. Pada puncak kunjungan pada masa libur tersebut, mencapai 1000 orang per bulan. Rumah-rumah disepanjang jalan menuju Gazeboh terisi tamu. Bahkan, mereka yang hendak ke Baduy Dalam, terpaksa menunggu antrian karena Cibeo penuh tamu. “Pada hari-hari biasa, kunjungan per bulan sekitar 250 orang,” jelas Tukul.
 
Arsyid, Ayah beranak satu ini,  berumah di Gazeboh. Sosoknya sangat dikenal, karena banyak berhubnungan dengan orang-orang kota. Ia menyebutkan, dia biasa menerima tamu sampai 300 orang, sehingga ia titipkan di rumah-rumah lainnya di Gazeboh. Gazeboh adalah pintu masuk ke Baduy Dalam. Tidak semua pelancong ke Baduy meneruskan perjalananya ke Baduy Dalam. Menurut Arsyid, “Sekitar 20 persen saja yang meneruskan perjalanan ke Cibeo”.
 
Angka-angka yang disebutkan diatas, merupakan angka optimistis. Namun lain lagi disebutkan oleh Sarip. Sarip  warga Kedu Ketuk Baduy, merupakan perintis pelayanan wisata di Baduy. Dia dulu juga aktif di PHRI Serang. Sarip yang pernah memegang buku tamu di Baduy, mengatakan, tahun 2008,  wisatawan ke Baduy mulai turun. Penurunan sangat terasa pada tahun 2009.  “Untuk tujuh bulan terakhir ini, saya tidak lagi menerima tamu di rumah saya,” kata Surip.
 
Menurut Surip, penurunan tamu ke Badui kerena ketidak nyamanan pelayanan di Ciboleger, baik pelayanan perparkiran, maupun pelayanan jasa antar wisata. Tamu-tamu pun merasa tertekan karena dipaksa-paksa untuk mengiktui kemauan pengantar. “Tamu-tamu selalu merasa dikuntit dan diawasi oleh pengantar di Ciboleger,” terang Surip.

Belakangan ini Surip mengalihkan tamunya untuk mengunjungi Kesepuhan Pasir Eurih.
 
Ciboleger ternyata pangkal persoalan penurunan minat kedatangan ke Baduy dan memberikan kesan yang buruk bagi pengunjung. H. Jusen, pemilik warung dan penginapan di Ciboleger, bahkan mengatakan, “Bongkar saja kios-kios di terminal Ciboleger. Jadikan semua lahan untuk parkir, sehingga bus-bus besar dari Bandung bisa masuk. Itu tanah milik Pemda, bukan milik pribadi.”


Tidak ada Pentunjuk Arah
Rupanya pemerintah selama ini menganggap bahwa semua tamu tahu persis jalan menuju Ciboleger sebagai pintu masuk ke Baduy. Tidak tersedia pentunjuk arah jalan disetiap persimpangan jalan. Adakah ada petujuk di Leuwidamar, atau di Simpang Bojong Manik ? Apalagi tujuan ke Cijahe, tidak satu pun petunjuk kesana.  Petunjuk jalan bukan saja berfungsi sebagai pemandu arah, melainkan juga sebagai informasi bahwa terdapat kawasan wisata. Jadi lucu, Pemda ingin mendapatkan hasil dari wisata, tetapi tidak menyediakan apapun. 

(Rizal Bustami)










Lihat Jembatan Akar di peta yang lebih besar



Lihat Track Cijahe di peta yang lebih besar



Lihat Track Sobang di peta yang lebih besar

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023