Thursday, July 05, 2012


Eric Martoyo

Montecristo
Seperti Mendengarkan Musik Luar Negeri…

Sebuah pertunjukan kecil tapi mendapat perhatian besar oleh para sesepuh musik, pengamat dan peliputan, terjadi di Bentara Budaya Jakarta, 31Mei 2012. Montecristo, telah membuat para penonton tercengang-cengang…

(Ini adalah sebuah episode dari kehidupan Mrs. Chan saat ia mengatakan kepada saya secara pribadi, Eric Martoyo)

“Ancestral Land”
Words by Eric Martoyo; Music by Eric Martoyo & Fadhil Indra; Arranged by Fadhil Indra
 It was midnight in nineteen fifty two
The propaganda had been burning in her soul
She was only nineteen years old
When she said, “Mama, I have to go”
The moon and stars were dancing in her eyes
When she boarded the ship for her ancestral land
The sail was spreading hopes and dreams
“Hello brothers and sisters, here I am”

Chorus:
They were welcomed by the dragon dance
The only thing to remember again and again
And then a man said, “You don’t belong in this land”
Life’d never be the same

Music: . . . . . .
Nights and days were slowly passing by
She was forced to answer the same questions every day
And for years, she survived on
Three cups of plain rice day after day

Chorus:
They were welcomed by the dragon dance
The only thing to remember again and again
And then the man said, “You’ve come to spy on us”
“This life you must give up”

Her heart was broken and her faith was drowned
She’d got nowhere to hide and nowhere to run
She was a prisoner in her dreamland
The wall was just too high to climb, whoa…

Music: . . . . . .
The sail was spreading hopes and dreams
“Hello brothers and sisters, here I am”

Chorus:
They were welcomed by the dragon dance

The only thing to remember again and again
And then the man said, “You’ve come to spy on us”
“This life you must give up”

Her heart was broken and her faith was drowned
She’d got nowhere to hide and nowhere to run
She was a prisoner in her dreamland

The wall was just too high to climb
They were welcomed by the dragon dance
The only thing to remember again

“Oh Lord, take me with You”
“Where are You?”... “Where are You?”
“Please take me with You now”

“Now! Now! Now! Now!”
 
Ketika diundang oleh Seno M. Hardjo untuk menonton Montecristo di Bentara Budaya Jakarta, 31 Mei 2011, saya pikir ini adalah sejenis musik jazz pop. Kesan itu saya dapatkan dari poster pertunjukannya. Begitu dram ditabuh, gitar listrik dipetik, tuts piano dimainkan, yang muncul adalah musik rock yang hingar bingar dan padat. Saya masih acuh tak acuh, untuk mengeluarkan camera saja malas. Kesan saya mulai berubah menyimak lafal Inggris sang vokalis Eric Martoyo yang sempurna. Ketika Eric berbicara dalam bahasa Inggis yang fasih, sebagai pengantar musik dan groupnya, saya mulai antusias. Puncak keantusiasan saya – ketika sampai ke latar panggung untuk memotret.

Sembilan lagu yang dinanyikan, semua lirik dalam bahasa Inggris, dan gubahan mereka. Tidak ada keraguan lagi jika mendengarkannya bagai mendengarkan musik rock dari Eropa atau Amerika.

“Apa pendapat lu Zal,” tanya Seno seusai pagelaran.

“Seperti mendengarkan musik luar negeri dan elitis,” jawab saya.



Siapa Montecristo ?
Saya pun heran, kok ada group musik sebagus itu yang terkubur diantara rimba musik Indonesia yang “ngak – ngik – nguk”.

Sebagai pengakuan bahwa Montecristo bukanlah group musik “murahan”, adalah kehadiran Yockie Suryo Prayogo di panggung mengiringi Montecristo dengan pianonya. Apa yang dikatakan oleh Bung Yockie, bahwa Montecristo perlu didukung. Tentu Bung Yockie punya alasan tersendiri mengapa ia terlibat dalam group ini.


“Pertama kali Seno menawarkan Montecristo, saya minta sample lagunya. Setelah saya dengarkan, saya minta bertemu dengan mereka. Kami bertemu di Plaza Senayan. Saya tidak yakin, karena yang datang adalah seorang “karyawan berdasi”, dan itu adalah Eric Martoyo. Sejak itu kami garap musik bersama-sama. Sedangkan Seno, adalah ‘ayah angkat’ dari Montecristo,” ungkap Bung Yockie yang diiringi tepuk tangan oleh penonton.

“Ketika pertama kali mendengakan Montecristo, hanya Bung Yockie yang cocok untuk menangani mereka. Begitu saya sampaikan kepada mereka, mereka mau sekali,” terang Seno, mantan wartawan musik, produser, juga penggiat di AMI (Anugrah Musik Indonesia) itu.
 Panggung tidak saja diisi oleh anggota Montecristo, tapi juga ada Lilo (Kla Project) sebagai pembawa acara, yang juga memberikan apresiasi. Secara berseloroh Lilo berkata, telah terjadi “pelecehan intelektual” karena saya menjadi MC. “Ini pertamakali saya sebagai MC,” kata Lilo yang disambut tertawa.

Jadilah panggung tersebut sebagai “panggung sandiwara”, dengan kelihaian Lilo membawakannya, sehingga cair, akrab dan berkesan.
Montecristo lahir tahun 2007 silam. Mereka ini adalah pemain musik yang tekun. Setelah terbentuk, menyamakan persepsi, dan kemudian membulatkan tekat. Mereka terdiri dari Eric Martoyo (vokal utama), Rustam Effendy (gitar), Fadhil Indra (piano, keyboard), Haposan Pangaribuan (bass gitar), Alvin Anggakusuma (gitar) dan Keda Panjaitan (drum). Kemudian mereka sering tampil di berbagai panggung pertunjukan, dengan aliran Rock Progresif.

“Berawal ketika saya bertemu dengan Rustam menonton Dream Theater di Singapore. Kembali ke Jakarta, kami membentuk group musik, lalu susun personel,” Eric menjelaskan.

 Menilik lirik-lirik lagunya, cendrung sebagai sebuah puisi atau prosa karena kesungguhan dalam pengarapannya - yang berdasarkan fakta kejadian serta fenomena negeri ini. Misalnya saja lagu yang berlabel Ancestral Land diatas.   Lagu tersebut tentang kisah  Mrs. Chan’s, tante Eric sendiri.

 Pada tahun 1952, Partai Komunis Cina membuat propaganda agar para Cina parantauan (hawkiau) kembali ke tanah lelulur. Berbondong-bondonglah Cina keturunan Indonesia ke Tiongkok. Bertepatan pada saat itu, Tiongkok mengalami kegagalan panen, sehingga terjadi kelaparan. Cina Indonesia yang sudah menjajakan kakinya disana, mendapat perlakuan tidak simpatik oleh masyarakat setempat karena dikira akan mengurangi jatah makan mereka. Pendatang ini dicuigai sebagai agen asing. Sementara dari pemerintah, tidak ada pembelaan. Tantenya yang ketika meninggalkan tanah air baru berusia 19 tahun, kemudian menjadi seorang dokter, berhasil melarikan ke Hongkong. Di Hongkong itulah terjadi pertemuan keluarga, antara keluarga di Jakarta dan keluarga di Hongkong. Kisah nyata itu dijadikan untuk sebuah lirik lagu. Tentu tidak mudah memproses kisah ini dalam sebuah bait-bait lagu. Dan, Eric menyampaikan fakta tersebut di panggung musical.

Nah, lagu terakhir yang dihidangkan Montecristo, yaitu Crash berlatar belakang kejatuhan sebuah pialang saham terbesar, Lehman Brothers   Amerika pada tahun 1998-yang memicu krisis global. Itulah yang puisi yang dinyanyikan. Pembuatan lirik-lirik itu melalui proses pengamatan dan kecermatan seorang yang dibekali kecerdesan.

 Eric Martoyo adalah seorang pengusaha yang sukses. Salah satu usahanya adalah importer alat-alat kesehatan. Sehari-hari ia sibuk mengurusi bisnisnya, pada akhir minggu mereka latihan musik. “Musik adalah jiwa saya, semangat saya. Melalui musik, saya ekspresikan diri saya,” tegasnya dengan mengepalkan tangannya.

Melalui kretivitas musiknya, Montecristo terasa cerdas dan elitis.  Cerdas, karena lirik-liriknya. Elitis, karena santun.
 Soal nama Montecristo, bagi kalangan elitis Jakarta dipersonifikasikan ke cerutu. Bagi saya, mengingatkan ke novel Monte Cristo yang dikarang oleh Alexandre Dumas, pengarang Perancis yang hidup antara 1802-1870.

Rekaman album pertama terjadi antara April dan Juli tahun 2009, dengan label Celebration of Birth.

Inilah lagu-lagunya. Dikatakan oleh mereka, musik ini dilahirkan untuk kritik.

1. Ancestral Land
2. About Us
3. A Romance of Serendipity
4. Garden of Hope
5. Celebration of Birth
6. In Touch With You
7. Crash
8. Forbidden Song
9. Clean

(Rizal Bustami)

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023