Tuesday, April 09, 2013

Trans Papua Bagian III



Trans Papua, yang Membelah Papua dari Selatan ke Utara

Apa yang kita bayangkan tentang Papua, baik itu Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, umumnya hanyalah pegunungan yang tinggi-tinggi, hutan belantara dan rawa-rawa.  Berikut dengan manusianya yang setengah telanjang. Issu-issu, dan kasus-kasus adanya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang sering melakukan penyerangan bersenjata, menambah pandangan kegelapan orang-orang luar mengenai Papua.

Benarlah adanya, bumi Papua dipenuhi oleh belantara, pegunungan yang menjulang dan rawa-wara yang membentang. Namun, tidak seluruhnya benar, bahwa masyarakat Papua sehari-harinya setengah telanjang. Benarlah adanya, disana terdapat GPK.

Pada tahun 1996, dengan TNI AL saya menelusuri pantai bagian barat Papua, mulai dari Sorong sampai Merauke, serta mengunjungi beberapa pulau di Provinsi Irian Barat, itu dulu namanya. Pada Agustus tahun 2012, saya berkesempatan lagi mengunjungi Wamena dalam rangka menghadiri Festival Lembah Baliem. Saya terkesima, dan sampai kehilangan orientasi ketika keluar dari bandara karena saya tiba-tiba berada disebuah perkotaan, sesuatu yang jauh berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya (baca posting sebelumnya tentang Wamena).

Kota ini sudah tumbuh layaknya sebuah ibukota kabupaten yang setara dengan dengan kota-kota di Jawa dan Sumatera. Ada ATM, mini market, hotel, angkutan perkotaan, rumah makan, rumah ibadah, dan berbagai penerbangan untuk beberapa tujuan.

Apa yang disebut Lembah Baliem itu, membentang jalan beraspal halus dengan penerangan listrik. Semua desa dan distrik (kecamatan) terlayani oleh angkutan pedesaan. Dan, Wamena dapat dilihat, sudah sebagai tujuan wisata manca Negara, dan akan ditemui banyak bule, wisatawan manca negara disana.

Bagian utara Papua, mulai dari kepala burung, Sorong , sampai Jayapura, janganlah dikata tertinggal, suasananya sudah metropolis. Dari Sorong sampai Merauke, sepanjang pesisir barat, sama saja keadaannya dengan Sulawesi.

Pada tahun 1996, saya sudah menginjakkan kaki ke Merauke, tetapi tidak sempat berjalan-jalan. Januari 2013 saya kembali ke Merauke. Kedatangan saya bersama Zulfikar Akbar ke Merauke untuk mengunjungi beberapa perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea. Setelah mengunjungi perbatasan Sota, sekitar 80 km dari Merauke, saya harus ke Tana Merah, Kabupaten Digoel, di utara Merauke lebih kurang 420 km jaraknya.

Ini bukan perjalanan yang enak, tidak semudah ke Wamena. Meski ke Wamena hanya dilayani oleh penerbangan, karena tidak tersedia jalan darat, namun jadwal penerbagan Jayapura – Wamena sangat ramai dan pasti. Ke Tana Merah, selain dilayani dengan pesawat, juga tersedia jalan darat. Baik melalui jalan darat maupun dengan penerbangan, ketidak pastian waktu untuk berangkat sangatlah biasa. Penerbangan yang dilayani oleh Merpati, hanya pada hari Selasa, Kamis dan Minggu. Ongkosnya Rp. 995.000 per orang. Keberangkatan pesawat tergantung cuaca. Calon penumpang harus rajin-rajin mendatangi kantor Merpati di Jalan Mandala, Merauke untuk mengetahui kepastian pesawat berangkat.

Tidak ada bus antar kota disini. Untuk ke Tana Merah atau sebaliknya, dilayani oleh kendaraan mini bus jeep. Ongkos per penumpang Rp. 750.000. Calon penumpang menunggu panggilan telepon untuk berangkat sampai kursi penumpang terisi penuh. Cara lain untuk mendaptkan kepastian perjalanan, dengan mencarter kendaraan tersebut. Harganya, sungguh membuat calon penumpang shock, yaitu Rp. 9 juta satu kali perjalanan. Harga yang fantastis! Alih-alih, cuaca buruk, jalan rusak, beresiko, karena itulah sewa kendaraan mahal.

Setelah tawar menawar yang panjang, sewa kendaraan deal.  Jam 10.30 kami meninggalkan Merauke. Sebelum meninggalkan kota, perbekalan untuk dijalan dibeli dulu di mini market. Rutenya ke arah Patung Kembar Sabang-Merauke, di persimpangan ke Perbatasan Sota. Di persimpangan tiga ini, mobil berhenti. Sopir mengajak kami ke warung nasi untuk makan. Inilah pemberhentian pertama. Bukan mobil kami saja yang berhenti disini, ternyata semua kendaraan yang menuju utara, berhenti dan penumpang makan. Sebagian dari jalan ini, berada di bagian Taman Nasional Wasur. Taman Nasional Wasur ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Surat Keputusan  No. 448/Menhut-VI/90, seluas 413.810 hektar

Jalan lurus, landai dan lengang. Sedikit sekali ada kendaraan melintas di rute ini. Kiri kanan jalan hutan dan dibeberapa tempat terdapat rawa. Tidak ada perkampungan dan aktifitas masyarakat. Beberpa Pos Penjagaan Perbatasan TNI (Tentara Nasional Indonesia) terdapat di jalanan ini. Di setiap Pos Penjagaan Perbatasan, kendaraan atau orang yang lewat tidak perlu melapor, cukup memperlambat kendaraan dan membunyikan kelakson.

Mobil jeep kuluaran tahun 90-an itu, berlari kencang. Sang sopir yang berasal dari Sulawesi Selatan, dan kenek dari Lombok, seperti kesetanan. “Kita harus sampai sebelum malam, Pak,” kata sang sopir, yang masih remaja itu.

Empat  jam perjalanan mulai muncul sepeda motor dan kendaraan roda empat. Tak lama, tampak dua tiang menara komunikasi radio. Kami berada di Distrik Bupul. Disini terdapat Kantor Polsek Bupul, dan Pos TNI. Di Bupul juga terdapat Batalion TNI.  Keadaannya sudah seperti di Lampung. Banyak terdapat rumah-rumah kayu beratapkan seng. Masyarakat penghuninya berkulit coklat terang. Rupanya kawasan ini dulu transmigran dari Jawa, sentra pertanian padi. Disini, mobil yang kami tumpangi menambal ban karena sebelumnya ban pacah. Tampak ada kehidupan ekonomi yang baik disini, ditandai dengan rumah-rumah yang baik, kendaraan sepeda motor, dan antena parabola. Suasana damai dan tenang. Dan memang, 90 persen masyarakatnya adalah pendatang. Inilah salah satu kawasan pemasok beras dari Merauke untuk kawasan Papua.

Beras Merauke memang terasa enak. Warna putih bersih, panjang dan berisi. Tidak keras, juga tidak lembek. Di Papua, beras Merauke sangat digemari. Bagi saya, yang pemerhati kuliner, inilah beras terbaik yang saya makan.

Mobil Taft kembali melanjutkan perjalanan. Melewati perkebunan kelapa sawit, tetapi tidak begitu luas. Selepas perkebunan, melalui simpang tiga, Desa Sempati namanya. Tak jauh dari Desa Sempati, melewati Distrik Ulilin. Disini terdapat stasiun pengisian bahan bakar kendaraan, seperti yang ada di kota. Tetapi, lucunya, pengisian  bahan bakar justru dengan kaleng minyak. Rupannya pompa pengisian bahan bakar belum berfungsi.

Mobil kembali dipacu. Tiada kampung, dan kehidupan. Beberapa jembatan sedang dibangun. Sampailah di Pasar Muting, yang cukup ramai. Inilah tempat pemberhentian berikutnya. Setelah beberapa saat melanjutkan perjalanan, melewati jembatan konstruksi besi yang cukup panjang, yang berada di lingkungan hutan. Selepas jembatan ini, memasuki perkebunan kelapa sawit. Berada di perkebunan kelapa sawit, hari sudah sore. Menjelang malam, beru diketahui bahwa lampu utama mobil tidak berfungsi. Sang sopir dan kenek, berusaha memperbaikinya. Lampu berfungsi kembali, tapi tidak baik kondisinya.

Perjalanan malam di perkebunan. Kelap - kelip lampu menara dari kejauhan, kami menghidupkan semua telepon seluler. HP berkartu SIM Telkomsel dan Indosat mendapatkan sinyal. Di tempat yang ramai, mobil kami minta berhenti untuk melakukan komunikasi sebelum sinyal hilang kembali. Kami berada di Asiki, yang cukup ramai.

Keluar dari perkebunan, melewati hutan. Dari monitor GPS, sisa perjalanan ke Tana Merah 20 km lagi. Sisa 20 km tersebut terasa amat jauh dan lama, karena sejak pagi kami terombang-ambing di mobil. Sekitar jam 21.00, kami memasuki kota Tana Merah, Ibukota Kabupaten Digoel. Terlebih dahulu kami mencari hotel. Setelah check in, kami mencari makan. Semua warung makan sudah tutup, satu warung makan dari Makasar, mau membuka warungnya kembali, sehingga kami bisa makan malam.

Takjub juga berada di jantungnya Papua, setelah melalui 420 km perjalanan, terang benderang, ada akitivitas masyarakat, dan banyak pertokoan. Kota ini, kota yang sedang tumbuh, jangan berharap mendapatkan fasilitas yang memadai. Tapi untuk sekedar kebutuhan mendasar, tersedia. Kota ini bersisian dengan Sungai Digoel, yang bermuara di Pantai Barat Papua.

“Boven itu artinya kecil atau pendek, Digoel adalah nama sungai. Tentang Boven itu, kami pun masih rancu, sepertinya dari bahasa Belanda,” jelas Clemens, Dewan Adat Moyo, Kabupaten Boven Digoel.

Pagi, keesokan harinya, kami harus melanjutkan perjalanan ke perbatasan Kombut, Distrik Mindiptana, 120 km dari Kota Tana Merah. Ke Mindiptana sendiri sejauh 73 km. Perjalanan ini dicatat dengan GPS Garmin 60CSX dan Garmin Oregon 300.

Jalan raya ke Mendiptana beraspal baik, dan terasa menyenangkan, hanya beberapa bagian saja dalam kondisi perbaikan. Jalan ini berstatus Jalan Internasional nantinya, yang akhirnya menembus Lintas Batas Kombut-Papua New Guinea.

Mendiptana kita menemukan sebagai sebuah pedesaan yang sudah berusia tua, dan modern. Pedesaan modern diartikan sebagai desa yang sarana dan prasaranya sudah komplit.

Ketika sampai di Mindiptana dan mencari informasi transportasi berikutnya menuju Kombut, kami dihampiri oleh Kepala Kepolisian (Kapolsek) Distrik Mindiptana. Setelah kami menjelaskan siapa kami dan tujuan kami, Kapolsek memberikan bantuan yang diperlukan.

Perjalanan berikutnya tidak bisa ditempuh dengan  kendaraan roda empat, karena beberapa jembatan rubuh bahkan sudah lapuk. Menuju Kombut, sejauh 47 km, menggunakan jasa ojek yang dibayar Rp. 400.000 per sepeda motor.  

Seluruh jalan menuju Perbatasan Kombut, berupa jalan tanah. Jalannya cukup lebar, dalam proses penyempurnaan. Dua Pos Penjagaan Perbatasan berada diruas jalan ini. Meski berada pada bagian timur Papua, kehidupan masyarakat cukup baik. Warga setempat berumah kayu, tidak lagi dengan model rumah tradisionil Papua, yahitu honey. Beberapa rumah terpasang parabola. Penghasilan utama penduduk dari getah karet hutan.

Sampai di Kombut, kami mendatangi ke Pos Penjagaan Perbatasan TNI Kombut. Kami hanya sekedar mengisi buku tamu dan meminta informasi lokal. Pos yang terletak di ujung Papua tersebut, terpencil keberadaannya, namun berdekatan dengan perkampungan. Dari bincang-bincang dengan anggota TNI setempat, diketahuilah bahwa mereka minim sarana pendukung, bahkan sepeda motor pun tidak punya. Sedangkan makan sehari-sehari, makan seadanya. “Indo mie saja, sudah mewah bagi kami. Untuk ke Mindiptana, membeli keperluan logistik, kami meminjam motor warga, karena memang kami tidak punya,” terang salah seorang anggota TNI yang berasal dari Sumatera Barat.

Di Kombut terdapat sekolah dasar yang dikelola oleh gereja. Setiap petang, di sekolah ini diajarkan bahasa Inggris. Pengajarnya adalah pengungsi Papua di Papua New Guinea. Diantara pengajar tersebut, adalah Pius.  Dia sudah setahun ini mengajar bahasa Inggris. Murid-murid sukarela, bahkan banyak diikuti oleh orang dewasa.

“Di PNG bahasa Inggris sebagai bahasa wajib. Saya disini untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris, agar warga Papua di perbatasan melek pengetahuan, karena pengetahuan itu umumnya berbahasa Inggris,” ungkap Pius.

Pius dengan beberapa orang sekampungnya di Kombut, mengungsi ke PNG tahun1984.  Para pengungsi dari Indonesia ini ditempatkan di Desa  Yogi, Parovinsi Kiongga, Papua New Guinea. Juga ada pengungsi dari daerah lainnya.

Mereka mengungsi karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun apa yang terjadi disana, harapan tinggallah harapan. Mereka tinggalkan kampung halaman, lepaslah kewarga negaraannya, apa mau dikata, dinegeri seberang mereka tanpa pengakuan kewarga negaraan. “Kami para pengungsi, yang cukup banyak disana, tinggal di kampung  Yogi, dibawah otoritas UNHCR. Kami ingin kembali ke kampung halaman, ke sini, untuk membangun kampung kami,” terang Pius yang mana camp pengungsi tersebut berada 20 km dari batas Negara, atau 4,5 jam berjalan kaki.  Sedangkan Kombut, berada sekitar 20 km pula dari batas Negara.

Antara kedua warga Negara, bebas-bebas saja berlalu lalang. Karena sudah saling mengenal, dan mereka tidak diberlakukan ketentuan keimigrasian, namun wajib melapor. Di Mindiptana terdapat Kantor Imigrasi. Warga PNG biasa berbelanja ke Mindipatana, mereka berjalan kaki bisa seharian. Mereka datang, adakalnya membawa barang-barang dagangan. Golok PNG sangat disukai di Papua. Ketika saya hendak membeli golok tersebut, warga PNG tidak mau menjualnya, “Punya orang, ada yang pesan,” kata mereka dalam bahasa Indonesia.

Antara Mindiptana – Kombut, tampak tanaman buah –buah yang sudah tua, seperti manga, rambutan, dan durian. Pohon buah-buahan tersebut mengelompok di satu kawasan, dan terdapat diberbagai tempat. Akan hal itu, saya bertanya kepada pemilik sepeda motor yang saya tumpangi. “Betul Pak, ini dulu kampung. Mereka mengungsi ke PNG pada tahun 80-an. Yaa, sekarang mereka nggak bisa lagi kembali. Kehidupan mereka di pengungsian sangat susah, masyarakat PNG saja tidak mau menerima mereka. Karena itu mereka ingin kembali ke Papua” kata pengemudi sepeda motor itu.

Awan berat menyelimuti Kombut, pengumudi ojek tampak gelisah, sebentar-sebentar mereka mengadah ke langit. Kami paham, karena jika hujan turun, akan menyulitkan sepeda motor melaju. Begitu rintik hujan pertama jatuh, saya mengemasi perangkat agar tak basah, kecuali GPS Garmin dan Sony Xperia Active yang tahan air.

Hujan yang turun, meski tak lebat, merepotkan perjalanan dengan sepeda motor kembali ke Mindiptana. Acapkali saya harus turun dari boncengan, dan adakalanya mendorong-dorong sepeda motor supaya bisa bergerak di jalan yang mendaki.

Saya berpapasan denga dua sepeda motor, yang berpenumpang. Salah seorang diantaranya berteriak-teriak, “Tunggu, tunggu… Berhenti, berhenti…!”

Pengemudi ojek saya minta berhenti. Empat orang menghampiri saya. “Bapak dari mana, apa tujuan kesini. Saya kepala kampung disini,” sapa Adrianus Awengka, kepala kampung, yang juga sebagai kepala suku.

“Saya dari Kombut, untuk melihat kondisi pembangunan sarana dan prasarana disini. Termasuk jalan dan jembatan,” jelas saya, dengan menunjuk ke arah jembatan kayu yang roboh.

“Kamu liat-liat lagi, foto-foto lagi…  Sudah sejak tahun 10 (maksudnya 2010) tak ada perbaikan,” balas Adrianus dengan nada tinggi.

“Saya dari Jakarta Bapak,” balas saya.

“Saya tak peduli dengan Jayapura, tak peduli dengan Tana Merah. Jika bapak dari Jakarta, apalagi ?,” tambahnya makin garang.

“Saya kesini untuk melihat-lihat, supaya bisa dilaporkan ke Jakarta,” jawab saya.

Salah seorang diantaranya, memakai rompi coklat, menyela “Bapak masuk kampung kami tanpa lapor. Saya ini sebagai anggota Pengawas perbatasan. Liat ini, tanda pengenal ini,” ia menunjuk bet bertuliskan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan di rompinya.

“Saya meminta maaf kepada bapak kepala kampung, karena saya tidak lapor. Saya terburu-buru, karena mau hujan,” kata saya.

“Ini jalan tak bisa masuk mobil. Jembatan tak diperbaiki,” kepala suku makin tinggi nadanya.

“Bapak harus sabar, dan bapak harus mengerti. Disini taka ada batu, tak ada pasir, bagaimana mengecor semen untuk jembatan. Dengan apa pondasi jalan dibuat. Batu dan kerikil saja didatangkan dari Sulawesi. Kayu memang banyak disini, tapi tak tahan lama. Jadi bapak harus menunggu,” jawab saya keras.

Kepala suku mulai melunak, dan tertawa. Dia menyalami saya. Kemudian saya balas dengan salam khas Papua, jepit jari, “kaonak”.

“Bapak-bapak bagus mencegat saya di jalan. Berarti bapak menjaga kampung dengan benar, setiap orang asing seperti saya masuk sini. Bapak harus tetap jaga kampung dari pengacau,” kata saya memuji.

“Ya sudah, jalanlah kembali, nanti hujan makin deras. Selamat jalan, hati-hati. Sampai keadaan sini ke Jakarta.”

“Selamat sore bapak-bapak,” saya memberi salam.

Sampai di Mindiptana, matahari hampir tenggelam. Mobil taft sudah siap menunggu saya. Saya dapati Kapolsek sudah berada di dekat mobil. Kami pamit, dan saya mengacungkan jempol kepada Kaplosek sambil berujar, “Bapak memastikan kami meninggalkan Mindiptana, bukan. Bapak selalu waspada terhadap pendatang.”

Sekitar jam 21.00, kami meninggalkan kota Tana Merah, tanpa menjelajahi kota bersejarah ini, dimana Bung Karno dulu pernah ditawan Belanda. Sebagaimana berangkat, mobil kembali digasak kecepatannya. Sesekali kami berpapasan dengan iring-iringan truck yang membawa bahan komediti, bahan makanan, bahan bangunan dan lain-lain ke Tana Merah. Kendaraan kecil pun, tidak ada yang jalan sendirian. Rupanya kami sajalah yang jalan sendirian di ruas Trans Papua itu.

Sekitar jam 24.00, dibelakang kami, kendaraan menghidupkan lampu hazard dan sesekali memberikan lampu dim. Saya katakan kepada sopir, untuk memberi jalan kendaraan tersebut. Dua kendaraan pick up melewati kami. “Mobil itu membawa mayat,” jelas sopir.

Kami terus berada di belakang kendaraan tersebut, terkadang  jaraknya jauh, namun terlalu dekat ketika melewati jalan buruk.

Ditengah-tengah jalan lurus dan hutan, sekitar jam 02.00, ball joint roda kiri hendak lepas. Sopir dan kenek bekerja keras memperbaikinya dengan mengikat ball joint tersebut dengan karet. Uh, lengang berada di pedalaman Papua.

“Kita perlu memberikan apresiasi dan mengakui Pemerintah Pusat - yang telah membangun jalan ini. Betapa sulit dan mahalnya membangun jalan ini, batu saja diimport dari Sulawesi,” komentar Zulfikar Akbar, konsultan tata ruang – yang sudah merancang tata ruang beberapa kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia ditengah keheningan malam di tanah Papua, saat menunggu mobil diperbaiki.

Tiba di Merauke jam 06.00, kami ke bandara untuk terbang kembali ke Bandara Sentani, Jayapura.

Trans Pupua yang membelah Papua, yang tak kami sangka, memang ada. Jalan ini bersisian dengan perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea bagian tengah ke selatan. Melihat pekerjaan yang berlangsung, bahkan pada malam hari pun di beberpa jambatan, tahun 2013, ruas utama Trans Papuas sudah rampung. (Rizal Bustami)

(Foto-foto dan track log GPS dapat dilihat pada up load Trans Papua Bagian I : Galery Foto dan Trans Papua II : Polisi yang Menjaga Perbatasan Seorang Diri)















No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023