Friday, June 17, 2016

Pemukiman di Taman Nasional Kerinci Seblat...


Ranah Pametik, Kisah “7 Harimau Kerinci”

Pemukiman yang makmur di tengah Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan sepeda saya kesana...

Berawal dari bincang-bincang ringan dengan Pak Randa, dimana saya tinggal selama berada di Sungai Penuh. Pak Randa, tinggal di dekat wisata Air Panas Semuruk, 11 km dari pusat kota Sungai Penuh, di ruas jalan Sungai Penuh - Kayu Aro. Berbicaralah Pak Randa, bahwa 7 orang warga Semuruk, pada tahun 1965, meninggalkan kampungnya, mencari lahan pertanian dan pemukiman baru. Nah, pemukiman tersebut, yang dikenal dengan nama Ranah Pametik, sekarang berada di tengah-tengah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Kawasan Ranah Pametik itu kemudian dikembangkan menjadi tiga desa. Naluri jurnalis saya dan kepekaan akan lingkungan sosial, tersentak seketika, mengingat ada 3 desa berada di tengah kawasan yang dilindungi oleh Undang Undang Negara. Sudah barang tentu, ini menjadi persoalan antara pemukim dengan otoritas kawasan taman nasional. Semangat heroik 7 pemuka masyarakat Semuruk membuka lahan baru – yang berada di tengah-tengah hutan itu, menjadi cerita yang langka dan menarik. Ke 7 pioner tersebut, ditandai dengan lahan persawahan. Hanya 7 orang saja yang memiliki sawah di sana. Karena alasan-alasan itu, maka saya minta kepada Pak Randa untuk mengantarkan saya ke Ranah Pametik. Maka Pak Randa, keesokan harinya, menitipkan saya untuk ikut ke Ranah Pametik itu. Ranah Pametik, lebih kurang 40 km dari kota Sungai Penuh.


Legenda 7 orang perintis Ranah Pamatik dari Semurup
Ranah Pemetik berada di zona inti Taman Nasional Kerinci Seblat. Di kawasan Ranah Pematik, Kabupaten Kerinci, berkembang menjadi 3 desa, yaitu Desa Pasir Jaya, Desa Lubuk Tabun dan Desa Sungai Kuning.

Pada tahun 60-an, muncullah pemikiran dari sesepuh Semurup, Kerinci, bahwa puluhan tahun ke depan, lahan pertanian dan pemukiman makin menyempit seiring dengan pertumbuhan manusia. Maka tercetuslah untuk mencari lahan baru. Setelah melalui perundingan-perundingan, maka tahun 1965, berangkatlah 13 orang menempuh hutan belantara, yang dilepas secara adat, diantar sempai batas hutan. Akhirnya, pada hari ke 4, ke 13 orang tersebut menemukan suatu lembah datar dengan sumber air melimpah. Setelah membuat patok, hari ke tujuh, 13 orang tersebut kembali ke Semurup.

Lebih kurang tiga bulan kemudian, 7 orang pioner kembali ke lokasi yang sudah ditandai. Ke tujuh orang tersebut membawa peralatan pertanian dan bahan pokok untuk satu bulan bekerja. Sedangkan 6 orang lainnya, tidak tertarik kembali ke Ranah Pametik karena dianggap terlalu jauh, dan berada di tengah hutan lebat.

Kembali ke Ranah Pametik, ke 7 orang tersebut membagi lahan persawahan dan membuat batas kampung. Mereka mendirikan rumah sederhana satu per satu, sampai ke tujuh orang tersebut memiliki rumah sendiri. Rencana awalnya satu bulan, memanjang menjadi tiga bulan. Ke tujuh orang tersebut berpikiran, mereka persiapkan dulu semua, baru mereka pulang ke Semurup untuk menjemput keluarga mereka. Secara bergantian, mereka menjemput keluarga mereka.

“Saya lahir di Ranah Pamatik, di hutan,” ungkap Ibu Randa, istri Pak Randa.
Satu dari 7 orang tersebut, bernama Yanman, masih hidup. Saya tidak dapat menemui orang tua itu, karena dia sedang melakukan umroh di tanah suci.

Selepas dari Sungai Penuh, jalan beraspal naik tajam.  Kemudian jalan menurun tajam, dan naik turun perbukitan. Pemukiman pertama yang dilewati adalah Desa Pungut Mudik. Di Desa Pungut Mudik ini, dimana berkahirnya pelayanan listrik PLN. Sampai batas hutan produksi, jalan masih beraspal. Selanjutnya jalan tanah yang naik – turun perbukitan.

“Kita harus buru-buru, supaya punya teman dijalan. Kalo kita sendiri, tidak ada menolong kita,” kata Pak Irwan (50), dimana saya menumpang mobil pick upnya ke Ranah Pametik.

“Segawat itukah Bang,” tanya saya.

“Tidak. Mudah-mudah tidak hujan. Kalo hujan, jalan tidak bisa dilalui. Kita harus bantu-bantu supaya mobil bila lolos dari jalan berlumpur,” jelas Pak Irwan, yang mengendarai mobil pick up.

Pak Irwan, merupakna putra sulung Dari Pak Yanman. Ketika Ayahnda Pak Irwan merintis kampung di Ranah Pametik, ketika itu ia berusia 4 tahun.

Apa dikawatirkan Pak Irwan benar adanya. Di satu penanjakan, banyak mobil pick up berbaris. Jalan tanah yang berlubang dalam menanti.  Setiap mobil dipasangi rantai pada ban belakang. Mobil pertama yang lolos, membantu menarik mobil dibelakang, sampai semua mobil lolos.


Ranah yang cantik
Tidak salah ke tujuh orang tersebut memilih kawasan ini sebagai pemukiman dan pertanian, meski jauh dari kota. Sebidang kawasan di daratan yang rata, dikelilingi oleh perbukitan serta dilimpahi air yang jernih. Kata warga setempat, sungai yang mengalir ke Ranah Pametik berasal dari Danau Gunung Tujuh. Di kawasan tersebut juga terdapat air terjun yang  belum tersentuh, hanya 1 jam perjalanan dari desa.

Kerja keras para pioner, dan pengikut dibelakangnya, Ranah Pametik berkembang menjadi pertanian yang subur. Hasil buminya adalah padi, kayu manis, kentang, kopi, dan tembakau. Sedangkan padi dan beras, mereka konsumsi sendiri. Padi yang mereka tanam, padi kuno, yang dibawa oleh 7 orang perintis tadi. Padi tersebut bernama Pagi Payo Ranah Pamatik. Masyarakat tidak memperjual belikan beras yang mereka tanam.

Beras Payo Ranah Pametik berusia tanam 1 tahun. Batangnya besar-besar, tingginya sampai 1 meter. Beras Payo Ranah Pamatik berserat halus, sehingga renyah dikunyah. Pernah jenis padi lain, yang berusia pendek ditanam di Ranah Pametik, namun hasilnya tidak baik. Karena itu, warga Ranah Pametik mempertahankan padinya.

“Kami tidak pernah kekurangan makanan disini. Karena itu, kami mempertahankan padi asli disini, yang ditanam oleh leluhur. Begitu cara kami menghormati leluhur,” seorang warga mengungkapkan di warung Ibu Wawan.

Berbincang-bincang tentag Ranah Pametik, bagai mendengarkan legenda. Warga dengan kebanggaan tinggi, antusias bercerita tentang sejarah kawasan ini. Tradisi mereka pegang kokoh. Gotong royong dan menjadi etika kepatutan di junjung tinggi.

Salah satu tradisi yang mereka pegang teguh yaitu, gotong royong menanami sawah dan bersama-sama mendirikan rumah, yang disebut batagak rumah.

Seseorang yang akan mendirikan, akan memberitahukan warga dengan cara mendatangi setiap warga. Warga diundang dengan mempersembahkan hantaran daun siri. Pada hari yang ditentukan, warga berhenti beraktivitas, datang untuk mendirikan rumah. Bukan hanya kaum pria yang datang, kaum wanita juga hadir. Sementara kaum pria ke hutan mencari kayu, membuat papan, balok, kaso, kaum ibu memasak makanan dan minuman. Dalam satu hari, rumah sudah berdiri dan bisa ditempati.

“Warung saya ini contohnya, satu hari saja sudah bisa tempati,” terang Pak Wawan, yang dulu bertani kelapa sawit di daerah lain, memilih bermukim di Ranah Pametik sejak 5 tahun lalu.

Saya salah seorang mendapat undangan untuk melihat batagak rumah. Tentu kesempatan ini tidak saya sia-siakan.  

Lingkungan alam Ranah Pametik relatif terjaga dengan baik. Meski ada penjarahan hutan pembukaan hutan, dapat ditangani dengan cepat oleh pihak Taman Nasional. Namun, warga asli Ranah Pametik, menjaga dengan baik lingkungan sekitar. Bagi mereka, lahan pertanian ayang ada sudah cukup untuk menghidupi keluarga mereka, sehingga tidak perlu membuka hutan. Mereka sadar betul, bahwa kawasan dimana mereka tinggal adalah hutan yang dilindungi. “Jika kami perlu kayu, itu hanya untuk membangun rumah, untuk fasilitas umum. Kayu yang kami tebang, kami pilih mana yang aman,” tutur warga.

Dibeberapa tempat, di  kawasan taman nasional, khususnya di zona produksi, sudah beralih fungsi lahan. Saat ini marak ditanami kopi arabica.

Hasil bumi yang melimpah
Buah kerja keras “Tujuh Harimau Kerinci” itu, Ranah Pametik menjadi pemasok hasil bumi penting di Kerinci.  Di mulai dari Desa Sungai Kuning sampai Desa Pungut Mudik, atau lebih kurang 30 km ruas jalan Sungai Penuh – Ranah Pametik, hasil bumi setiap hari yang dibawa ke Sungai Penuh, sebanyak 50 trip kendaraan bermuatan 1 ton. Jadi, dalam sehari, hasil bumi yang dibawa ke Sungai Penuh mencapai 50 ton.

Ketiga desa di Ranah Pametik tidak memiliki akses jalan aspal, tidak memiliki jaringan listri PLN, tidak ada jaringan komunikasi, baik kabel maupun seluler, dan tidak ada  siaran televisi. Sumber penerangan warga, berupa kincir listrik. Setiap kincir listrik, menghasilkan 2000 sampai 3000 watt. Harga satu unit kincir listrik, mencapai Rp. 10.000.000.
Sekolah yang ada, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Ada Puskesmas, tetapi tidak ada tenaga medis.

Warga Ranah Pemetik sangat berharap jalan aspal. Ketika hujan, kendaraan tidak ada yang datang, dan tidak ada pula yang keluar membawa hasil bumi.

“Jika musim hujan, mobil tidak bisa  bawa hasil tani. Selain itu pemilik mobil meminta ongkos tinggi,” jelas Ibu Wawan dimana saya bermalam di warungnya.

Saya rupanya pengunjung satu-satunya yang datang tanpa kepentingan. Kedatangan saya semata hanya untuk melihat langsung peninggalan si “7 Harimau Kerinci” itu. Namun demikian, setiap warga yang temui, mengeluhkan akses jalan dan tidak tersedianya aliran listrik PLN dan tidak terjangkau oleh saluran komunikasi.

Ke Ranah Pametik dari Sungai Penuh, tidak ada transportasi reguler untuk penumpang. Untuk menuju Ranah Pamaetik, menumpang dengan mobil bak. Penumpang tidak dipungut bayaran, namun cukup diberi pengganti bahan bakar secukupnya. Untuk ke Ranah Pematik, menunggu kendaraan di Simpang Tutung antara jam 07.00 sampai jam 11.00.

Saya menjelaskan – sebatas pengetahuan saya, bahwa tidak memungkinkan untuk membangun jalan aspal, dan menyediakan listrik PLN karena Ranah Pametik memasuki kawasan taman nasional. Meski Ranah Pemetik sudah terbentuk dalam pemerintahan desa, dan memiliki hak infrastruktur, namun terbentur kepada Undang Undang yang melindungi kawasan taman nasional. Hanya seizin taman nasional, dalam ini Kementrian Kehutanan, infrastruktur bisa dibuka.

Konon, ketiga desa di Ranah Pametik sudah diakui oleh TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat), artinya, TNKS sudah mengeluarkan ketiga desa tersebut dari kawasan taman nasional. Disebut-sebut oleh warga, bahwa ada surat perjanjian dengan pihak TNKS. Saya berburu data kesalah satu  keluarga Pak Randa, catatan dan surat perjanjian warga Ranah Pametik dengan pihak TNKS sudah raib, karena berkas-berkas tersebut dibuang-dianggap sampah.

Kembali ke Sungai Penuh, saya menggowes sepeda. Berangkat dari Warung Ibu Wawan di Ranah Pametik, sampai di Semuruk jam 19.00. (Rizal Bustami)

 



 


 





HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023