Showing posts with label FEATURE. Show all posts
Showing posts with label FEATURE. Show all posts

Tuesday, February 04, 2014

Shandra Woworuntu Warga Indonesia Jadi Korban Perdagangan Manusia di AS


Selasa, 04 Februari 2014, Washington, DC
Catatan Hariannya membantu FBI dalam Penyelidikan
VOA Indonesia

Shandra Woworuntu, seorang warga negara Indonesia yang merupakan mantan analis keuangan, terjebak menjadi korban perdagangan manusia saat mengadu nasib ke AS.
Dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu berbicara pada VOA tentang kisah kelam yang dialaminya ketika menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.

“Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2).



Thursday, December 04, 2008

PONDOK UDA IS

Uda Is, Beli Bukit untuk Bertani
Terobsesi menjadi petani, Uda Is mendirikan pondok di tengah hutan. Serius benar ia membangun tempat tinggal tersebut yang lengkap dengan pertanian di sebuah perbukitan di Situjuh Tungkal, Payakumbuh, Sumatera Barat. Semua kebutuhan pokok hidup sudah tersedia, kecuali garam dan minyak.
Di Jakarta Uda Is dikenal oleh selebritis dan kalangan atas sebagai pembaca masa depan, dimana pendapatnya dimintai untuk kesuksesan berkarir, mejabat, pangkat, berpolitik, mendapat jodoh sampai mencari ‘jam tangan’ yang hilang. Ia hidup dengan standar metropolitan. Lengkap dengan asoseries modern, seperti mobil terbaru, saluran selular, minum kopi di cafĂ©, makan malam di hotel berbintang. Jam tangan merk Bulgari dengan parfum bermerk serupa. Hobynya, hoby para raja, yaitu beternak kuda pacu. Tiga ekor kuda pacunya, sampai juara nasional. “Pada akhirnya kita semua harus kembali ke alam. Nyatanya, masyarakat desa yang dekat dengan alam, lebih tahan terhadap goncangan ekonomi. Makanya aku merintis hidup seperti itu,” kata Uda Is, di pondoknya. Seorang idealis kah dia ? Atau berperangai aneh ?

Berhuma Di atas Bukit
Ia bangun sebuah pondok di bukit berhutan rapat p
ada ketinggan 900 meter dari permukaan laut. Berhawa sejuk, bahkan mendekati dingin. Untuk mencapai pondoknya ia buat jalan sendiri. Panjang jalan 3. 5 km dengan lebar 1 meter meliuk – liuk mengikuti kontur perbukitan. Kalau berjalan kaki, membutuhkan waktu 2 jam baru sampai ke pondoknya. Sepanjang jalan dipayungi oleh hutan. Untuk memudahkan mencapainya, ia sediakan tiga buah sepeda motor trail. Pisik pondoknya tak berbeda dengan rumah para transmigran. Berdiri kokoh pas di lereng yang sudah diratakan. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Balok, kaso dan papan dibiarkan apa adanya, tanpa penghalusan. Beratapkan seng, berlantai papan. Pondok dibagi tiga bagian. Bagian sayap kakan, berukuran besar untuk kamar tuan rumah dan kamar tamu. Bagian sayap kiri untuk para penjaga pondok. Sedangkan ruang satu lagi, berada di tengah – tengah, berfungsi sebagai dapur dan pemanas ruangan. Tidak ada ruang makan dan meja makan. Penggantinya berupa meja panjang dengan bangku panjang yang menghadap ke halaman. Air diambil dari mata air yang terdapat di lereng bukit. Air tersebut dialirkan menggunakan pompa berukuran besar. Ada bangunan lain yang berukuran kecil yang berfungsi sebagai rumah air. Penerangan menggunaknan pembangkit listrik. Di belakang pondok ditanami jagung dan singkong. Di halaman, menjuntai ketela. Ada sayur sawi, kol, terong, tomat, dan cabe serta tanaman lainnya. Di belakang pondoknya ia ternakkan ayam kampung. Sedangkan beras, dihasilkan dari sawah yang terletak di kaki bukit. Disamping itu, Uda Is menanami lahannya dengan durian, rambutan, mangga, jeruk, kopi dan kayu manis. Seperti yang dikatakan olehnya, garam saja yang didatangkan dari luar. Tidak ada kemewahan disini karena tiada perabot, televisi, tape recorder dan sebagainya. Kepada tamunya, ia seakan ‘memaksa’ orang untuk merasakan tinggal di rumah petani. Duduk – duduk di bangku panjang, baik siang maupun malam hari, terasa tak membosankan. Pandangan disini tak terhalang. Di sekitar pondok yang berhutan rapat itu, banyak ditemukan monyet dan siamang yang berbulu kemerah – merahan. Monyet – monyet tersebut keluar mencari makan padi sampai jam 10.00 dan sore sekitar jam 16.00. Binatang lainnya bisa disaksikan disini adalah berbagai jenis burung. Binatang tersebut dapat disaksikan dari pondok melalui teropong, atau mendekat sedikit di dalam hutan. Pondok tersebut tidak persis berada di puncak bukit. Puncak bukit berada sekitar 200 meter di atas pondok. Jalan juga buat. Di puncak bukit ada hellipad. Dari puncak bukit bisa terlihat samar – samar Danau Singkarak di bagian selatan. Ke utara, barat dan timur tampak dataran terhampar luas. Kota Payakumbuh dari sini jelas tampak. Beberapa kali hellikopter mendarat menjemputnya. Ke sinilah Uda Is membawa tamu – tamunya dengan sepeda motor trail untuk menikmati keindahan pemandangan. Oleh para remaja dan pelajar dari kota Payakumbuh, lokasi ini dijadikan sebagai tempat kemping. Ada cerita menyangkut pemburuan Tommy. Pondok Uda Is ini menjadi sasaran karena Tommy dikira bersembunyi di sini. Seorang pegawai Pemda Payakumbuh, sekampung dengan Uda Is, menceritakan bagaimana dirinya ditanyai macam – macam oleh intel soal Tommy. Sedangkan Uda Is saat itu ada di Jakarta. “Polisi mengada-ada. Aku tak kenal dengan Tommy,” kata Uda Is. Untuk berkomunikasi ke rumahnya, dilakukan dengan radio komunikasi. Baik di rumah maupun di pondok ia pasangi antena. Ketika bergerak di kawasan bukit, ia pergunakan radio HT. Selain itu, tentunya sangat penting baginya adalah berkomunikasi melalui saluran selular. Di sini sinyal diterima penuh.

Ingin Seperti Petani
Baru matahari terasa hangat ketika seorang lelaki datang menyandang bambu kering di bahunya. Ia baru saja keluar dari hutan membawa air nira yang diturunkan dari pohon enau. Nira terasa enak bila diminum ketika masih baru. Satu malam saja didiamakan, akan berubah rasanya menjadi tuak. Inilah hidangan keistimewaan dan kebanggannya. “Sedap, kan. Betul – betul baru dari pohon,” katanya. Uda Is dilahirkan di Setujuh Tungkar, Kecamatan Situjuh, Payakumbuh, Sumatera Barat 45 tahun lalu. Dari pernikahannya dengan Yusnimar, ia mempunyai tiga anak. Dua pria dan satu wanita. Anak pertama laki – laki, sekarang sedang duduk di bangku kuliah di Padang. Anak kedua kuliah di Jakarta. Sedangkan paling bontot, wanita, duduk di SMA. Setelah malanglang buana menuntut ilmu kebatinan, ia hijrah ke Jakarta. Di Jakarta kemudian dikenal sebagai paranormal kondang yang nasehatnya banyak dimintai. Gaya hidupnya tak ubahnya seperti selebriti. Oleh para pengusaha, sebentar – sebentar ia dibawa ke Malaysia, Singapura, Hongkong dan Australia. Untuk Apa ? Untuk dimintai pendapatnya soal prospek bisnis. Pendapatnya dan petunjuknya digunakan untuk langkah - langkah politik. Banyak orang yang mencarinya untuk dimintai bantuannya dalam menyesaikan berbagai masalah. Namun, ia tidak membuka praktek. Untuk bertemu dengannya, satu – satunya cara adalah menghubunginya dulu melalui nomor HP-nya. Ia mempunyai dua nomor HP. Satu nomor khusus untuk Jakarta, satu lagi untuk luar kota. Sedangkan nomor telepon rumahnya tidak pernah ia berikan kepada orang lain kecuali kepada orang dekatnya. Ia seperti ‘jual mahal’. Hanya atas refrensi tertentu ia menerima ‘pasien’. “Tidak akan aku perdagangkan kepandaianku. Aku hanya akan membantu orang – orang yang menurutku perlu bantuan. Tak peduli aku dia kaya atau miskin,” katanya. Soal membantu orang kecil, ada sebuah cerita darinya. Bagaimana ia mengeluarkan seorang pelacur dari rumah bordir di Jakarta sampai berumah tangga dan mempunyai anak. Ceritanya, si pelacur itu, mempunyai seorang pelanggan duda. Terhadap lelaki itu, di pelacur memperlakukannya secara khusus. Dia menyukai lelaki tersebut. Duda beranak dua itu bersifat cuek, kasar, keras kepala dan tak banyak bicara. Inilah, menurut si pelacur, lelaki yang bertanggungjawab terhadap keluarga dan bakal suskes hidupnya. Di mata si pelacur, lelaki tersebut bercerai dengan istrinya bukan karena kesalahannya, malainkan karena ketidakmampuan si istri memahami karakter suaminya. Pertemuan Uda Is dengan pelacur tersebut terjadi secara kebetulan di sebuah mal di Jakarta. Oleh dorongan batinnya, Uda Is menyapa perempuan tersebut dan mengajaknya berbicara. Dalam pertemuan – pertemuan berikutnya, sampailah cerita bahwa pelacur tersebut bertekad hendak menjadi istri bagi pelangganya itu. Mengapa harus lelaki itu ? tanya Uda Is. “Sudah banyak lelaki yang saya layani. Bahkan tak sedikit yang berlangganan dengan saya, tetapi dia yang saya layani dengan istimewa. Saya percaya, dia tidak menemukan lagi kenikmatan dari perempuan lain. Dia lelaki yang penuh tanggungjawab dan sukses hidupnya. Akan saya buat dia kaya,” katanya kepada Uda Is. Oleh Uda Is, diolahlah ‘perjodohan’ tersebut sehingga mereka menikah. Kini, kata Uda Is, mereka menjadi keluarga yang kaya dan sakinah. Mereka sudah naik haji satu kali dan dua kali umroh. Selain itu, mereka juga menyantuni anak – anak tanpa ayah. Satu lagi ucapan mantan pelacur tersebut yang selalu menjadi cerita klasik oleh Uda Is, adalah. “Uda Is”, kata mantan pelacur tersebut, “Melayani suami, dimulai dari membuatkan kopi atau teh untuknya. Sampai – sampai dia tidak menemukan kenikmatan teh atau kopi selain seduhan istrinya.” Sampai sekarang Uda Is masih berkomunikasi dengan wanita tersebut. Dari mantan pelacur tersebut, banyak pula pelajaran yang dipetik olehnya. Di kampungnya ia membuka peternakan sapi dan kambing. Untuk peternakan sapi saja, ia mempunyai lahan 40 ha di dua lokasi. Lahan tersebut ia tanami rumput gajah disamping durian unggul. Disamping itu, ia memiliki peternakan kuda pacu yang ia beri nama Situjuh Stable. Putri Situjuh dan Putra Situjuh adalah kuda – kuda pacunya yang pernah meraih juara nasional. Beberapa kudanya ia simpan di Gelanggang Pacuan Kuda Pulo Mas dan Sawangan Jakarta. Peternakan tersebut ia kelola secara modern. Beberapa pegawai mengurus pertenakannnya. Juga terdapat dokter hewan yang mengawasi kesehatan ternaknya. Peternakan sapi dan kambingnya sudah menghasilkan uang. Menjelang lebaran, sapi – sapi yang ia ternakkan ia lego ke pasar. Selain itu, ia memiliki sawah yang luas. Sawah – sawah produktif tersebut dikerjakan oleh penduduk dengan sistim bagi hasil. Uangnya banyak, tetapi tak ia simpan di bank karena katanya tidak satu pun bank Tiada masalah kecuali hama pengganggu tanaman. yang ia percayai. Lalu di bawah bantalkah ia menyimpan uangnya ? “Aku mempunyai brankas di rumah. Kemana – mana aku membawa uang tunai,” katanya. Lamunan sering membuahkan karya besar. Karena lamunan pulah akhirnya manusia bisa menjejakkan kakinya di bulan dan di dasar samudera. Demikian pula Uda Is yang suka melamunkan berumah di hutan. Betapa tenang hidup disana. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern yang mendatangkan berbagai penyakit. Tiada masalah kecuali hama pengganggu tanaman. Kamampuannya membaca masa mendatang, pernah ia ramalkan akan terjadi peristiwa besar di Jakarta yang akan berkibat ke seluruh Indonesia. Akan terjadi krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan. Yang akan bertahan, katanya, adalah sektor tradisionil, seperti petani, peternak dan nelayan. Mereka inilah yang mampu swasembada. Ia patut – patutlah perbukitan yang memagari kampungnya itu. Bukit itu sendiri tidak berpenduduk, bahkan hampir tak terjamah. Selain curam, juga rapat hutannya. Ke bukit itu penduduk hanya mencari kayu dan mengambil hasil hutan seperti mancari madu, enau dan rotan. Ketika pertamakali idenya dilontarkan kepada istrinya, Yuiminar, dijawab, “Gila kamu.” Yusminar bukannya tak setuju. Baginya ide tersebut bisa diwujudkan dengan modal dan kemauan besar. Pada suatu hari Uda Is mengajak Yusnimar meninjau lokasi. Dengan merambah hutan, membawa pendamping dan bekal, Yusnimar terengah – engah mengikuti langkah suaminya sampai ke puncak bukit tersebut. Begitu berada di puncak bukit, mantaplah hati Uda Is dan Yusnimar. Mulailah Uda Is melakukan perkerjaan besar. Mula – mula ia lakukan pendekatan terhadap ninik mamak. Siapa pemilik tanah tersebut dan bagaimana cara membebaskannya. Ternyata perbukitan tersebut dimiliki oleh 400 orang dan luasnya 1200 ha. Pendek kata, pembebasan tanah lancar dilaksanakan pada tahun 1999. Begitu tanah dikuasai, Uda Is tak membuang – buang waktu lagi. Tahun itu juga jalan setapak diretas sampai ke puncak bukit. Bahan bangunan diusung. Dalam tempo tiga bulan, jalan dan pondok selesai. Selanjutnya adalah pekerjan membuka lahan pertanian. “Ratusan orang yang mengerjakannya. Di pondok inilah kelak aku menghabiskan masa tua,” terang Uda Is. Telah ia wujudkan cita – citanya dengan kemauan dan usaha yang keras. Pondok itu kini menjadi kebanggaannya. Banyak orang penting yang ia undang kesana. Diantanya yang sudah bermalam di pondoknya adalah Putu Arya Suta, mantan Ketua BPPN, Alex Bambang, Nia Daniati, dan sebagainya. Kalau ia pulang ke Payakumbuh, di pondok itulah ia sehari- hari. Dari sanalah pulalah ia ‘meneropong’ dan melakukan pendalaman batinnya. Dari pondok itu pulalah ia meledekin orang – orang Jakarta. Rizal Bustami / Foto : Agus Blues

Monday, November 10, 2008

Penambang Emas Tradisionil

BERJUDI NASIB, BERTARUH PERUNTUNGAN

Tahun 2001 terjadi bencana longsor di Cisampai. Cisampai merupakan kawasan tambang emas tradisionil yang dikelola secara perorangan terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebanyak 20 orang meninggal saat itu. Di Pongkor, sudah beberapa kali lobang-lobang pengambilan emas ambruk. Berapa jumlah korban meninggal, sulit menghitungnya karena mereka berkerja liar.

Cisoka tambang emas tradisionil yang bertetangga dengan Cisampai. Tambang ini pernah ditinggalkan karena hasilnya tidak memadai. Para penambang kembali ke Cisoka karena tambang Pongkor dilarang, sedangkan di Cisampai tidak seberapa hasilnya. Tambang emas tradisionil Cisoka, berada di Kampung Lebak Pari, Desa Cisoka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Matahari masih malu-malu ketika kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi tambang. Kami seperti berkerjar-kejaran matahari di tengah musim penghujan. Inilah ujung jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kami meneruskan perjalanan menuju lokasi melalui jalan setapak. Diseberang lembah sana, pada tebing, ada lobang-lobang, seperti goa. Di dalam lobang itulah orang mencari emas. Kami memilih lobang milik H.Kirna untuk dimasuki. Pada mulanya lobang cukup untuk membungkuk. Makin ke dalam, perut kami makin tertekuk sehingga kami berjalan “mengesot’. Entah sejauh apa kami merangkak sampai bertemu dengan penambang sedang bekerja.

Bongkahan batu dibawa keluar. Batu-batu tersebut dihaluskan dengan cara dipalu, lalu dimasukkan ke selinder-selinder yang berisi air, gelundungan namanya. Di selinder diberi air raksa yang berfunsi untuk memisahkan unsur logam dengan tanah. Selinder diputar selama 10 jam. Sebagai penggerak, ada yang menggunakan mesin disel dan ada pula dengan kincir air.

Dua karung bebatuan akan menghasilkan logam putih sebesar biji jagung yang dinamai belion. Logam lunak tersebut kemudian diproses. Hasilnya menjadi logam putih – keperakan yang beratnya 1 gram. Untuk menjadikannya emas, maksimal kadar 99 %, diproses lagi. Hasil akhirnya hanya ½ gram emas. Bila satu gram emas harganya Rp. 220.000, maka 1 gram belion Rp. 110.000.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tinggal di kawasan terpencil. Di tambang, tidur beralaskan tikar, berbantalkan lipatan tangan.

Rony, misalnya. Ia tinggalkan anaknya yang baru berusia 3 bulan. Ia spesialis tester kadar emas. Keahliannya itu berkat pengalamannya sejak tahun 1980 bekerja di tambang emas. “Saya bekerja tambang sejak tahun 81, saat-saat sekaranglah saya rindu pulang. Kangen anak,” ungkap Rony, belum menengok anaknya karena uang belum terkumpul.

Di tambang Haji Kirna, bekerja 40 penambang. Penambang bekerja 2 shif – siang dan malam. Dari hasil tambang, setiap penambang menghasilkan 2 karung. Dua karung batu, menjadi 1 gram belion. Dari hasil bersih belion, H. Kirna mendapatkan 40 persen karena ia harus mengeluarkan biaya untuk proses, listrik, nyangga, karung dan fasilitas. “Pekerjaan ini sudah saya jalankan sejak tahun 60-an. Saya memulainya di Rajang Lebong (Bengkahulu). Dulu saya penambang, sekarang pemilik tambang,” jelas Pak Haji, yang sudah satu bulan tidak pulang ke rumahnya.

Aang., 45 tahun, sedang beruji peruntungannya pula. Pria asal Cisimut, Lebak ini, memiliki sebuah lobang yang bertetangga dengan H. Kirna. Selama satu bulan menggali, tambangnya belum juga menghasilkan emas. Untuk membiayai hidup 10 penambangnya, Aang harus mengeluarkan uang 1 juta rupiah per minggu.

Bekerja di tambang tradisionil besar resikonya. Resiko longsor, lobang amruk, atau bahaya kesehatan di lobang. Namun, mereka ini menepiskan semua resiko itu. “Kalau bicara bahaya, banyak teman saya mati di Pongkor. Jika ada pekerjaan lain, saya berhenti. Bahaya kesehatan di dalam, saya tidak ngerti. Keadaannya seperti itulah,” terang Fijei, dimana belum bisa menengok anak dan istrinya karena penghailannya tidak cukup.

Semuanya adalah perjudian. Berjudi dengan nasib, berjudi dengan peruntungan. Tidak peduli, apakah itu bagi pemilik lobang atau bagi penambang. Hasilnya tidak seberapa, badan bisa terkubur hidup-hidup. Inilah ironi kehidupan pekerja penambang emas.

Kilau emas, tidak sekilau kehidupan mereka ! Rizal Bustami / Foto : Alfan

Kami bersedia mengantarkan Anda ke Tambang Emas Rakyat Cisoka dengan Land Rover.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023