Showing posts with label NUSANTARA FACT. Show all posts
Showing posts with label NUSANTARA FACT. Show all posts

Wednesday, January 02, 2013

Nusantara itu Warisan Tuhan...!

MISTERI “OPHIR” DI SUMATERA


Oleh : Rizal Bustami

Peta Ptolemyus / Sumber CBN Polona
Dalam peta Sumatera yang dikeluarkan oleh Nelles Maps yang dapat dibeli di toko-toko buku, di Provinsi Sumatera Barat, tertera “Mt.Ophir”. Teks Ophir dicetak dalam kurung buka. Diantara “Mt. Ophir” terdapat “Mt. Talaman” dan “Mt. Pasaman”. 

Kata “Ophir” bukanlah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dan bukan pula bahasa Sanskerta. Kata Ophir berasal dari bahasa Ibrani tua, yang dikaitkan dengan emas atau perak. Dalam kisah-kisah Salomon, pada mitologi Yahudi, Nabi Sulaiman dalam Islam, kata “Ophir” mengacu kepada Nabi agama Yahudi, Islam dan Nasrani itu. Lalu, mengapa pula kata “Ophir” muncul di Sumatera ?



Mt Ophir di Sumatera / Sumber Nelles Maps
Syahdan ! Menurut mitologi Yunani, Timur Jauh adalah ujung dunia, dimana Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Diyakini pula, Asia Tenggara (Nusantara) adalah pusat chryse (emas) dan argse (perak). Dalam kitab Perjanjian Lama disebutkan, Nabi Sulaiman pernah mencari ophir (emas) ke wilayah timur. Menurut kepercayaan dulu, bahwa tanah tempat Sulaiman mendarat tersebut adalah Auerea Chersensus (Golden Peninsula Malaya) dan tepatnya di Ceylon dan Sumatera. Inilah pangkal muasal haluan kapal diarahkan ke matahari terbit.


Saturday, March 13, 2010

Kunjungan ke Pulau Durai


La Hanni,
“Robinson Cruise” dari Pulau Durai
Oleh : Alfan
Hampir 90 tahun usianya. Tinggal sendiri di sebuah pulau yang kerap didatangi “penyamun ikan” dari Thailand. La Hanni, satu-satunya manusia Indonesia di pulau terluar Indonesia itu.

Tuesday, February 16, 2010

Teh Nomor 1 Dunia

Kayu Aro dengan Gunung Kerinci
SEINDAH LUKISAN

Seruput teh pagi-pagi,
Minuman para raja,
Inilah teh kelas satu dunia

Hamparan hijau tanaman teh bagai permadani. Di belakang Gunung Kerinci memagar dengan bentuknya yang sempurna. Hawa dingin yang menyentuh kulit, mendakan bahwa kita berada di ketinggian alam pegunungan.

Dari sisi mana saja memandang, hamparan tanaman teh dengan latar Gunung Kerinci selau terhidang. Perkebunan teh terluas dan tertinggi di dunia dengan gun
ung tertinggi di Sumatera. Gunung yang berdiri angkuh, seakan menjaga keelokan yang ada disana. Itulah Kayu Aro, nama daerah yang kemudian menjadi nama teh setempat. Teh “berkwalitet” nomor satu dunia, teh yang saban pagi dihidangkan untuk raja, ratu, pangeran dan putri kerajaan Belanda.


Sunday, January 10, 2010

Mengenal Nusa Tenggara


(Catatan : Artiel ini, adalah bagian dari tulisan tentang
Nusa Tenggara saya karang. Rizal Bustami)

Nusa Tenggara, Bagian Indonesia yang Berbeda

Nusa Tenggara di alam berbeda, manusian yang tak pernah dikuasai oleh penguasa mana pun pada zamannya. Alam telah membentuk watak manusianya menjadi manusia yang mandiri dan berdikari.

“Pulau-pulau itu dianugrahi pantai pasir putih, air laut transparan dan batu karang yang indah. Jika dilihat dari udara bagai pernik-pernik mutiara berserakan diatas karpet biru. Wilayah Nusa Tenggara nampak memancarkan cahaya dari empat warna yang amat kontras: biru (laut dalam), hijau (laut dangkal), putih (garis pantai) dan coklat (daratan).” Sebuah diskripsi yang bagus oleh buku East of Bali From Lombok to Timor, terbitan Periplus Edition tentang keelokan pulau – pulau di Nusa Tenggara ini.

Di sebelah timur Pulau Bali, pulau berbaris – baris. Barisan pertama mulai dari Pulau Lombok hingga Pulau Flores. Baris kedua berada di bawahnya, pulau berderet mulai dari Pulau Sumba sampai ke Pulau Timor. Gugusan pulau tersebut dinamai Kepulauan Nusa Tenggara. Nusa berarti pulau, Tenggara karena letaknya. Nama lain kepulauan tersebut adalah Sunda Kecil untuk membedakannya dengan Sunda Besar, pulau – pulau yang lebih besar seperti Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Para ahli geografi menyebutnya Lesses Sundas (Sunda Kecil) dan Greater Sundas (Sunda Besar).

Nusa Tenggara dibagi dua wilayah pemerintahan yaitu, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Barat meliputi Pulau Lombok di sebelah barat, dan Sumbawa di sebelah timur. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur cukup luas, mulai dari Pulau Komodo di sebelah barat, hingga ke Pulau Timor.

Berada di sebelah selatan khatulistiwa, pulau-pulau Sunda Kecil ini membentang sepanjang 1.300 km dari Pulau Lombok ke Timor, membentuk jaringan tengah di KM 5.600 Nusantara Indonesia. Menurut hitungan, ada 566 pulau di Nusa Tenggara, dimana 320 diantaranya merupakan pulau kecil yang - bahkan tidak punya nama. Dari 42 pulau yang dihuni, lima pulau yaitu Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor, tertera jelas di peta.

Dalam ilmu geologi, pulau-pulau itu terbilang muda, lahir pada akhir periode Tertiary sekitar 70 juta tahun lalu. Terdesak oleh arus magma bawah tanah, lempengan Australia-Samudera Hindia (yang dikenal sebagai Lempeng Sahul) merangsek kuat ke arah barat laut sehingga bertabrakan dengan Lempengan Eurasia (Sunda). Lempeng Sunda yang kurang padat akhirnya tergeser ke permukaan oleh Lempeng Sahul yang lebih berat. Tekanan kerak bumi ini kemudian memaksa Lempeng Sahul turun, dimana dia ditekan dan menjadi panas.

Kepulauan ini memiliki corak alam yang berbeda. Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan yang rimbun, ciri dari alam tropis yang lembab. Namun, jauh ke timur akan dijumpai musim kering yang panjang. Dan, sebagian Pulau Timor adalah daerah yang paling kering. Itulah kawasan Nusa Tenggara Timur.

Tidak ada yang menyadari, menginjakkan kaki di daratan Pulau Lombok, ternyata dirinya sudah berada di benua yang berbeda dengan pulau – pulau di sebelah barat pulau ini. Tidak ada persamaan flora dan fauna antara Lombok dengan Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Dan, semakin ke timur, semakin berbeda. Bahkan kawasan ini lebih menyerupai dengan apa yang terdapat di benua Australia.

Alfred Russel Wallace manusia pertama yang menyadari perbedaan tersebut ketika dia menjelajahi Nusantara kita ini selama 6 tahun (1854 – 1913). Wallace kemudian membuat batasan di Selat Lombok terus ke utara untuk memisahkan Pulau Kalimantan dengan Pulau Sulawesi. Pembagian tersebut kemudian terkenal dengan “Garis Wallace”.

Arcipelago (Nusantara) ini memiliki berbagai jenis kekayaan alam yang tidak ada di bagian dunia lain. Buah – buahan paling lezat dan rempah – rempah paling mahal berasal dari negeri ini. Selain itu ada bunga raksasa Rafflesia, kupu – kupu bersayap hijau Ornithoptera (raja di kalangan kupu –kupu), orang utan, dan cenderawasih. Arcipellago ini dihuni oleh ras manusia yang menarik dan istimewa, yaitu ras Melayu, yang tidak ditemukan di luar jajaran kepulauan ini.” Demikian Wallace, sorang naturalis Inggris yang telah menjelajahi dunia sampai ke Amazon, Brazil.

Selong merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 148 meter dari permukaan laut sementara Raba terendah dengan 13 meter dari permukaan laut.

Nusa Tenggara adalah bagian dari Indonesia yang paling kering. Dia terletak di ujung pengaruh musim barat laut dan tenggara yang membawa angin hujan (angin yang melahirkan hujan) ke pantai-pantai sebelah selatan. Namun, bagian dalam pulau-pulau besar merupakan daerah pegunungan yang menyebabkan udara lembab dipaksa berhembus ke atas, menjadi dingin dan menghasilkan hujan. Dengan demikian, daerah-daerah ini menjadi bagian paling basah di pulau-pulau tersebut. Musim hujan tidak berlangsung lama.

Dalam situasi menghadapi musim selatan, bulan-bulan paling penghujan adalah Mei hingga Juli, tatkala angin tenggara yang bertiup kuat dari Australia menjemput udara lembab diatas Laut Timor. Selama periode itu, pantai-pantai sebelah utara – karena terhalang oleh gunung-gunung yang ada di tengah - relatif kering. Dari Desember hingga Maret, selama musim barat laut, angin dari Laut Jawa membawa udara lembab keseluruh lereng gunung yang menghadap ke utara, khususnya di Pulau Lombok, Sumbawa dan Flores. Daerah yang paling kering adalah di lereng dan garis pantai sebelah tenggara.

Temperatur maksimum berkisar antara 30,9° – 32,1° C, dan temperatur minimum berkisar antara 20,6° - 24,5°C. Temperatur tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah pada bulan November. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 %.

Pulau-pulau di sebelah selatan, memiliki bentangan pantai berkarang yang panjang saling bersinggungan dengan pantai-pantai tipis. Pantai-pantai tersebut dilindungi oleh dinding batu karang pantai dan lepas pantai.

“Di bawah air pemandangan berubah, dan batu karang Nusa Tenggara adalah salah satu ekosistem terkaya di dunia. Tak ada tempat di bumi ini yang memiliki jumlah atau keanekaragaman species air (aquatic) yang begitu besar. Satu-satunya batu karang yang luas di wilayah ini bisa berisikan hampir 1.000 species ikan, lebih dari yang bisa ditemukan di semua teluk, sungai, danau dan air yang mengalir di Eropa,” tulis buku East of Bali From Lombok to Timor.

Manusia pertama kali mencapai Nusa Tenggara berasal dari barat. Mereka dipastikan dari Daratan Asia. Mereka datang melalui Pulau Jawa dan Bali lalu ke Lombok.

Manusia pertama berada di Jawa sekitar satu juta tahun lalu. Ini diketahui dari sebuah penemuan di Sangiran dan Trinil di Jawa Tengah. Namun, Lombok terletak di sebelah timur Garis Wallace dan mungkin tidak pernah dihubungkan oleh tanah kering ke Bali dan sebagian daratan Sunda, termasuk Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Manusia-manusia pertama itu mungkin telah berjalan dari Daratan Asia ke Bali tanpa mendapati kakinya basah (tidak menyeberangi laut karena Pulau Bali, Jawa, Sumatera dan bahkan Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia, belum dipisahkan oleh laut). Namun, tak ada bukti nyata bahwa mereka sebenarnya telah menyeberangi Selat Lombok selebar 40 km ke Nusa Tenggara sampai waktu antara 30.000 dan 50.000 tahun lalu, usia jejak manusia yang paling dini yang diketemukan di Sulawesi, Australia dan (Papua) Nugini.

Sebenarnya, sangat mungkin bahwa Australia negeri pertama yang dihuni para migran dari Timor. Baru-baru ini ada klaim bahwa alat terbuat dari batu, mungkin berusia 100.000 tahun, ditemukan di Flores. Alat itu ada hubungannya dengan tulang sebuah mahluk seperti gajah (Stegodon trigonocephalus) yang telah punah.

Bahasa Sasak Lombok dan bahasa setengah bagian selatan Pulau Sumbawa benar-benar bahasa yang hampir menyamai bahasa tetangganya di sebelah barat – Bali dan Jawa. Namun, bahasa yang dipakai di Bima berbeda. Dia membentuk bagian kelompok bahasa yang memasukkan bahasa Sumba, Sawu, Ndao dan Flores bagian barat. Di bagian timur Nasa Tenggara – Flores timur, Timor dan Roti – bahasa yang dipakai lebih dekat ke bahasa Maluku. Untuk perdagangan dan komunikasi, bahasa Melayu, selama berabad-abad lamanya, adalah bahasa campuran yang dipakai sebagai bahasa pengantar. Dan sekarang, tentu saja, Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Sejalan dengan era Indonesia modern, dialek daerah Melayu masih dipakai di kota tua Kupang dan Larantuka.

Nusa Tenggara merupakan bentuk nyata keragaman bangsa Indonesia, mulai dari karakter manusia, adat istiadat, bahasa sampai alam dan iklim.

“Dua provinsi di Nusa Tenggara – Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur – mencerminkan motto Bangsa Indonesia: Bhineka Tunggal Ika, atau Bersatu dalam Keanekaragaman,” tulis buku East of Bali From Lombok to Timor.

Nusa Tenggara terkesampingkan dalam perjalanan sejarah besar Indonesia, padahal kawasan ini memiliki perjalanan sejarah yang hebat dan mandiri. Inilah kawasan di Indonesia yang benar – benar tidak dikuasai secara obsolut oleh kekuasaan lain. Tidak pernah ada kerajaan besar yang berkiblat ke India (Indianized) yang berkembang di sini, seperti Sriwijaya, yang berbasis di Palembang, Sumatera (abad ke 8 –13), atau Majapahit di Jawa Timur (abad ke 14 –15).

Berbagai kekuatan luar, seperti Majapahit di Jawa dan Kesultanan Goa di Sulawesi mengklaim kedaulatan atas semua atau sebagian Nusa Tenggara. Namun, klaim ini sebenarnya tidak lebih dari sebagai pengecohan imperial (imperial bluster). Sepanjang tidak ada otoritas pusat yang kuat atas sesuatu pulau, maka klaim atas penaklukkan oleh pasukan asing terhadap pulau tersebut sulit dipercaya.

Bahkan di abad ke 17, tatkala Portugis dan Belanda membawa pasukan pendudukannya untuk bertahan di pulau-pulau itu, orang-orang Eropa itu merasa tidak mungkin memerintah secara absolut, dan sebaliknya mereka berusaha menjamin bahwa kontrol politik dihapuskan dan mereka cukup melanjutkan perdagangan. Dengan berakhirnya masa pendudukannya, otonomi lokal secara luas dilindungi.

Bagi para penjajah, daya tarik terbesar terhadap wilayah itu adalah kayu gaharu (sandalwood) putih yang sangat berharga di Pulau Timor, yang selama berabad-abad telah mengundang para pedagang masuk. Timor tidak pernah sepenting pulau-pulau penghasil cengkeh dan rempah-rempah seperti Ternate, Tidore, Ambon dan Pulau-pulau Banda, namun sandalwood putih banyak dicari.

Di Mesir pada awal 1,700 SM, kayu gaharu dibutuhkan karena manfaatnya sebagai salep dan parfum. Bahkan, sampai hari ini, sari pati kayu gaharu penting sebagai pencampur wangi-wangian, khusunya wangi-wangian yang cepat hilang seperti bunga melati. Orang-orang Brahma di India menggunakan bedak kayu ini untuk mencampur bahan cat dipakai sebagai tanda gambar kasta.

Tak jelas berapa lama perdagangan sandalwood Timor tersebut berlangsung. Mungkin hingga abad ke 14 atau bahkan 12, meski kemungkinan berlangsung beberapa ratus tahun lamanya. Para pedagang menukarkan porselin, manik-manik, sutera, kaca dan alat-alat terbuat dari besi dengan kayu sandalwood yang harum itu.

Secara mutlak kayu sandalwood diperlukan untuk berbagai acara ritual, khususnya pada saat pemakaman, dimana kayu tersebut dibakar untuk memberi harum udara. Kayu yang relatif lunak, berbiji bagus itu juga merupakan bahan yang paling bagus baik untuk ukiran.

Jaman eksplorasi diabadikan untuk menciptakan lebih jauh pembagian dan kesetiaan di Nusa Tenggara, tatkala para pedagang regional bersaing ketat dengan orang-orang Eropa untuk membeli kayu sandalwood Timor. Perdagangan itu sendiri digagas oleh pedagang dari Jawa dan Malaka, kemudian diikuti pedagang Tiongkok serta dari mana saja. Orang-orang tersebut berhubungan langsung dengan para penguasa Timor, yang mengawasi penebangan kayu sandalwood di bagian dalam daerah kekuasaannya.

Tatkala kapal Ferdinand Magellan, Victoria mendarat di pantai utara Pulau Timor pada tahun 1522 – tanpa Magellan, yang meninggal setahun sebelumnya – orang-orang Eropa itu menemukan sebuah barang dagangan (sandalwood) dari Luzon, Filipina. Kemudian di tahun 1566, ketika orang-orang Portugis membangun sebuah benteng di Pulau Solor, di sebelah timur Flores, dalam usahanya mengusai perdagangan kayu sandalwood, mereka harus berperang dengan para penyerbu Muslim dari Jawa dan Makassar.

Perjuangan untuk sandalwood berlanjut selama berabad-abad. Para pedagang mestizo berbahasa Portugis yang menarik diri ke benteng di Pulau Solor, membentuk sebuah populasi terpisah yang disebutnya sebagai orang-orang Topas atau “Portugis Hitam”. Ketika VOC Belanda mencapai daerah tersebut di tahun 1613, mereka memaksa orang-orang Topas keluar dari bentengnya di Solor ke Larantuka di timur Flores.

Namun, hingga masa pengusirannya, orang Topas berusaha membangun tempat hunian di Lifao di Pulau Timor, yang kini dikenal Ambeno (dulu Oecussi) di pantai sebelah barat laut pulau itu. Dari sana mereka mulai menggunakan pengaruhnya - yang semakin berkembang di daerah-daerah pertumbuhan kayu sandalwood di Timor tengah.

Pada tahun 1642, seorang fidalgo Portugis memimpin sebuah pasukan kecil bersenjata untuk menaklukkan dua kerajaan Timor, dan karena itu mereka mengklaim telah menguasai seluruh pulau itu. Untuk meng-counter pengaruh orang-orang Portugis, pada tahun 1653 Belanda membangun benteng di Kupang agar memperoleh suatu pijakan di Pulau Timor. Dan seratus tahun kemudian mereka membantah klaim orang-orang Portugis dan orang-orang Topas independen yang menyatakan telah menguasai pulau itu.

Untuk memperkuat posisinya, Belanda menciptakan suatu jaringan aliansi dan kontrak dagang dengan para penguasa asli. Penduduk Muslim menentang Portugis Katholik di Pulau Solor, penguasa asli di ujung sebelah barat Pulau Timor dan di Pulau Roti, Pulau Sawu serta pantai utara Pulau Sumba. Kontrak-kontrak serupa memperluas aliansi Belanda ke Makassar di utara dan ke Bima di barat.

Pada saat ini, Sultan Bima secara dekat beraliansi dengan keluarga kerajaan Makassar dan mengklaim kedaulatan atas Pulau Flores sebelah barat dan sebagian besar Pulau Sumba. Setiap tahun kapal-kapal VOC berlayar dari Batavia (kini Jakarta) ke Kupang, berhenti di Bima, dimana dia memiliki sebuah “pabrik” dagang untuk mensuplai dan memperkuat daerah hunian yang sering terkepung.

Perlawanan Raja Mataram yang heroik menantang ekspedisi Belanda di Lombok tidak pernah disebut-sebut, sebagaimana Brigadir Malaby tewas di Surabaya atau perlawanan orang Aceh terhadap Belanda. Adalah PPH Van Ham, seorang wakil komandan ekspedisi yang dipimpin Jenderal JA Vetter dengan pangkat Mayor Jenderal. Ekspedisi Belanda tiba di pelabuhan Ampenan pada tanggal 5 Juli 1894. Raja Mataram menolak kehadiran ekspedisi Belanda tersebut, maka terjadi pertempuran yang mengakibatkan tewasnya Mayor Jenderal Van Ham. Jenazah Van Ham dimakamkan dekat pemakaman umat Hindu di Karang Jangkong, sekitar 1 km dari kota Mataram.

Nusa Tenggara di alam berbeda, manusian yang tak pernah dikuasai oleh penguasa mana pun pada zamannya. Alam telah membentuk watak manusianya menjadi manusia yang mandiri dan berdikari.

Para pelancong ke bagian dunia ini, yang ingin menyaksikan acara seremonial kehidupan yang kaya di pulau-pulau ini harus datang selama periode “hidup”, yang umumnya mulai Februari hingga Oktober. Dari November sampai Januari ada beberapa upacara, namun musim hujan pada periode tersebut bisa menghambat perjalanan. Diperlukan waktu yang cukup untuk bisa menghargai kehidupan di pulau-pulau ini.












Thursday, June 25, 2009

Manusia Tambora yang Hilang


Mereka Dikubur Letusan Gunung

Hujan abu selama dua hari tiga malam disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul lagi hujan pasir dan emboh laut (gelombang pasang,pen). Sebabnya disangka akibat tindakan jahat Sultan Tambora Abdul Gafur. Kerajaan Pekat dan Tambora binasa. Malapetaka itu berakhir berkat orang bersembahyang, tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong. Banyak orang mati karena makan daun ubi beracun. Orang mati bergelatakan di jalan, tidak dikubur, tidak disembahyangkan, mayatnya menjadi mangsa burung, babi, dan anjing. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduk habis mati kelaparan: pedagang itu datang dari pulau – pulau sekitar dan dari Maluku, bahkan orang Arab, Cina, dan Belanda. Mereka membawa beras, gula, susu, jagung, dan kacang kedelai yang ditukarnya dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang mas dan perak, sereh, gambir, dan budak.

Begitulah keadaannya ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815 dalam naskah Bo’Sangaji Kai, yang disunting oleh Chambert-Loir, dalam buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Para ilmuwan menemukan bukti peradaban yang hilang di Indonesia. Terletak di Tambora, Pulau Sumbawa, ketika daerah tersebut musnah terkubur oleh letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815. Sekitar 88.000 – 100. 000 orang menjadi korbannya. Letusan tersebut paling tidak, besarnya empat kali lipat kekuatan letusan Gunung Krakatau pada 1883.

Dipandu dengan radar darat, para peneliti dari Indonesia dan AS menggali saluran air tempat penduduk lokal menemukan keramik dan tulang belulang sebelumnya. Di sana, mereka menemukan puing-puing sebuah bangunan beratap, tembikar, perunggu, dan tulang belulang dari dua orang yang hangus terbakar. Seluruhnya ditemukan dalam satu lapis endapan yang seumur dengan terjadinya letusan.

Vulkanolog Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island yang memimpin ekspedisi tersebut memperkirakan, sekitar 10 ribu orang yang tinggal di daearah tersebut tewas akibat gunung meletus. Peristiwa tersebut disamakan dengan letusan pada zaman Romawi Kuno yang mengubur penduduk Kota Pompeii. Jumlah korban total diperkirakan sebanyak 117.000 orang yang disusul oleh wabah penyakit dan bencana kelaparan melanda daerah itu yang merupakan dampak dari letusan gunung.

Tahun 1816 dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas" karena suhu bumi menjadi dingin menyusul letusan gunung karena debu vulkanik dalam jumlah besar naik ke atmosfir.
Sisa-sisa dari sebuah rumah dengan dua orang penghuni yang terkubur abu gunung berapi ditemukan untuk pertama kalinya dan penemuan ini dijuluki sebagai "Pompeii di Timur". Sebuah penamaan yang tidak tepat, sebetulnya.

Para ilmuwan mengatakan, mereka menemukan beberapa cawan perunggu, periuk keramik dan sejumlah artefak lainnya. "Ada potensi temuan di Tambora ini adalah semacam kota Pompeii di Timur, dan ini bisa jadi adalah temuan penting," kata Profesor Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, yang telah melakukan penelitian di daerah itu selama 20 tahun.

Desa yang hilang ini ditemukan oleh Sigurdsson dan para peneliti dari Universitas North Carolina serta Direktoran Vulkanologi Indonesia selama melakukan penggalian enam minggu pada musim panas 2004.

Penggalian dilakukan dengan menggunakan bantuan radar sehingga rumah yang terkubur dibawah debu setebal 3 meter berhasil ditemukan. Benda-benda yang ditemukan sampai sejauh ini, terutama benda yang terbuat dari perunggu, mengisyaratkan penduduk di kawasan Tambora makmur dan menjalin hubungan niaga dengan Vietnam dan Kamboja. (Rizal Bustami / dari berbagai sumber)

Saturday, June 13, 2009

Gunung Tambora



Letusan Gunung Tambora (1815),Bencana Bagi Dunia

Letusan Gunung Tambora, yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Bima itu termasuk salah satu dari 100 bencana terbesar sepanjang masa. Bayangkan saja, letusan yang terjadi 11 April 1815, terasa hingga dua Musim Semi hingga tahun 1817. Bencana tersebut menelan korban 150.000 orang meninggal.

Letusan tersebut sebenarnya, gejala alam saja. Namun, bagi masyarakat setempat ceritanya lain lagi. Bagi masyarakat, letusan Gunung Tambora merupakan kemarahan Tuhan atas perilaku manusia.
Dari puncak gunung setinggi 3.960 m itu, muncul tiga gumpalan api yang terpisah memuncak hingga tinggi sekali. Seluruh puncak gunung segera diselimuti lava pijar. Sebarannya meluas hingga ke jarak yang sangat jauh. Pecahan-pecahan yang tersebar di udara telah mengakibatkan kegelapan total. Abu yang disebarkan sampai ke Pulau Jawa yang jaraknya 310 mil (500 km). Abu menutupi tanah dan asap dengan lapisan setebal beberapa sentimeter, begitu Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa, dikutip Stephen J.Spignesi dalam bukunya yang diterjemahkan Bonifasius Sindyarta, S.Psi, berjudul 100 Bencana Terbesar Sepanjang Masa.

Thursday, February 19, 2009

Tuesday, January 13, 2009

Bunga Raflesia

Raflesia Tumbuhan yang Canggih

Raflesia itu tumbuhan yang manja. Terusik sedikit saja, ia langsung
ngambak. Gede adat, kata orang Betawi. Begitu terusik, ia serta merta menjadi layu, bahkan sampai tak mau lagi tumbuh. Ia memerlukan lingkungan yang khas untuk berkembang. Kerja keras harus dilakukan untuk menyelamatkannya dari proses pemusnahan yang saat ini tengah terjadi.

Abangya Rafika Burhan pernah mencoba menanam Raflesia. Namun, sepotong akar tersebut
tidak tumbuh. Ia coba menanam kembali, tetap saja tidak ada hasilnya. Sebelumnya, kata Rafika, di lahan milik ayahnya pernah muncul Raflesia. Anehnya, ketika daerah sekitar Reflesia dibersihkan, bunga yang sedang mekar cantik itu langsung saja layu. Dan, sejak itu tidak pernah tumbuh lagi. “Kayaknya, Raflesia itu tidak mau diutak-atik. Manja sekali dia,” kata Rafika seperti menyesali Raflesia tidak muncul lagi di lahannya.

Rafika pemilik warung di Taba Penanjung, Bengkulu Utara, suatu kawasan habibat Raflesia Arnoldy. Bila Raflesia muncul, banyak pengunjung datang. Habibat Raflesia tersebut berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Bengkulu dan Curug - lebih kurang 40 km dari ibukota Provinsi Bengkulu, mamng mudah dijangkau. Terakhir Raflesia muncul pada bulan haji tahun lalu. Kapan lagi bunga antik tersebut muncul, Rafika tidak bisa memastikannya karena katanya tergantung iklim.

Ia sangat menyayangka
n Raflesia tidak nyaman hidupnya. Banyak pengunjung yang merusak bunga tersebut dan mengacak-acak tempat mereka tumbuh. “Sampai ada yang mencincang-cincang,” kata Rafika.
Yang juga disesalkan o
leh Rafika adalah petugas Jagawana yang sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap kawasan Raflesia. Menurutnya, secara rutin kawasan tersebut perlu “dirazia”. Ia setuju habitat Raflesia ditetapkan sebagai daerah terlarang. “Selalu penduduk sekitar sini yang menemukan raflesia. Yang dapat nama petugas,” terang Rafika, yang juga mengatakan, bahwa bagi penduduk Raflesia bukan sesuatu barang aneh lagi.

Jangan Sakiti Dia
S. Nur Muin, 42 tahun, peneliti Raflesia dari Universitas Bengkulu, tertawa menanggapi apa yang dilakukan oleh abangnya Rafik
a itu. Sebab, apa yang ditanamnya, bukanlah Raflesia, melainkan inang, dimana Raflesia tumbuh.

Raflesia merupakan tumbuhan yang canggih. Sebab ia tumbuh tanpa memerlukan umbi dan akar dan tidak memiliki batang serta daun. Ia langsung menjadi bunga. Dalam pertumbuhannya, beberapa tahap ia dilalui. Lazimnya tanaman yang baru muncul didahului dengan kecambah. Lalu tumbuh batang, daun, ranting dan bunga. Kemudian terjadi penyerbukan oleh tanaman sejenis lainnya. Sedangkan pada Raflesia tidak demikian, ia langsung menjadi bunga tanpa penyerbukan. Ia tumbuh pada inang yang bernama latin tetratigma sp.


Kalau tidak dengan um
bi, akar, melalui apa ia tumbuh ? Raflesia tumbuh melalui biji - biji yang ia serbuki sendiri. Teori yang sudah-sudah mengatakan, Raflesia yang sudah membusuk, terinjak oleh binatang. Melalui telapak, kuku serbuk biji tersebut menyebar. Biji Raflesia sangat halus. Sampai-sampai tak terlihat dengan mata. Hanya melalui mikroskop khusus biji Raflesia baru tampak.

Muin meragukan teori yang mengatakan bahwa penyebaran Raflesia oleh binatang. Ia punya alasan. Sudah tiga Raflesia ia temukan tumbuh menggantung dengan ketinggian satu sampai dua meter dari tanah di inang yang menggelayut di pohon. Bagiamana bisa Raflesia tumbuh menggelantung ? Ini yang menjadi pertanyaan besar baginya. Mungkin saja biji Raflesia terbawa oleh angin, katanya mengingat demikian halusnya Raflesia.

Proses tumbuhnya Raflesia ditandai dengan membengkaknya inang. Tak ubahnya seperti bisul. Di bagian yang membengkak itu kemudian merekah dan memerah serta selanjutnya muncul kelopak. Lama-kelamaan bunga yang kuncup berkembang. Dan, akhirnya mekar seluruhnya. Proses “pembisulan” tadi sampai berkembang utuh memakan waktu
selama 8 bulan. Dua minggu lamanya berkembang, bunga akan layu dan akhirnya membusuk. Nah, begitu membusuk, belum tentu tahun berikutnya Raflesia muncul kembali di tempat yang sama. Dalam semusim biasanya bisa tumbuh sampai 8 bunga di tempat yang terpisah. Iklim menentukan pula baginya kapan ia akan muncul. Karena itu bulan-bulan kemunculannya tidak bisa diduga.

Raflesia tumbuhan yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Ia baru bisa tumbuh di kawasan yang memiliki kelembaban tinggi, terlindung matahari dan harus ada sungai serta tumbuh pada jenis tanah tertentu. Dedauan, semak dan humus merupakan lingkungan pendukungnya. Bila saja lingkungan sekitarnya dibersihkan, seperti semak dicabut, sampah-sampah disingkirkan, ia tidak akan tumbuh. Bahkan saat berbunga pun Raflesia langsung layu bila lingkungannya berubah sedikit saja. Bila saja bunga tersebut tergores apalagi terluka, ia langsung layu dan kemudian membusuk.

Dalam Proses Pemusnahan
Raflesia tumbuhan endemik. Pertamakali ditemukan di Bengkulu oleh Sir Thomas Rafles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi tahun 1818. Nama Rafles dan Arnoldy kemudian diberikan kepada bunga yang mereka temukan dengan diameter 100 cm itu.

Di Bengkulu terdapat beberapa habitat Raflesia seperti di Taba Pananjung, Pagar Gunung (Kapahiyang), Talang Ulu, Taba Rena dan Suban (Curug-Rajang Lebong), Dusun Lubuk Tapi dan Talang Tais (Bengkulu Utara). Namun belakangan, Raflesia ditemukan pula di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kecil kemungkinan ia bisa hidup ditempat lain. Melihat karakteristik Raflesia yang “manja”, potensi kehancurannya sangat besar. “Saat ini Raflesia dalam proses pemusnahan,” terang Muin.

Proses pemusnahan yang dimaksud oleh Muin karena berubahnya lingkungan dimana ia biasanya muncul. Raflesia memerlukan su
atu kawasan yang cukup luas dan harus memiliki syarat-syarat yang spesifik tadi. Kemudian, manusia termasuk ancaman besar pula bagi Raflesia.

Ancaman manus
ia terhadap Raflesia memang terasa. Ketika Raflesia ditemukan, maka orang berbondong-bondong menontonnya. Bila hanya menonton saja, tak apa. Tetapi bila disertai iseng, sampai melukai kelopak, ini jelas akan merusak dirinya apalagi mengacak-acak lingkungannya. “Maka sekarang, saya tidak lagi mau mengekspos bila menemukan habitat Raflesia,” kata Muin yang saat ini merahasiakan tiga habitat Raflesia.

Beberapa penduduk percaya Raflesia memiliki kasiat. Yang diyakini oleh penduduk, Raflesia bisa mengobati kelainan kelamin
kaum pria. Kelopak Reflesia dikeringkan, lalu dijadikan ramuan untuk diminum. “Saya pernah melihat tetangga mengobati kelamin anaknya dengan Raflesia. Sembuh memang,” terang Rafika. Sembuh karena Raflesia, walah uawalam.

Perambahan hutan, pembukaan hutan untuk kepentingan umum, merupakan proses pemusnahan Raflesia dalam janga pendek. Muin menceritakan, bagaimana suatu kawasan dibuka telah memusnahkan satu habibat Raflesia. Satu habitat Raflesia yang ditemukan olehnya, kemudian hancur karena di kawasan itu dibangun jalan dengan proyek berlabel AMD. Meskipun yang dibuka hanya selebar jalan, sudah cukup untuk menghancurkan suatu habitat.

Upaya – upaya penyelamatan Raflesia seperti besikerjar dengan waktu mengingat perkembangan kawasan yang pesat. Bersikejar dengan waktu sangat dirasakan oleh Muin. Ia seperti kehabisan daya ditengah penelitain yang dilakukannya. Bersama teman-teman dan dibantu oleh mahasiswanya, Muin tengah berusaha agar Raflesia bisa hidup di luar lingkungan aslinya. Untuk itu, perlu suatu penelitian yang lengkap dan tentunya dengan sejumlah percobaan-percobaan. Tim peniliti sudah cukup lengkap. Ada ahli kehutanan, ahli tanah, ahli ekologi dan sampai kemasyarakatan. Sosial ekonomi masyarakat tidak luput dari pengamatannya.

Sejauh ini, penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Muin sudah berhasil memindahkan inang. Inang tersebut hidup dengan baik. Tinggal kini percobaan membuat lingkungan yang persis sebagaimana habibat Raflesia. “Keberhasilan membiakkan inang Raflesia ini, sudah merupakan kemajuan besar bagi kami. Tinggal mencari cara memindahkan Raflesia,” terang Muin yang sudah melakukan penelitian Raflesia sejak tahun 1988.

Kadang kala ia harus melakukan perjalanan berjam-jam, berhari-hari, naik naik – turun, keluar masuk hutan hanya untuk menemukan Raflesia. Nara sumber utamanya adalah penduduk. Ketika penduduk melihat Raflesia muncul, langsung diberitahukannya kepada Muin. Lalu bersama timnya Muin mengungjungi tempat tersebut.

Ia sudah kehabisan napas. Dana penelitian yang didapatkannya sudah habis, sementara sejumlah percobaan-percobaan harus dilakukan. Penelitian dan percobaan harus berjalan. Ia sudah mencoba meminta bantuan ke sebuah LSM yang begerak soal lingkungan di Jakarta. Proposalnya ditolak karena penelitiannya terhadap Raflesia dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi. Padahal, sebelumnya, ia pernah berhasil mendapatkan dana peneltian dari sebuah lembaga swadaya masyarakat luar negeri. Namun, uang yang dapatkan itu dipakai sendiri oleh rekannya.

Percobaan – percobaan yang dilakukannya di bawah Pusat Pengembangan Sumber Daya Alam Universitas Bengkulu boleh dikatakan terhenti karena tidak ada lagi dana. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya menginvantarisir pertumbuhan raflesia. Rizal Bustami & Agus Blues / Foto : Muin dan Rizal Bustami

Friday, December 19, 2008

MASJID ANTIK

Masjid Jamik,

yang tak Rubuh karena Gempa

Masyarakat Sumatera Barat dikenal relegius. Surau dan masjid banyak didirikan di pelosok kampung dan kota. Masjid yang terdapat di Sumatera Barat umumnya berukuran besar.

Cantik dipandang dengan interior dan mimbarnya artistik. Suasana khusuk dan terkadang kesan magis diusahan agar peribadatan lebih merasuk.


Salah satu masjid tertua di Kabupaten Agam, Sumatera Barat adalah Masjid Sariak. Didirikan pertamaka kali tahun 1800-an. Semula bangunannya terbuat dari kayu kemudian diganti dengan tembok.


Meski masjid ini berlantai dua, namun tidak menggunakan kerangka besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang dicampur dengan pasir. Lantai dasar masjid dipergunakan untuk ibadah sehari-hari, seperti shalat lima waktu dan wirid-wirid pengajian. Lantai atasnya diperuntukkan pelaksanaan Shalat Jum'at. Dan, pada Shalat Hari Raya barulah kedua ruangan itu dipergunakan sekaligus agar bisa menampung banyak jemaah.


Pada komplek masjid terdapat satu buah surau atau langgar tempat belajar mengaji bagi anak-anak, satu buah rumah guru agama, satu buah rumah garin dan satu buah menara yang artistik pula. Sayangnya, masjid yang diperkaya khasanahnya dengan sebuah kolam yang cukup luas itu, tidak diketahui oleh masyarakat setempat tentang sejarah keberadaannya.


Darlis St. Rajo Mudo (67 tahun), salah seorang warga Negeri Sariak, hanya mengetahui bahwa masjid tersebut didirikan tahun 1901 dan lama pengerjaannya tiga tahun. Cerita pembangunan mesjid tersebut bukanlah diwarisi dari leluhurnya, melainkan dari salah seorang pekerja bangunan yang masih hidup. Pekerja tersebut secara kebetulan bertemu dengannya di sebuah tempat perburuan pada tahun 1984.


Bekas kuli bangunan masjid itu bernama Malin Sutan. Waktu bertemua dengan St. Rajo Mudo Malin Sutan ia telah berusia 117 tahun (1984). Dan yang dapat dituturkan oleh Malin Sutan hanyalah kapan masjid tersebut dibangun dan selesai. Yang jelas, kata penduduk setempat, masjid didirikan lantaran di kampungnya ada seorang ulama besar yang bernama Buya Angku Pasia. Buya Angku Pasia kebetulan guru sekolah agama pada salah satu pesantren di Kecamatan IV Angkat Candung (Tarbiyah Pasir).Tanah tempat mesjid kini berdiri pemberian Dt. Palindih yang ia wakafkan. Dt. Palindih masih bersaudara dengan ulama besar itu mendukung pula menyerahkan tanah kaumnya.


Seperempat abad setelah berdirinya masjid, tahun 1926 gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 6,5 S.L, yang terkenal dengan gempa Padang Panjang, menggoncangkan seluruh bangunan di sekitar Gunung Merapi.

Ajaibnya, bangunan masjid tersebut tidak mengalami apa – apa, kecuali menara masjid yang mirip dengan menara masjid Kudus roboh separohnya. Pada sisa bangunan menara, dibangun saja kuncup atap seperti sebelumnya. Sehingga tinggi menara tidak lagi setinggi pertama sekali dibuat. Kubah baru tanpa menggunakan pipa besi untuk penyangganya. Untuk perekat tembok masih mempergunakan kapur sirih. Masjid lama berarsitektur asli dengan bentuk atap punden berundak.


Masjid Jamik yang lebih dikenal dengan Masjid Taluak terletak di Nagari Taluak, Kecamatan Banuhampu Sungai Puar, Kabupaten Agam. Dari kota Bukittinggi hanya berjarak sekitar 10 km.


Bendungan yang disebut penduduk setempat dengan "pakok-an" dikerjakan secara bergotong-royong. Bahkan penduduk nagari tetangga berpartisipasi pula dalam pekerjaan besar tersebut. Batu-batu diangkut dari dalam jurang, dan tanah diuruk. Diatas bendungan itulah kini Masjid Jami Taluak berdiri.

Masjid Jamik Taluak dimanfaatkan oleh masyarakat dari tiga buah jorong (desa), begitu pula dalam pembagian jabatan kepengurusan masjid tersebut. Biasanya, yang menjadi Imam masjid adalah ulama dari Jorong Taluak Mudiak, Kadhi dari Taluak Ilia (tempat beradanya masjid), dan Khatib dari Tanjuang Alam-Jambu Air.


Dalam sejarahnya masyarakat ketiga jorong inilah yang membangun mesjid ini. Rizal Bustami / Foto : Agus Blues

Thursday, December 04, 2008

WANITA WANITA UTAMA ACEH

Dari Seorang Istri, Panglima Perang sampai Ratu
Di Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh, Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang pada nisannya bertuliskan Arab dan Jawa Kuno. Dituliskan di nisan itu, orang yang dimakamkan adalah Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan itu juga dapat diperoleh di kitab Negara Kartagama tulisan Prapanca. Disebutkan, Samudera Pasai merupakan daerah yang ditaklukkan oleh Hayam Wuruk, dengan Patihnya Gajah Mada. Buku Hikayat Raja raja Pasai juga menyebutkan tentang kekuasaan Majapahit terhadap Pasai. Setelah segala sesuatunya diatur di Pasai, laskar Majapahit kembali ke Jawa. Namun, sebelum kembali, pembesar-pembesar Majapahit mengangkat seorang Raja, yaitu Ratu Nur Ilah. Ratu Nur Ilah merupakan keturunan Sultan Malikuzzahir. Tidak banyak keterangan yang didapatkan oleh peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini.
Perempuan Aceh memang luar biasa. Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan, pekerjaan peperangan pun, yang biasanya seluruhnya dilakukan oleh kaum pria, diterjuninya pula. Mereka menjadi panglima, memimpin ribuan laskar di hutan dan di gunung-gunung. Bahkan ada laskar wanita yang disebut Inong Bale. Mereka ini para janda yang menuntut kematian suaminya. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Aceh pun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan rela pula menjadi anak buahnya. Diantaranya mereka yang amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nayk Dien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.
Beberapa preode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain Ratu Nur diatas, ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi ullebalang (penguasa lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar Rusia.
Dalam konteks sebuah ide, sebuah perjuangan, sebuah cita-cita, emansipasi di Aceh ketika itu tidak pernah ada dalam agenda perjuangan perempuan. Perjuangan mereka adalah bagaimana melepaskan belunggu penjajahan dan mengusir para pendatang yang hendak menguasai negerianya. Ketika para perempuan Aceh menjadi ratu dan menjadi panglima perang, Aceh adalah sebuah negara berdaulat. Emansipasi baru menjadi sebuah agenda kaum perempuan dan dibicarakan di Pulau Jawa setelah tersentak oleh pemberontakan yang dilakukan oleh R.A. Kartini.

Ratu Nahrasiyah

Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Ker
ajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya - yang memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan - dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”. Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudea. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.

Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)

Bersyukur bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama senior yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Teungku Abdurrauf dari Singkel. Ia menyarankan pemisahan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang mas dan menerapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan mengeluarkan mata uang). Selain itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balairungsari (institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiauddin Syah tetap dihormati dengan mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.

Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi
yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan - menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang mas. Masa pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya Baiturrachman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.

Ratu Inayat Zakiatuddin Syah

Naqiatuddin
Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.

Ratu Kamalat Zainatuddin Syah

Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang mas.

Laksamana Malahayati
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam meliter dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita.
Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan dari Portugis, Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda - sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh. Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.

Cut Nyak Dien

Nama Cuk Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa s
aja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.
Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda - termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar. Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri. “... selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan ...” bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi kecuali semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cur Nyak Dien dari penderitaan. “Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.

Cut Meutia
Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona. Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi. Untuk memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memanguku uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang. Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan sang adik berpihak kepada kemerdekaan.
Antara Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905, Teuke Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang Naggore.
Pang Naggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja Sabi.

Pocut Baren

Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910. Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan.
Ia telah mempersiapkan dirinya - bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi. Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya - yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.

Pocut Meurah Intan

Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan.
Pocut Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan. Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun, Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
Rizal Bustami,
disadur dari buku Wanita Utama Nusantara

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023