Friday, June 19, 2015

Susur Sungai Cikundul




Sungai Cikundul, Taman Nasional Gede Pangrango...


Gunung Gede Pangarango, Taman Nasional Gede Pangrangro, tidak saja sebagai lahan mendaki gunung, ternyata banyak yang ditawarkan olehnya. Diantaranya adalah melihat pemandangan langka, dan tanaman langka. Ada pula berbagai jenis binatang, burung, oa, macan tutul, tikus, berbagai jenis tumbuhan dan sebagainya. Meski tidak menampakkan dirinya, binatang-binatang tersebut bisa kita dengarkan suaranya.

 Hal-hal unik koleksi Taman Nasioanal Gunung Gede Pangrango, umumnya tersembunyi, dan menyembunyikan dirinya dari keriuhan para pendaki gunung yang menuju ke Gunung Gede atau ke Gunung Pangrango atau ke Air Terjun Cibereum.
Pengunjung baru akan menemukan segala keunikan, dan kecantikan itu, hanya bisa dilihat di sepanjang jaur pendakian Geger Bentang - Mandalawangi Pangrango. Di jalur yang panjang dan berat ini, akan ditemui berbagai variasi track.

Setelah menikmati  jalur khusus tersebut, disebut khusus karena tidak dibuka untuk pendakian umum, saya dan kawan-kawan mejajaki menyusuri Sungai Cikundul dari hulu sampai di Cibodas.
Jalur air ini, bisa dilihat di rekam jejak GPS yang kami bawa.

Begitu menceburkan kaki di Sungai Cikundul yang awanya hanya selebar 3 meter, terasa amat dingin. Airnya dingin dan jernih karena berhulu di Gunung Pangrango. Serta merta saya meneguk air tersebut.

Bongkahan batu berlumut, tidak pernah terinjak olah kaki manusia, manjadi tantangan pertama. Saya beru pertama kali ini menjajakinya. Sebelumnya, Juned, Masan, Krisna, Ferdy, sudah menelusurinya, namun ketika itu belum didokumentasi dengan GPS dan foto.

Makin ke bawah, bebatuan makin besar menghalangi sungai. Sungai cikundul mendapat pasokan debit air dari dua sungai, salah satunya dari air terjun Cibereum.

Pinggir-pinggir sungai, adakalnya landai, dan lebih banyak tebing tinggi yang memagarinya. Terdapat pula beberapa jeram kecil.  Jeram paling dalam, sekita empat meter.
Sungai Cikundul juga memiliki dua air terjun di sisi timur.

Sebagai orientasi, Sungai Cikundul berada di sisi barat jalur pendakian Cibodas - Kandang Badak. Di sebelah barat sungai tersebut, terdapat punggungan Geger Bentang - Pangrango.

Menyusuri Sungai Cikundul sepanjang 6 km, selama 5 jam non stop. Perjalanan dimulai dari ketinggian 1848 dpl, dari jalur Geger Bentang-Pangrango, ke sungai di ketinggian 1699 dpl.
Ternyata, sungai - yang tak disangka-sangka tersebut, memberikan kesan yang mencekam ketika berada di dua tebing tinggi, seakan-akan terjepit oleh bumi.

Tapi, bagi petualang muda, hal-hal macam itulah yang dicari.

Saran saya bagi peminat susuri sungai ini, tidak melakukannya sendiri. Ajaklah  orang yang sudah berpengetahuan tentang Sungai Cikundul.

Lakukan penjelajahan pada cuaca musim kemarau. Memasuki kawasan pada pagi hari. Membawa perlengkapan yang ringan. Memakai sepatu air minimal memakai ket  ket atau sendal gunung. Sering-sering meminum air hangat.

Silahkan mencoba....








Monday, March 23, 2015

Duka untuk Lee Kuan Yew

Turut berduka untuk berpulangnya Lee Kuan Yew
ASEAN kehilangan seorang sesepuhnya, founding father Singapore dan ASEAN. 
Anda, akan selalu dikenang di kawasan kepulauan ini.

Thursday, March 19, 2015

Doa untuk Lee Kuan Yew

Doa kami untuk kesembuhan Lee Kuan Yew sebagai sesepuh Asean. 
Semoga kesehatan beliau dipulihkan... Amein...!



Foto diambil dari : http://www.straitstimes.com/

Saturday, January 31, 2015

Petualangan Devi Asmadiredja

Devi Asmadiredja tinggalkan Jerman demi gubuk di Chechnya

BBC,27 Januari 2015


Devi Asmadiredja awalnya menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga di Jerman, tapi kemudian sang suami yang keturunan Chechnya menyuruhnya berkemas dan meninggalkan negara itu.

Asmadiredja yang berdarah Indonesia, akhirnya tinggal di sebuah pondok terpencil di kawasan pegunungan antara Chechnya dan lembah Georgia Pankisi, setelah menempuh perjalanan sejauh 3.000 km (2.000 mil).



Para wisatawan yang pernah mengunjungi lembah ini, mengenalnya sebagai tempat penyelundupan narkotika dan senjata, serta tempat tinggal salah satu pemimpin Negara Islam (ISIS), Abu Omar al-Shishani.

Namun bagi Devi Asmadiredja, wilayah terpencil bagian dari pegunungan Kaukasus ini adalah tempatnya mengungsi.

Empat tahun yang lalu, dia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di Jerman. Tetapi pada awal 2011 secara tiba-tiba suaminya mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintainya dan menyuruhnya untuk meninggalkan rumah.

Suami memintanya pergi ke Pankisi untuk belajar bahasa Chechnya, bahasa leluhurnya.
"Ia tahu bahwa saya bisa belajar bahasa dengan cepat dan ia pikir saya akan kembali dan mengajarkannya,"katanya.

"Saya belum pernah bepergian sebelumnya," ujarnya setelah suaminya membelikan tiket pesawat dan memberinya uang untuk makan.

Ia mengatakan bahwa hal itu menarik dan kesempatan untuk melarikan diri dari suaminya. Namun meninggalkan tiga anaknya yang berusia lima, delapan dan 12 tahun adalah keputusan terberat.
"Itu sangat sulit. Saya tidak bisa tidur setiap malam tanpa mereka,"katanya. Tapi ia tak punya pilihan lain.

Tidak kenal seorang pun
Asmadiredja tiba di Tbilisi, ibu kota Georgia dengan menaiki serangkaian kendaraan minibus atau marshrutki menuju ke desa Duisi, desa pertama yang ia lalui sebelum lima desa lainnya.

Ia mengatakan bahwa ia tidak mengenal seorang pun di sana, hingga ia bertemu dengan warga dan menanyakan apakah ada orang yang bisa mengajarinya bahasa Chechnya.

Dalam waktu 20 menit, ia berhasil mendapatkan pelajaran dan akomodasi gratis berkat pertolongan warga setempat.

Ia mempelajari bahasa itu dengan cepat dan masyarakat setempat memberinya nama Khedi yang berasal dari Khedijat [Khadijah], nama istri Muhammad.

Tapi tak jarang kehadirannya mengundang rasa curiga, baik sebagai orang asing maupun wanita yang bepergian sendiri. "Mereka pikir saya mata-mata Russia," katanya.

Ia memang terlihat berbeda dengan wanita lain di kawasan itu karena penampilannya yang tanpa kerudung dan memiliki tujuh tato, termasuk sebuah belati tradisional Indonesia di kaki kirinya dan belati Kaukasia di kanan.

Namun, karena mendapat tekanan  dari salah satu imam mesjid Wahhabi, tuan rumah tempatnya menumpang mengatakan ia harus pergi dan pindah dengan keluarga Kist lainnya, yang sekarang ia sebut sebagai "ibu saya" dan "adik saya".

Keluarga Kists, adalah keturunan Georgia Chechnya yang pindah ke lembah itu pada abad ke-19.

Setelah tinggal selama 18 bulan di desa itu, suaminya menelepon dari Jerman dan mengatakan padanya bahwa ia telah menemukan cinta yang lain, jadi Asmadiredja tidak perlu lagi pulang.

Usai menerima kabar yang mengejutkan itu, ia pindah ke pegunungan dan tinggal di di sebuah gubuk penggembala sapi - bangunan sederhana dari batu tanpa alat pemanas, listrik, ataupun air.

Namun ia memiliki telepon genggam dan baterai bertenaga matahari.

Dua bulan lamanya Asmadiredja bertahan hidup hanya dengan pemberian makanan dari para penggembala yang melintas dan minum air yang mengalir dari pegunungan.

Jatuh cinta

Meskipun ia hidup dalam lingkungan yang keras, namun kesendirian dan kehidupan di pegunungan membawa berkah baginya.

"Saya jatuh cinta dengan pegunungan,"ujarnya. "Saya belum pernah melihat pegunungan seperti ini sebelumnya, orang-orang dan cahaya di gunung yang luar biasa."

Ia mengatakan, ia hanya makan sedikit dan menghangatkan diri dengan berjalan kaki ke sejumlah desa terpencil lainnya seperti Khevsureti, Tusheti, and Georgia.

Ia mengaku tidak memiliki uang sehingga pilihan satu satunya adalah berjalan kaki.
Asmadiredja yang awalnya hanya menguasai bahasa Chechnya, kini mampu berbicara dalam bahasa Georgia setelah diajari oleh para penggembala asal Tush dan Khevsur.

Dia menghafal labirin, jalur dari Pankisi ke pegunungan, setelah dia terluka di pergelangan kakinya dan tersesat, tanpa makanan dan hanya minum air dari sungai selama 12 hari sebelum ada orang yang lewat menemukannya. "Aku sangat dekat dengan kematian saat itu," tuturnya.

Tantangan lainnya datang dari masyarakat setempat, beberapa penggembala mengejarnya dengan agresif karena mereka sudah lama tidak melihat perempuan. Perempuan yang hidup sendiri seperti Asmadiredja, sangat menarik bagi mereka.

Ia biasanya mampu mengusir para pengganggu hanya dengan kata-kata atau mengibaskan sepotong kayu, tapi kadang ia harus melawan untuk menghadapi para penggembala yang sangat agresif. Setelah tinggal lama di pegunungan, Asmadiredja pun memutuskan kembali ke desa.

Mendapat pekerjaan
Sebuah agen perjalanan Jerman menawarinya pekerjaan sebagai pemandu bagi para pendaki melalui Kaukasus dengan gaji $100 per hari, di sana terdapat sarana pariwisata kecil dan ada penduduk yang berbicara bahasa Inggris atau Jerman.

"Saya sampai harus membuka rekening bank," katanya sembari tertawa.

Teman lainnya memberinya kamera bekas setelah mendengar ketertarikannya di bidang fotografi dan ia mulai memamerkan foto-foto tentang Pankisi di sejumlah galeri di Tbilisi. "Saya bukan penyusup, orang-orang di sini kenal saya,"katanya.

Awal tahun depan, untuk pertama kalinya Asmadiredja akan menunjukkan hasil karyanya di ajang internasional, di Kedutaan Besar Georgia di Jakarta.

Tapi kepulangannya ke desa terasa menyesakkan. "Saya bukan orang Chechnya, Kist, bahkan Georgia. Saya lahir di Jerman Timur. Saya butuh kebebasan. Saya seorang wanita mandiri, yang tidak memerlukan ijin untuk pergi ke mana pun. Dalam tradisi Kist Anda harus mengikuti orang tua Anda. Saya butuh waktu untuk sendiri, [di tempat] di mana seorang pun tahu. "

Pada bulan Maret tahun lalu, temannya bercerita tentang gua kecil yang tersembunyi di selatan provinsi Samtskhe-Javakheti Georgia. Ia langsung bertolak ke sana, hanya berbekal kompor berkemah, kantong tidur, dan serta buah-buahan dan kacang-kacangan.

Namun kedatangan dua orang penggembala sapi setempat mengubah hidupnya, mereka memaksanya untuk kembali ke rumah namun ia menolak.

Saya pikir 'Mengapa mereka tidak meninggalkan saya sendiri?" "Mereka bertanya apakah ia menyukai khinkali - daging tradisional Georgia. "Mereka meninggalkan saya dan setengah jam kemudian mereka kembali dengan membawa khinkali dan anggur."

Salah seorang penggembala Georgia, bernama Dato, mengunjunginya setiap hari dan meminta nomor teleponnya. Dari sana, terjalinlah sebuah hubungan.


Mereka berencana untuk menikah akhir tahun ini. Namun upacara itu tidak dilaksanakan secara hukum karena status Asmadiredja masih menikah dengan suami Chechnya yang berada di Jerman. Tapi keluarga angkatnya telah merencanakan pesta tradisional Pankisi. "Saya tidak pernah berpikir saya akan memiliki cinta seperti itu," katanya.

Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal dengannya di berbagai gua dan pondok, jarak yang memisahkan antara rumah di Pankisi dan pegunungan cukup jauh, jadi ia mendorong suaminya untuk belajar mengemudi, sehingga ia bisa bekerja bersamanya untuk memandu wisatawan.


'Rumah saya di gunung'
Bahkan hingga kini, Asmadiredja, 45, menyadari betapa banyak yang ia telah tinggalkan. Dua anaknya, masing-masing berusia sembilan dan 12, yang awalnya tinggal bersama suaminya, kini dirawat di panti asuhan. Dengan pasangan yang berbeda, ia juga memiliki seorang anak yang berusia remaja, seorang anak perempuan yang tinggal dengan ayahnya.

Asmadiredja mengirim surat kepada anak-anaknya secara rutin, tetapi mereka tidak membalas. Ia sempat tergoda untuk kembali ke Jerman dan menuntut hak asuh atas anak-anaknya, tetapi ia tidak mendapat jaminan bahwa ia akan berhasil.

"Saya punya kehidupan di sini," kata dia. "Kehidupan ini telah menyerap banyak energi saya. Untuk kembali ke Jerman... mungkin saya akan mendapatkan anak-anak saya lagi, mungkin tidak, tapi bahkan jika saya mendapatkan mereka, [mungkin hanya untuk] beberapa tahun saja, dan untuk itu, saya harus melepaskan semua? Saya tidak bisa. Mungkin saya egois, tapi saya sudah membangun hidup saya di sini. Nama saya dikenal sebagai pemandu, fotografer. Kenapa saya harus melepaskan itu semua demi hidup dengan jaminan di sana?"

Pegunungan itu, kata dia, adalah rumahnya yang asli. "Di gunung saya bebas."


Sumber Foto : BBC dan Devi Facebook. Peta : GoogleMaps

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023