Saturday, September 26, 2009

Mengayuh Sepeda ke Koto Gadang

Nagari yang Banyak Melahirkan Anak Bangsa

Jahya Datoek Kajo, seorang Laras Kota Gadang tahun 1894 – 1912. Laras yang kharismatik itu, memiliki pandangan tajam dan mendalam. Dia meramalkan, hanya melalui pendidikanlah kehidupan baru dapat didatangkan ke Koto Gadang. Sejak itulah semangat menuntut ilmu di Koto Gadang disemai.
Laras ini, (setingkat Camat), mendorong setiap anak lelaki dan perempuan pergi ke sekolah. Pada tahun 1900, didirikan satu sekolah. Semua muridnya laki-laki. Dua belas tahun kemudian, ditegakkan sekolah untuk anak perempuan. Anak-anak Koto Gadang yang sudah lulus sekolah, meneruskan ke sekolah lanjutan, sekalipun sekolah tersebut di Pulau Jawa. Kalau perlu menunut ilmu sampai ke Negeri Belanda. Memang benar, pada zaman itu, termasuk dominan murid-murid dari Koto Gadang belajar di Jawa dan Belanda. Sebuah badan yang dinamai studiefonds (dana pelajar) didirikan untuk mengumpulkan dana dari orang kampung guna mengirim anak-anaknya melanjutkan studi.
Sebagai dikutip dari Wikipedia, tahun 1856, dari 28 Sekolah Desa dengan masa belajar tiga tahun yang berdiri di Sumatera Barat, satu terdapat di Nagari Koto Gadang. Menurut laporan Steinmetz, sejak didirikan terdapat 416 murid sekolah desa. Dari semua murid itu, hanya 75 orang yang selesai pendidikannya. Selebihnya putus di tengah jalan, karena menikah atau karena sebab lain. Steinmetz menilai, kemajuan paling pesat tampak pada anak-anak Agam terutama dari Koto Gadang yang rajin dan cerdas.
Sebelum ada HIS (Hollands Inlandsce School) yaitu sekolah dasar 7 tahun dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda, dan MULO (Meer Uitgebredi Lager Onderwojs) ada, banyak anak Minangkabau yang sekolah di STOVIA, sekolah kedokteran di Batavia. Ada pula yang menuntut ilmu di NIAS Surabaya. Menurut data tahun 1926, dokter lulusan STOVIA asal Minang berjumlah 32 orang.
Kemujuan pendidikan diperoleh oleh anak-anak Koto gadang pada tahun 1917. Dari 2.415 penduduknya, 1.391 orang di antaranya sudah bekerja. Sebanyak 297 orang sebagai amtenar dan 31 orang menjadi dokter. Sebuah angka-angka fantastis pada zaman itu.
Anak-anak Koto Gadang menuntut ilmu rupanya bukan saja berhasil sebagaimana penganjuran Jahya Datoek Koto dalam meningkatkan kawalitas hidup mereka,namun tumbuhnya kesadaran akan harga diri sebagai bangsa. Maka bermunculanlah tokoh – tokoh yang membangkitkan semangat kebangsaan itu. Para tokoh tersebut diantaranya Haji Agus Salim, Sutan Sayhril, Rohana Kudus, Emil Salim, Syahril, dan sebagainya. Yang menarik adalah, munculnya anak Koto Gadang sebagai pejabat tinggi Pemerintahan Belanda, yaitu Mr.Dr. Mohamad Natsir, dipercayai sebagai Sekjen Gubernur Batavia. Seorang lagi tokoh Koto Gadang memimpin umat, adalah Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Beliau merupakan ahli fikih, dipercayai sebagai Imam Basar Masjidil Haram. Dibidang meliter, misalnya Rais Abin, Syaiful Sulun.
Orang Koto Gadang tetaplah sebagai manusia apa adanya. Tidak merubah diri menjadi manusia / kelompok Insclusif atau eksklusif. Mereka tidak menjadikan dirinya baron-baron lokal. Tidak sebagaimana orang Jawa ketika mendapatkan jabatan dari Pemerintahan Belanda, menjadikan diri mereka sebagai pangeran lokal, dengan panggilan raden. Barangkali itulah dasar pembawaan cara pandang orang Minang yang egaliter, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Dengan rendah hati Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan, Minangkabau telah memberikan insfirasi pembaharuan di Keraton Jogya, yaitu demokrasi. Buah pergaulan Sri Sultan, yang marasa dirinya saudara orang Minang, yaitu belajar demokrasi dari tokoh-tokoh pergerakan Minang di Jawa.
Jiwa dan bakat intelektual Orang Koto Gadang berkepanjangan, sambung – menyambung bergenerasi. Saat ini tidak sedikit yang menduduki posisi penting dan jabatan puncak di perusahaan swasta dan BUMN.
Jalan – jalan di Nagari (Desa) Koto Gadang, kita serasa di masa lalu. Hening, tiada geliat kehidupan. Tetapi dibalik “kesepian” Koto Gadang, menggolak dari ratusan anak keturunan Kota Gadang di perantauan dengan pemikiran besar dan maju. Keheningan telaga yang terus menerus mengeluarkan mata air. Begitulah manusia Koto Gadang.
Kampung yang tidak seberapa luas itu, hanya 640 Ha, berada di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, berseberangan dengan Ngarai Sianok, Bukittinggi. Desa ini terasa kecil, karena ditata bagai perkotaan masa kini. Pemukiman dengan peladangan dipisahkan. Sanitasi dan distribusi air serta penerangan sudah dibuatkan. Koto Gadang meski sudah tua, namun modern untuk zaman ini.
Bukittnggi ke Kota Gadang lebih kurang12 Km. Untuk ke sana, dari Jam Gadang, mengarah Kota Padang. Selapas dari kota Bukittinggi, mengarah ke Maninjau, berbelok ke kanan. Nanti akan ditemui papan petunjuk jalan ke Kota Gadang. Mengarah ke kanan, sampailah di Kota Gadang. Setelah selesai menyaksikan peninggalan kota tua Koto Gadang, kembali Bukittinggi, bisa melalui Ngarai Sianok. Di simpang empat Kota Gadang, ikuti jalan utama ke kiri. Nanti akan melewati rumah bersejarah, Amai Setia. Singgah dulu di Gedung Amai Setia ini. Ini kunjungan wajib ke Koto Gadang, untuk mengenal peranan ibu-ibu pada zaman dulu. Disamping mengunjungi sejarah, jangan lewatkan melihat kerajinan perak Koto Gadang yang terkenal itu. Bolehlah membeli oleh-oleh untuk dipakai, kreasi warga Kota Gadang.
Lanjutkan perjalanan. Jalan akan menurun, dan berkelok-kelok. Sampai menemukan simpang tiga, berbelok ke kanan. Telusuri jalan, sehingga menyeberangi Sungai Ngarai Sianok. Di pendakian nanti, akan ditemu mulut Goa Jepang yang tekenal itu. Pada ujung jalan ini, terdapat persimpangan empat. Ke kanan ke Panorama, lurus ke Benteng / Jam Gadang, ke kiri ke Kampuang Cino. 
Selamat menikamati perjalanan ini. Kesuluruhan jalan lingkar Bukittinggi – Kota Gadang ini lebih kurang 17 km. (Rizal Bustami)




Lihat Koto Gadang di peta yang lebih besar






HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023