“Orang Indonesia, bangsa kerupuk,” ungkapan Bang Ali yang terkenal.
Bangsa kerupuk yang dimaksudkan Bang Ali adalah, orang Indonesia
doyan kerupuk. “Kalau makan, pasti pakai kerupuk,” sambung Bang Ali.
Itulah Bang Ali – yang sangat mengenali masyarakatnya. Ketika dia masih menjadi Gubernur DKI, ia dipuja dan dihujat sekaligus ditakuti. Namun kemudian, selepas jabatannya sebagai gubernur, ia tetap dihormati sebagai orang yang merombak wajah Jakarta dari kampung besar menjadi metropolis.
Sesekali dia datang ke Taman Ismail Marzuki. Kedatangannya tidak menentu, seolah-olah sedang Sidak. “Bang Ali besar sekali perhatiannya ke TIM. Kalau dia datang, semuanya diam, semuanya jadi tertib,” kenang Acil “Bogor”, yang belum juga menjadi alumni IKJ.
Ali Sadikin, adalah nama yang populer di Indonesia. Kepopulerannya menyamai Presiden Presiden Indonesia.
Bang Ali menjadi monumental di Jakarta dengan gagasan-gagasannya merombak Jakarta dari sebuah “kampung besar” menjadi bandar utama dunia. Pada masanyalah Jakarta mempunyai kelengkapan - sebagai kota yang modern dan berbudaya. Memang, gebrakannya memunculkan kontroversi, misalnya melegalkan perjudian dan meng-adakan lokasi pelacuran, Keramat Tunggak. Namun demikian, Ali Sadikin menjadi kenangan masyarakat setiap kaki menginjak gang-gang pemukiman dengan proyek MHT-nya, untuk mengenang M. Husni Thamrin.Jakarta mempunyai “bengkel” budaya yang produktif, yaitu TIM (Taman Ismail Marzuki). Orang Betawi dilindungi budayanya, dengan menetapkan kawasan Condet sebagai Cagar Budaya. Jakarta mempunyai Cagar Alam, Muara Angke; Jakarta mempunyai Kebun Binatang, Rangunan; Jakarta mempunyai Taman Budaya, TMII; Jakarta mempunyai wisata bahari, Ancol.
Jakarta kita kenang sebagai maha karya Ali Sadikit. Dapat disaksikan melalui masapemerintahannya, yaitu berupa bangunan pisik yang diwariskannnya. Selaian bangunan pisik, Bang Ali meninggalkan kenangan berupa cacatan perubahan pisik Jakarta, dalamsebuah buku berukuran besar yang dinamai Djakarta Through The Ages. Buku bersampul batik berbahasa Inggris ini berukuran 40 cm x 30 cm diteritkan tahun 1969. Isinya foto-foto Jakartatempo dulu (tempo doeloe), foto pembangunan Masjid Istiqlal, pembangunan Gedung Wisma Nusantara, Blok M tahun 70-an, Ancol dalam perencanaan. Dan, banyak lagi foto-foto Jakarta peninggalan tahun 60-an.
Penulis buku tersebut adalah Drs. R.Mohammad Ali, FotograferF.Bodmer, Terjemahan Bahasa Inggrisoleh Dra.Damayanti Soebiakto.
Cantigi Peace akan memperkenalkanfoto – foto yang terkandung dalam Djakarta Through The Age. Siapa saja boleh mengungguh foto tersebut, asalkan menyebutkan sumbernya. Foto-foto tersebut tidak digunakan untuk kepentingan bisnis. (Rizal Bustami)
Dari Kota Bogor mengayuh sepeda di pendakian lereng Gunung Salak, tertuju keTajur Halang dan “Patung Garuda” / Lembah Salak.Dari “Patung Garuda”beraksi-aksi di jalan setapak yang basah.
Seorang pemula, Soni (30), digiring ke sini. “Kapok, tapi kayaknya kepengen lagi,” terang Soni, dimana sol sepatunya lepas.
Pemain sepeda “tua” yang masih gamang, tak menyesali kiprahnya di medan yang berat tersebut. “Nggak terbayangkan oleh saya, main sepeda macam ini,” ungkap Nurul (51), yang berbisik-bisik bertanya, “dimana lagi medan macam ini.”
Puli (49), tentu setia dengan sepeda tuanya, Trek.Saya sendiri (penulis), juga memakai sepeda tua, Specialized. Hendy, Andi, Yoga, Roy, sudah malang melintang di medan Lembah Salak ini. Medan menantang itu, membuat Aji Rudi dan Hendy aksi – aksian, yang menjadi tontonan peserta lainnya. (Rizal Bustami)