Aksi "Pepesan Kosong" Para Relawan
Dikenal dengan panggilan Dawai, anak muda Pasar Cibodas (Cipanas),Jawa Barat, ternyata masih bertahan di Sungai Geringgiang, Pariaman, Sumatera Barat. Sang Ibunda, yang mengelola warung kebutuhan sehari-hari di Cibodas, sudah gulana karena puteranya belum juga pulang, sebab teman-teman Dawai sudah angkat kaki dari lokasi bencana.
Saya telpon Dawai dari Lubuak Basuang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menanyakan keberadaan dan kondisi dirinya. Dia menanggapi, “Tenang saja Bang. Alhamdulillah saya sehat. Makan cukup, pulsa ada, tidur nyaman. Saya disini membantu tim medis.”
Bagaimana pulang nanti, tanya saya. “Gampang Bang. Datang aja ke kantor Gubernur, unjukin KTP untuk pulang,” jawabnya enteng.
Kemudian saya telepon pula Ibundanya di Cibodas, saya ceritakan keadaan Dawai. Barulah sang Bunda tenang.
Saya tulis cerita tentang si Dawai ini, karena teman-temannya sudah pulang. Secepat mereka datang, selekas itu pula mereka pulang. Berbondong-bondong berangkat, berboyong-boyong pula mereka kembali. Padahal, pekerjaan di lokasi bencana masih banyak tersisa.
Hampi 30 hari pasca gempa bumi Sumatera Barat, bantuan logistik (material, alat dan makanan) masih berdatangan. Pelayanan medis pun masih berlangsung di kantong-kantong bencana. Di kawasan Padang Alai dan Sungai Geringging, misalnya, bagian dari aktivitas yang masih berjalan. Sedangkan masyarakat yang rumahnya porak – poranda, perlu dibantu berbenah.
Peristiwa Sunami di Aceh telah membangkitkan antusiasme anak-anak muda – yang umumnya berlatar belakang pendaki gunung dan pecinta alam, medis, meski juga ada dari masyarakat umum sebagai relawan. Berduyun-duyun mereka ke Aceh untuk memberikan pertolongan, evakuasi korban hidup atau meninggal, droping logistik, membantu di dapur umum, rehabilitasi fasilitas umum, dan sebagainya.
Sebelum berangkat ke Aceh membawa Relawan Bogor, kepada Bung Boyke saya tekankan, “Boy, di Aceh akan menghadapi situasi kiamat, dimana kita belum pernah menangani mayat sebanyak itu. Mayat terbanyak kita tangani, adalah pendaki gunung yang meninggal di Gunung Salak tahun 1987. Ini situasi mental luar biasa. Supaya teman-teman tidak mual dan shock, perintahkan mereka makan di depan mayat.”
Metode ini ampuh, kawan-kawan dari Bogor tidak gamang lagi bersentuhan dengan mayat-mayat. Relawan yang berbondong-bondong datang ke Aceh, tidak sedikit yang dikembalikan ke Jakarta karena tidak siap mental.
Pada gempa Jogyakarta, relawan terorganisir dan beridentitas bermunculan, hal itu tampak dari seragam dan pelakat yang mereka pakai. Gempa di pantai selatan Jawa Barat, para relawan lebih cepat reaksi tanggap-nya. Bobolnya tanggul Situ Gintung, Banten, memperlihatkan, betapa tanggapnya mereka terhadap bencana alam. Fenomena sosial ini jadi menarik, yaitu tumbuhnya secara majemuk kepedulian sosial, tanpa memandang suku dan agama.
Antusiasme yang tidak saya temukan ketika Gunung Merapi, Jawa Tengah, ketika meletus tahun 1994, dimana satu dusun, Dusun Turgo tewas tersapu awan panas, atau Gunung Semeru meletus pada tahun yang sama. Tidak ada relawan ketika sunami di Banyuwangi tahun 90-an, Gempa Liwa, Gempa Bengkulu, sunami di Flores.
Namun demikian, perlu diingat pula, relawan bencana alam tersebut tumbuh demikian saja. Artinya, siapa saja boleh bergabung dan melakukan aksi di lapangan. Mereka ini dilengkapi dengan seragam, identitas sampai brefet, seperti brefet panjat tebing, brefet arung jeram, bereft SAR (Sear and Rescue) dan brefet-brefet lainnya. Jadilah mereka ini sebagai Rescuer. Kualifaitkah mereka itu ? Inilah yang saya ragukan.
Saya meragukannya, karena mereka itu adalah relawan dadakan. Bagaimana mereka melatih diri ? Betul-betulkah dia seorang pemanjat tebing ? Benar-banarkah ia seorang pengarung sungai ? Pernahkah mereka melakukan pendidikan dan pelatihan SAR ? Pernahkah mereka belajar dan latihan P3K ¿ Pernah dia menyentuh mayat ? Mengertikah dia organiasasi dan sistem kerja SAR ? Bagaimana dengan kesehatan dan kesiapan mental mereka ?
Pengamatan dan wawancara saya dengan beberapa relawan, tidak memberikan jawaban apapun yang diperlukan sebagai Rescuer. Diantara pertanyaan saya : (1) Kau pernah pegang mayat – yang bukan keluarga sendiri ?; (2) Apa kau mengerti presedur P3K; (3) Bisa kau merangkai jaringan listrik ? (4) Kau bisa mengendarai kendaraan roda empat ?; (5) Kau bisa memasak ? Hanya 10 persen dari mereka yang bisa mengatakan “bisa” dari salah satu pertanyaan tersebut. Selebihnya, saya katakan, “Apa pekerjaan kau di sini ?”
“Mana ada OSC dan MSC yang turun ke lapangan. Komander – komander ini kan harus stanby di Poskodal. Ini yang terjadi di Poskodal saya di Padang Pariaman. Komander – komander meninggalkan markas supaya masuk televisi. Saya malu, mereka itu ‘adik-adik saya’,” ungkap Alex Kaliwongso, 40 tahun, seorang yang malang melintang di dunia rescue.
Emblem-emblem yang menempel di seragam relawan bukan jaminan bahwa mereka betul-betul Rescuer. Ini penting diketahui masyarakat yang terkena musibah bencana alam. Mintalah pertolongan kepada anggota Basarnas, PMI, Pramuka, dokter dan pramedis.
Boyke, 50 tahun, tentulah dikenal di kalangan pendaki gunung dan SAR. Hampir semua bencana alam dan SAR dia hadiri. Boyke mengatakan dua hal. “Relawan tidak mempunyai jiwa petualang alias cengeng. Kedua, kebanyakan mereka nggak ngerti kerja di lapangan yang kacau balau.”
Boyke berada di Nagari Mangopoh, Lubuak Basuang bersama relawan Kabupaten Bogor. Relawan Bogor tersebut, disertai tim medis terdiri dari dokter, para medis dan ahli urut dari Cimande, disamping relawan dari Universitas Pakuan Bogor serta team dapur umum.
“Yang dibutuhkan bukan kwantitas relawan, tetapi kwalitasnya. Satu relawan yang baik, bisa mewakili 10 orang relawan yang hanya bisa untuk angkat-angkat kardus Indomie,” tegas Boyke.
Efektifitas dan efesiensi relawan dalam bekerja termasuk yang harus diperhatikan. Seberapa efektifkah sebuah regu relawan di lapangan ? Sebarapa efesien mobilisasi satu regu relawan di lapangan ?
Sebuah kelompok relawan dari Jakarta yang saya tanyai, berapa persen dana yang dipakai untuk menggerakkan relawan di lapangan ? Koordinator relawan tersebut menjawab, 50 persen dari dana yang mereka anggarkan adalah untuk membiayai relawan, seperti biaya makan, transportasi dan beli bensin kedaraan operasional. Relawan Bogor, menghabiskan dana untuk membiayai keperluan relawan antara 35 persen sampai 50 persen dari anggaran. Kesimpulannya adalah, hanya separuh dana yang disalurkan ke masyarakat yang terkena musibah. Besarnya biaya relawan tersebut, perlu diperhatikan. Ini namanya, “sama besar pasak dengan tiang.”
Avie “Tanah Abang” sependapat dengan sebutan petualang cengeng yang disebutkan Boyke. “Saya menghargai dan salut terhadap orang-orang macam Dawai. Teman-temannya sudah pulang, Dawai bertahan. Banyak pekerjaan yang terbengkalai, misalnya mendampingi team medis, dapur umum dan droping logistik,” ungkap Avie, 31 tahun.
Indonesia yang kerap mendapat bencana alam, karena disebakan faktor geologi, maupun cuaca, diperlukan relawan-relawan untuk bekerja memberikan bantuan serentak. Tentulah relawan yang berkuwalitas diperlukan. Relawan yang berkuwalitas, membuat pekerjaan tertangani sesuai standar prosedur dan efesiensi dari segi pengeluaran dana. Daripada berduyun-duyun mendatangi lokasi bencana, lebih baik ruang pada transportasi udara, darat dan laut diperuntukkan untuk pengiriman logistik dan peralatan. Selain itu, anggaran dapat lebih banyak disalurkan langsung kepada masyarakat yang tertimpa musibah.
Diperlukan suatu pendidikan dasar penanganan bencana alam yang memiliki standar ketrampilan dan sposedur operasional. Lembaga yang mempunyai kewenangan dan kuwalitas untuk itu adalah Basarnas. Sedangkan PMI, dapat memberikan pelatihan pra medis. Metode dan simulasi lapangan dapat dibuat, dimana menyerupai kondisi-kondisi bencana alam. Mereka yang mengikuti pelatihan, adalah wakil dari organisasi pecinta alam, kelompok rescuer, ahli medis dan pramedis, dan masyarakat umum. Mereka yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan, diberi sertifikat. Kelak dalam menangani korban bencana alam, mereka yang bersertifikat inilah yang diprioritaskan dan mendapat kemudahan berangkat ke lokasi bencana. Diperlukan pula latihan bersama, yang melibatkan semua unsur istansi, baik pemerintah, TNI, Polri, Pramuka, organisasi kepemudaan, pecinta alam dan masyarakat.
Latihan-latihan gabungan berkala, akan mendapatkan inteligensi rescue (kecerdasan rescue) bagi relawan, sehingga tidak terjadi aksi “pepesan kosong”. *