Showing posts with label NOVEL. Show all posts
Showing posts with label NOVEL. Show all posts

Tuesday, July 05, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XVI)


Singguluang Batu

Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai rakyat Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu bersenjata lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang tidak lebih dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat serdadu Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang serdadu Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu.

Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut berperang waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu lawan satu. Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi pasukan Belandalah yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan, semula Westenenk berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata pasukannya yang ‘habih - tandeh’, ludes oleh kaum militansi di Kamang.

Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C. Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh Angku Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya putus,  karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai bagaikan “mayang taurai – si gadih Ranti” pada saat memainkan rudusnya tersebut.


Thursday, June 30, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XV)


Badai Menjelang Subuh
Bagian 2 (habis)

Tiba-tiba dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet. Dalam hening semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan mengarahkan pendengran untuk memastikan dari arah mana bunyi terompet tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan kesunyian.
“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata Haji Ahmad.
“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.
“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.
 “Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.
“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan dengan tak pernah pupus.

Friday, June 17, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XV)

Badai Menjelang Subuh
Bagian 1



JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang tumbuh liar di rimba-rimba, buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda di Minangkabau telah menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri sebuah acara, biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang merupakan alat musik tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak Agam. Dendang jalu-jalu dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai lagu perpisahan;

“Jalu-jalu di dalam parak,
makanan anak tiuang rimbo.
Sagitu dulu oi... urang banyak,
bapisahlah dulu kito samantaro.”

Thursday, May 26, 2011

NOVEL Bagian XIV : Kecamuk 2

 Kecamuk (Bagian 2)

 
L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir banyaknya.

Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk  melihat jelas sosok Datuak Rajo Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk  dan pasukannya itu, dia berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka  segala kemungkinan bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya,” ancaman L.C. Westenenk.

“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!,”  jawab Datuak Rajo Pangulu.

Wednesday, May 04, 2011

NOVEL Bagian XIV : Kecamuk1


Kecamuk (Bagian 1)

Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang (Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang menentang belasting dan rodi.

Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan.

“Weerda!”
“Vriended!,” jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul Manan.
“Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?!”
“Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan,” jawab Angku Rumah Gadang.
“Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!!”
“Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan, Tuan!”
“Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha!”
“Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut. Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka.

Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya.
“Apakah kalian tau Haji Abdul Manan?”
“Haji Abdul Manan, tau... Tuan!,” jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang sok akrap.
“Goed...!,” kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya.
“Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan dengannya.”
“Beliau, Tuan!”
“Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya?”
“Ya, berbeda, Tuan”
“Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan.”
“Ini bukan sepele, Tuan.”
“Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja,” oceh Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
“Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!,” desaknya lagi.
“Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di kampung …. Tapi juga ada. Di....” Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup, karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul dengan beberapa pembantu beliau.
“Dimana!!!,” bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah Gadang tersebut.
“Di... kampung Budi, Tuan,!” dengan gagapnya. “Tadi siang beliau ada di sana, dan kami tidak melihat beliau di sini,” sambungnya lagi.
“Beliau siapa?,” tukas ajudan itu lagi.
“Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan.”

Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri, menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi.

Saturday, April 23, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XIII)


 Mantik

Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan  kedatangan seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.

Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek Angkek yang pernah menjadi redaktur ‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi.

Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang Belanda pula di kampungnya sendiri.

Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan masuk kampung keluar kampung.

Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908 dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang terkenal dengan sebutan ‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek.

Saturday, March 05, 2011

Novel : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XII)


Briefing

TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda.

Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi.

Sunday, February 20, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XII)

Biadab

SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3 Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’ menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red: Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di Minngkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz.

Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjangdiumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda.

“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau.”

“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda moncoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.

Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud  terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor.  Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju  tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.

Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan
kawannya. Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. eesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng –  Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang  yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak.

Sesudah menduduki Bonjol,  tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah  basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.” 
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku bertanya.
“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.

Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman ‘marsose’ – si Belanda Hitam – atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang lautan itu.

Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya.

Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah, penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan pajak, ‘pungutan langsung’-nya.
(bersambung)

Sunday, January 09, 2011

Novel Bagian XI,Bagian 2


Hari-Hari Terakhir, Bab 2

Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam  keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an.  Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.



Tuesday, December 28, 2010

Novel Bagian XI,Bagian 1

Hari-Hari Terakhir, Bagian XI
Bab I

KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang Mudiak).

Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama. Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula. 

Sunday, November 28, 2010

NOVEL Bagian X





Catatan Usang Seorang Juru Tulis  
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian

GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.

Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.

Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak.  Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.

Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.

Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.

Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara. 

Friday, November 19, 2010

Novel Bagian IX (Bagian2)

Tangsi di Padang

Catatan Usang Seorang Juru Tulis
Rahasia sebuah Surat Rahasia (Bagain 2)

Masih dalam wajah menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbunga-bunga itu. Adalah pula sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga oleh si Juru Tulis melihat rungut sang kekasihnya itu.

“Tapi yang pasti, Maryam....  Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana mereka.
“Apakah Kanda juga ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka Mukmin itu ?”
“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam buku catatan penting saya ini.”
“Kapan Kanda memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ?”
“Sekarang pun bisa, Maryam.” Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani membukanya karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan.
“Maryam perlu tau isi surat itu, karena dia adalah salah satu kekuatan kita dalam mengkampanyekan tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini,” kata Inyiak Manan kepadaku setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta musyawarah membubarkan diri.
“Sekarang kamu dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari Tuan Ge-Ge yang bersemayam di Batawi itu kepada   Gubernur Militer ‘Sumatera Barat’ di Padang.
‘Batavia, Tanggal 17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS.”
“Tunggu dulu, Kanda. Apa artinya  SRHS itu, Kanda?,” sela Maryam.
“SRHS adalah singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya.”
“Prinsip campur tangan dalam urusan rakyat dalam ‘nagari’ harus tunduk pada tujuan akhir kita di Minangkabau, yakni mengukuhkan kedudukan kita di sana. Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut lebih baik kita tidak campuri pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik sekali jika para penghulu di berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh lebih besar dari kita dan dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan kita selanjutnya. Rakyat harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan disamping itu pemerintahan berpemimpin ‘satu’, dan harus didirikan pula sebuah ‘aristokrasi’ yang terkait pada kita untuk mengganti ‘demokrasi-nya’.”

Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat, mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.
Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di Minangkabau dan membawa suatu drama  mengerikan yang tidak kalah hebatnya dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.

Lain halnya sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih seimbang, penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan petani bebas menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin harga minimum, sesuai dengan bunyi pasal dalam Palakat PanjangVan den Bosch Tahun 1833.

Saturday, November 13, 2010

Novel Bagian IX (Bagian 1)

Pasar di Minangkabau pada abad ke 18

Catatan Usang Seorang Juru Tulis
Rahasia sebuah Surat Rahasia (Bagain 1)

BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus mengerek telapak kaki orang yang sedang tidur, dengan cara mulai merombak sistem pemerintahan dan sistem moneternya di Minangkabau. Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837, perjanjian Pelakat Panjang disetujui tahun 1833  dilanggarnya. Sebagai kelanjutan atas Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang berisikan selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau, diantarnya menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain. Dipicu pula oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan Belanda mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya peperangan pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya ‘pajak langsung’  yang dikenal dengan ‘belasting’ dalam bentuk penyerahan langsung berupa uang yang dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti ‘Coffeestelstel’ - buah tangan Deandels dengan Nederlandshe Handels Maatshappij sebagai agen tunggalnya selama ini.

Besarnya ‘pajak langsung’ itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah-ladang dan termasuk luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya, sekalipun tanah ulayat, harta milik kaum.
“Peraturan untuk membayar  ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.



Tuesday, October 26, 2010

Novel Bagian VIII


Catatan Harian Seorang Juru Tulis
Misi Khusus

Sampai jualan Siti Mariam di kediamana Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia  mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula sat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam  menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.

“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan,”  pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.

Wajah Siti Mangopoh seketika mengkeru. Bibirnya memagtup. Nampkanaya dia berpikir keras. Para pendampignya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantra perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akl tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan  juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !,”  jawab Siti Mangopoh pula.


Sunday, October 17, 2010

Novel : Catatan Usang Seorang Juru Tulis, Bagian VII





Alek Pacu Kuda 
(Bagian VII)



PERTEMUAN – pertemuan  pemimpin - pemimpin masyarakat  dengan Haji Abdul Manan, maka aku sebagai juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang tokoh-tokoh masyarakat seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dari Kamang Ilia, Angku Jangguik yang dikenal pula dengan panggilan Inyiak Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo Pangulu dari Babukik Limau Kambiang dan Datuak Marajo beserta pemimpin lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu.

Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa,  agar dilakukan peninjauan (menyelidiki) pendapat dari semua pengikut   Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras Sungai Pua sehubungan dengan ‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat,  kepada tenaga yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.

Sunday, October 10, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis Bagian VI

Muslihat

Pasar Malam, pesta rakyat ciptaan Belanda

HAJI Abdul Manan, putra Haji Ibrahim bekas pejuang dan asuhan Tuangku Nan Renceh cukup berpengalaman juga dalam perlawanan dan peperangan, seperti terlibat sebagai pasukan relawan perang Aceh melawan Belanda. Ia lebih awal melakukan siasat propaganda, konsilidasi dan pengkristalisasian pemikiran akan semangat anti penjajahan Belanda dengan semangat jihat anti kaum kafir-nya di Kamang dan melebar ke beberapa daerah lainnya. Issu ‘kafir’ merupakan propaganda terbilang ampuh bagi masyarakat Minangkabau yang tidak waktu itu, kecuali bagi – Belanda Hitam – si Melayu yang kebelanda-belandaan. Untuk melaksanakan kegiatan propaganda, lobby ini tidak semua orang yang mampu, karena dituntut suatu kecerdasan, kelincahan, kefasihan berbicara dan lihai meyakinkan banyak orang, serta mempunyai keberanian yang besar.

Pada sisi lain, dengan adanya tantangan dalam masyarakat terhadap rodi dan belasting, maka Belanda merasa khawatir kalau suatu waktu akan bermuara pada pemberontakan rakyat, seandainya kegiatan agitasi yang dimotori oleh para ulama dan dibantu oleh penghulu adat tidak dihentikan.
Sehingga Haji Abdul Manan ditangkap dan ditawan di kota Benteng Fort de Kock, Bukittinggi. Mitra Haji Abdul Manan waktu itu Tuangku Laras Sungai Pua juga ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Meskipun demikian, ternyata beberapa tokoh masyarakat ada yang tidak bergeming akan bujuk rayuan yang disertai ancaman oleh pemerintah Belanda tersebut.


Friday, September 17, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis Bagian V


Latihan di Malam Hari
Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’ kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu telah ‘dibao tagak’, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan melenturkan pinggang dalam duduk bersila,  bersimpuh dengan jalan menukar-nukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada saat ‘mambao tagak’ latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan  dengan gerakan silat yang sebenarnya. 

Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan. Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang  maju ke  arena latihan.

Sunday, September 12, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis Bagian IV





Lamunan


Keesokan harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti Anisyah. Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa  menginap oleh Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti Maryam juga ‘dibuncahkan’ oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal di surau tadi yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri Kamang. 


“Siapa gerangan nama pemuda itu, ya?,” bisik hatinya. 


Sementara Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung jawab si pemuda itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit pendiam itu.


“Etek, kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru tulis Inyiak Manan tadi itu, ‘Tek ?,”  Siti Maryam memberanikan diri untuk menanyakan nama pria itu kepada Siti Anisyah.


“Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak muda itu Maryam ? Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi, sehingga membuat perasaanmu tersinggung ?,” Pancingan Siti Anisyah pada Maryam.


“Tidak, Tek ! Tadi itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria itu saja dan tidak menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu mendatang saya kira pasti akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya masih dianggap anak oleh orang Kamang ini, ‘Tek !,”  jawab Maryam, yang mencoba bersilat lidah dengan Siti Anisyah.


“O, begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang cukup dipanggil saja dengan ‘si-Juru Tulis’, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah bukan ? Yang jelas tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh perjalanan jauh. Tentu tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah mempersiapkan tempat dan selimut untukmu, Nak ?  Tidurlah dulu !,” kilah Siti Anisyah pada Maryam.



Friday, July 30, 2010

Catata Usang Seorang Juru Tulis (Bagain II)







"Maryam Chivalry"
Gadis Berkerudung


SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti suaru-surau lainnya di Minangkabau, sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi perguruan di surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui batas-batas nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau.


Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi, keberlangsungan dan merupakan keberlanjutan dari si’arnya tarekat Stariyyah dari pendahulunya yang bersuarau di kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah jembatan untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang dikhawatirkan ketika itu, karena sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti “Belanda meminta tanah”. Kalau kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan pemurtadaan orang Minangkabau dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung pula. Inilah akar kebangsaan yang berbasis agama.


Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan saja karena pendidikan Islam yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau itu para murid dibekali dengan berbagai kepandaian duniawi, seperti keterampilan ilmu persilatan, permainan pedang, berkuda, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata tajam pun ada. Jauh hari sebelum kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di Sungai Ujong Malaya, Haji Musa kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang berpengaruh pula di Kamang. Dengan keberadaan Haji Abdul manan maka Haji Musa pun berperan aktif mendukung segala aktifitas adiknya itu.


Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda yang elok rupa, cerdas pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur katanya ke surau di kampung Budi  menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang dari kampung Hanguih Bonjol.  




Tuesday, July 20, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian I)

Maryam Chivalry


Larek


DALAM perjalananku ke  rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan diri di Saremban,  namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah 1908 itu.


Pada ‘larekku’, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian, termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di Mianangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung ‘larek’-ku.


Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam 15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah Koto. 






HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023