Monday, November 10, 2008

Penambang Emas Tradisionil

BERJUDI NASIB, BERTARUH PERUNTUNGAN

Tahun 2001 terjadi bencana longsor di Cisampai. Cisampai merupakan kawasan tambang emas tradisionil yang dikelola secara perorangan terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebanyak 20 orang meninggal saat itu. Di Pongkor, sudah beberapa kali lobang-lobang pengambilan emas ambruk. Berapa jumlah korban meninggal, sulit menghitungnya karena mereka berkerja liar.

Cisoka tambang emas tradisionil yang bertetangga dengan Cisampai. Tambang ini pernah ditinggalkan karena hasilnya tidak memadai. Para penambang kembali ke Cisoka karena tambang Pongkor dilarang, sedangkan di Cisampai tidak seberapa hasilnya. Tambang emas tradisionil Cisoka, berada di Kampung Lebak Pari, Desa Cisoka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Matahari masih malu-malu ketika kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi tambang. Kami seperti berkerjar-kejaran matahari di tengah musim penghujan. Inilah ujung jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kami meneruskan perjalanan menuju lokasi melalui jalan setapak. Diseberang lembah sana, pada tebing, ada lobang-lobang, seperti goa. Di dalam lobang itulah orang mencari emas. Kami memilih lobang milik H.Kirna untuk dimasuki. Pada mulanya lobang cukup untuk membungkuk. Makin ke dalam, perut kami makin tertekuk sehingga kami berjalan “mengesot’. Entah sejauh apa kami merangkak sampai bertemu dengan penambang sedang bekerja.

Bongkahan batu dibawa keluar. Batu-batu tersebut dihaluskan dengan cara dipalu, lalu dimasukkan ke selinder-selinder yang berisi air, gelundungan namanya. Di selinder diberi air raksa yang berfunsi untuk memisahkan unsur logam dengan tanah. Selinder diputar selama 10 jam. Sebagai penggerak, ada yang menggunakan mesin disel dan ada pula dengan kincir air.

Dua karung bebatuan akan menghasilkan logam putih sebesar biji jagung yang dinamai belion. Logam lunak tersebut kemudian diproses. Hasilnya menjadi logam putih – keperakan yang beratnya 1 gram. Untuk menjadikannya emas, maksimal kadar 99 %, diproses lagi. Hasil akhirnya hanya ½ gram emas. Bila satu gram emas harganya Rp. 220.000, maka 1 gram belion Rp. 110.000.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tinggal di kawasan terpencil. Di tambang, tidur beralaskan tikar, berbantalkan lipatan tangan.

Rony, misalnya. Ia tinggalkan anaknya yang baru berusia 3 bulan. Ia spesialis tester kadar emas. Keahliannya itu berkat pengalamannya sejak tahun 1980 bekerja di tambang emas. “Saya bekerja tambang sejak tahun 81, saat-saat sekaranglah saya rindu pulang. Kangen anak,” ungkap Rony, belum menengok anaknya karena uang belum terkumpul.

Di tambang Haji Kirna, bekerja 40 penambang. Penambang bekerja 2 shif – siang dan malam. Dari hasil tambang, setiap penambang menghasilkan 2 karung. Dua karung batu, menjadi 1 gram belion. Dari hasil bersih belion, H. Kirna mendapatkan 40 persen karena ia harus mengeluarkan biaya untuk proses, listrik, nyangga, karung dan fasilitas. “Pekerjaan ini sudah saya jalankan sejak tahun 60-an. Saya memulainya di Rajang Lebong (Bengkahulu). Dulu saya penambang, sekarang pemilik tambang,” jelas Pak Haji, yang sudah satu bulan tidak pulang ke rumahnya.

Aang., 45 tahun, sedang beruji peruntungannya pula. Pria asal Cisimut, Lebak ini, memiliki sebuah lobang yang bertetangga dengan H. Kirna. Selama satu bulan menggali, tambangnya belum juga menghasilkan emas. Untuk membiayai hidup 10 penambangnya, Aang harus mengeluarkan uang 1 juta rupiah per minggu.

Bekerja di tambang tradisionil besar resikonya. Resiko longsor, lobang amruk, atau bahaya kesehatan di lobang. Namun, mereka ini menepiskan semua resiko itu. “Kalau bicara bahaya, banyak teman saya mati di Pongkor. Jika ada pekerjaan lain, saya berhenti. Bahaya kesehatan di dalam, saya tidak ngerti. Keadaannya seperti itulah,” terang Fijei, dimana belum bisa menengok anak dan istrinya karena penghailannya tidak cukup.

Semuanya adalah perjudian. Berjudi dengan nasib, berjudi dengan peruntungan. Tidak peduli, apakah itu bagi pemilik lobang atau bagi penambang. Hasilnya tidak seberapa, badan bisa terkubur hidup-hidup. Inilah ironi kehidupan pekerja penambang emas.

Kilau emas, tidak sekilau kehidupan mereka ! Rizal Bustami / Foto : Alfan

Kami bersedia mengantarkan Anda ke Tambang Emas Rakyat Cisoka dengan Land Rover.

Talempong Batu

ALAT MUSIK TERBUAT DARI BATU

Berabad-abad suatu zaman berlalu, namun masih ada saja hasil kebudayaan manusia ditemukan untuk disaksikan, dipelajari dan sekaligus untuk dikagumi manusia sekarang. Adalah talempong (gending) batu, yang terdapat di Payakumbuh, Sumatera Barat, karya besar nenek moyang tak ternilai harganya.

Kabupaten 50 Kota dengan ibukotanya Payakumbuh, Propinsi Sumatera Barat selama ini hanya dikenal sebagai kota gelamai (dodol). Ternyata juga menyimpan misteri kehidupan masa lalu berupa peninggalan purbakala pada zaman megalithikum yaitu berupa gending yang terbuat dari batu-batu gunung. Masyarakat setempat menamakannya dengan Talempong Batu. Inilah persembahan terakhir para leluhur untuk seni musik tradisional, dan menjadi dasar perkembangan musik pukul tradisional Minangkabau.

Batu ajaib tersebut berada di Desa Talang, Kecamatan Suliki-Gunung, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Barang langka yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat itu berukuran rata-rata 125 x 20 cm dengan ketebalan 25-30 cm berjumlah enam buah. Diletakkan di atas kolong tanah berbantalkan bambu. Apabila dipukul dengan batu kecil yang sudah tersedia, bagaikan bunyi gending atau talempong yang terbuat dari kuningan sekarang ini. Talempong batu yang terletak di pojok halaman Balai Adat itu mempunyai solmisasi nada de - re - mi - fa - sol - la dengan nada dasar 'C'. Tapi, tunggu dulu. Talempong batu itu tidak akan mengeluarkan nada – nada bila dipukul begitu saja. Baru batu itu ‘bernyanyi’ sebagaimana layaknya bunyi gending setelah diasapi dengan kemenyan yang disimpan oleh penjaga (kuncen) situs atau oleh pemuka masyarakat setempat.

Anehnya, pada tahun 1971 pemuka masyarakat bersama beberapa dosen ASKI-Padang Panjang, Sumatera Barat, pernah mengganti bantalan batu yang terbuat dari bambu dengan bantalan kayu yang diukir, namun batu-batu talempong itu tidak berbunyi. Setelah bantalannya dikembalikan sebagaimana semula barulah talempong batu bernunyi. Bantalan kayu tersebut

diganti kembali oleh si Saleh, seorang tokoh masyarakat saat itu.

Kisah Talempong Batu

Desa Talang Anau berada di atas sebuah bukit. Sederetan dengan Bukit Barisan ke arah matahari terbenam dari kota Payakumbuh. Penduduknya hidup dari pertanian sawah, ladang kopi dan coklat di sela-sela batu gunung. Dengan ongkos Rp 2.500 per orang, masyarakat Talang Anau pergi ke kota Payakumbuh pada hari-hari tertentu untuk menjual hasil tani mereka. Desa Talang Anau berjarak 30 km dari kota Payakumbuh dapat ditempuh selama dua jam perjalanan dari kota Bukittinggi. Dalam perjalanan kesana, terlebih dahulu menjumpai tugu peringatan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)-1948 di Kenagarian Koto Tinggi, Kecamatan Suliki-Gunung Emas. Kemudian, melewati Desa Pandan Gadang tempat kelahiran Bapak Republik Indonesia dan Pahlawan Nasional pada zaman pergerakan, Tan Malaka.

Penduduknya penuh kedamaian, harmonis dan ramah. Berdasarkan penuturan tetua kampung, pada umumnya mereka berasal dari negeri Kamang Mudiak, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam sekarang. Nenek moyang mereka pindah ke sana berikut membawa gelar kebesaran penghulunya (Datuak).

Menurut Kepala Desa Talang Anau, Ali Nasrul Imam Batuah (45) dan tokoh adat setempat A. Dt. Parpatiah Nan Sabatang (65), serta N. Dt. Adua (65), sebetulnya jumlah batu talempong tersebut sebanyak tujuh buah, namun yang bisa ditemukan sebanyak enam buah. Dan apabila talempong batu yang berjumlah enam buah itu dibunyikan, maka menurut pendengaran penduduk yang bersawah dan berladang di pinggir rimba, batu yang tertinggal di bukit, berbunyi pula. Bila kemudian dicari atau didekati, batu yang satu itu tidak bisa ditemukan masyarakat.

Satu hal lagi yang dipercayai oleh masyarakat setempat, bahwa talempong batu tersebut, akan menjaga keselamatan mereka dari mara bahaya. Batu telompong akan memberitahukan penduduk bila akan terjadi sesuatu di kampung mereka dengan mengeluarkan suara yang menggelegar, gelegarnya sampai menggoyangkan rumah tempat batu itu tersimpan.

Dan apabila ada penduduk yang sakit, mereka tidak perlu membawa si sakit ke dokter, sekalipun kepada seorang dukun. Cukuplah keluarga si sakit membawa satu buah telor itik dan satu hesta kain putih bersih ke talempong batu. Sesampai di sana telor itik tadi dipecahkan ke salah satu talempong batu dan kain putih tadi ditinggalkan saja di atas batu tersebut. Sekembalinya ke rumah maka si sakit sudah memperlihatkan tanda-tanda kesembuhannya.

Tidak jarang pula tempat talempong batu itu didatangi oleh orang-orang melakukan persemedian guna mendapatkan wangsit beroleh berbagai ilmu kebatinan. Setelah melalui beberapa ujian, seperti didatangi ular-ular besar, harimau, kalajengking sampai ke wanita-wanita cantik bagaikan dewa-dewi (penggoda), barulah si pertapa menerima titisan ilmu batin sebagaimana yang mereka niatkan.

Menurut kisahnya batu-batu itu ditemukan oleh salah seorang penduduk tidak berapa lama setelah kedua orangtuanya meninggal. Pada suatu malam, yaitu pada petang Kamis-malam Jumat, Syamsuddin yang kemudian bergelar Tuangku Nan Hilang, bermimpi mendengarkan suara gaib yang memintanya mengambil beberapa batu yang berada di atas bukit di belakang kampung itu dan mengumpulkannya. Syamsudin tidak langsung menjalankan perintah mimpi itu, sampai ia berkali-kali bermimpi. Pada mimpi ketujuh, baru ia melaksanaknnya. Dengan ilmu batin yang dimilikinya, Syamsuddin menemukan batu-batu itu secara terpisah-pisah di atas bukit.

Masyarakat setempat sangat kental dengan legenda masa lalu. Dipercai oleh mereka, batu-batu tersebut dikumpulkan oleh Tuangku Nan Hilang tidak dengan mengangkatnya, atau memikulnya, melainkan dengan cara menghalaunya dari atas Bukit Padang Aro-Batu Baranjau bagaikan seorang pengembala menghalau kawanan ternak ke suatu padang rumput. Sampai akhirnya, batu-batu tersebut tersusun sebagaimana sekarang ini. Menurut A. Dt. Parpatiah Nan Sabatang, kejadian itu berlangsung pada masa hidup Dang Tuanku (tokoh legendaris Minangkabau, sahabat Cindur Mato), putra dari Bundo Kanduang (Dara Jingga).

Merujuk kepada keterangan di atas, maka menurut Drs. Mid Jamal dalam bukunya Manyigi Tambo Alam Minangkabau (1985), pemerintahan Dang Tuanku di Minangkabau diperkirakan pada tahun 1347-1375 M, karena menurutnya Dang Tuanku itu adalah Aditya Warman, putra Minangkabau berdarah Majapahit.

Talempong Batu dan Zaman Megalithikum

Anggapan masyarakat yang berdasarkan legenda, mitos dan dibumbui oleh unsur mistik itu merupakan sisa-sisa peninggalan dari kehidupan nenek moyang yang animisme-dinamisme yang perlu diluruskan melalui sejarah kepurbakalaan berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan terkait.

Megalithikum merupakan kelanjutan dari zaman neolithikum yang mengalami perkembangan pada zaman logam setelah lebih kurang 500 SM. Menurut para ahli kepurbakalaan, kebudayaan Megalithikum di Indonesia ditempatkan ke golongan kebudayaan Dongson (Yunan Selatan) yang banyak tersebar di pulau Sumatera. Sehingga benda-benda budaya zaman itu dinamakan Sumatralithikum.

Apabila kita kaitkan dengan zaman megalithikum, talempong batu tersebut tidak lain adalah semacam alat bunyi-bunyian yang dimainkan oleh beberapa orang suruhan datu guna menghantarkan alam metafisik seorang datu, atau semacam alat untuk memanggil roh leluhur yang berada di puncak bukit tersebut sewaktu seorang datu sedang berhajat, seperti meminta hujan, menolak penyakit, atau memohon kesuburan tanaman mereka, memanjatkan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang sekaligus sebagai pemelihara alam jagat raya.

Peranan Syamsuddin Tuangku Nan Hilang tidak lain adalah sebatas pewaris yang bertanggung jawab terhadap benda-benda sakral para leluhurnya di zaman purbakala dahulu. Dan barangkali juga, dia adalah datu atau kepala suku generasi terakhir yang menerima Islam sebagai faham atau kepercayaannya yang baru. Ia bertukar nama dengan nama yang identik dengan ke-Islamannya itu.

Pemberian gelar Tuangku Nan Hilang oleh masyarakat setempat, karena dia rahib begitu saja ditengah-tengah masyarakatnya. Kapan dia meninggal dunia dan di mana kuburannya, tidak ada yang mengetahuinya.

Selain talempong batu, di halaman Balai Adat Negeri Talang Anau tersebut juga terdapat satu buah dolmen (meja batu) yang diapit kiri-kanan oleh batu tengger yang mirip sebuah carano atau cerana tempat sirih pinang dalam adat Minangkabau, namun batu cerana tersebut tidak berlobang sebagaimana cerana yang umum kita lihat. Beberapa menhir yang berukuran tinggi rata-rata satu meter bertebaran pula di halaman Balai Adat itu. Satu buah diantaranya terdapat tulisan berupa angka-angka dalam tulisan huruf Arab dan satu buah lagi terdapat empat garis melingkar pada menhir itu dan dengan nyata terlihat menhir itu mempunyai lima tingkatan.

Peninggalan “kebudayaan batu” yang terdapat di Payakumbuh tersebut merupakan cacatan sejarah penting bagi perjalanan manusia Indonesia. Sayangnya, sampai saat ini belum seorang peniliti serius yang mengorek misteri batu-batu tersebut. Bagi masyakat batu adalah batu, sebuah benda mati. Akan menjadi penting bagi arkeolog karena batu-batu tersebut merupakan bukti sejarah. Trides,Bukittinggi

Tentang Cantigi




JADILAH SEPERTI CANTIGI
Banyak pendaki yang tidak tahu, pohon apa yang tumbuh di puncak gunung. Hamparan pohon bertubuh kerdil, berdaun sebesar ibu jari kemerahan, berbuah berry warna hitam itu, tak dikenal sebagaimana edelweiss yang dilegendakan. Tak sedikit pula yang tahu apa kata Cantigi. “Cantigi” apa sih ?
Eronis memang. Pohon kerdil inilah yang memberikan bantuan terhadap pendaki untuk berpegang ketika naik dan turun gunung. Pohon ini pulalah yang melindungi pendaki dari terjangan badai. Pohon ini pulalah yang menyediakan lantai yang nyaman untuk bivak. Ia hasilkan buah dan pucuk yang bisa dimakan bagi pendaki yang tersesat.
Sungguh tak tau diuntung !
Cantigi (Vaccinium varingiaefolium) tumbuh di Hutan Pegunungan Atas, pada ketinggian 1500 – 2400 mdpl. Tajuk pohon biasanya memiliki ketinggian yang sama sekitar 20 meter. Daunnya juga lebih kecil. Ini dikarenakan kekurangan makanan dan nutrisi. Cantigi dominan tumbuh di hutan Sub Alpin. Daun Cantigi cantik, merah bersinar.
Cantigi memiliki daya tahan yang hebat. Mampu tumbuh di media yang sedikit makanan dan nutrisi. Akarnya kuat mencengkram. Sehebat apapun badai, Cantigi tak akan tumbang. Kuat mengadapi cuaca yang ekstrim dingin, dan menepis panas yang lekang.
Cantigi adalah pohon yang real. Nyata. Bukanlah seperti pohon Kalpataru yang tanpa wujud - yang adanya hanya dalam mitologi Hindu India.
Saya terinspirasi dengan kehandalan pohon ini untuk menamai kedai kopi saya di Cibodas. Saya ingin Kedai Kopi Cantigi Cibodas bagai Vaccinium varingiaefolium itu. Meski kecil, tersuruk, namun diharapkan bermanfaat bagi banyak orang. Membuka pintu untuk berteduh, memberikan kehangatan udara yang menusuk serta membuka hati dan pikiran dalam berbagai gasasan dan ide.


Indahnya Cibodas di pagi hari

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023