Friday, June 21, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian III

RUTE LABUAN BAJO-DINTOR LEWAT LEMBOR


Pulau Mules dari pesisir selataan Flores

Rute ini menyajikan tantangan dan keindahan karena bukan jalan utama.

Tidak menyangka, jika di Pulau Flores memiliki persawahan yang luas. Salah satu area persahawan yang luas itu ada di Kecamatan Lembor.
Lembor sentra beras, dengan pertanian yang modern

Selepas mengikuti Jalan Trans Flores – Ruteng – yang menanjak dan berkelok-kelok patah, jalan menurun dan kemudian mendatar sampai di Lembor. Menjelang sampai di Lembor, terbentang persawahan – dimana jalan raya mulus membelah dalam bentuk huruf “L”. Tidak menyangka pula, pertanian padi disini amat modern, ditandai dengan pengerjaannya sudah memakai mesin. Menggunakan mesin dimulai sejak proses penolahan tanah, dan saat panen. Tiba saatnya panen, mesin-mesin seukuan mini buatan merek Jepang ke sawah memanen padi. Mesin keluar dari sawah sudah membawa gabah bersih.


Di sepanjang jalan di Lembor baik menuju Ruteng maupun ke Kecamatan Lembor Selatan, di pinggir jalan petani menjemur padi.

Berada di daratan yang rata dan berada dibawah perbukitan, menjadikan Lembor melimpah air dan menjadikan tanahnya subur. Keadaan ini serupa kearah Ruteng. Namun berbeda dengan kearah Lembor Selatan dan Dintor, semakin ke selatan keadaan alam semakin kering. Jalan Lembor, Lembor Selatan dan Dintor inilah yang saya susuri dengan sepeda.


Tujuan perjalanan dengan sepeda adalah ke Dintor untuk menuju Pulau Mules dan ke Kampung Adat Waerebo.

Perjalanan saya mulai dari Labuan Bajo. Semula saya menggowes sepeda. Setelah menjajal beberapa tanjakan dan kelokan Trans Flores, saya menyerah dan melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum trayek Labuan Bajo-Ruteng. Di Lembor tiba sore. Bermalam di Homestay ….

Di Lembor ada dua homestay, yaitu Homestay …. Dan Homestay. Disini tersedia beberapa tempat makan yang cukuplah, dan tentu ada rumah makan Padang. Perbankan dan ATM yang tersedia, yaitu Bank BRI dan Bank NTT. Kecamatan Lembor memiliki Puskesmas dengan fasilita sUGD dan ada apotik. Jaringan komunikasi dan data hanya tersedia Telkomsel.

Kembali ke atas, perjalanan menuju Dintor, jika dilakukan baik itu dengan mobil, sepeda motor atau bersepda, disarankan membeli makanan dan keperluan lain di Dintor.

Dari Dintor, mengarah ke selatan, selang 1 kilometer dari Pasar Lembor. Jalan relative menurun dan lurus. Di kiri kanan jalan terhampar persawahan. Makin ke selatan, keadaan alam semakain kering.

Setelah melewati Puskesmas Lembor Selatan, ditemui sungai dengan airnya yang bersih disebelah kana jalan. Kemudian, ditemui Desa Nanga Lili, yang mayoritas dihuni oleh warga  berasal dari Bugis. Desa ini berada dekan pantai, jadi masyarakatnya menjadi nelayan. Terdapat masjid cukup dan took kelontong kecil.
Makin ke selatan, alam makin keras, gersang. Sepanjang jalan dari Desa Nanga Lili ke Desa Dintor, tidak ada aliran listrik.
Sampai ke pantai, jalan cukup baik dan besar. Selanjutnya ke arah timur – lebih banyak menelusuri pantai, jalan sedikit mengecil, dengan kondisi jalan cukup baik. Di dua sungai, sedang dibangun jembatan. Pada tahun 2019, kedua jembatan tersebut sudah siap pakai. Meski sedang pembangunan jembatan, mobil ukuran kecil dan mobil wisata bisa melalui jalan ini. Bagi wisatawan ke Kampung Adat Wae Rebo, rute selatan ini pilihan terbaik, karena lebih pendek dan berpemadangan indah.

Rute selatan ini ekskotis, memiliki daya tarik yang khas dan belum banyak diketahui umum. Rute wisata ini, tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dan Kebupaten Manggarai.

Desa Dintor, yang secara administrasi berada di Kabupaten Manggarai, tidak ada apa-apa disini. Sebagai kawasan transit ke dua kawasan wisata, yaitu ke Wae Rebo dan Pulau Mules, seharusnya ditata – supaya menarik dipandang mata.
Terbentang laut lepas di selatan Flores, dan pantai berbatu bulat – lonjong berwarna hitam seakan membingkai pantai.

Jalan beraspal, dikiri perbukitan rendah, dan kiri jalan laut. Jalan turun naik, cendrung lurus kearah timur. Samar-samar, diujung pantai timur, tersembul dari lautan seperti bukit, yang bentuknya berpunduk. Nah itulah Pulau Mules.

Setelah melewati tanjakan pendek, jalan berada diatas tebing pantai. Terdapat kawasan terbuka, dan bebarapa bangunan kecil terbengkalai dan jalan setapak berbeton. Rupanya kawasan ini pernah dibangun fasilitas wisata, tapi tidak dilanjutkan. Pantai Hera nama lokasi ini. Memang terpat sebagai kawasan wisata. Tebing yang curam, dibawahnya terdapat sumber air panas yang keluar dari karang. Laut lepas, dengan pemandangan Pulau Mules. Karena telah memasuki sore, saya berniat istirahat malam disini. Lokasi yang saya pilih bangunan kecil, sepertinya toilet yang terbengkalai. Selagi membongkar bagasi sepeda, saya didatangi warga lokal, dan bertanya mau apa yang saya lakukan. Saya katakan, saya mau bermalam disini. “Jangan disini. Ikut saya saja,” kata Paul Kecil, yang kemudian memperkenalkan namanya.

Saya dibawa ke sebuah homestay, Pante Hera Homestay dimana dia bekerja disana. Homestay tersebut tidak ada tamu. “Bolehkah saya istirahat disini?” “Boleh. Tapi, kita ke rumah saya dulu,” katanya.

Matahari sudah tenggelam. Disini tidak ada penerangan listrik PLN. Dengan lampu senter, saya mengikuti mereka ke kampungnya. Di rumahnya, saya disediakan makan. Setelah makan, saya diantar kembali ke homestay.

“Bapak, karena kami besok pagi akan ke Lembor ada pesta keluarga, bapak kunci saja paga ini,” kata Paul dengan menunjukkan pintu pagar.

Malam itu saya di homestay sendirian. Tida ada suara yang lalu lalang, kecuali suara desiran angin dan deburan ombak yang menampar dinding karang. Pagi sekali, sebagaimana saran Paul Kecil, saya meninggalkan homestay, mengowes sepeda ke Dintor. Kejadian itu, salah satu kebaikan yang saya terima, dari sekian kebaikan yang ditawarkan kepada saya.

Selama dalam perjalanan ini, saya tidak pernah berjumpa dengan mobil, sepeda motor pun sekali-kali saja. Aktivitas cukup besar, pembangunan jembatan. Banyak alat-alat berat memapas tebing batu. Dua bocak kampung, membantu saya mendorong sepeda karena tanjakannya tajam sekali. Kedua bocah tersebut mengantar saya sampai di Desa Borik. Disinilah saya baru menemukan kios kelontong. Saya membeli minuman mineral, dan memesan teh manis. Air mineral menerima pembayaran dari dari saya, tapi teh manis di teko gratis.

Tibalah saya di Dintor sekitar jam 13.00. Serangkaian perjalanan dua hari yang melelahkan, dari atas dipanggang matahari, dari bawah terkena hawa panas aspal.
Lapar dan haus. Di Dintor ada satu-satunya warung makan kecil, tapi pun makanannya tidak tersedia. Maka makan nasi putih dengan telor dadar sajalah.

Dintor, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, merupakan check point ke Kampung Adat Waerebo, ke Pulau Mules dan ke Ruteng. Banyak turis berkunjung ke Waerebo. Jalan yang telah saya lalui, merupakan jalur wisata.

Sebagai pintu gerbang ke wisata unggulan, yaitu ke Waerebo yang legendaris, seperti kampung tak terurus. Jalannya sempit dan kotor. Tidak ada apa-apa disini. Toko kelontong, tempat makan tidak memadai. Toilet, yang sangat dibutuhkan bagi wisatawan, tidak tersedia.

Untuk ke Waerobo, biasanya turis berangkat dari Labuan Bajo dengan mencarter mobil sekelas Avanza seharga Rp.1.500.000. Rute yang dipakai yaitu Labuan Bajo, Lembor, pantai selatan, Dintor. Bisa juga melalui Ruteng.

Ke Dintor,  dari Labuan Bajo maupun dari Ruteng, tidak tersedia transportasi umum. Namun demikian, transportasi umum antara Ruteg dan Dintor, hanyalah apa disebut disana oto cold, yaitu truck yang dijadikan sebagai kendaraan penumpang. Oto cold ini akan menjadi bagian cerita sendiri, karena unik dan mengundang tertawa.
Kapasitas jalan antara Lembor sampai Dintor, bisa dilalui dengan kendaraan kecil sampai sedang. Jalan beraspal, meski kecil di bagian selatan. Dua buah jembatan sedang dalam pembangunan, yang nantinya bisa dilalui oleh mini bus. Disepanjang jalan ke selatan dan diselatan, tidak tersedia warung makan dan Pom bensin. Penjual bensin eceran pun jarang. Toko kelontong ada, namun jarang. Jaringan komunikasi dan data hanya pelayan operator Telkomsel. Dibagian selatan, sampai ke Dintor bagian timur, tidak tersedia jaringan listrik PLN.

Rute Labuan Bajo, Lembor, Dintor bagi saya luar biasa unik dan cantik. Bagi yang gemar jalan-jalan, rute ini boleh dicoba. Sepanjang jalan menyajikan pemandangan dan suasana lingkuran yang berubah-ubah dan berbeda. Selepas kegersangan alam yang kecoklatan, berganti dengan kehijauan dan kebiruan laut. Kemunculan Gunung Pulau Mules selalu membuat kecutan baru. Bukankah wisata itu kejutan-kejutan penglihatan?



Data Metrik GPS :
Labuan Bajo-Lembor   : 60 km
Lembor-Dintor              : 38 km

  

 

























Powered by Wikiloc

Powered by Wikiloc


Powered by Wikiloc


Thursday, June 20, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian II



Labuan Bajo, oh Labuan Bajo….
Berdebu, Tumpukan Sampah, Lalu lintas yang kacau…

Labuan Bajo dulunya berupa kampung nelayan, yang didiami oleh masyarakat Bajo dari Sulawesi. Kawasan kemudian berkembang secara alami, sebagai pijakan berikutnya bagi wisatawan yang hendak mengunjungi hewan komodo di Pulau Rinca, dan pulau lainnya. Nelayan Bajo, adalah pemberi jasa transportasi laut awalnya, sebelum investor datang dengan kepal cepat dan kapal pesiar. Warga asli keturuan Bajo tersebut masih bermukim di Labuan Bajo, di sepanjang pusat wisata.

Kawasan pantai Labuan Bajo berlahan datar sempit. Selebihnya, perbukitan yang mana kemudian berkembang sebagai kawasan perkantoran dan pemukiman.

Kabupaten Mangarai Barat merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai berdasarkan Undang Undang No. 8 Tahun 2003. Wilayahnya meliputi daratan Pulau Flores bagian Barat dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya Kecil, Pulau Bidadari dan Pulau Longos. Luas wilayah Kabupaten Manggarai Barat adalah 9.450 km² yang terdiri dari wilayah daratan seluas 2.947,50 km² dan wilayah lautan 7.052,97 km².

Labuan Bajo merupakan gerbang wisata bukan saja untuk melihat Komodo, tetapi juga melihat kawasan ekskotis lainnya di Pulau Flores. Biasanya, setelah mendatangi Komodo, wisatawan asing, akan melanjutkan perjalanan ke kawasan lainnya di Flores, seperti ke Kampung Adat Wae Rebo, ke Ruteng, Bajawa, dan ke kelimutu.
Kota yang tekenal ini, sayangnya tidak menggambarkan sebagai etalase atau outlet wisata. Kota ini hanya fokus dan terlena menjual komodo. Tamu tidak akan mendapatkan informasi pandang mata di pusat-pusat wisatawa, seperti di pelabuhan, bandara, di titik kumpul wisatawan. Sedangkan di Bandara Komodo, informasi yang menonjol hanya kunjungan ke Komodo.

Kota ini terabaikan. Kotor dan berdebu. Tumpukan sampah membuat kesan yang tidak baik bagi pengunjung.
Di koridor wisata, tepatnya di Jalan Yos Sudarso, lalu lintas kendaraan pribadi, kendaraan wisata dan angkutan ekspedisi menjadi satu. Jalan Yos Sudarso, disandingkan dengan Bali, seperti Jalan Raya Kuta, Jalan Siminyak dan Jalan Legian – dimana terpusat kegiatan tourisme.

Disepanjang jalan ini, pusatnya bisnis pariwisata, hotel, café, rumah makan, jasa wisata, pelayanan daving, perbankan, mini market, dan sebagainya. Betapa kacaunya jalan ini, ketika dilewati oleh truck-truck pengangkut barang, sehingga menggangu aktivitas dan kesantaian turis.

Sebaiknnya pemerintah daerah menyediakan jalan sendiri untuk transportasi besar. Keadaan macam itu, membuat enggan turis melakukan kegiatan di uar hotel.

Jarak antar kota :
Labuan Bajo – Waerebo          : 112 km
Labuan Bajo – Ruteng             : 126 km


























Wednesday, June 19, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian I

Tulisan saya tentang Flores ini terdiri dari 12 bagian. Saya menjelajahi Flores dan Sumba dengan mengendarai sepeda, transportasi umum darat dan laut. Dan, Serial ini akan di up date.



BUNGA RAMPAI FLORES




 “Hallo mister” sebuah tegur sama masyarakat flores setiap ditemui di jalan-jalan. Sapa yang antusias diucapkan oleh anak-anak sampai orang dewasa.

Sapaan itu sebuah awal dari kerahaman dan sopan-santun masyarakat Flores terhadap pendatang yang mereka anggap asing.

Keramahan tulus masyarakat Flores akan terasa nyata dengan suguhan kopi panas ketika tamu duduk di beranda rumah mereka. Bahkan ketika kita sedang berteduh dari sengatan matahari.

Keserdahanaan atau serba berkekurangan ekonomi masyarakat, bahkan kekurangan air tawar, tidak mengurangi keramahan mereka dengan suguhan – yang hanya bisa memberikan secangkir air panas.
Pengalaman saya berhari-hari dengan sepeda di jalanan Flores sangat terbantu oleh keramahan orang Flores. Misalnya, ketika saya mengayuh sepeda di pesisir Flores, saya diberi tumpangan bermalam dan diberi makan. Di Pula Mules, saya ditampung oleh Pak Guru yang mengajar di Sekolah Dasar. Di Bajawa, untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, saya dibantu dengan sepeda motor.

Keramahan dan sopan santun masyarakat Flores bertolah belakang dengan kesan masyakarat di Pulau Jawa bahwa orang Flores sebagai orang suka dengan kekerasan pisik. Orang Flores sendiri juga mengetahui dan menyadari kesan negative masyarakat luar tentang mereka. Tapi mau dikata apa, seperti itulah anggapan orang-orang.

Kesan negative tersebut akan hilang dengan sekita ketika kita berada di  bumi “bunga” ini.
Karena suguhan kopi setiap  bertamu, seorang guide tour – yang beberapa kali bertemu di kawasan wisata, dengan tertawa-tawa berucap, “May Trips, may drink coffe”. “This is Flores….”

Penamaan Flores diberikan oleh bangsa Portugis, ketika bangsa kulit putih itu menancapkan kakinya di pulau Flores. Flores yang berarti bunga atau kembang, cara bangsa Portugis pada zaman itu mempersonikan keindahan alamnya dengan bunga. Tidak salahlah mereka menamainya seperti itu. Memang indah, berbunga-bunga.

Alam Flores yang Berbeda-beda
“Bebunga-bunga”, bukan pengertian banyak bunga. Berbunga-bunga, lebih karena keaneragaman alam dan budaya di Pulau Flores. Perwajahan alamnya bagai membalik telapak tangan. Pada kawasan tertentu, terbantang kegersangan, kemudian hanya dalam puluhan kilo meter saja, hijau dengan pegunungan. Berbunga-bunga, bagai bunga rampai – yang mana dalam seonggok  bunga banyak jenis dan warnanya.
Alam Flores  penuh kejutan. Adakalanya hijau kelam, kemudian tiba-tiba berwajah gersang kecolatan. Di Kawasan tertentu, warga masyarakat dilipahi air bersih. Di Kawasan lain, warganya kesusuhan air.

Bergerakan ke timur ke arah Ruteng dari Labuan Bajo, langsung dihadapkan dengan perbukitan yang hijau. Memasuki Lembor, ditemukan bentangan sawah yang rata dan luas. Dari Dintor ke selatan, pesisir selatan – barat Flores, diawali dengan persawahan, diakhiri dengan kering.


 
Infrastruktur Jalan Raya
Saya menikmati jalan raya Flores, baik itu jalan utama Trans Flores, Jalan Kabupaten, maupun jalan pedesaan. Jalan raya di Flores, beraspal halus dengan marka jalan dan rambu-rambu lalu lintas yang lengkap. Di setiap perbelokan, jalan dilebarkan untuk memudahkan kendaaran besar bermanufer. 
Jalan  raya di Flores, dikenal dengan Trans Flores, berbelok-belok tajam dengan elevasi yang tajam. Kondisi jalan ini khas Flores. Kesamaannya di dengan daerah lain, adannya di Sumatera Barat dan di Kawasan Toraja.

Jalan raya Flores digemari oleh para back peckers, sepeda touring, pengendara sepeda motor, dan pengendara roda empat yang gemar menjelajah. Dari GPS yang di upload di pengembang Peta Pintar, banyak sekali dan mayoritas yang meng-upload atau berbagi rute, adalah orang asing. Kesimpulan saya, Flores dan juga Sumba merupakan kawasan bagi orang melakukan “perjalanan mandiri”.
Jarak antar kota antara 60 km sampai dengan 80 km.

Transportasi
           Transportasi Udara
       A.     Labuan Bajo                   : Dari dan  ke Jakarta, Bali, Kupang dan Surabaya.
               Ende                                : Dari dan ke Jakarta, Bakli, dan Kupang
       B.    Transportasi Laut             : Dari dan ke Surabaya dan Kupang
       C.    Transportasi Darat           : Antar kota di Flores terdapat pelayanan bus dan travel.
       D.    Transportasi Lokal           : Perahu pesiar dan Ojek Wisata

Terminal-terminal angkutan umum di Flores, ramah terhadap calon penumpang. Bagaimana dikatakan demikian, diterminal dibuatkan kursi tamu bersandar dari beton dan dalam bentuk persegi panjang. Bentuk tempat tunggu persegi panjang tersebut bisa dijadikan sebagai tempat beristirahat oleh calon penumpang. Maklum saja, warga adakalnya cukup lama menunggu kedatangan bus – yang banyak tidak banyak jumlahnya.
 
Kuliner
Terimakasih kepada Nasi Padang.
Ini bukan promosi dan iklan dari saya. Ini sebuah fakta dimana saya terbantu sekali oleh Warung Padang untuk makan saya. Dimana-mana, aka nada rumah makan Padang. Saya membayangkan, apa bisa dimakan pendatang seperti saya ini jika orang Minang tidak membuka rumah makan di pelosok Flores.


Soal makanan, tidak banyak pilihan di Flores, apalagi di Sumba. Pembuat makanan siap saji dijajakan di warung makan, dilakukan oleh warga perantau dari Sumatera Barat, dari Pulau Jawa dan warga dari Sulawesi Selatan. Makanan yang beragam, hanya bisa ditemui di Labuan Bajo, Ruten dan di Ende. Labuan Bajo, banyak terdapat restaurant, café, rumah makan. Karena Labuan Bajo sebagai pusat aktivitas turis, disini banyak tersedia berbagai makanan yang berselara Barat. Di Ruteng, banyak terdapat rumah makan. Di Ende, sebegai kota yang ramai, banyak ragama makanan, baik makanan utama maupun makanan pendamping. Namun demikian, di setiap kota kecamatan, ada rumah makan Padang, bahkan lebih dari dua rumah makan. Ini tentu sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan kalori masyarakat. Sedangkan untuk makanan kecil, setiap kota ada pembuat roti dan kue.

Di Flores buah-buahan dan sayur-sayuran langka. Buah-buahan local jeruk, manga, sejenis markisa manis, pisang, talas, singkong disana disebut ketela, dan jagung.
Ayam pedaging dan telor ayam di Flores harganya mahal. Daging sapi dan ikan relative lebih murah. Harga satu porsi makan, katakanlah di Warung Padang, dengan lauk ayam Rp. 25.000, dengan dading Rp. 25.000 dengan telor atau ikan hanya Rp. 15.000.
Di Flores ada tempe dan tahu. Dan, ada pedagang gorengan di pinggir jalan.

Volume Makan
Katik, adik sepupu saya, mengingatkan saya, kalua memesan makanan,nasinya minta setengah porsi. Kok begitu. Ketika di Lembor, saya makan di warung Padang, dengan nasi normal forsi lokal. Betul kata si Katik, saya mampu menghabiskannya. Besoknya, sebelum melanjutkan perjalanan, saya ke warung padang itu lagi, membai nasi bungkus sebagai bekal dijalanan. Ketika saya makan di jalanan yang teduh di Lembor Selatan, nasi bungkus itu tak mampu saya habis. O, ya, untuk saya tidak lupa dengan percakapan kecil di rumah Pak Guru di Pulau Mules. Ketika makan malam dengan temannya yang menjadi guru honer SMP, “Orang Flores makannya banyak Pak. Jadi, bapak jangan malu-malu makan banyak,” ujar Pak Guru tertawa.

Kebutuhan Sehari-hari
Setiap orang memiliki kebutuhan dan pilihan sendiri. Di Flores memang tidak ada mini market modern sebagaimana adanya di Pulau Jawa, namun di Flores ada mini market dan bahkan super market bermerek local. Dapat saya pastikan, kebutuhan pribadi setiap orang kota, tersedia. Disamping itu, banya terdapat kios kelontong.

Penginapan / Hotel
Setiap kota,  bahakan di kecamatan tersedia penginapan. Hotel-hotel atau homestay tersedia di setiap kota.

Bahan Bakar kendaraan
Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) Pertamina ada di setiap kota. Keberadaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar letakknya di pinggir kota.
Jaringan Seluler
Jaringan data dan komunikasi telpon merata tersedia oleh pelayanan Telkomsel. Layanan lainnya, yaitu Indosat dan XL, tapi baru di kota-kota saja.
Bank dan ATM
Layanan Bank dan ATM disediakan oleh BRI, BNI dan Bank NTT.

Layanan Listrik PLN
Dari kota sampai ke kecamatan teraliri oleh listrik PLN. Kecuali beberapa desa belum ada jaringan listrik.

Bahasa
Tentu Bahasa lokasl lebih dominan. Namun, pemakaian Bahasa Indonesia dalam berkomuniasi sehari-hari baik sesame warga local, mapun dengan pendatang sudah menjadi Bahasa percakapan sehari-hari.

Tempat Ibadah
Penduduk Indonesia yang mayoritas Islam, sedangkan di NTT mayoritas pemeluk Nasrani Katolik, tidak menghambat umat Islam melakukan ibadah. Banyak masjid dan musholla di Flores. Sebagai mayoritas Nasrani, kerukunan disana baik sekali. Termasuk makanan halal, seperti daging. Pemotongan hewan untuk ayam, sapi, kambing dipastikan disembelih kalangan Muslim.

Toleransi di Jalan Raya
Karena kondisi gerografisFlores yang berkontur-kontur, jalan raya di Flores berliku-liku dengan tanjakan panjang dan dengan jalan menurun panjang pula. Karakter jalan raya macam itu membuat para pengemudi mobil dan sepeda motor saling menghomati kendaraan lainnya. Kelakson, lampu hazard dan lampu sen, diaktifkan sesuai dengan fungsinya.
Sopir yang Menyenangkan
Pengemudi travel, pengemudi bus antar kota, pengemudi angkutan local, ramah kepada penumpang. Mereka melayani dari pintu ke pintu.

Ketemu Dua Bule
Di Way Kabubak, Sumba Barat, saya bertemu denga  seorang pria Eropa yang sudah berusia. Usinya antara 60 sempai 70 tahun. Namanya Herman. Pak Herman, dia senang sekali saya panggil Pak. “Saya senang dipanggil Pak. Jangan Bapak, cukup Pak Herman saja,” pintasnya.
Pak Herman ini, lama di Jogya, katanya 15 tahun. Lima tahun terakhir, Pak Herman sering ke Flores, Sumba, Timor, Alor, dan pelosok pulau di NTT.

“Saya berasal dari Belgia. Seorang pensiunan. Saya ingin mati di Sumba,” terang Pak Herman.
Tiga tahun terakhir ini, Pak Herman mengontrak rumah di Way Kabubak. Kegiatan dia sehari, berbaur dengan masyarakat dan jalan-jalan ke kampung-kampung.
“Sumba, Flores, Alor dan lain-lain cantic sekali….,” katanya dalam Bahasa Jawa. Saya tak paham Bahasa Jawa, lalu diterjemahkan oleh Mbak-Mbak penjual pulsa. Lalu, kami tertawa-tawa.
“Kepada masyarakat, pemilik tanah, saya katakana kepada mereka, ‘jangan jual tanah’ kamu. Jika ada yang mau beli, pilih kerjasama saja, sehingga kamu dan ketrunan kamu bisa kaya,” kata Pak Herman kepada saya. Saya setuju itu….

Di Air Panas Malanage, Bajawa, saya ketemu dengan seorang bule yang juga sudah berumur. Orang-orang memanggilnya Om. Si Om ini, berasala dari Canada. Pada hari itu, dia mendampingi sejumlah tamunya dari Canada. Bule-bule Canada tersebut, tinggal di akomodasi miliknya.

Si Om – yang gemar merokok Ji Sam Soe ini, prihatin dengan lokasi-lokasi cantic sudah dikuasai oleh pendatang sampai bangsa asing. Pandangannya sama dengan Pak Herman, agar masyarakat local menikmati dan makmur dengan kedatangan wisatawan. “Saya sedih, banyak tanah bagus sudah milik orang. Saya minta masyarakat untuk tidak menjual tanahnya. Jika saya mau, saya bisa beli, tapi tanah saya sewa, dan bekerja sama dengan desa,” tegas Si Om, yang mengajarkan Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.
Selain keprihatinanya soal tanah beralih pemilik, Si Om – yang beristrikan wanita setempat, Si Om seperti marah dengan sampah manusia di tempat-tempat di wisata. Nah, untuk memberikan kesadaran kebersihan lingkungan sejak kecil, bocah-bocah yang belajar Bahasa asing kepadanya, membayarnya dengan sampah plastic.

Bagai Anekdot
Ngobrolin, bincang-bincang ringan mengenai Flores, bagai sebuah anekdot. Realitanya entah iya dan entah tidak, seperti guyonan.  Ternyata benar-benar fakta. Misalnya, benarkan sepeda motor di Flores tidak pernah dikunci? Benarkah volume makan orang Flores besar? Benarkah orang Flores pemarah dan kasar? Seperti apa itu Oto Cold, bis kayu? ( Baca Bab : Oto Cold……). Cerita berikut ini saya rangkum dari pengalaman dan cerita orang lain, dan apa yang saya temukan.

Semenjak saya berada di kapal  Labuan Bajo dari Surabaya, saya tentu banyak ngobrol dengan warga setempat dan perantau. Cerita yang  banyak dituturkan, ialah keramahan orang Flores dan senang menjamu tamu.

Soal kunci sepeda motor. Saya punya saudara sepupu, M Iqbal Katik, yang mengajar di Politeknik Pariwisata Labuan Bajo. Katik panggilannya, ke Labuan Bajo membawa sepeda motor untuk sarana transportasinya. Di stang sepeda motornya menggantung kunci gombok. Gombok sepeda motor tersebut menjadi olok-olok teman-temannya di Labuan Bajo. “Kunci ini tak perlu disini. Buang saja,” kata teman Katik tertawa.

Lain padang lain ilalang. Laik lubuk, lain ikannya. Seorang perantau dari Jakarta yang bekerja di Rumah Makan Padang Ranagh Minang yang terkenal di Ruteng, membawa kedua kebiasaan di dua tempat. Di Ruteng, dia terbiasa meinggalkan kunci stater di sepeda motor. Ketika dia pulang ke Jakarta, kebiasaan meninggalkan kunci starter di sepeda motor dibawanya pula. “Beberapa kali saya begitu. Untung saja sepeda motor pinjaman nggak hilang,” Izul, 30 tahun, yang berasal dari Jakarta Timur.
Seorang Guide tour di Bajawa, berteriak hebok dengan mengangkat gelas kopi di tangannya. “May adventure, my drink coffee.” Begitulah yang saya alami, selama perjalanan saya dengan sepeda. Dimana saya berhenti istirahat, disitu ada warga, saya disuguhi kopi panas.

Dalam hari kedua saya menggowes sepeda dari Labuan Bajo tujuan Dintor, di pantai selatan yang memukau, saya nyaris bermalam di bangunan toilet yang terbengkalai pembangunannya. Sekitar jam 15.00 waktu setempat. Hitungan ekstimasi waktu dan jarak ke Dintor, saya akan sampai sekitar jam 19.00. Dalam pikiran saya, jika perjalanan saya teruskan, akan banyak momen-momen foto yang terbaik terlewatkan. Sekitar jam 17.00, saya putuskan bermalam di lokasi tersebut.

Lokasinya bernama Pantai…. Pantai bertebing curam, dengan pemandangan laut dan Pulau Mules. Deburan ombak menghantan tebing karang, bersaut-sautan, sesekali angin berhembus kencang. Saya bongkar bagasi sepeda. Saya hendak menggelar matras, ketika itulah saya dihampiri seoarang anak muda yan memakai sepeda motor.
“Bapak mau apa disini?,” tanya dia.
“Saya akan bermalam disini. Besok pagi saya akan lanjutkan perjalanan ke Dintor,” jawab saya.
“Oh, jangan disini. Disini aman, tapi banyak angin. Ikut saya,” katanya.

Perabotan sepeda saya loading kembali. Saya mengikutinya ke jalan aspal. Saya dibawa ke sebuah homestay, Pante Hera Geust House  namanya. Homestay yang terbuat dari kayu dan bambu tersebut berada diatas tebing pantai, dengan beberapa pondok peristirahatan. Homestay tersebut tidak ada tamu. Pemiliknya bernama Paul, orang Amerika. Penjaganya dinamai pula Paul Kecil. Paul Kecil itulah yang menyediakan tempat istirahat. “Sebelum gelap, kita rumah saya dulu. Kita makan dulu, nanti bapak saya antar kesini.”

Saya mengikuti dengan membawa headlamp.  Rupanya di, perkampungan berada di dalam. Kampung tersebut tidak ada listrik. Rumah Paul, rumah beton yang belum diplaster dan lantainya masih tanah sebagian. Karena malam, penerangan memakai listrik desa – yang hanya sampai jam 22.00. Sembari istrinya memasak, kami ngobrol sambal minum kopi. Hidangan disuguhkan, nasi, mie instan dengan telor. Selesai makan, saya diantarkan kembali ke homestay oleh suadaranya. Sesampai di homestay, saudara Paul, berkata, “Bapak, besok pagi, kami semua mau ke Lembor untuk acara keluarga. “Jadi, besok pagi, bapak kunci saja sendir ipagar homestay. Cara seperti ini,” katanya. “Selamat malam bapak. Selamat beristirahat. Semoga selamat,” katanya.

Pagi sekali, saya tinggalkan homestay tersebut. Tentu saya kunci-kunci dulu.
Perjalanan yang indah…

Matahari sudah mulai meninggi, tapi masih jauh untuk sampai di puncak tertingginya. Jalan naik turun, dan tidak banyak kelok. Mulut ini, terasa pengen meminum teh manis panas. Ukhhh, tidak ada kedai disini.
Dua bocah putus sekolah saya temui di sebuah ptoyek pembangunan jembatan. Jalannya lansung menikung dan mendaki. Kedua bocah tersebut, terus mengikuti saya. Ternyata, kedua bocah tersebut setiap hari di lokasi itu untuk membantu sepeda motor yang tidak kuat mendaki jalan. Keduanya membantu dengan mendorong sepeda motor, dengan imbalan sekadarnya. Mereka itu pulalah yang membantu saya mendorong sepeda sampai ke jalan rata diatas bukit. “Dek, dimana ada kios disini,” tanya saya. “Ada diatas Pak,” katanya.

Satu-satunya kios umum di rute ini, terdapat di Desa…. Kios tersebut milik desa. “Bang, bikinkan saya teh manis yang banyak,” pinta saya.

Sembari menunggu teh manis panas, saya mengambil air mineral untuk bekal dan saya minum saat itu. Katika saya minta tagihan pembayaran, saya hanya membayar air mineral, sedangkan teh manis gratis. Saya melanjutkan perjalanan, kedua bocah tersebut saya kasih uang jajan.  
Sampailah saya di Dintor sektar jam 12.00-an.

Tidak ada apa-apa di Dintor. Dintor hanyalah kampung kecil, sebuah persimpangan tujuan ke Kampung Adat Wae Rebo dan ke Pulau Mules.
Saya kebingungan karena tidak ada kapal atau perahu untuk menyeberang ke Pulau Mules. Saya berharap, kapal wisata bantuan dari Kementerian Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia sebagaimana ramai diberitkan dan dimuat foto kapal tersebut tidak ada disini. Dalam berita disebutkan, kapal tersebut diperuntukkan untuk Desa Luca Mulas, di Pulau Mules. Berkat bantuan Pak Guru, yang berasal dari Wae Rebo, saya dibantu untuk bisa ke Pulau Mules bersamanya. Bawaan saya berendong petong, dibantu olehnya menaiikan ke perahu nelayan. Sampai di Pulau Mules, Pak Guru langsung mengajak saya ke rumahnya. “Rumah saya gubuk,” kata dia.

Benar juga rumahnya betul-betul gubuk kayu yang berada di hadapan sekolah. Rumah tersebut dia sendiri yang membangunnya. “Tidur dan makan disini saja. Nanti lapor ke Sekretaris Desa,” pintanya.

Di rumahnyalah saya selama 2 malam. “Besok, Bersama saya saja kembali ke Dintor karena saya harus ada tugas ke Ruteng,” katanya.

Pukul 04.00, kami dengan penerangan senter, saya menggowes sepeda ke Kampoung Petji untuk menumpang dengan perahu bermotor ke Dintor. Di Dintor, kami berpisah. Pak guru dengan sepeda motor, saya di Dintor menunggu oto cold untuk ke Ruteng.

Cerita Sopir Truk di kapal
Saya sedang berada di Aimere untuk tujuan ke Kampung Belaraghi. Di Dermaga Aimere, bejejer truck ukuran menengah bermuatan penuh. Konvoi truck tersebut ber plat nomor AB dan AD.  Mereka ini sudah  2 hari menunggu kedatangan kapal dari Kupang – yang dijadwalkan tiba pada hari Selasa untuk selanjutnya ke Wai Ngapu Sumba. Pada Selasa jam 08.08, kapal very  mengangkat sauh. Saya ikut jadi penumpang di kapal tersebut. Kapal tersebut penuh. Membawa truk, mobil pribadi, sepeda motor, hewan ternak babi seukuran anak sapi dan buah pisang. Baru saya ketahui kemudian, bahwa di Sumba tidak ada tanaman pisang.


Di kapal, saya kebetulan duduk-duduk berdekatan dengan para sopir dan kenek truck. Maka keluarlah cerita pengalamannya selama mengemudikan truck di Flores. Seorang sopir yang datang dari Solo, bercerita truknya mogok di Jalan Raya Trans Flores, filtes olie truck-nya pecah. Hari sudah malam, dan jauh dari kampung. Dia memutuskan bermalam di jalan, menunggu pagi ke Ruteng untuk membeli filter olie baru. Sepeda motor, menghampirinya. Pemilik sepeda motor bertanya, kenapa Mas, ada masalah? Sopir truck menjawab, filter olie trucknya pecah. Warga tadi, menjawab, “Mas, saya akan kembali. Saya pulang dulu,” Si Sopir mengulang percakapan warga tersebut. Si Sopir truck dan keneknya mengabaikan janji warga tersebut akan kembali. Selang 3 jam kemudian, warga tadi datang dengan mobil mini kap. Dia membawa magic gear yang sudah ada nasi matang, lauk telor dadar, ikan asin dan sambal juga ada, termos berisi air panas, plus gula, koi dan teh. Mereka makan bersama. Warga tersebut turut bermalam di lokasi. Paginya, sopir truck diantar ke Ruteng untuk membeli filter olie. Kembali ke truck, filter olie dipasang, mobil hidup kembali. Sebagai balas jasa, sopir truck memberikan uang Rp.300.000. Si Warga menolak pemberian tersebut. “Mas, saya tidak minta uang. Saya hanya menolong mas saja,” ujar Sopir truck – yang ketika itu, adiknya sebagai kenektur. “Nih, adik saya,” sopir tersebut menunjuk adiknya yang membawa kopi dari kantin kapal. Sopi truck dari Solo itu, kemudian bertemu lagi dengan saya di kota Waitabula, Sumba Barat Barat Daya. 

Akhirnya berebut ceritalah para sopir-sopir tersebut.
Seorang sopir lain yang berbadan tambun, berasal dari Maluku. Di Flores pula, sekembali dari Sumba, truck mogok di jalan. Sore menjelang malam, dia diahmpiri warga kampung, menawarkan rumah untuk beristrahat. Si sopir, menolak tawaran tersebut karena sungkan. Warga tersebut kembali menyemput dia dan keneknya. Akhirnya kedua mengikuti warga tersebut. Sopir dari Maluku Utara tersebut, diseaikan makan dan kamar untuk tidur. Selama dua hari memperbaiki trcknya, dia diatarkan makan siang. Makan malam dan tidur di rumah warga. Ketika hendak pamit karena trcuknya sudah bija jalan lagi, si sopir memberi uang Rp.200.000, sebagai tanda terimakasih. Si pemilik rumah menolak pemberian tersebut.


HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023