Saturday, July 06, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian VI

Homo floresiensis, Sebagai asal usul Manusia Flores


Sisa dari salah satu spesies manusia purba yang paling baru ditemukan, Homo floresiensis (dijuluki 'Hobbit'), sejauh ini hanya ditemukan di Pulau Flores, Indonesia. Fosil-fosil H. floresiensis berasal dari sekitar 100.000 dan 60.000 tahun yang lalu, dan peralatan batu yang dibuat oleh spesies ini berasal dari sekitar 190.000 hingga 50.000 tahun. Tinggi H. floresiensis individu berdiri sekitar 3 kaki 6 inci, memiliki otak kecil, gigi besar untuk ukurannya yang kecil, bahu yang mengangkat, tidak ada dagu, dahi yang surut, dan kaki yang relatif besar karena kaki pendek mereka. Meskipun tubuh mereka kecil dan ukuran otak, H. floresiensis membuat dan menggunakan alat-alat batu, memburu gajah kecil dan tikus besar, diatasi dengan predator seperti naga Komodo raksasa, dan mungkin telah menggunakan api.
Perawakan kecil dan otak kecil dari H. floresiensis mungkin dihasilkan dari pulau dwarfisme — proses evolusi yang dihasilkan dari isolasi jangka panjang di pulau kecil dengan sumber makanan terbatas dan kurangnya pemangsa. Gajah-gajah kerdil di Flores, yang sekarang sudah punah, menunjukkan adaptasi yang sama. Spesies terkecil dari gajah Homo dan Stegodon keduanya ditemukan di pulau Flores, Indonesia. Namun, beberapa ilmuwan sekarang mempertimbangkan kemungkinan bahwa nenek moyang H. floresiensis mungkin kecil ketika mereka pertama kali mencapai Flores.

Salah satu ilmuwan kita sendiri, Dr. Matt Tocheri, melakukan penelitian pada spesies manusia purba awal ini.

Tahun Penemuan 2003
Tim peneliti gabungan Indonesia-Australia menemukan LB-1 — kerangka perempuan hampir lengkap dari manusia kecil yang hidup sekitar 80.000 tahun lalu — di gua Liang Bua di Pulau Flores, Indonesia. Ciri-ciri unik kerangka seperti tubuh kecil dan ukuran otaknya mengarahkan para ilmuwan untuk menugaskan kerangka ke spesies baru, Homo floresiensis, dinamai berdasarkan pulau tempat ia ditemukan.

Karena temuan awal, tulang dan gigi yang mewakili sebanyak 12 individu H. floresiensis telah ditemukan di Liang Bua — satu-satunya situs di mana H. floresiensis telah ditemukan sejauh ini. Sebagian besar temuan terkait dengan H. floresiensis antara 100.000 dan 60.000 tahun yang lalu, dengan alat-alat batu yang dibuat oleh spesies ini yang berusia antara 190 dan 50.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan jenis kelamin perempuan, dengan tinggi badan 106 cm (3 kaki 6 inci), berat badan 30 kg.

Kita tidak tahu segalanya tentang leluhur awal kita - tetapi kita terus belajar lebih banyak! Ahli paleoantropologi terus-menerus di lapangan, menggali area baru dengan teknologi inovatif, dan terus mengisi beberapa celah tentang pemahaman kita tentang evolusi manusia.
Di bawah ini adalah beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab tentang Homo floresiensis yang mungkin dijawab dengan penemuan masa depan.

Spesies hominin mana yang membuat alat batu berumur 1 juta tahun ditemukan di Flores?
Bagaimana manusia purba ini berhasil sampai ke Pulau Flores?
Apakah H. floresiensis memiliki bahasa, membuat seni, dan memiliki bentuk-bentuk ekspresi budaya lainnya?
Apakah H. floresiensis dan spesies kita, H. sapiens, pernah bersentuhan satu sama lain?
Apakah letusan gunung berapi di Flores alasan H. floresiensis punah?

Seberapa miripkah DNA H. floresiensis dengan DNA spesies manusia lainnya? Sejauh ini, tidak ada DNA yang diambil dari tulang seorang H. floresiensis.

Bagaimana Mereka Bertahan
Alat-alat batu yang ditemukan di pulau Flores menunjukkan bahwa manusia purba tiba di sana setidaknya 1 juta tahun yang lalu, tetapi tidak diketahui bagaimana manusia purba tiba di sana karena pulau terdekat berjarak 9 km (6 mil) di seberang lautan berbahaya. Ahli paleoantropologi menemukan banyak perkakas batu yang dikaitkan dengan H. floresiensis, dan alat ini secara luas mirip dengan yang ditemukan sebelumnya di Flores dan sepanjang karier evolusi manusia (yaitu, alat Paleolitik Bawah di Asia atau alat Oldowan di Afrika). Ada juga bukti bahwa H. floresiensis secara selektif memburu Stegodon (jenis gajah yang telah punah) karena ratusan fragmen tulang Stegodon ditemukan dalam lapisan pendudukan H. floresiensis dan beberapa tulang Stegodon ini menunjukkan tanda-tanda pemotongan daging.

Informasi Pohon Evolusioner
Meskipun ada perdebatan ilmiah mengenai apakah LB-1 (holotipe Homo floresiensis) dapat mewakili manusia modern dengan penyakit atau gangguan pertumbuhan, sebagian besar ilmuwan sekarang mengakui H. floresiensis sebagai takson yang valid dan spesies manusia yang berbeda dari Homo sapiens (manusia modern). Para ilmuwan sekarang mencoba untuk mencari tahu bagaimana H. floresiensis terkait dengan spesies lain dalam genus Homo. Sebagai contoh, apakah H. floresiensis berevolusi dari populasi H. erectus sebelumnya, atau apakah ia berevolusi dari spesies yang lebih kecil, seperti manusia purba yang ditemukan di Dmanisi (Republik Georgia), atau mungkin spesies awal dari genus Homo?
 
Kepala wanita ini, seperti bagian tubuhnya yang lain, sangat kecil. Otaknya sekitar sepertiga ukuran kita, tetapi spesiesnya membuat dan menggunakan peralatan batu, dan memburu berbagai hewan. Ukuran tubuh kecil Homo floresiensis mungkin telah membantu spesies bertahan hidup di pulau dengan sumber daya terbatas.

 

Item Pameran LB-1Nickname, Situs Hobbit, Liang Bua, Flores, Indonesia tahun penemuan 2003, ditemukan oleh Wahyu Saptomo, Benjamin Tarus, Thomas Sutikna, Rokus Karena Awe, Michael Morwood, dan Raden Soejono.  Spesies: Homo floresiensis. Umur: 80.000 tahun
Wanita dewasa ini, yang meninggal sekitar usia 30, hanya sedikit di atas 1 m (3,5 kaki). Otaknya, diperkirakan mencapai 400 sentimeter kubik, sekecil simpanse dan australopithecus terkecil. Dia memiliki tonjolan alis yang cukup besar, dan giginya relatif besar terhadap sisa tengkorak. Fosilnya terdiri dari tengkorak yang hampir lengkap dan kerangka parsial yang termasuk kakinya, tangan, kaki, bagian pelvisnya, dan fragmen lainnya. LB-1 adalah fosil H. floresiensis paling lengkap yang ditemukan hingga saat ini

© Copyright Smithsonian Institution (link is external)
Site Last Updated: December 3, 2018


Powered by Wikiloc


Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian VI

RUTENG, KAWASAN PEGUNUNGAN YANG HIJAU DAN SUBUR



“Sisa dari salah satu spesies manusia purba yang paling baru ditemukan, Homo floresiensis (dijuluki 'Hobbit'), sejauh ini hanya ditemukan di Pulau Flores, Indonesia,” demikian kutipan oleh Smithsonian Institution. Maka dikenalah Ruteng di seluruh dunia sebagai kawansan saintis sejak ditemukannya fosil manusia purba pada tahun 2003.

Sekilas tentang Kota Ruteng
Ruteng merupakan Ibukota Kabupaten Manggarai. Berada di pegunungan. Berhawa sejuk, dengan curah hujan yang sering. Kondisi alam macam ini, membuat kawasan Ruteng subur. Kota ini dikelilingi bukit dan persawahan.
Kota Ruteng cukup luas, dan umumnya berupa bangunan lama, terutama di pasar. Toko-toko di pasar Ruteng, merupakan bangunan tua. Beratap seng, dengan pintu kayu bermotif – yang berwarna hijau. Toko-toko ini menjual segala kebutuhan masyarakat. Meski disini mini market modern tidak ada, terdapat banyak toko kelontong yang  memadai untuk kebutuhan pendatang dari kota besar. Pasar tradisionil Ruteng, umumnya yang berdagang masyarakat dari suku Minangkabau.
Ruteng memiliki lapangan yang luas, juga berfungsi sebagai alun-alun – untuk berbagai kegiatan bersama dan bersifat massal. Alun-alun tersebut berada di hadapan Kantor DPRD Manggarai dan Polres Ruteng.
 
Apa saja Objek Wisata di Ruteng?
Homo floresiensis
Fosil berupa kepala dan rangka manusia, diyakini sebagai manusia purba berjenis lain, ditemukan di Liang Bua. Liang Bua, berada di Dusun Golo Manuk, Desa Liangbua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, … km di utara kota Ruteng. Liang Bua, dalam Flores diartikan sebagai gua atau liang. Di kawasan kars ini, memang banyak terdapat gua. Tulisan lengkap tentang manusia purba Flores ini, baca Bab … :  Homo floresiensis
 
Kampung Adat Ruteng Puu
Kampung Ruteng terletak di Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT. Dari kota Ruteng, Ruteng Puu berjarak 4.5 km saja, bisa dicapai dengan sepeda motor. Ada 4 unit rumah adat disini. Warga dengan tangan terbuka menerima tamu untuk berkunjung dan bahkan bermalam. Untuk kunjungan saja, tidak dipungut bayaran. Kecuali bermalam, dengan biaya Rp. 250.000. Soal biaya, tidak terlalu ditekankan, dikembalikan lagi keikhlasan para tamu untuk memberikan uang.

Asal usul orang Ruteng dan Runtu

Kampung Ruteng sejak dulu dihuni oleh dua klan yang berbeda, Ata Ruteng dan Ata Runtu. Suku Ruteng dikisahkan mempunyai leluhur orang Minangkabau, Sumatra Barat. Leluhur mereka terdiri dari Nggoang(yang memperanakan orang Ruteng), Roang yang memperanakan orang Pitak, dan Wulang yang memperanakan orang Leda. Mereka datang dari Minangkabau melalui Goa(Sulawesi Selatan), kemudian menyusur melewati Bima(NTB), dan pada akhirnya mendarat di Warloka(Manggarai Barat). Bersama juga ada leluhur orang Todo menepi di Satar Mese. Ketika tiba di Nte’er atau Pela, leluhur orang Todo dan leluhur orang Ruteng berpisah. Orang Ruteng meneruskan perjalanan menuju arah timur dan menetap di Ndosor (sebuah wilayah pegunungan di bagian selatan Kota Ruteng, sekarang di sebut poco Nenu) (Ibid, hal. 19).

Sementara historigrafi orang Runtu hanya diceritakan melalui cerita rakyat yang diturun-temurunkan. Ada kisah bahwa leluhur mereka adalah Sawu. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Setibanya di Manggarai Sawu menempati wilayah Mando Sawu. Ia memiliki dua anak, Sawu Sa yang laki-laki dan Riwe yang perempuan (Robert Syukur, Adak Penti Compang Ruteng: Sebuah Simbol Ziarah Pencarian Diri Orang Ruteng, unpublicated, hal. 12). Ada keyakinan bahwa mereka yang pertama menempati kampung itu dan membangunnya, yang mereka sebut Beo Ruteng atau kampung Ruteng.





























Sawah Jaring Laba-laba
Ketika membuka Google Earth dalam pengambilan data navigasi untuk mengekplor kawasan Pulau Flores, ditemukan persawahan yang pematangnya seperti jaring laba-laba, atau seperti jari-jari. Sawah dengan pola jarring laba-laba tersebut, yang kemudian di bahasa Inggris-kan menjadi spider web rice field, dalam bahasa lokal disebut lodok. Pola pembagian macam itu, disebut lodok, sebagai tanah ulayat yang dipakai secara adat. Sistim adat macam itu masih diterapkan.

Memang bentangan sawah macan itu menjadi unik untuk disaksikan. Dan keunikannya tersebut, menjadi salah satu menu wisata disana. Sawah lodok, banyak ditemukan di kawasan Kabupaten Manggarai – yang berdampingan pola persawahan umum.

Untuk dapat mengabadikannya, hanya pada musim awal tanam, ketika padi baru berumur 1 sampau 2 bulan tanam. Ketika padi sudah menjelang dituai, pematang jari-jari tersebut hampir tidak kelihatan. Masa potong padi di Folres, antara bulan Oktober sampai Desember. Curah  hujan yang merata disepanjang tahun, musim tanam disana hampir setiap tahun. Hanya saja, untuka melihatnya, harus di posisi ketinggian.

Sawah Laba-Laba terbaik di Ruteng, adanya di Kecamatan Cancar, meski di tempat lain juga ada.

 
Kuliner
Rumah makan Minang dan Jawa banyak sekali disini. Terdapat beberapa hotel dan homestay di kota ini. Disini banyak terdapat roti dan kue, bahkan gorengan seperti di Pulau Jawa. Kue dan roti buatan warga setempat, ok juga rasanya.
 
Jaringan Komunikasi
Kawasan Ruteng dilayani oleh layanan Telkomsel dan Xl. Telkomsel sudah jelas dengan jaringan cakupannya luas. Sedang layanan XL, baru di perkotaan saja.

Perbankkan
Pelayanan bank, yaitu BRI, BNI 46 dan Bank NTT. Layanan BRI, ada disetiap kecamatan.
 
Transportasi
Kota ini memiliki dua terminal transportasi darat, yaitu Terminal Mena yang melayani penumpang di bagian barat dan Terminal Carep untuk ke dan dari timur. Antar terminal, dihubungkan dengan transportasi kota, denga titik temu di Pasar Ruteng. Juga ada transportasi desa, dengan menggunakan mini bus. Untuk antar kota, tersedia pelayanan travel – yang dijemput dan diantar ke alamat. Setiap penginapan memiliki relasi sendiri untuk transportasi travel. Baik Termina Carep maupun Teriminal Mena, memiliki fasiltas menunggu yang cukup nyaman bagi penumpang. Terminal Mena berada di ruas Jalan Raya Ruteng – Labuan Bajo, sedangkan Terminal Carep berada di Jalan Raya Ruteng – Bajawa.

 Jarak antar Kota dan antar Objek Wisata
Ø  Ruteng – Labuan Bajo                                                 : 120 km
Ø  Ruteng - Aimere                                                          : 100 km
Ø  Ruteng – Bajawa via Aimere                                       : 135 km
Ø  Ruteng – Dintor                                                           : 102 km
Ø  Ruteng – Liang Bua                                                     : 14 km
Ø  Ruteng – Kampung Adat Ruteng Puu                         : 4.5 km
Ø  Ruteng – Sawah Laba-laba Cancar                              : 16 km                       
Ø  Ruteng - Kampung Adat Todo                                     : 40 km




Powered by Wikiloc



Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian V

LONJAK-LONJAK DI OTO COLD




 Flipina punya Jeepney, Flores punya bus kayu. Jeepney, sejenis moda angkutan umum di Flipina yang akhirnya menjadi daya tarik wisata di negara tetangga tersebut. Mobil jeep peninggalan masa perang buatan Amerika itu, dimodifikasi oleh masyarakat setempat menjadi transportasi umum. Nah, meski berbeda jenis kendaraanya, Flores memilik moda transportasi unik pula, disana disebut oto cold atau bus kayu.



Pertamakali saya melihat oto cold ketika saya menggowes sepeda di Jalan Lintas Flores, tepat di persimpangan Nggorang.

Di persimpangan tersebut ada dua mobil oto cold yang sedang menunggu penumpang. Satu oto cold sudah siap berangkat.

Wujudnya sasis truck beroda enam, diberi cap. Di kabin dibuatkan bangku-bangku berbusa tipis. Dalam truck, ada lima saf bangku menghadap ke depan. Di atas kap, disediakan untuk menaruh barang-barang dan hasil pertanian. Dibagian belakang, juga untuk menaruh barang-barang.
Oto cold atau bus kayu tidak memiliki pintu. Penumpang, tidak pandang usia dan kelamin, memanjat truk untuk bisa duduk. Oto Cold juga tidak mempunyai jendela. Untuk melindungi penumpang dari hujan, dilengkapi dengan tirai.

Bus kayu penuh dengan dekorasi grafis warna-warna.

Heboh… Ya, heboh, sebagaimana kegemaran masyarakat Flores akan music. Bus truck ini dihebohkan dengan musik yang hingar-bingar. Sungguh, memekakkan telinga.
Saya mencoba menaiki oto cold ini, dari Dintor ke Ruteng Kota.

Saya hampir saja tidak kebagian bus kayu karena terlambat mendarat di Dintor selesai melakukan kunjungan di di Pulau Mules.

Menurut warga di Dintor, ada tiga bus kayu yang melayani trayek Ruteng – Dintor setiap hari. Jadwal kerbarangkatan jam 02.00, jam 04.00 dan jam 05.00. Tapi itu pun, tidak dipastikan jam keberangkatannya.

Saya hamper saja patah arang, karena terlambat dating dari Pulau Mules. Kedatangan saya di Dintor sudah lebi jam 06.00. Warga setempat tidak bisa memastikan akan ada lagi oto cold datang.
Dari arah barat terdengar musik berdentum-dentum. Suara music tersebut tersebut makin lama-makin keras. “Nah, itu oto cold datang,” kata warga setempat.

Benar saja, bus kayu muncul. Warga setempat membantu saya menyetop angkutan umum tersebut. Sepeda saya dinaikkan, dan saya memanjat truck, duduk di bangku paling depan, pas di hadapan speaker besar.

Bus kayu melaju pelan-pelan, musik berdentam-dentam. Sambil berjalan, oto kayu menyimpang-nyimpang dulu menjemput penumpang disetiap perkampungan. Para penumpang sudah menunggu di depan rumah masing-masing.

Sepuluh kilometer pertama, menelusuri jalan pantai. Pantai di kawasan ini, sama dengan di Dintor, berbatu bulat-lonjong dengan berbagai ukuran berwarna hitam.

Oto colt kembali ke jalan utama setelah menjemput penumpang, lalu meninggalkan pantai, jalan lurus dengan kiri kanan persawahan. Di depan membentang perbukitan. Jalan relatif menanjak moderat, sampai di Kecamatan Larang. Kecataman Larang berada di ketinggian 360 dpl, ramai sekali. Nampaknya ekonomi masyarakat cukup baik disini, ditandai dengan ramainya pusat kecamatan ini dan kondisi rumah penduduk yang sehat. Sampai di Kecamatan Larang, terdapat layanan transportasi reguler dari Ruteng. Kecamatan ini sudah diterangi aliran listrik PLN.

Meninggalkan Narang, jalan lurus – menurun. Disebelah kiri jalan lembah dengan sungai dibawahnya, di kanan terbentang persawahan. Setelah menyeberangi jembatan lembah di ketinggian 110 dpl, jalan menanjak dan berliku-liku sampai di persimpangan Kampung Adat Todo di ketinggian 790 dpl. Selepas Todo, jalan menurun beliku-liku, kemudian mendaki lagi sampai ketemu Raya Trans Flores Labuan Bajo-Ruteng di ketinggian 835 dpl. Lega rasanya menemukan jalan Raya Trans Flores yang lebih lebar. Namun, kota Ruteng masih beberapa kilometer lagi. Ada tiga jembatan yang dilewati. Jembatan yang panjang menjelang Jalan Trans Flores. 

Jalan besar relatif rata, membuat sedikit nyaman, setelah digoyang-goyang mengikuti kelok-kelok jalan. Dengan jalan berkelok-kelok lagi, mencapai ketinggian 2020 dpl, salah satu Puncak Pass di rute Trans Flores. Jalan menurun, dan kemudian mendaki, baru sampai di Terminal Mena, Ruteng. Total perjalanan 70 km, dengan lama 4 jan, dan 4 jam full musik.

Dalam tulisan ini saya sengaja mencantumkan  ketinggian tempat yang dilalui, untuk mengambarkan betapa sulitnya jalan raya ini yang berada di ketinggian yang rapat dari ketinggial nol pantai. Sebagai catatan, dengan Panjang jalan 70 km, terdapat perbedaan ketinggian nol dpl ke 2020 dpl. 

 
Riwayat Oto Colt, Bus Kayu…
Hanya di Flores ditemukan jenis kendaraan macam ini. Inilah kendaraan umum rakyat Flores. Biaya murah, dan dijemput dan diantar sedapat dijangkau oleh truck penumpang tersebut. Barangkali lebih tepat disebut truck penumpang, tapi biarlah sebagaimana masyarakat disana meyebutnya.

Bus kayu dibangun oleh “karo seri” local. Sasis truk didatangkan dari Surabaya, sasis baru tentunya. Di Flores, baru nanti truk diberi “karo seri”, dengan membuat rangka kap, tempat duduk dan jangan lupa sound system. Kap diberi atap yang kuat untuk menampung barang, dan juga diduduki oleh penumpang. Body truk diperindah dengan grafis yang bercorak warna-warni. Soal sound system, wajib, menjadi prioritas. Suaranya harus deras. Untuk membuat karoseri bus kayu, biayanya antara Rp. 8 juta sampai dengan Rp. 10 juta.

Dinamakan oto cold, karena pada awalnya truk yang digunakan adalah jenis cold diesel. Warga kemudian menyebutnya dengan oto cold, menjadi nama generic disamping bus kayu. Disebut pula dengan bus kayu, karena karoserinya tersebut dari kayu.

Dari semua bus kayu yang saya amati dari, kendaraan tersebut terawat dengan baik. Kembang ban bagus. Suara mesin halus.

Dalam pekembangannya,  jenis angkutan serba guna ini memakai kendaraan lebih kecil seukuran carry. Dibuat dari mobil kecil, supaya bisa menjangkau jalan-jalan pedesaan. Bahkan, seperti yang saya temukan di lokasi wisata Bajawa, rombongan bule dibawa dengan bus kayu mini itu.

Dengan menaiki bus kayu dari Dintor sampai ke Ruteng, bagi saya sebuah pengalaman perjalanan yang menyenangkan dan bisa menikmati alam pedesaan Flores. Saya pun tak peduli dentaman ragam music selama 4 jam perjalanan.

Mengikuti perjalanan di Trans Flores saja sudah membuat kesan yang mendalam, dibandingkan dengan ruas-ruas jalan raya di Pulau Jawa misalnya. Jalan utama di Flores, boleh dikatakan ekstrem, terutama perbelokan jalan yang patah-patah. Rute Dintor yang nota bene barada di pantai, membuat kendaraan merayap mendakinya.

Diperlukan sopir berpengalaman mengemudi bus kayu, dan semua jenis kendaraan di Flores. Pengemudi harus sabar, mengontrol kendaraan dan yang penting ada toleransi terhadap pengandara lain. Sepanjang perjalanan saya dengan kendaraan umum di Flores, pengemudi disana memiliki etitut yang baik dalam mengendara, misalnya memberikan kesempatan bagi kendaraan yang datang dari bawah, memberi tahu situasi lalu lintas di depan dengan lampu sen dan membunyikan kelakson sebelum memasuki tikungan. Kebiasaan memberikan kelakson di Flores, durasinya panjang. Demikian pula kebiasaan pengemudi di Sumbawa, baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat. Memberikan kelakson panjang seperti di NTT, jika di Pulau Jawa tentu membangkitkan emosi pendengarnya.

Inilah keunikan lain, dengan karakter yang kuat di Flores.

Bus kayu itu menunut saya, bisa sebagai atraksi wisata tersendiri bagi wisatawan lokal dan luar negeri. Dengan menaiki bus kayu, selain dapat mengenal masyarakat setempat, tentu menikmati alam pedesaan Flores. Ruteng Dintor – Ruteng dan sebaliknya, bisa ditawarkan sebagai paket perjalanan sendiri, karena di Dintor memiliki dua distinasi wisata yaitu Kampung  Adat Waerebo dan Pulau Mules.

Di Flipina Jeepney, sudah menjadi ikon wisata disana. Kendaraan yang semula sebagai transportasi umum, sekarang menjadi daya tarik wisata. Jeepney bahkan lebih dikenal dibandingkan dengan Flipina itu sendiri. Bagaimana dengan oto colt, tentu bisa juga seperti jeepney dengan cara memperkenalkan terus-menerus kepada turis, baik turis Indonesia maupun mancanegara.

Dintor-Runteng : 70 km
Lama perjalanan 4 jam
Ongkos Rp.40.000.


Powered by Wikiloc










Monday, June 24, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian IV

PULAU “AMAZING” YANG TIDAK TERSENTUH


Australia punya Gunung Batu Uluru, Amerika punya Gunung Batu Devils Tower, Indonesia punya Gunung Batu Mules.

Sebuah pulau di selatan Flores bagian barat, bagai negeri dongeng, atau negeri kayal seperti penggambaran film-film animasi. Menyaksikan suguhan alam – yang tidak biasa, membuat saya terperangah. Sebuah gunung batu menjulang, dengan hamparan savana dengan kisi-kisi tanaman lontar yang acak, sebuah kawasan yang tidak ditemukan dimanapun di Indonesia. Mercu suar yang mencuat ditengah keheningan dan kesepian kawasan selatan pulau tersebut, bagai lukisan di kanvas-yang sengaja dibuat.
Pulau Mules sudah hadapan mata. Muncul halangan, soal transportasi laut untuk mencapainya. Di Dintor tidak tersedia perahu tambang. Yang ada perahu cateran, sekali jalan mencapai Rp.300.000. Atas saran warga lokal, saya disarankan menunggu perahu yang datang dari Pulau Mules. Kedatangannya antara jam 14.00 sampai jam 16.00. Selagi menunggu parahu tersebut, saya ngobrol-ngobrol dengan warga disana. Dua orang diantaranya, adalah Pak Primus, asal Waerobo, menjadi guru Sekolah Dasar di Puau Mules, dan temannya guru honorer SMP. “Ikut saya saja,” kata Pak Guru, demikian dia dipanggil.

Perahu datang. Perahu terombang-ambing. Pemilik perahu susah payah menahan perahu agar penumpang mudah naik. Tidak ada dermaga. Pantai berbatu yang curam, menyulitkan warga menaiki perahu. Sepada dan bagasi saya dinaikan ke pearhu – yang dibantu oleh Pak Guru dan temannya.

Dalam tempo satu jam, parahu sampai di Pulau Mules. Karena air sedang surut, penumpang kembali menceburkan diri ke laut. “Pak, ke rumah saya saja,” kata Pak Guru.
Sedianya tadi saya akan ke rumah Kepala Desa atau ke rumah Sekretaris Desa. Saya memutuskan menerima tawaran Pak Guru. Maka bermalamlah saya di rumah Pak Guru. Sebuah kebaikan lagi saya terima lagi…

 
Baiklah, kita lanjutkan dengan explorasi Pulau Mules.
Setelah melaporkan diri kepada Sekretaris Desa Luca Mulas, Pak Bakhri, saya dititipkan kepada Pak Tua yang saya lupa namanya. Sebut saja Namanya Pak Tua, dia ini yang tahu betul seluk beluk Pulau Mules. Setiap ada tamu yang datang, Pak Tua inilah yang mengantarkan.
Perjalanan saya mulai jam 10.00 waktu bagian timur.

Keluar dari perkampungan, memasuki kasawan savana dengan tumbuhan rendah dan belukar. Setelah melewati dua aliran sungai musiman, memasuki hutan ringan. Di kawasan hutan ini terdapat sebuah sumur tua. Pak Tua mengantarkan saya untuk mengambil koordinat lokasi sumur dan membuat foto.
Meneruskan jalan setapak, keluar dari hutan, terdapat lagi savana kecil, lalu hutan ringan lagi. Jalan setapak kini mendekati pantai.

Setelah hutan, savana lagi dengan rumputnya yang tinggi. Nah, disinilah tiba-tiba saja, seperti mencuat dari hutan, bangunan jangkung mercu suar tersumbul. Dibelakangnya, muncul Gunung Mules. Wah, amazing…





Kawasan ini tidak berpenghuni. Sebuah bangunan rumah yang letaknya agak jarak dengan mercu suar, merupakan rumah jaga mercu suar yang tidak pernah ditunggui.


Mercua suar Pulau Mules dibangun tahun 1990-an, dengan ketinggian 40 meter. Terdapat pintu besi untuk memasuku rongga bangunan mesrcu suar. Pintu besi tersebut tidak dikunci. Tangga besi sipiral menggulung-gulung ke atas. 


Terdapat enam lantai – untuk sampai di ruang kaca pemantul suar. Lampu reflector mercu suar sudah memakai lampu let, dengan tenaga listrik dari dua unit aki besar.

Berada diteras mercu suar pandangan berputar 360 derajak. Pandangan ke selatan dan barat lautan luas. Ke Timur dan Utara Gunung Batu Pulau Mules dengan hamparan savana bagai karpet alam. “Keindahan dan keunikan mana lagikah yang kau cari,” dalam hati saya.
Dari teras mercu suar ini, jika mau menunggu, bisa menyasikan matahari tenggelam di lautan. Pada antara jam 15.00 sampai jam 18.00, kawanan rusa akan merumput di savana. Sempurna sudah…

Jalan setapak berbelok ka kanan, melewati pepohonan yang rindang. Terbuka sedikit, kemudian memasuki hutan. Banyak jalan setapak disini. Menelusuri jalan setapak, ditemukan gundukan tanah setinggi satu meter dengan diatasnya rata. “Ini sarang burung Maleo. Ada telurnya,” terang Pak Tua, yang berjenggot putih itu.

Selepas hutan, savana terbukan terhampar. Di sebelah kanan Gunung Batu Mules, dikiri laut. Savana yang “gondrong” tersebut, menyulitkan untuk melangkah. Pohon lontar tumbuh secara acak, memberikan caption foto yang indah.
Berjalan di savana terbuka dengan matahari terang benderang, melelahkan juga, sampai mendekati pantai utara Pulau Mules. Gunung Batu Pulau Mules selalu mendampingi dengan tampilan yang berbeda-beda.

Akhirnya memasuki hutan gersang dengan lantai pasir pantai. Perjalanan belum selesai, sampai menemukan sumur besar di kiri jalan setapak.

Di sumur ini warga mandi dan mengambil air, dan juga berfungsi untuk memberi minum ternak sapi. Sampailah di Kampung Labuan Taor yang berada di tepi pantai. Di seberang lautan, tampak daratan Pulau Flores. Jalan setapak berbeton menghubungkan tiga kampung di Pulau Mules. Jam 15.00, saya tiba kembali di rumah Pak Bakhri.

 
Tentang Pulau Mules
Sebagaimana diberitakan oleh media, bahwa Pulau Mules sudah memiliki perahu wisata desa yang diberikan oleh  Menteri  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia dan sudah dibangun dermaga wisata ternyata saya tidak menemukannya. Foto kapal wisata yang pernah ditampilkan di media, ternyata tidak ada. Di Pulau Mules memang sudah ada dermaga, tetapi di Dintor tidak ada dermaga.

Tidak mengurangi keunikan dan kecantikan Pula Mules, kawasan ini belum  siap menerima wisatawan. Pelancong jangan sampai terkecoh dengan publikasi oleh pemerintah daerah, seolah-olah di Pulau Mules sarana dan infrastrukturnya sudah memadai.
Kebutahan dasar masyarakat seperti sumber air bersih dan listrik PLN tidak ada, bagaimana dikatakan sudah siap sebagai daerah tujuan wisata.

Warga masyarakat besar harapannya pulaunya akan ramai dikunjungi seperti Pulau Komodo. Dengan adanya wisatawan, ekonomi masyarakat akan berkembang.  Jika air dan listrik saja tidak ada, bagaimana ? Masyarakat pun bimbang dengan ekses akan muncul nantinya, dengan kedatangan wisatawan, terutama orang asing. Sebaimana masyarakat Muslim yang taat, berpakaian minim mandi-mandi di pantai tentu sesuatu yang tidak menyenangkan bagi mereka.
Pulau Mules, sebagai kesatuan administrasi Desa Luca Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten  Manggarai, terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Labuan Taor, Kampung Petji, dan Kampung Konggang.

Setiap kampung memiliki sumur umum. Membuat sumur sendiri, untuk menyalurkan air, memerlukan aliran listrik. Untuk penerangan malam, kampung-kaampung menggunakan mesin pembangkit listrik yang dayanya minim. Listrik hanya mengalir sampai jam 22.00
Dari ketiga kampung tersebut, dermaga hanya terdapat di Kampung Konggang. Jadwal perahu untuk kembali ke Dintor, tidak ada jadwalnya. Pendatang harus  mencari informasi kapan perahu menyeberang.

Tentang Sumur Kuno
Ada dua sumur kuno di Pulau Mules. Satu sumur berada di selatan, di hutan, satu sumur tua lainnya di Kampung Konggang. Kedua sumur kuno tersebut menjadi menarik, karena sudah ada sejak masyarakat modern mendirikan perkampungan di Pulau Mules. Orang-orang di Pulau Mules tidak ada yang mengetahui, siapa yang membuat sumur tersebut. Pak Bakhri yang sudah berumur 60 tahun, mengatakan, “Kakek saya saja, tidak tahu siapa yang membuat sumur itu.”

Pak Tua yang mengantarkkan saya ke sumur kuno di hutan, mengatakan, “Jadi, tanda tanya bagi kami, siapa pendahulu kami di pulau ini. Sebab, sumur ini sudah ada sejak lama.”

Sumur yang berdinding batu karang, dengan diameter 1.5 meter tersebut, menyimpan air di kedalaman 30 meter. Menurut Pak Tua yang sering mengunjungi sumur tersebut, sumur tersebut tidak pernah kering airnya.

Jika nantinya Pulau Mules dibuka untuk wisatawan, dengan catatan kebutuhan dasar seperti listrik dan air bersih tersedia stabil, saya memiliki keyakinan kawasan akan maju dengan  banyaknya wisatawan.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Pulau Mules, kawasan ini keren untuk diabadikan. Untuk akomodasi disana, warga setempat bersedia untuk menampung tamu.

Data Metrik GPS :
Dintor-Pulau Mules           : 6 km
Jalan setapak Pulau Mules : 18 km
Luas Pulau Mules              : 20 ha



  







 


 


Powered by Wikiloc














HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023