Sir Thomas Rafles, Letnan Gubernur, Hindia Belanda menulis : Saya semula ingin menulis buku untuk membuktikan bahwa orang Nias merupakan suku bangsa yang paling berbahagia dan paling baik di muka bumi ini. Namun sekarang, saya dapati bahwa penduduk pulau – pulau Nassau dan Pagai, ternyata lebih ramah dan kemungkinan paling polos lagi.”
Meski profil masyarakat Dayak telah banyak diungkap lewat buku, kartu pos, film, maupun perangko, sesungguhnya masih lebih banyak lagi misterinya yang tak terungkap. Masyarakat Dayak telah ratusan tahun menghuni Kalimantan, berselaras dengan alamnya yang buas hingga mampu melahirkan peradaban yang sistimatis. Tapi, mampukah mereka bertahan menghadapi perubahan jaman ?
Kearifan tidak selalu datangnya dari kaum terdidik, kaum akademis, kaum kota, namun bisa oleh kelompok masyarakat - nun berdomisili di pelosok yang tak dikenal. Kelompok - kelompok masyarakat tertentu memiliki paham - yang mereka anut sebagai tradisi sosial dan lingkungan alam. Paham yang mereka anut itu ternyata memiliki ketahanan sosial yang kuat di tengah gejolak dunia.
Dukun bagi masyarakat pedalaman Mentawai, sama derajatnya dengan seorang dokter.
Cita – citamu apa nak ?
Aku ingin jadi dokter.
Begitulah jawaban umum anak – anak Indonesia jika ditanyakan apa cita – citanya. Apakah jalan hidupnya sesuai dengan cita – citanya, itu urusan nanti. Namun, “dokter” bagi orang Indonesia adalah sebuah profesi idaman. “Harga” seorang dokter pria termasuk tertinggi untuk dijadikan menantu, malah lebih “tinggi harganya” dibandingkan seorang pilot pesawat terbang. Sampai, ini naifnya, agar mobil cepat laku terjual dengan harga yang baik pula, pedagang perlu membumbui dengan, “Ini mobil, kepunyaan dokter”. Bukankah guru juga profesi yang mulia, tetapi sedikit yang bercita – cita menjadi guru.