Latihan di Malam Hari
Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’ kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu telah ‘dibao tagak’, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan melenturkan pinggang dalam duduk bersila, bersimpuh dengan jalan menukar-nukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada saat ‘mambao tagak’ latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan dengan gerakan silat yang sebenarnya.
Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan. Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang maju ke arena latihan.