Showing posts with label CATATAN RIZAL BUSTAMI. Show all posts
Showing posts with label CATATAN RIZAL BUSTAMI. Show all posts

Wednesday, April 06, 2016

Heboh Pesisir Jakarta Bagi I


FENOMENA PESISIR JAKARTA, DARI MARUNDA SAMPAI KE KAMAL


Disain Dr.Herri Muin

Ada Kampung Laut di Kamal, ada Kampung “Tak Bertuan” di Angke, Masjid Kuno Luar Batang, sampai Marunda yang Terisolir....
Jakarta adalah  kota yang sudah di “lapuk”. Dari selatan diterjang air bah, dari utara ditumpahi air laut. Warga Jakarta yang “semau gue”, menambah berat kota ini.

Siapun yang menjadi gubernur DKI, Jakarta harus ditata lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dan, gubernur tersebut harus mempunyai nyali untuk itu. Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, rupanya menjadi “ekskutor” dalam banyak hal dalam pembenahan DKI Jakarta. Ahok, bernyali besar untuk itu.

Adalah fakta bahwa dibeberapa tempat daratannya sudah berada di bawah permukaan laut. Supaya Jakarta tidak tergenangi oleh air laut, maka akan dibangun tanggul di sepanjang pantai Jakarta dari Kamal Muara sampai dengan Marunda. Chairul Tanjung, yang ketika itu (2014) mejabat sebagai Menko Perekonomian, meresmikan dimulainya pembangunan tanggul penahan banjir di Rumah Pompa Pluit.

Pekerjaan berikut DKI untuk mengembangkan kota ini yaitu apa yang disebut-sebut sebagai Great Sea Wall atau Giant Sea Wall atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tentu saja perubahan besar akan ada di bagian utara DKI, dan itu soal menunggu waktu saja. Sementara itu, di pesisir Jakarta, berdiam koloni-koloni masyarakat yang sudah berurat dan berakar. Warga masyarakat yang terdampak langsung oleh pembangunan tanggul tersebut dalah Kamal Muara, Muara Angke, Pluit, Luar Batang, Kali Baru, Cilincing dan Marunda. Sebagaimanakah “perwajahan” koloni-koloni masyarakat di pesisir Jakarta itu?

“Tanah timbul”, menjadi istilah yang – barangkali hanya  populer oleh kalangan masyarakat pesisir. “Tanah timbul”, adalah lahan padat yang dibuat dengan sengaja oleh seseorang, atau sekelompok orang di lahan berair, baik itu di laut, danau, rawa, sungai atau situ.  Suatu kawasan basah, ditimbun dengan berbagai material padat oleh masyarakat. Apa yang disebut “tanah timbul” tersebut, itulah apa yang kita kenal secara generik sebagai reklamasi.

Di “tanah timbul” itu, kemudian seseorang atau sekelompok  orang mendirikan bangunan rumah tinggal. Biasanya, dimulai oleh satu orang, yang kemudian diikuti oleh orang lain, yang lama-kelamaan menjadi koloni dan berubah menjadi perkampungan. Pada kawasan “tanah timbul” – yang sudah menjadi perkampungan itu, diklaim atau diakui oleh individu yang berada disana sebagai miliknya. Fakta inilah yang terjadi di sepanjang pesisir Jakarta, mulai dari Kamal Muara sampai ke Marunda.

Kawasan-kawasan yang diakui oleh masyarakat sebagai “tanah timbul” tersebut, berada di Keluarahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, di Keluarahan Kali Baru, dan Keluarahan Cilincing, Kecamatan Cilincing.

Rintisan “tandah timbul” terjadi rantang waktu tahun 1970-an sampai tahun 90-an. Ketika DKI mengalami perkembangan yang pesat sebagai kota bisnis, kota industri, kota jasa, kota perdagangan, perumahan, kebutuhan lahan menjadi mendesak. “Tanah timbul”, menjadi subjek yang diinginkan untuk dikuasai.

Berada di kawasan yang tidak memiliki status kepemilikan, masyarakat di “tanah timbul” hidup dalam ketidak pastian, sewaktu-waktu mereka bisa terusir dari tanah yang ia bangun sendiri. Klaim sejarah, asal usul tanah, hanya menjadi pengakuan lisan, yang tidak memiliki kekuatan hukum. Akhirnya, mereka menerima kenyataan pahit, kehilangan tempat tinggal, dan hilang pula mata pencaharian.

Itulah yang terjadi di DKI selama ini. Apakah penguasaan “tanah timbul” tersebut akan terjadi lagi, karena masih terdapat dibeberapa kawasan “tanah timbul” di DKI?
Untuk memahami dan mengerti sosial budaya masyakarat pesisir Jakarta, tidak ada suatu refrensi apapun yang ada, ditinjau dari khasanah sosiologi, sejarah atau budaya. Jakarta yang dinamis dan majemuk, masyarakat menjalankan hidup dengan siasat, azaz manfaat dan dengan kegigihan.
Memahami masyarakat pesisir DKI, dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara cermat setiap koloni atau perkampungan.

Laporan yang saya buat ini, saya dua bagian. Bagian pertama berupa diskripsi dan analisa yang dilengkapi dengan peta kawasan. Bagian kedua, adalah foto-foto kawasan yang saya potret antara tahun 2015 sampai dengan 2016.

“KAMPUNG LAUT”, Muara Kamal, Kecamatan Penjaringan

Kawasan Kamal Muara



Kegelisahan warga di RW 04, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, semakin meninggi. Betapa tidak, karena laut yang sedang diuruk menjadi pulau oleh pengembang property swasta semakin mendekati pemukimannya. Warga dicemaskan soal kelangsungan hidupnya, sudahlah mata pencahariannya tercerabut sebagai peternak kerang hijau, ancaman angkat kaki dari rumah yang mereka tempati menghantui mereka pula.



Reklamasi oleh pengembang swasta. Citra Google Earth April 2016

Bagian administrasi Kelurahan Kamal Muara yang berbatasan dengan laut, ada dua Rukun Warga, yaitu RW 01 dan RW 04. RW 04 merupakan pemekaran dari RW 01. RW 04 berada di pesisir pantai.
Warga di RW 01, terdiri dari etnis Banten, Betawi dan Bugis. Sedangkan RW 04, 90 persen adalah etnis Bugis.

Di kedua RW tersebut, tidak ada lagi lahan yang tersisa untuk dibangun rumah. Di RW 04, pendatang baru, atau keluarga baru, membangun rumah diatas permukaan laut.
Masyarakat di kedua RW tersebut, 90 persen beraktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Artinya, mereka secara ekonomis hanya berada di kawasan Kamal Muara. Mata pencaharian mereka adalah sebagai nelayan kerang hijau, perdagangan kecil, jasa transportasi dan jasa wisata.

Diantara RW 01 dan RW 04, RW 04-lah yang terkena dampak langsung oleh pembangunan tanggul laut dan ekses dari pembuatan pulau oleh pihak swasta. RW 04 lokasinya berada di tepi pantai,  terdiri dari 9 RT, dengan jumlah rumah 700 unit dan jumlah KK 780. Status hunian, Sertifikat Hak Guna Bangunan. Namun demikian, 90 persen warga membayar PBB. Pengurus RW 01 dan tokoh masyarakat merasa aman-aman saja. Pengurus RW 01 mengatakan, bahwa lahan yang ditempati oleh warganya sudah hak milik dan pemukiman mereka tidak berhubungan dengan garis pantai.

“KAMPUNG X, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan 




Kata lusuh sangat tepat diberikan ke kawasan Muara Angke. Dalam sejarah modern Jakarta, Kali Angke sudah menanggung beban yang amat berat. Di muaranya, kapal-kapal penangkap ikan bersedsak-desakkan dan di sepadannya sesak pula dengan gubuk. Akibatnya, sungai menyempit dan terjadi pendangkalan. Kapal dan gubuk-gubuk, menjadi penghambat lajunya air dan tempat berlabuhnya sampah. Sementara itu, Kali Angke merupakan bagian dari Marga Satwa Muara Angke, dimana satunya-satunya kawasan konservasi di DKI daratan.


Kampung "X"


Meski Kali Angke penuh dengan kapal penangkap ikan, mereka buaknlah warga setempat, melainkan berasal dari Indramyu, Tegal, Cirebon, Pekalongan dan dari daerah lainnya. Mereka hanya singgah di Kali Angke, setelah melaut, mereka. menurunkan ikan, lalu mengisi perbekalangan kembali laki ke laut. Sedangkan warung-warung yang berada di bantaran sungai, bukan penduduk tetap disana. Para penghuni, dibagi per kelompok, setiap kelompok berinduk ke RW setempat.

Warung yang ada disana, berperan pula sebagai “pemodal” bagi kapal ikan. Warung memberikan pinjaman  uang, dan memberi hutang untuk bahan bakan bensin, beras, lauk pauk. Hutan dibayar selepas melaut.

Jadi, dikawasan Angke, khusunya Kali Angke, tidak ada  nelayan DKI.

Muara Angke menanggung beban yang amat berat disebabkan multi aktivitas siang dan malam, sebagai pusat bongkar ikan, pelelangan ikan, penyimpanan ikan, pengolahan ikan, dan pemukiman.
Pertumbuhan yang pesat di luar kawasan Muara Angke, yang berkambang manjadi kawasan elitis, sementara Muara Angke masih bertahan dengan kesemerautan dan kekumuhan.

Ada empat aktivitas utama di Muara Angke, yaitu perdagangan ikan segar, pengolahan ikan asin, pengolahan kerang hijau, sebagai tambatan kapal, dan jasa transportasi serta jasa tenaga.
Aktivitas yang secara langsung melibatkan masyarakat pemukim disana, yaitu pengolahan ikan asin dan pengolahan kerang hijau. Pegolahan ikan asin dan pengolahan kerang hijau, melibatkan banyak tenaga kerja.

Pengolahan ikan asing memerlukan lahan terbuka yang luas untuk penjemuran. Usaha pengolahan ikan asin tersebut, 90 persen dikelola olah masyarakat yang berasal dari Indramayu.
Pengolahan kerang hijau, yang juga dikerjakan masyarakat Indramayu, merupakan kegiatan ekonomi sehari-hari warga.

Secara administratif kependudukan, di kawasan Muara Angke terbagi dalam 2 RW, yaitu RW 01 dan RW 11. Dilihat dari luasan pemukiman dan jumlah warga yang menetap, RW di kawasan Angke melebihi dua RW, namun tidak mendapat pengakuan Pemda DKI.

Perkampungan "X", kita namakan saja demikian, karena perkampungan besar tersebut tidak memiliki RW sendiri dan juga tidak memiliki nama kampung. Perkampungan "X" tersebut, secara administratif, bukan bagian dari RW 01 maupun RW 11. Untuk keperluan administratif, Kampung "X", menginduk kepada RW01 atau ke RW11.

Kampung "X", terdiri dari 3 blok, yaitu Blok Empang, Blok Kampung Nelayan, dan Blok Enceng. Blok tersebut dibagi lagi dalam 11 kelompok. Pembagian Kelompok, setingkat RT (Rukun Tetangga). Kesebelas Kelompok dikepalai oleh seorang Kepala Kampung. Kepala Kampung tersebut, setara dengan Ketua Rukun Warga (RW).

Kampung "X" dihuni oleh sekitar 1300 KK. Jumlah rumah dan KK selalu berkembang, karena sewaktu-waktu ada pendatang baru yang bermukim atau warga setempat membentuk keluarga baru dan rumah hunian baru.

Mata pencaharian warga Kampung "X" adalah pengolah kerang hijau, yang dikerjakan oleh kaum wanita. Kaum pria bekerja sebagai pengumpul kerang hijau dan nelayan pancing.
Kampung "X", yang berada di bibir pantai, akan mendapatkan akibat langsung dari pembangunan tanggul laut.

Selain Kampung "X" dimana warganya dianggap sebagai "pemukim liar", terdapat pula di bantaran Kali Angke. Menurut Ketua RW 01, keberadaan pemukiman liar di sepanjang Kali Angke, tidak  sulit jika harus dikosongkan. RW 01 yang bersentuhan langsung dengan pemukim liar, selama ini membina dan mengawasi lingkungan sosial setempat.

Tambatan perahu dan pemukiman liar di Kali Angke menghambat aliran sungai dan sebagai pemyumbat sampah.

Kedua RW diatas, yaitu RW 01 dan RW 11, warganya berstatus menetap dan setiap individu tercatat sebagai penduduk DKI. Kedua RW tersebut, tidak secara langsung bersentuhan dengan aktivitas perdagangan ikan di Muara Angke.

Orang yang mejabat sebagai Kepala Kampung tersebut, adalah Arpani, berusia 70 tahun. Orang pertama, tahun 1976 yang menancapkan sebatang bambu untuk mendirikan pondok di bagian barat Muara Angke. Arpani, adalah "sang pelindung", Abah Arpani adalah "good father" bagi warga yang bermukim di kawasan tersebut.

LUAR BATANG, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, sebagai Situs Batavia

Kawasan Luar Batang, Palabuhan Sunda Kelapa, Meseum Bahari

Di Luar Batang, kawasan Pasar Ikan, terdapat situs sejarah yaitu Menara Pasar Ikan, Meseum Bahari, Pasar Lama Luar Batang, dan situs religi Masjid Luar Batang.

Warga yang bermukim di Luara Batang, berbagai etnis.

Kegiatan ekonomi masyakat setempat, perdagangan dan jasa ojek perahu.
Di kawasan situs sejarah, dikepung oleh pemukiman dan pasar. Pasar tua Luar Batang, sudah tidak berfungsi. Kios-kios yang terdapat di Pasar Luar Batang, berubah fungsi sebagai tempat tinggal.

Posisi Masjid Luar Batang

Sisi pantai Luar Batang sudah diturap, namun demikian, warga yang bermukim disekitar pasar, was-was pada suatu waktu mereka tergusur. Issu bahwa akan dibangun turap besar, sudah diketahui warga.

Kawasan Luar Batang, bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Jakarta, sebagai bandar besar Nusantara.




KALI BARU, Kecamatan Cilincing, Sentra Ikan Asin dan Kayu


Kawasan Kali Baru

Kali Baru merupakan salah satu pelabuhan tertua di Jakarta, selain Pelabuhan Sunda Kelapa. Sampai saat ini, pelabuhan kecil di Kali Baru masih beraktivitas, meski fungsinya sudah berkurang. Secara tradisionil, Kali Baru sebagai pelabuhan kayu.

Kelurahan Kali Baru, merupakan kawasan terluas dan terdapat di pesisir Jakarta. Tiga etnis, yaitu Bugis, Madura, Sumatera Selatan, bermukim turun-temurun di Kali Baru. Tiga etnis perantau yang saling bersaing menguasa kawasan, sampai akhirnya ketiga etnis tersebut hidup damai dan saling berdampingan.

Diantara pemukiman warga, tumbuh dua pusat bisnis, yaitu perdagangan kayu dan ikan asin. Ikan asin dominan oleh keuturuna Bugis, sedangkan kayu dikuasai oleh etnis Sumatera Selatan.
Pada akhirnya, Kali Baru dibebaskan oleh Pelindo, karena lahan tersebut milik Palindo untuk perluasan pelabuhan. Pelabuhan baru Palindo saat ini sedang dalam pembangunan.

Warga menerima penggantian nilai bangunan dengan harga yang layak. Suatu cara penyelesaian Pelindo yang dipuji oleh masyarakat yang terkena penggusuran.

Di Kelurahan Kali Baru yang terkena penggusuran, meliputi 3 RW, yaitu RW 08, RW 09 dan RW 10.
Meski mendapat penggantian yang layak, bagi pedagang kayu dan pedagang ikan asin, mempertanyakan mereka pindah kemana. Perundingan-perundingan masih berlangsung, untuk mencari lokasi yang tepat. Untuk ikan asin, diusulkan beberapa pasar terdekat.

CILINCING, Kecamatan Cilincing, yang Kerap dilanda Pasang

Kawsan Clincing

Muara Cilincing, persisnya di aliran Cakung Drain, atau Sungai Landak, memiliki peran ekonomi yang penting bagi warga setempat karena dari sinilah kebutuhan sehari-hari masyarakat pesisir utara Bekasi dipasok. Kebutuhan pokok, kebutuhan erumah tangga, bahan bakar, diangkut dengan perahu bermotor ke kawasan pemukman di Bekasi Utara.

Cilincing, dikenal dengan program rumah deretnya, yang dipopulerkan oleh Jokowi, ketika masih mejabat sebagai Gubernur DKI.

“Jika takut dilamun ombak, janganlah berumah di tepi pantai,” begitu pepatah lama mengingatkan.
Pepatah kuno itu menjadi kenyataan di pesisir Cilincing. Saban tahun, pemukim disana dua musim didera olah angin dan ombak, yaitu musim barat dan musim timur. Ombak tinggi disertai angin, membuat pantai terkikis. Untuk menahan terkikisnya pantai, maka warna membuat penahan gelombang yang terbuat dari bambu.

Namun kemudian, Pemda DKI membangun tembok penahan gelombang. Penahan gelombang yang dibangun Pemda DKI itu, ternyata tidak memadai, maka akan dibangun lagi dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi.

Tokoh masyarakat Cilincing, mendukung rencana pemerintah untuk membuat turap disepanjang pantai dan membersihkan Cakung Drain dari kapal serta pemukiman liar. Bahkan, warga menginginkan secepatnya membangun tanggul.

Warga Cilincing, khususnya RT012/RW04, merasakan manfaat tanggul yang sudah ada, terutama ketika musim angin. Namun demikain warga keberatan tanggul yang ada sekarang ini, dibangun memasuki pemukiman.

Lahan yang ditempati warga sekarang ini, apa yang disebut sebagai "tanah timbul". Di RT 012, ditempati 350 KK dengan 330 rumah. Sebagian besar rumah warga sudah direhab, yang disebut sebagai rumah reret.


MARUNDA, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing


Kawasan Marunda


Marunda mewarisi budaya Betawi, yang bercirikan masyarakat pesisir. Dari sinilah legenda Betawi bermula, dengan tokoh legendaris Betawi Si Pitung di Marunda. Sebagai masyarakat asli Betawi, Marunda diwarisi sebuah masjid tua, yaitu masjid Al-Alam.  Masjid yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu, terletak di Marunda Besar, RT 09/RW 01 yang dibangun pada tahun 1527 oleh Fatahillah bersama para prajuritnya.


Ada tiga kampung di Marunda, yaitu Marunda Pulo, Marunda Besar dan Marunda Kongsi. Marunda Pulo dan Marunda Besar, murni dihuni oleh warga Betawi. Sedangkan di Marunda Kongsi, sudah bercampur baur dengan para pendatang.

Marunda yang berada di pesisir, ditandai pula sebagai kawasan tambak. Dulu, warga bekerja sebagai nelayan di laut, tapi kini, warga Marunda tidak ada lagi berprofesi sebagai nelayan. Bekerja di laut, tidak dilakukan lagi sejak harga bahan bakar mahal. Sebagai nelayan tambak, tidak pula, karena lahan tambak sudah berpindah tangan.

Masyarakat Marunda berpenghasilan bekerja di pabrik dan bekerja sebagai sopir dan jasa angkutan lainnya.
Pantai Marunda Pulo dan Marunda Besar sudah dibuatkan turap. Turap yang membentengi Marunda Besar dan dengan rumah susun yang dulunya ditempati oleh warung-warung makan, kini sudah dibongkar.

Ironis, Jakarta yang kaya, masyarakat Marunda bagai tinggal di dusun. Sampai saat ini, belium adfa jalan untuk kendaraan roda empat yang menyentuh Kampung Marunda. Ke Marundo Pulo, dimana keberadaan situs Si Pitung, baru dibangun jembatan. Selanjutnya, mencapai kampung dan situs hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Marunda Besar lebih terislosir lagi, karena dikepung oleh tambak. Sedangkan Marunda Kongsi, lebih beruntung karena adanya Rusunnawa Marunda.

Saya merasa kawatir pada kahirnya nanti Marunda, sebagai puak Betawi pesisir, akan tinggal namanya saja. Kawasan Marunda yang sudah dikepung oleh kawasan insdustri, pegudangan dan palabuhan, akan beralih tangan kepada pihak pengembang karena warga Marunda tergoda menjual milik tanahnya.

Kawasan Rumah Pompa Pluit


Penutup
Setelah mencermati dengan setiap langkah di pelosok-pelosok pesisir DKI, warga berdomisili di lingkungan yang buruk. Buruk sanitasi, buruk lingkungan, dan buruk perekonomian. Buruknya lingkungan tempat tinggal oleh pencemaan limbah ikan asin, limbah sampah dan buruknya kwalitas udara berdampak besar kepada kesehatan manusia. Demi generasi masa depan, koloni-koloni masyarakat pesisir sudah saatnya dibenahi secara total dengan tidak merugikan masyarakat yang sudah bermukim bertahun-tahun. "Angkat, dan tempatkan kembali". Pembangunan turap, akan menghambat terjadinya "tanah timbul" kembali dan mencegah banjir dari laut. (Rizal Bustami)

Foto-foto lengkap lihat di Rubrik Gallery Foto










Thursday, October 18, 2012

Empat Pintu Masuk ke Baduy




 LAPORAN PERJALANAN :
Apa saja di Baduy ?

Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang waktu, sepanjang musim kawasan-kawasan wisata budaya dan alam selalu dikunjungi. Manusia perlu hiburan, perlu “pencucian otak”, setelah dihimpit oleh berbagai persoalan pekerjaan sehari-hari dan kerutinan rumah tangga. Anak-anak pun memerlukan hiburan, dengan wisata setelah berjam-jam, berhari-hari belajar. Jalan-jalan merupakan terapi terbaik agar pikiran manusia pulih kembali.
 
Jakarta sebagai kota Negara, sebagai kota bisnis, sesak oleh aktivitas jutaan manusia. Kemacetan lalu-lintas, persoalan tambahan yang mereka dapatkan. Kemacetan lalu lintas betul-betul telah menimbulkan penyakit baru bagi pekerja kota.
 
Banten dalam posisinya sebagai tetangga Jakarta, mendapatkan suatu keuntungan geographis. Mudah dijangkau, karena terdapat jalan tol Jakarta Merak. Pada penghujung jalan tol ini, Banten menyediakan obat itu bagi kaum Jakarta yang sudah penat otaknya. Apa yang disediakan oleh Banten ? Banten memiliki Pantai Carita, Labuan dan Plorida yang sudah kondang. Banten memiliki wisata budaya, seperti perkampungan Orang Baduy. Dan setelah disusuri, ternyata Banten lebih banyak memiliki wisata Budaya dibandingkan dengan Jawa Barat.  Sebut saja misalnya Perkampungan Adat Ciptagelar, Cisungsang, Pasir Eurih, dan lainnya.


Monday, August 01, 2011

Teknik Membuat Artikel

BIKIN ARTIKEL ITU SUSAH
Oleh : Rizal Bustami *

Dalam menuliskan SMS di HP, saya tidak pernah menggunakan kata singkatan. Saya ketikkan kata lengkap, agar orang yang saya kirimi SMS mengerti apa pesan yang saya sampaikan.

Banyak mahasiswa tertunda-tunda menyerahkan skripsinya, karena persoalan penulisan. Para mahasiswa mengalami kesulitan memilih tema atau topik, kemudian bingung apa yang harus ia diketikkan. Akhirnya mahasiswa tersebut terjebak dalam “teknik copy paste”, comot sana, comot sini dah bahkan menyerah kepada jalan pintas, yaitu plagiat. Padahal, si mahasiswa tersebut pintar dan menguasai bidang kuliahnya.

Monday, May 02, 2011

Mengenang Marsinah

Marsinah


Catatan Rizal Bustami tentang Marsinah
Marsinah dan Buruh

Gegap gempita Peringatan Hari Buruh Dunia yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei di Bundaran HI sampai ke Istana Merdeka, mengingatkan saya kepada Marsinah. Marsinah yang mati dalam siksaan, mayatnya ditemukan tanggal 9 Mei 1993 di Dusun Jegong Kec. Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu saya sebagai reporter di Majalah Wanita Kartini.


Makam Marsinah / Foto : Rizal Bustami

Jasad Marsinah ditemukan selang beberapa hari setelah aksi demontrasi menuntut kenaikan upah di PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong, dimana Marsinah bekerja di perusahaan itu. Aksi demo tersebut terjadi pada tanggal 3 Mei 1993 dan Marsinah, wanita lugu, turut aktif dan paling vocal mempersiapkan aksi tersebut. Antara tanggal 3 sampai 5 Mei, Marsinah masih aktif berdemo. Namun setelah itu, dia tidak diketahui lagi, sampai ia ditemukan tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Foto : Antara
Saya melakukan reportase ke Surabaya, ke Sorong dan ke kuburan Marsinah penuh dengan perasaan was-was karena pada zaman itu adalah zaman represif. Bertahun-tahun lamanya, Marsinah menjadi topik yang selalu hangat diberitakan, namun tidak diketahui siapa pelaku pembunuhnya.

Meski selalu menjadi perhatian pers, namun foto dirinya hanya itu-itu saja, yaitu pas foto dirinya dengan rambutnya yang ikal tebal. Foto inilah satu-satunya yang dimiliki oleh Marsinah. Bagaimana wajah kesehariannya, tidak pernah diketahui oleh publik. Melalui pas foto itu pulalah Marsinah menjadi legenda perjuangan buruh Indonesia. Foto yang saya miliki, ya repro pas fotonya itu dan foto ketika saya mengunjungi makamnya yang masih berupa tanah gundukan.

Foto : Antara


Marsinahlah satu-satunya pahlawan buruh di Indonesia. Ditengah keluguannya, wanita dusun, ia berjuang bersama teman-temannya pada masa Indonesia dalam cengkraman yang penuh ketakutan. Kini pada Indonesia zaman bebas, tanpa rasa takut untuk bersuara lantang. Adakah yang ingat terhadap pengorbanan gadis Marsinah ?
Foto : Antara

Wednesday, January 26, 2011

RUU Keistimewaan Yogyakarta


Catatan Rizal Bustami
Tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta
BAHWA, YOGYAKARTA TIDAK SENDIRI MENEGAKKAN RI INI


Suatu kawasan kepulauan (archipilago) yang tidak bernama dan tidak memiliki kekuasaan tunggal, membentang dari barat ke timur dari ujung pulau Sumatera dan ekor Pulau Papua. Dari kepulauan utara Philipina sampai ke selatan Pulau Jawa. Pada masanya hanya ada kekuasaan- kekuasaan lokal seperti  Kraton Sambas, Kesultanan Kutai, Kesultanan Goa, Kesultanan Deli, Kesultanan Pulau Penyengat, Kesultanan Siak, Kesultanan Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Pare Pare, Kesultanan Solo, Kesultanan Almahera, Kesultanan Bima, Kesultanan Mataram, Kesultanan Sumenep, dll. Pada dasarnya tidak saling mengenal, dipisahkan dengan budaya dan sejarah. Lebih awal dari masa itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kejaraan Majapahit di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini tidak benar-benar memiliki pengaruh secara politik dan meliter di kawasan ini, meski ada diakui oleh atau didaulat oleh kerajaan – kerajaan kecil lainnya. Nama Indonesia baru dipakai atau diproklamirkan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah, yang diwakili oleh Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon, dll menyatakan sebagai Indonesia sebagai Bangsa, Indonesia sebagai Bahasa, Indonesia sebagai Persatuan, yaitu dengan Sumpah Pemuda-nya. Proses terbentuknya rasa kebangsaan itu lebih pada nasib sepenangungan, sama – sama mendapatkan deraan penjajah kulit putih. Mengutip diskripsi tumbuhnya suatu paham kebangsaan, Ernest Renan mangatakan dalam bukunya, Apakah Bangsa ?, sebagai keinginan untuk hidup bersama. Faktor perasaanlah membuat sebuah bangsa dan negara terbentuk. Buku kecil ini diterjemahkan oleh Prof. Sunaryo.

Tuesday, November 03, 2009

Catatan Gempa Sumatera Barat


Aksi "Pepesan Kosong" Para Relawan


Dikenal dengan panggilan Dawai, anak muda Pasar Cibodas (Cipanas),Jawa Barat, ternyata masih bertahan di Sungai Geringgiang, Pariaman, Sumatera Barat. Sang Ibunda, yang mengelola warung kebutuhan sehari-hari di Cibodas, sudah gulana karena puteranya belum juga pulang, sebab teman-teman Dawai sudah angkat kaki dari lokasi bencana.


Saya telpon Dawai dari Lubuak Basuang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menanyakan keberadaan dan kondisi dirinya. Dia menanggapi, “Tenang saja Bang. Alhamdulillah saya sehat. Makan cukup, pulsa ada, tidur nyaman. Saya disini membantu tim medis.”

Bagaimana pulang nanti, tanya saya. “Gampang Bang. Datang aja ke kantor Gubernur, unjukin KTP untuk pulang,” jawabnya enteng.


Kemudian saya telepon pula Ibundanya di Cibodas, saya ceritakan keadaan Dawai. Barulah sang Bunda tenang.

Saya tulis cerita tentang si Dawai ini, karena teman-temannya sudah pulang. Secepat mereka datang, selekas itu pula mereka pulang. Berbondong-bondong berangkat, berboyong-boyong pula mereka kembali. Padahal, pekerjaan di lokasi bencana masih banyak tersisa.


Hampi 30 hari pasca gempa bumi Sumatera Barat, bantuan logistik (material, alat dan makanan) masih berdatangan. Pelayanan medis pun masih berlangsung di kantong-kantong bencana. Di kawasan Padang Alai dan Sungai Geringging, misalnya, bagian dari aktivitas yang masih berjalan. Sedangkan masyarakat yang rumahnya porak – poranda, perlu dibantu berbenah.


Peristiwa Sunami di Aceh telah membangkitkan antusiasme anak-anak muda – yang umumnya berlatar belakang pendaki gunung dan pecinta alam, medis, meski juga ada dari masyarakat umum sebagai relawan. Berduyun-duyun mereka ke Aceh untuk memberikan pertolongan, evakuasi korban hidup atau meninggal, droping logistik, membantu di dapur umum, rehabilitasi fasilitas umum, dan sebagainya.


Sebelum berangkat ke Aceh membawa Relawan Bogor, kepada Bung Boyke saya tekankan, “Boy, di Aceh akan menghadapi situasi kiamat, dimana kita belum pernah menangani mayat sebanyak itu. Mayat terbanyak kita tangani, adalah pendaki gunung yang meninggal di Gunung Salak tahun 1987. Ini situasi mental luar biasa. Supaya teman-teman tidak mual dan shock, perintahkan mereka makan di depan mayat.”


Metode ini ampuh, kawan-kawan dari Bogor tidak gamang lagi bersentuhan dengan mayat-mayat. Relawan yang berbondong-bondong datang ke Aceh, tidak sedikit yang dikembalikan ke Jakarta karena tidak siap mental.

Pada gempa Jogyakarta, relawan terorganisir dan beridentitas bermunculan, hal itu tampak dari seragam dan pelakat yang mereka pakai. Gempa di pantai selatan Jawa Barat, para relawan lebih cepat reaksi tanggap-nya. Bobolnya tanggul Situ Gintung, Banten, memperlihatkan, betapa tanggapnya mereka terhadap bencana alam. Fenomena sosial ini jadi menarik, yaitu tumbuhnya secara majemuk kepedulian sosial, tanpa memandang suku dan agama.


Antusiasme yang tidak saya temukan ketika Gunung Merapi, Jawa Tengah, ketika meletus tahun 1994, dimana satu dusun, Dusun Turgo tewas tersapu awan panas, atau Gunung Semeru meletus pada tahun yang sama. Tidak ada relawan ketika sunami di Banyuwangi tahun 90-an, Gempa Liwa, Gempa Bengkulu, sunami di Flores.

Namun demikian, perlu diingat pula, relawan bencana alam tersebut tumbuh demikian saja. Artinya, siapa saja boleh bergabung dan melakukan aksi di lapangan. Mereka ini dilengkapi dengan seragam, identitas sampai brefet, seperti brefet panjat tebing, brefet arung jeram, bereft SAR (Sear and Rescue) dan brefet-brefet lainnya. Jadilah mereka ini sebagai Rescuer. Kualifaitkah mereka itu ? Inilah yang saya ragukan.


Saya meragukannya, karena mereka itu adalah relawan dadakan. Bagaimana mereka melatih diri ? Betul-betulkah dia seorang pemanjat tebing ? Benar-banarkah ia seorang pengarung sungai ? Pernahkah mereka melakukan pendidikan dan pelatihan SAR ? Pernahkah mereka belajar dan latihan P3K ¿ Pernah dia menyentuh mayat ? Mengertikah dia organiasasi dan sistem kerja SAR ? Bagaimana dengan kesehatan dan kesiapan mental mereka ?

Pengamatan dan wawancara saya dengan beberapa relawan, tidak memberikan jawaban apapun yang diperlukan sebagai Rescuer. Diantara pertanyaan saya : (1) Kau pernah pegang mayat – yang bukan keluarga sendiri ?; (2) Apa kau mengerti presedur P3K; (3) Bisa kau merangkai jaringan listrik ? (4) Kau bisa mengendarai kendaraan roda empat ?; (5) Kau bisa memasak ? Hanya 10 persen dari mereka yang bisa mengatakan “bisa” dari salah satu pertanyaan tersebut. Selebihnya, saya katakan, “Apa pekerjaan kau di sini ?”


“Mana ada OSC dan MSC yang turun ke lapangan. Komander – komander ini kan harus stanby di Poskodal. Ini yang terjadi di Poskodal saya di Padang Pariaman. Komander – komander meninggalkan markas supaya masuk televisi. Saya malu, mereka itu ‘adik-adik saya’,” ungkap Alex Kaliwongso, 40 tahun, seorang yang malang melintang di dunia rescue.


Emblem-emblem yang menempel di seragam relawan bukan jaminan bahwa mereka betul-betul Rescuer. Ini penting diketahui masyarakat yang terkena musibah bencana alam. Mintalah pertolongan kepada anggota Basarnas, PMI, Pramuka, dokter dan pramedis.


Boyke, 50 tahun, tentulah dikenal di kalangan pendaki gunung dan SAR. Hampir semua bencana alam dan SAR dia hadiri. Boyke mengatakan dua hal. “Relawan tidak mempunyai jiwa petualang alias cengeng. Kedua, kebanyakan mereka nggak ngerti kerja di lapangan yang kacau balau.”


Boyke berada di Nagari Mangopoh, Lubuak Basuang bersama relawan Kabupaten Bogor. Relawan Bogor tersebut, disertai tim medis terdiri dari dokter, para medis dan ahli urut dari Cimande, disamping relawan dari Universitas Pakuan Bogor serta team dapur umum.


“Yang dibutuhkan bukan kwantitas relawan, tetapi kwalitasnya. Satu relawan yang baik, bisa mewakili 10 orang relawan yang hanya bisa untuk angkat-angkat kardus Indomie,” tegas Boyke.

Efektifitas dan efesiensi relawan dalam bekerja termasuk yang harus diperhatikan. Seberapa efektifkah sebuah regu relawan di lapangan ? Sebarapa efesien mobilisasi satu regu relawan di lapangan ?


Sebuah kelompok relawan dari Jakarta yang saya tanyai, berapa persen dana yang dipakai untuk menggerakkan relawan di lapangan ? Koordinator relawan tersebut menjawab, 50 persen dari dana yang mereka anggarkan adalah untuk membiayai relawan, seperti biaya makan, transportasi dan beli bensin kedaraan operasional. Relawan Bogor, menghabiskan dana untuk membiayai keperluan relawan antara 35 persen sampai 50 persen dari anggaran. Kesimpulannya adalah, hanya separuh dana yang disalurkan ke masyarakat yang terkena musibah. Besarnya biaya relawan tersebut, perlu diperhatikan. Ini namanya, “sama besar pasak dengan tiang.”


Avie “Tanah Abang” sependapat dengan sebutan petualang cengeng yang disebutkan Boyke. “Saya menghargai dan salut terhadap orang-orang macam Dawai. Teman-temannya sudah pulang, Dawai bertahan. Banyak pekerjaan yang terbengkalai, misalnya mendampingi team medis, dapur umum dan droping logistik,” ungkap Avie, 31 tahun.


Indonesia yang kerap mendapat bencana alam, karena disebakan faktor geologi, maupun cuaca, diperlukan relawan-relawan untuk bekerja memberikan bantuan serentak. Tentulah relawan yang berkuwalitas diperlukan. Relawan yang berkuwalitas, membuat pekerjaan tertangani sesuai standar prosedur dan efesiensi dari segi pengeluaran dana. Daripada berduyun-duyun mendatangi lokasi bencana, lebih baik ruang pada transportasi udara, darat dan laut diperuntukkan untuk pengiriman logistik dan peralatan. Selain itu, anggaran dapat lebih banyak disalurkan langsung kepada masyarakat yang tertimpa musibah.


Diperlukan suatu pendidikan dasar penanganan bencana alam yang memiliki standar ketrampilan dan sposedur operasional. Lembaga yang mempunyai kewenangan dan kuwalitas untuk itu adalah Basarnas. Sedangkan PMI, dapat memberikan pelatihan pra medis. Metode dan simulasi lapangan dapat dibuat, dimana menyerupai kondisi-kondisi bencana alam. Mereka yang mengikuti pelatihan, adalah wakil dari organisasi pecinta alam, kelompok rescuer, ahli medis dan pramedis, dan masyarakat umum. Mereka yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan, diberi sertifikat. Kelak dalam menangani korban bencana alam, mereka yang bersertifikat inilah yang diprioritaskan dan mendapat kemudahan berangkat ke lokasi bencana. Diperlukan pula latihan bersama, yang melibatkan semua unsur istansi, baik pemerintah, TNI, Polri, Pramuka, organisasi kepemudaan, pecinta alam dan masyarakat.


Latihan-latihan gabungan berkala, akan mendapatkan inteligensi rescue (kecerdasan rescue) bagi relawan, sehingga tidak terjadi aksi “pepesan kosong”. *










Friday, May 08, 2009

ANTASARI DAN JURNALIS "KUNCEN"

……..saya mohon teman-teman wartawan tidak main hakim sendiri lewat media massanya masing-masing seperti halnya ada aparat penegak hukum yang kebablasan menetapkan Antasari Azhar sebagai otak pelaku pembunuhan (intelectual dader). Itu terlalu prematur karena proses peradilan belum berjalan. Biarlah pengadilan yang memutuskan benar atau salah mantan ketua KPK tersebut. Soal pemberitaan kasus yang Menjerat Antasari Azhar. Demikian ditulis oleh Eka L. Prastya, Redaktur Koran Sindo, di Facebook.


Benar adanya, apa yang disampaikan oleh wartawan muda ini. Saya pun menyambangi apa yang ditulis Eka di wall yang sama.

Saya sebagai wartawan yang tidak lagi di media cetak, merasa tergerak hati, terusik naluri untuk mempelajari kasus pembunuhan Nassarudin tersebuti. Karena menyangkut nama seorang pejabat tinggi top di Indonesia, yaitu Antasari Azhar, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tentulah ini perkara tidak sesederhana itu.


Ada dua hukum yang berlaku di negeri kita, satu Hukum Formal, satu lagi Hukum Masyarakat. Hukum masyarakat lebih dahulu jalannya, dibandingkan Hukum Formal. Perkara belum sampai ke Pengadilan, masyarakat telah menghakimi. Tak tau pangkal perkara, masyarakat telah menvonis. Inilah masyarakat, “pembunuh karakter”.


Proses Hukum Formal sedang dijalankan. Polisi sebagai penyidik, telah mengemukakan komponen – komponen fakta lapangan, seperti saksi, barang bukti, pelaku dan pengakuan. Para tersangka sudah ditangkap dan ditanyai satu per satu oleh Polda Metro Jaya. Komponen-komponen fakta hukum tersebut nantinya akan diuji Logika Hukum-nya di Pengadilan.


Mari kita berandai-andai. Seandainya benar Antasari sebagai si pemberi perintah pembunuhan tersebut, perkara ini barang tentu akan jelas, sejelas-jelasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara Logika Hukum dan Logika Umum. Andaian kedua, Antasari tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut ? Bukanlah Antasari otak dari pembuhuhan tersebut, maka kalang kabutlah aparat hukum negeri ini.


Logika Peristiwa ini saat ini sedang dikritisi oleh masyarakat. Itulah Logika Umum yang tengah berlangsung di masyarakat. Masyarakat mulai ragu terhadap fakta-fakta dasar hukum aparat penyedik.

Saya tidak akan meneruskan pembicaraan tentang jalannya proses hukum yang tengah berlangsung, karena sudah ada badan yang kompeten yang mengurusnya. Saya mengingatkan rekan-rekan yang bergerlya di lapangan, teliti sebelum membeli, teliti sebelum menjual. Saya maksudkan disini, teliti menilik sebuah informasi, dan hati – hati memuat beritanya.


Ini adalah perkara canggih dan sarat dengan banyak kemungkinan. Waspada terhadap satu fakta yang seolah-olah fakta. Mungkin saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan lembaga tertentu. Siapa yang mengotori, siapa yang membersihkan. Jadi, banyak kemungkinan. Membuka kemungkinan-kemungkinan itu, merupakan tugas wartawan.


Besarkan mata, pertajam telinga.

“Air tenang tidak berarti tidak ada riak.”

“Dalami lubuk, agar tau ikan berenang di dalamnya.” “Tidak terdengar, bukan berarti tidak ada suara.”

“Tidak tampak, bukan berarti tak ada sesuatu.”

Fungsi wartawan adalah sebagai “anjing penjaga”, tapi jangan sebagai “anjing kampung”, satu menggonggong semua ikut menggonggong. Begitu dilempari roti, berhenti menggonggong. Begitu duduk mengambil batu, ekor ditekuk.


..... perbanyaklah mencari data sendiri, jangan hanya jadi "kuncen" Polda dan Kejakgung, yang hanya menunggu jumpa pers, balas Deddy di wall yang sama.


Jadi “kuncen”, menunggu sedakahan informasi.

Masyarakat kita yang pemarah, mudah naik darah karena terpengaruh oleh berita yang menyesatkan. Masyarakat telah menghakimi, sedang proses hukum tengah berjalan.


Kiranya, wartawan Indonesia harus belajar banyak kepada Tintin, dengan Snowynya. (Rizal Bustami)

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023