Catatan Harian Seorang Juru Tulis
Misi Khusus
Sampai jualan Siti Mariam di kediamana Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula sat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.
“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan,” pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.
Wajah Siti Mangopoh seketika mengkeru. Bibirnya memagtup. Nampkanaya dia berpikir keras. Para pendampignya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantra perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akl tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !,” jawab Siti Mangopoh pula.
Sampai jualan Siti Mariam di kediamana Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula sat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.
“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan,” pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.
Wajah Siti Mangopoh seketika mengkeru. Bibirnya memagtup. Nampkanaya dia berpikir keras. Para pendampignya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantra perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akl tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !,” jawab Siti Mangopoh pula.