PULAU
“AMAZING” YANG TIDAK TERSENTUH
Australia punya Gunung Batu Uluru,
Amerika punya Gunung Batu Devils Tower, Indonesia punya Gunung Batu Mules.
Sebuah pulau
di selatan Flores bagian barat, bagai negeri dongeng, atau negeri kayal seperti
penggambaran film-film animasi. Menyaksikan suguhan alam – yang tidak biasa,
membuat saya terperangah. Sebuah gunung batu menjulang, dengan hamparan savana
dengan kisi-kisi tanaman lontar yang acak, sebuah kawasan yang tidak ditemukan
dimanapun di Indonesia. Mercu suar yang mencuat ditengah keheningan dan
kesepian kawasan selatan pulau tersebut, bagai lukisan di kanvas-yang sengaja
dibuat.
Pulau Mules
sudah hadapan mata. Muncul halangan, soal transportasi laut untuk mencapainya.
Di Dintor tidak tersedia perahu tambang. Yang ada perahu cateran, sekali jalan
mencapai Rp.300.000. Atas saran warga lokal, saya disarankan menunggu perahu
yang datang dari Pulau Mules. Kedatangannya antara jam 14.00 sampai jam 16.00.
Selagi menunggu parahu tersebut, saya ngobrol-ngobrol dengan warga disana. Dua
orang diantaranya, adalah Pak Primus, asal Waerobo, menjadi guru Sekolah Dasar
di Puau Mules, dan temannya guru honorer SMP. “Ikut saya saja,” kata Pak Guru,
demikian dia dipanggil.
Perahu
datang. Perahu terombang-ambing. Pemilik perahu susah payah menahan perahu agar
penumpang mudah naik. Tidak ada dermaga. Pantai berbatu yang curam, menyulitkan
warga menaiki perahu. Sepada dan bagasi saya dinaikan ke pearhu – yang dibantu
oleh Pak Guru dan temannya.
Dalam tempo
satu jam, parahu sampai di Pulau Mules. Karena air sedang surut, penumpang
kembali menceburkan diri ke laut. “Pak, ke rumah saya saja,” kata Pak Guru.
Sedianya
tadi saya akan ke rumah Kepala Desa atau ke rumah Sekretaris Desa. Saya
memutuskan menerima tawaran Pak Guru. Maka bermalamlah saya di rumah Pak Guru.
Sebuah kebaikan lagi saya terima lagi…
Baiklah, kita lanjutkan dengan
explorasi Pulau Mules.
Setelah
melaporkan diri kepada Sekretaris Desa Luca Mulas, Pak Bakhri, saya dititipkan
kepada Pak Tua yang saya lupa namanya. Sebut saja Namanya Pak Tua, dia ini yang
tahu betul seluk beluk Pulau Mules. Setiap ada tamu yang datang, Pak Tua inilah
yang mengantarkan.
Perjalanan saya
mulai jam 10.00 waktu bagian timur.
Keluar dari
perkampungan, memasuki kasawan savana dengan tumbuhan rendah dan belukar.
Setelah melewati dua aliran sungai musiman, memasuki hutan ringan. Di kawasan
hutan ini terdapat sebuah sumur tua. Pak Tua mengantarkan saya untuk mengambil
koordinat lokasi sumur dan membuat foto.
Meneruskan
jalan setapak, keluar dari hutan, terdapat lagi savana kecil, lalu hutan ringan
lagi. Jalan setapak kini mendekati pantai.
Setelah
hutan, savana lagi dengan rumputnya yang tinggi. Nah, disinilah tiba-tiba saja,
seperti mencuat dari hutan, bangunan jangkung mercu suar tersumbul. Dibelakangnya,
muncul Gunung Mules. Wah, amazing…
Kawasan ini
tidak berpenghuni. Sebuah bangunan rumah yang letaknya agak jarak dengan mercu
suar, merupakan rumah jaga mercu suar yang tidak pernah ditunggui.
Mercua suar
Pulau Mules dibangun tahun 1990-an, dengan ketinggian 40 meter. Terdapat pintu
besi untuk memasuku rongga bangunan mesrcu suar. Pintu besi tersebut tidak
dikunci. Tangga besi sipiral menggulung-gulung ke atas.
Terdapat enam lantai –
untuk sampai di ruang kaca pemantul suar. Lampu reflector mercu suar sudah
memakai lampu let, dengan tenaga listrik dari dua unit aki besar.
Berada
diteras mercu suar pandangan berputar 360 derajak. Pandangan ke selatan dan
barat lautan luas. Ke Timur dan Utara Gunung Batu Pulau Mules dengan hamparan
savana bagai karpet alam. “Keindahan dan keunikan mana lagikah yang kau cari,”
dalam hati saya.
Dari teras
mercu suar ini, jika mau menunggu, bisa menyasikan matahari tenggelam di
lautan. Pada antara jam 15.00 sampai jam 18.00, kawanan rusa akan merumput di
savana. Sempurna sudah…
Jalan
setapak berbelok ka kanan, melewati pepohonan yang rindang. Terbuka sedikit,
kemudian memasuki hutan. Banyak jalan setapak disini. Menelusuri jalan setapak,
ditemukan gundukan tanah setinggi satu meter dengan diatasnya rata. “Ini sarang
burung Maleo. Ada telurnya,” terang Pak Tua, yang berjenggot putih itu.
Selepas
hutan, savana terbukan terhampar. Di sebelah kanan Gunung Batu Mules, dikiri
laut. Savana yang “gondrong” tersebut, menyulitkan untuk melangkah. Pohon
lontar tumbuh secara acak, memberikan caption foto yang indah.
Berjalan di
savana terbuka dengan matahari terang benderang, melelahkan juga, sampai
mendekati pantai utara Pulau Mules. Gunung Batu Pulau Mules selalu mendampingi
dengan tampilan yang berbeda-beda.
Akhirnya
memasuki hutan gersang dengan lantai pasir pantai. Perjalanan belum selesai,
sampai menemukan sumur besar di kiri jalan setapak.
Di sumur ini
warga mandi dan mengambil air, dan juga berfungsi untuk memberi minum ternak
sapi. Sampailah di Kampung Labuan Taor yang berada di tepi pantai. Di seberang
lautan, tampak daratan Pulau Flores. Jalan setapak berbeton menghubungkan tiga
kampung di Pulau Mules. Jam 15.00, saya tiba kembali di rumah Pak Bakhri.
Tentang Pulau Mules
Sebagaimana
diberitakan oleh media, bahwa Pulau Mules sudah memiliki perahu wisata desa
yang diberikan oleh Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia dan sudah dibangun dermaga
wisata ternyata saya tidak menemukannya. Foto kapal wisata yang pernah ditampilkan
di media, ternyata tidak ada. Di Pulau Mules memang sudah ada dermaga, tetapi
di Dintor tidak ada dermaga.
Tidak
mengurangi keunikan dan kecantikan Pula Mules, kawasan ini belum siap menerima wisatawan. Pelancong jangan
sampai terkecoh dengan publikasi oleh pemerintah daerah, seolah-olah di Pulau
Mules sarana dan infrastrukturnya sudah memadai.
Kebutahan
dasar masyarakat seperti sumber air bersih dan listrik PLN tidak ada, bagaimana
dikatakan sudah siap sebagai daerah tujuan wisata.
Warga masyarakat
besar harapannya pulaunya akan ramai dikunjungi seperti Pulau Komodo. Dengan
adanya wisatawan, ekonomi masyarakat akan berkembang. Jika air dan listrik saja tidak ada,
bagaimana ? Masyarakat pun bimbang dengan ekses akan muncul nantinya, dengan
kedatangan wisatawan, terutama orang asing. Sebaimana masyarakat Muslim yang
taat, berpakaian minim mandi-mandi di pantai tentu sesuatu yang tidak
menyenangkan bagi mereka.
Pulau Mules,
sebagai kesatuan administrasi Desa Luca Mules, Kecamatan Satar Mese Barat,
Kabupaten Manggarai, terdiri dari tiga
kampung, yaitu Kampung Labuan Taor, Kampung Petji, dan Kampung Konggang.
Setiap
kampung memiliki sumur umum. Membuat sumur sendiri, untuk menyalurkan air,
memerlukan aliran listrik. Untuk penerangan malam, kampung-kaampung menggunakan
mesin pembangkit listrik yang dayanya minim. Listrik hanya mengalir sampai jam
22.00
Dari ketiga
kampung tersebut, dermaga hanya terdapat di Kampung Konggang. Jadwal perahu
untuk kembali ke Dintor, tidak ada jadwalnya. Pendatang harus mencari informasi kapan perahu menyeberang.
Tentang Sumur Kuno
Ada dua
sumur kuno di Pulau Mules. Satu sumur berada di selatan, di hutan, satu sumur
tua lainnya di Kampung Konggang. Kedua sumur kuno tersebut menjadi menarik,
karena sudah ada sejak masyarakat modern mendirikan perkampungan di Pulau
Mules. Orang-orang di Pulau Mules tidak ada yang mengetahui, siapa yang membuat
sumur tersebut. Pak Bakhri yang sudah berumur 60 tahun, mengatakan, “Kakek saya
saja, tidak tahu siapa yang membuat sumur itu.”
Pak Tua yang
mengantarkkan saya ke sumur kuno di hutan, mengatakan, “Jadi, tanda tanya bagi
kami, siapa pendahulu kami di pulau ini. Sebab, sumur ini sudah ada sejak lama.”
Jika
nantinya Pulau Mules dibuka untuk wisatawan, dengan catatan kebutuhan dasar
seperti listrik dan air bersih tersedia stabil, saya memiliki keyakinan kawasan
akan maju dengan banyaknya wisatawan.
Dengan
segala keterbatasan yang dimiliki oleh Pulau Mules, kawasan ini keren untuk
diabadikan. Untuk akomodasi disana, warga setempat bersedia untuk menampung
tamu.
Data Metrik
GPS :
Dintor-Pulau
Mules : 6 km
Jalan
setapak Pulau Mules : 18 km
Luas Pulau
Mules : 20 ha
Powered by Wikiloc