Sunday, November 28, 2010

NOVEL Bagian X





Catatan Usang Seorang Juru Tulis  
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian

GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.

Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.

Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak.  Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.

Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.

Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.

Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara. 


Demonstrasi terbesar ini adalah merupakan mata rantai dari demonstrasi sebelumnya, yaitu pada tahun 1895 rakyat Magek dan Salo menuju rumah Assisten Residen di Bukittinggi.

Mereka datang dengan tenang tanpa banyak bicara. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa permusuhan, namun begitu mereka tidak mau disuruh pulang, tetap saja duduk dengan diam seakan orang yang pasrah menerima nasib. Akhirnya terpaksa dipanggil serdadu untuk mengusir mereka. Tak obahnya seperti mereka datang, sebelum diusir mereka diam-diam meninggal tempat tanpa bicara, tanpa teriak dan tanpa yel-yel.

Meskipun pada waktu itu masyarakat belum mengenal akan kata ‘demonstrasi’, tetapi mereka pada waktu itu tidak lebih dari ‘unjuk perasaan’ untuk memperlihatkan ‘sikap’ mereka yang ‘saciok bak ayam, sadanciang nan bak basi’ (secicit bak ayam, sedenting bak besi) dan tandanya ‘penghulu nan saundiko. Adatnya laki-laki samalu, adat parampuan nan sarasan’.

Mereka mengajukan tuntutan melalui perwakilan yang dipercayanya saat itu untuk ‘berorasi’, menyampaikan maksud kedatanagan mereka. Sebagai dasar tuntutan mereka adalah: Pertama, Agar pemerintah membebaskan Penghulu Andiko dari IV Koto yang telah ditawan Belanda.
Penghulu andiko itu ditahan karena menghajar salah seorang penghulu yang berkhianat, yang telah melaporkan ke Taungku Laras Koto Gadang bahwa adanya kegiatan rapat yang dilaksanakan oleh penghulu-penghulu suku IV Koto dalam menentang rencana pemberlakukan belasting pada 1 Maret 1908 nanti, sehingga rapat itu dibubarkan oleh dubalang Laras Koto Gadang. Dan karena dihajar bebak belur oleh tiga orang penghulu (yang sedang ditawan) itu, maka penghulu pengkhianat itu terpakasa dirawat di rumah sakit. Kedua, menanyakan apa alasannya tiga orang penghulu itu ditawan, kalau hanya karena alasan mengadakan rapat-rapat kenapa tidak semuanya saja dipenjarakan. Ketiga, rakyat tidak bersedia membayar pajak (belasting) yang akan diberlakukan pada 1 Maret 1908 itu nantinya.

Tetapi karena pada hari itu kantor tutup (hari Minggu), maka Kontroler L.C. Westenenck menanggapi aspirasi rakyat itu melalui Jaksa Kepala Jusuf Datuak Sati,  yang berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut pada tanggal 26 berikutnya.

Agaknya, inilah perwujudan bentuk ‘demokrasi Minangkabau’ dalam menyikapi suatu kebijakan yang akan menimpa negerinya dan yang akan mensengsarakan rakyatnya. Dan demonstarasi tertib semacam ini adalah produk asli rakyat sejati, agaknya pula adalah yang pertama dilakukan sebelum mengenal jauh tentang demonstrasi sebagaimana yang berkembang dikemudian hari.

Kejadian (demonstrasi)  di Bukittinggi pada 1895, 22 Maret 1908 dan 12 Juni 1908 merupakan awal dari kerusuhan-kerusuhan yang akan segera meletus dimana-mana, terutama di Kamang - Agam Tuo.
Meskipun sebelum tanggal 26 Maret 1908 dan sesduah 12 Juni 1908, tokoh-tokoh demonstran tersebut ditangkap Belanda dan dibawa dengan kereta api ke Padang untuk ditangsikan di sana, namun semangat anti belasting pun tidak dapat dipadamkan pemerintah. Karena dalam pandangan rakyat, kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan pemerintahan Belanda itu menempatkan penguasa Belanda sebagai orang orang kafir yang menjadi musuh besar Islam. Selanjutnya pusat gerakan semakin membumi di Kamang, sebuah negeri di Utara Bukittinggi yang berada di kaki Bukit Barisan.
Gerakan anti Belanda dengan nota bene anti belasting itu sangat pesat pertumbuhan dan penyebarannya di Kamang hingga ke daerah-daerah lain di Minangkabau. Agaknya, karena Kamang sudah mewarisi tradisi revolusioner semenjak ‘Gerakan Harimau Nan Salapan’ hingga ‘Perang Minangkabau (Perang Paderi)’.

Meskipun telah berkali-kalai dan bahkan tidak terhitung lagi L.C. Westenenck  mendatangi Kamang guna mensosialisasasikan pemberlakuan belasting, namun lebih menambah kebencian dan semakin memperkukuh semangat ‘aksi rakyat’ terhadap Belanda.

Kewalahan pihak Belanda dalam mensosialisasikan kebijakan barunya ini adalah karena tokoh-tokoh masyarakat, terutama ahli propaganda di Kamang menjalankan taktik “tikam jajak”.

Setiap kali kedatangan L.C. Westenenck  menceramahi rakyat, maka sepeninggalnya tokoh-tokoh propaganda langsung - menghapus jejak  -  pembesar Belanda di Bukittinggi itu, dengan jalan membuat fakta terbalik dari yang disampaikan pihak Belanda. Rakyat dihasut untuk tidak mengiyakan apa yang disampaikan oleh ‘syaithan-syaithan’  penjajah itu dan mengembalikan kemurnian fikiran dan semangat persatuan menentang pelaksanaan pembayaran belasting.

Dalam pada itu, di Kamang sendiri kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan malam mereka terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi. Setiap informasi baru selalu dibahas dan dibicarakan pada setiap kesempatan yang ada, sebelum tiba pada kesimpulan akhir.

Para pandai besi, seperti di Koto Baru Salo sebagai penerus kecanggihan apar besi di Salimpauang (Batu Sangkar) pada zaman Paderi dahulu, telah riuh-rendah bernyanyi dengan dencingan besi yang sedang ditempanya, menjadikan golok dan pedang yang keampuhannya dapat memutus besi sekali pun. Dan seluruh dusun seakan dipenuhi bunyi desau klewang (golok) yang sedang diasah dan menguji ketajaman hasil perbuatan si pandai besi yang dikerjakan secara tradisional itu.

Sementara kaum ibu saling berbisik dan memandang bangga ke arah suami dan anak anak mereka yang bermandikan keringat dalam mempersiapkan diri untuk berperang, dan mencibir ke arah keluarga lain yang tidak memperlihat rasa simpatiknya atas semangat jihat yang sedang menggelora itu.

Pada Jumat bulan Maret Abdul Wahid Kari Mudo mengadakan sebuah ‘lobby’ di rumahnya terhadap Laras Kamang, Penghulu Kepala Tangah yang masih paman baginya beserta saudaranya yang lain. Hasilnya mereka semua sepakat untuk tidak membayar pajak. Keesokan harinya Abdul Wahid Kari Mudo bersama Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu dan beberapa orang lagi sengaja pula mengunjungi Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala ke kantornya masing-masing guna menerangkan maksudnya untuk melakukan semacam gerakan menentang pembayaran pajak.
Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan akan membantu gerakan itu secara diam-diam.

Dalam sebuah skenario mereka ditetapkanlah bahwa pada tanggal 20 April sebagai hari mengadakan rapat umum di rumah Laras Kamang untuk memberikan penjelasan kepada rakyat tentang pajak, yang dipimpin langsung oleh Kontroliur L.C. Westenenck. Nantinya niat pemerintah ini akan digagalkan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan para pengikutnya.

Memang demikian kejadiannya. Setelah rakyat berkumpul, kepala Kontroliur L.C. Westenenck ,  dipermalukan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan pidatonya “rakyat tidak dibolehkan membayar belasting. Barang siapa yang membayar pajak pada Belanda adalah kafir !” Kemudian diikuti pula oleh Datuak Adua dari Pauah dan Datuak Makhudum dari Ilalang. Sementara itu Tuangku Laras dan Penghulu Kepala tidak membuat reaksi apa-apa atas tindakan Kari Mudo dan kawan-kawannya itu.

Kejadian pada 20 April itu dan apalagi melihat sikap Laras Garang Datuak Palindih, Penghulu Kepala Datuak Sari Marajo yang seperti ‘katak diludahi’ itu, apa yang dikatakan dalam fatwa politik Melayu “Sebanyak akal kucing, sebayak itu pula akal tikus” memang telah terjadi.

Kerongkongan L.C. Westenenck  bagaikan ketelan putik durian, tersekat di kerongkongan yang sengatan durinya terus terasa, tetapi Belanda belum siap untuk mengambil tindakan. (bersambung)


















 

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023