Sunday, February 20, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XII)

Biadab

SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3 Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’ menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red: Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di Minngkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz.

Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjangdiumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda.

“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau.”

“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda moncoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.

Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud  terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor.  Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju  tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.

Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan
kawannya. Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. eesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng –  Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang  yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak.

Sesudah menduduki Bonjol,  tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah  basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.” 
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku bertanya.
“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.

Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman ‘marsose’ – si Belanda Hitam – atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang lautan itu.

Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya.

Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah, penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan pajak, ‘pungutan langsung’-nya.
(bersambung)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023