Saturday, March 05, 2011
Novel : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XII)
Briefing
TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda.
Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi.
Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908 L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk
segera melakukan penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu. Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala nagari yang merasa
tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk
dibuang.
Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya Agus Warido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan mendapat dukungan Belanda.
Agus Warido Prawirodirjo sebelumnya diangkat Belanda sebagai Mantri Kopi di Limo Puluah Koto. Laras Kamang dihadiri oleh Kepala Laras Garang DT. Palindih, Laras Tilatang Jaar Dt.
Batuah, Laras Ampek Angkek Samat Dt. Sati, Laras Kapau Dt. Rajo Labiah, Laras Baso Adam Dt. Kayo dan Laras Canduang oleh Sahat Rajo Malenggang dan Laras Ampek Koto, Yahya Dt. Kayo.
Karena rakyat mendapat bocoran informasi pertemuan rahasia para Laras se Agam Tuo itu, maka pada Senin, 2 Juni 1908, diadakanlah pertemuan bersama di Mesjid Taluak (Kamang) yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung, Mangopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Solok-Selayo, Limo Puluah Koto, Pauah Kamba, Lintau, Muaro Labuah dan lain-lain. Dengan kebulatan tekad, peserta rapat memutuskan akan melancarkan aksi menentang Ulando, dan dalam rapat itu pula sekaligus ditentukan tugas masing-masing.
Pada Rabu, 11 Juni 1908 para pasukan rakyat - yang bukan saja masyarakat Kamang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah berdatangan dan berkumpul di Surau Haji Abdul Manan, kampung Budi. Pertemuan dalam rangka persiapan perang itu diimami langsung oleh Haji Abdul Manan. Pidatonya yang terakhirnya sebelum konfrontasi melawan Belanda, Haji Abdul Manan meminta
seluruh pasukan jangan gentar dan ragu-ragu menentang Belanda dan tiadak takut akan mati syahid.
Tujuan akhir dari briefing bersama pada pasukan - ‘fi-Sabilillah’ - itu adalah membakar semangat juang mereka oleh pemimpin gerakan dengan – ‘ayat-ayat pedang’ – dalam mengobarkan semangat perang suci.
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala
melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.”
“Begitulah yang telah terjadi pada Perang Badar zaman Rasulullah dahulu. Dan bahkan sebagaimana yang dihadapi pula oleh leluhur kita Inyiak Enceh, dan Tuangku Imam di Bonjol
dalam Perang Paderi dahulu,” sambung Haji Abdul Manan mengulas ayat Al-Qur’an yang didiktekannya itu.
“Bahkan...!, kematian Inyiak Enceh pun terpaksa dilakukan dengan sebuah pengkhiatan oleh orang suruhan Ulando, karena hanya itulah satu satunya jalan yang dapat dilakukan untuk membunuh nenek kita itu guna menghentikan perlawanannya,” kata beliau lagi.
“Kenapa kita harus gentar, takut dan berpaling untuk menghadapi si kafir nan bamato bula itu. “Yakinlah tentang apa yang dikatakan oleh Allah, Swt bahwa ‘Orang-orang kafir itu membuat
tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya’.” tegasnya.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”
“Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong’. Janganlah kamu mengira bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki’. Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu” Ulas beliau Haji Abdul Manan pula.
“Dan apa kata Allah, Swt lagi dalam Al-Qur’an ini…!!!” Tangan kanannya sambil mengacungkan sebuah kitab Al-Qur’an, bahwa:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.”
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwallah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
selesai penyamapaian ‘orasi’ yang mengebu-ngebu, membakar semangat jemaahnya, Haji Abdul Manan tetap menganjurkan terlebih dahulu musuh dihadapi dengan secara bijaksana.
“Sungguhpun demikian,” kata beliau Inyiak Manan, ‘maka besok beberapa ninik orang mamak dan cerdik-pandai kita bersama pengikutnya, terutama yang biasa berdagang ke Bukittinggi akan
mengadakan unjuk perasaan lagi ke kantor Siteneng itu, guna menyampaikan kebulatan tekad kita untuk menolak belasting, dan menganjurkan supaya pengumuman ’1 Maret’, tentang pembayaran
belasting itu di tarik pemerintah kembali.”
”Kita tunggulah terlebih dahulu apa buah perjuangan dunsanak kita, yaitu Datuak Makhudum, Dayuak Kondo dan Sidi Gadang beserta pengikutnya itu setelah bertemu dengan Siteneng besok.
Andaikan perjuangan dengan ‘lidah’ itu gagal, maka kita harus menempuh perjuangan dengan ‘tangan’, yaitu dengan perang…!,” tegas beliau.
Akhirnya Datuak Rajo Pangulu, Kari Mudo dan Qadi Abdul Gani pun bangkit dari duduknya, mengacungkan kepalan tinjunya sambil meneriakkan pekikkan, “Allahu Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar…!!!”. Kemudian diiringi pula oleh seluruh pasukan yang telah membaiat diri sebagai pasukan – ‘berani mati’ - mati syahid di jalan Allah, Swt.
Pada tanggal 12 Juni 1908 diadakan upaya dialog dalam bentuk ‘unjuk perasaan’ ke kantor Kontreluer untuk mencabut Undang Undang Belasting tersebut. Ternyata upaya perjuangan dengan
‘lidah’ dalam bentuk unjuk perasaan itu mengakibatkan ketiga orang penyambung lidah rakyat itu dijebloskan Belanda ke penjara, sehingga langkah terakhir perjuangan semakin menggelegar di hati Pasukan Kamang.
Bagi Belanda juga tidak ada lagi posisi tawar dengan rakyat kecuali dengan ‘gonggongan karabinnya’ untuk menghentikan gerakan perlawanan terhadap pelaksanaan belasting, maka Belanda mulai merekayasa situasi untuk memulai perang itu. Tindakan militer untuk menteror rakayat Kamang itu dipicu oleh suatu kejadian, dimana paginya datang tiga orang masyarakat Magek suruhan Belanda ke kantor Laras Agus Warido untuk membayar belasting. Ternyata ketiga orang itu langsung dihadang oleh serombongan warga setempat yang mengancam akan membunuhnya kalau belasting dibayarnya juga, karena perbuatan membayar belasting itu merupakan pengkhiatan secara terang-terangan terhadap tekad bersama untuk menentang Belanda.
Mengetahui enggan kejadian itu, Laras Salo-Magek Agus Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena toh dia sendiri adalah orang Jawa sisa keturunan prajurut Sentot Ali Basya kepercayaan Belanda. Langkah yang dapat dia perbuat hanyalah segera ke Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa pagi itu kepada L.C. Westenenck di Bukittinggi dan meminta supaya para pembangkang Belanda segera ditangkap.
Saat yang ditunggu-tunggu. ‘Tuan Kumandua’, sebutan orang Minang terhadap Kontroliur telah tiba, saat itu juga melalui telepon L.C. Westenenck si hidung ‘kakatua’ itu menghubungi Gubernur
Sumatera Barat Heckler untuk ‘mohon petunjuk’ mengenai tindakan yang harus diambil.
Heckler memberikan jawaban dalam telepon itu sesuai dengan komando yang digariskan oleh Gubernur General Van Heutsz di Batavia, hanya dengan satu kata saja, ‘Serbu...!’
”l’historie se repete”, zaman beredar, riwayat berulang. Nagari Kamang akan menambah riwayatnya dengan darah dan nyawa untuk kelekangan adat dan agama. Dahulu kaum ibu hanya membantu nasi berbungkus daun pisang tinbatu (abu) untuk pasukan Tuangku Nan Renceh, sekarang Siti Maryam bersama Siti Aisyah, Siti Anisyah dan juga para kaum ’hawa’ lainnya sebagai pengikut ketuga Srikandi itu akan turut di medan laga dalam barisan infantri Tuangku Haji Abdul Manan. (bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
LAPORAN PERJALANAN : Apa saja di Baduy ? Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang...
-
Saya baru-baru ini saja bisa mengendarai sepeda motor dalam arti sesungguhnya. Dengan kata lain, status pemula. Namun, dalam hitungan bulan,...
No comments:
Post a Comment