Saturday, April 23, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XIII)


 Mantik

Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan  kedatangan seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.

Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek Angkek yang pernah menjadi redaktur ‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi.

Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang Belanda pula di kampungnya sendiri.

Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan masuk kampung keluar kampung.

Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908 dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang terkenal dengan sebutan ‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek.




Awal acara wirid tetap seperti biasanya. Pembacaan qalam Illahi yang dikumandangkan oleh Siti Maryam dilanjutkan pengajian umum leh Haji Musa, abangnya Haji Abdul Manan dan setelah agak larut malam barulah Muhammad Amin Pamuncak meminpin sebuah halaqah untuk bermanti’ (mantik) dan berma’ni. Tapi saat ini bukan mengenai ketauhidan, melainkan menganalisa pemikiran dari C. Snouck Hurgranje yang dianjurkannya terhadap pemerintah Belanda dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda di
Hindia Belanda.

Dari sisi ruang yang dibatas tabir kelambu - dipenuhi oleh kaum perempuan, ternyata Siti Maryam telah mengembangkan kertas-kertas kosong dan kalam untuk mencatat seluruh penyampaian dari Muhammad
Amin Pamuncak. Tentu saja beberapa data dan hasil muzakarah ini sangat berguna baginya untuk disampikannya pula dalam wirid-wirid pertemuannya di Mangopoh, Kurai Taji, Sungai Sariak Pariaman dan
daerah-daerah Pasaman, serta daerah lain yang menjadi  tanggungjawabnya sebagai tenaga propaganda.

 “Toute l’oeuvre coloniale s’appuie, doit s’appuyer sur ce q’on appelle la politique Indigene, l’art de connaitre les Indigenes,” begitu peringatan yang dilontarkan oleh  J.C. van Earde”, Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo itu memulai pencerahannya yang aktual itu.  Bahwa, “Semua pekerjaan yang berhubungan dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan ‘Inlander Politik’, yaitu kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera”.

“Apa maksudnya?,” Muhammad Amin Pamuncak mengajukan sebuah pertanyaan kepada peserta halaqah. Tidak satupun yang menjawab pertanyaan itu, mereka masih menunggu kelanjutan pembicarannya.

Pendapat Van Earde itu benar-benar menjadi nutrisi bagi setiap Negara dan bangsa yang mempunyai tanah jajahan. Bukan saja Belanda, tetapi Inggris, Perancis pun melumat pemikiran Earde tersebut dalam melakukan berbagai ikhtiar ‘pacificasie’, penaklukan dan perdamaian di tanah jajahannya.

“Bagi pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat luas ini amat beruntunglah mempunyai seorang ahli ternama, C. Snouck Hurgranje,” sambung si penceramah itu. Kemudian dilanjutkannya pembicaraannya yang terputus dengan sederetan keterangan panjang tanpa teks tertulis “…karena menurut profesor Belanda ini, yang telah menyelidiki Turky dan kemudian beberapa tahun bermukim di Mekah dengan nama Abdul Ghaffar dan melanjutkan perjalanannya ke Indonesia dan bertahun-tahun melakukan
penyelidikan di Nusantara ini sebagai ‘adpisur’ pemerintah Belanda, memberikan tuntutan politik menghadapi orang Islam di Indonesia yang jumlahnya 85% dari jumlah penduduk keseluruhan atas tiga dasar yang sangat penting dan yang tahan uji, yaitu: 1.Terhadap urusan ‘ubudiyah, Pemerintah (Belanda) harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur jujurnya. 2.Terhadap urusan mu’amalah, ia (pribumi) harus menghormati; terhadap instelling-instelling yang sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur kea rah kita (Pemerintah Belanda), malah yang sedemikian itu harus diajak dan gemarkan. 3.Terhadap urusan yang berhubungan dengan politik, harus pemerintah menolak dan meberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme, yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur.”

“Kalau begitu, kita wajib pula mengetahui asal-mu’asal, sebab-musabab pertimbangan pemikiran professor Ulando itu, Engku ?,” kataku. 


“Ya! Tepat sekali !,” jawab sang orator.

“Dasar pertimbangan Profesor Snouck, membentangkan garis-garis kebijakan yang harus dijalankan pemerintah Belanda itu atas pengetahuannya yang dalam tentang sikap militansi orang-orang Islam di tanah air kita ini, sehingga dia menjelaskan natijah-nya lagi dengan ucapannya, ‘Biarkam kaum Muslimin beribadah seluas-luasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan campuri mereka dalam urusan berjum’ad dan berpuasa; jangan disempitkan urusan mereka untuk naik haji, dll., sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama lain darinya!’.

“Artinya, berdasarkan pengalaman yang dia selidiki, bahwa  secara nyata dan mendalam, dia mengetahui betul bahwa pertama, orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ubudiyah, semakin fanatik mereka mengerjakannya.”

“Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan perkumpulan perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil, dan sangat mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri. Sehingga di sampai kepada natijahnya tadi.”

“Kalau demikian pandangan si professor maka sangat berhati-hatilah kita. Janganlah kita sampai lengah, lalai dalam beribadah lantaran merasa ‘merdeka’ itu!,” komentar salah seorang perempuan belia yang hadir dalam halakah itu dengan sebuah statement dari hasil manti’(k), logikanya itu.

“Betul…!!!, apa yang dikatakan Maryam itu,” kata sang orator. “’Perlu juga diingat, sambungnya lagi ‘bahwa sang professor itu sering bersemboyan dan semboyannya itu umumnya dibenarkan pula oleh orang-orang Islam, bahwa Een staat kan duurzaam zijn in ongeloof, maar niet ini ongerechtigheid, – Satu kerajan mungkin
tetap berdiri dalam kekufuran, akan tetapi tidak mungkin dalam kezaliman.”

“Kedua, ruh ke-Islam-an itu mungkin bangkit juga apabila mereka mendapat gangguan dalam urusan ‘mu’amalah’, seperti urusan perkawinan, warisan dan yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu “Hormati”’ instelling-instelling’ mereka di bawah penilikan (pengawasan) kepala-kepala mereka, regen-regen dan raja-raja. (Red: Di Minangkabau inilah yang dilakukan oleh Laras, Penghulu Kepala atau kepala nagari).

Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh ‘wet-wet” mereka sendiri, dan tidak timbul lagi cita-cita kenegaraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau sudah ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi, kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian
dan warisan mereka itu. Sehingga tidak masuk pengaruh ‘modern’  yang menimbulkan semangat mereka.

Dan disamping itu, kalau anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang  menjauhkan mereka dari agamanya, sehingga mereka “geemancipeerd van het Islam-stelsel”, terlepas dari genggaman Islam. Maka besarlah harapan, mereka akan menjatuhkan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah satu ‘assosiasi’, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang memerintah dan yang diperintah’,” kata si professor itu lagi.


“Apabila assosiasi ini telah tercapai, maka menurut professor ini, tidak ada lagi yang akan menyusahkan pemerintah Ulando itu,” komentar si perawi itu selesai mengutip pemikiran Profesor Snouck Hurgranje tersebut.

“Kenapa Engku dapat membuat penafsiran seperti itu?,” tanya seorang jamaah.

“Para jamaah Islamiayah yang berhadir, yang saya muliakan! Bukan saya, yang menafsirkannya seperti itu. Akan tetapi Sang professor itu sendiri yang menyuci otak pemerintahnya sendiri dengan penjelasan dari pernyataannya itu. Katanya, ‘La solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes a notre
civilisation’. Artinya, manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara penduduk bumiputera dengan kecerdasan kita, maksudnya kecerdasan orang Belanda, tak adalah lagi yang akan diusahkan, sehubungan dengan kaum muslimin ini. Makanya semenjak tahun 1817 Belanda telah mengupayakan berdirinya sekolah-sekolah dengan cara-cara mereka, sebagaimana di negerinya sendiri.”

“Ketiga, kata sang professor itu lagi, bahwa apabila urusan di dalam sudah diatur seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga ialah supaya jangan ada perhubungan dengan muslimin di laur negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu, maka nasehat sang professor itu berbunyi ‘jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!’.”

“Demikianlah ringkasnya jalan fikiran Profesor Snouck Hurgranje itu dalam advisnya kepada pemerintah Ulando, dalam menghadapi kaum Muslimin di Indonesia ini, khusunya kita-kita di Minangkabau ini, karena landasan kita adalah Adat basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah – Syara’ mangato. Adat mamakai.”

“Sekarang bagaimankah dalam prakteknya?,” sambung pemimpin halaqah lagi dalam mengakhiri pemaparannya tentang rencana besar jangka panjang pemerintahan kolonial Belanda di dalam tata politik pemerintahan. 

“Kalau begitu apa upaya kita untuk menghentikan upaya Ulando yang bagaikan api dalam sekam itu,” tanya salah seorang peserta diskusi lain lagi. “Ya, apa…? Mari kita pahamkan dan fikirkan besama-sama!,” seru si
pendakwah itu lagi.

“’Munurut pendapat saya’, kata Maryam. ‘Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa – jerat tidak akan lupa dengan balam (burung) – dan kita harus menentang apapun bujuk rayu yang diupayakan oleh Ulando itu.”

“Suatu hal yang paling utama adalah al-Islamu ja’lu wa la ju’la ‘alaihi. Bahwa Islam itu di atas, tak patut dan tidak pantas ada yang mengatasinya,” sela Sang guru utama, Haji Abdul Manan mengenegahi persoalan ini.

Akan tetapi sampai sekarang, kekhawatiran Profesor Snouck Hurgranje terhadap Pan- Islmaisme toh tidak kunjung lahir. Ya, karena bukan itulah tujuan dan cita citanya umat Islam dunia, disamping mereka juga  disibukkan oleh urusannya sendiri-sendiri di negaranya masing-masing. “’Suatu hal lagi yang mulai menjadi mengkhawitrikan kita…’,” lanjut Pamuncak Amin ‘…adalah bahwa di dunia Islam, kehidupan berdagang dihormati, bahkan hampir sama kedudukannya dengan ulama; sebab Rasulullah, Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul adalah seorang pedagang yang handal sehingga telah semakin memperkaya Siti Aisyah, seorang saudagar perempuan yang tiada tandingannya waktu itu. Tentu, perdagangan yang tanpa riba’ dan monopoli.”

“Maka prilaku pedagang-pedagang Islam tidak sama dengan pedagang-pedagang kapitalih (s). Islam tidak setuju bila orang menumpuk kekayaan dengan cara menghancurkan orang lain, dan mengajarkan apabila seseorang menghadapi kesulitan untuk membayar hutang beri dia waktu sampai sanggup membayarnya.”

“Lalu, Tuangku, apa maksud dan hubungan perjuangan kita dengan masalah perdagangan?,” tanyaku pada Pamuncak Amin, cucu dari Beliau Tuangku Nan Tuo di Koto Tuo Ampek Angkek itu.

“Sudah lama Belanda melancarkan kebijakan memotong hubungan dagang saudagar-saudagar kita ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Timur dengan dipaksanya pedagang kita mempergunakan pantai Barat, seperti Padang dan Pariman yang telah berada di bawah kekuasaannya. Sebalinya pedagang kita di Padang sendiri telah diperlakukan tidak adil dengan menganak emaskan pedagang sebangsanya dan pedagang China yang suka menyogok dan menjilat itu. Kedua pedagang tersebut menghalalkan segala cara asalkan mereka mendapat untung besar. Artinya, kebijakan Belanda itu bertujuan untuk menghancurkan jalur perniagaan dan pedagang tradisional kita yang lancar perhubungannya ke pesisir Timur dan terus menyeberangi Selat Malaka ke Penang dan Tumasik.”

Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak, Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah. (bersambung...)
 

 

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023