Kecamuk (Bagian 2)
L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir banyaknya.
Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk melihat jelas sosok Datuak Rajo Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk dan pasukannya itu, dia berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya,” ancaman L.C. Westenenk.
“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!,” jawab Datuak Rajo Pangulu.
L.C. Westenenk mendekati Sersan Boorman yang sedang mengawasi kegelapan di bagian timurnya. Sersan Boorman berteriak bahwa di depannya juga bergerak sekelompok orang yang berpakaian putih-putih sedang mendekatinya. Pada saat Westenenk memerintahkan kelompok yang berpakaian putih-putih dekat Sersan Boorman itu membubarkan dirinya, datang lagi panggilan dari kelompok Barat, karena di sana didatangi pula oleh sekelompok orang berpakain putih, setelah diperhatikan ternyata mereka berpencar.
Belum sepenuhnya L.C. Westenenk memperhatikan kelompok putih yang bergerak itu, terdengar lagi teriakan Kapten Lutz dari Timur, karena kelompok putih yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu tetap bergerak – mengayun-ayun – serentak seperti sekam dihanyutkan air yang diringi suara ‘ratib’.
Tubuh-tubuh putih itu telah mendekatinya sampai jarak enam puluh meter. Sekitar dua puluh orang duduk dengan rapat di tengah jalan, seorang duduk sebelah kanan di atas pematang rendah, dan sebelah kirinya berdiri seseorang yang bertindak sebagai juru bicara, sedangkan di belakangnya berjejar pula sekitar empat puluh orang pasukan putih-putih. Westenenk bertanya kepada juru bicara itu,“Kamu mau melawan?!”
Si juru bicara spontan menjawab, “Tidak!”
“Kalau tidak kenapa kalian bergerak ke depan?!,” kata Westenenk.
Juru bicara itu pun balik bertanya kepadanya, “Saya ingin tanya pula pada Tuan. Apa yang ingin Tuan kerjakan di sini, di tengah malam ini?”
Pertanyaan itu sangat mengesalkanku, karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang kurang ajar kepadaku, kata Westenenk dalam nota yang ditulisnya kepada Gubernur Heckler.
“Kami (kompeni), lanjut laporan Westenenk ‘adalah raja dan di negeri kami dan bisa melakukan apa saja yang kami anggap baik’,” katanya dengan penuh kesal.
“Siapa yang mengangkat Tuan sebagai raja, dan di negeri manakah Tuan sebagai raja?,” kata si juru bicara itu lagi.
“Di sini! Ini negeri kami! Kalian orang jangan kurang ajari kami, ya! ‘god verdome’!” bentakku.
“Tuan, salah! Salah besar, Tuan! Ini adalah negeri kami. Jangankan mengangkat tuan sebagai raja, bahkan semenjak dari leluhur kami tidak ada mengenal raja. Raja kami adalah kata sepakat yang didasarkan kepada ‘syarak mangato-adat memakai’. Dan sejak kapan pula Tuan ‘malateh jo manaruko, kasawah jo ka ladang di sini’. Bahkan rupa wajah kita saja tidak sama!”
“Tutup mulut kamu orang, ya...! Bangsat! Duduk...,! hardikku.
“Kalau Tuan suruh kami duduk, kami sudah duduk dari tadi, Tuan!
“Kamu juga duduk, kalau tidak saya tembak.” Aku mengancam si juru bicara itu dengan amarah yang menjadi-jadi.
“Kalau Tuan suruh saya duduk, maka saya akan duduk!” katanya lagi. Dia tak gentar dengan hardikku dan malah si juru bicara Haji Abdul Manan keparat itu seperti mengejekku.
Masih dalam nota yang ditulis tangan oleh L.C. Westenenk kepada Gubernur Heckler pada tanggal 25 Juni1908 itu dia mengakui lagi.
“...pada saat saya berputar beberapa langkah dan berbicara dengan Kontrolir Dahler dan perwira kesehatan Justesen mengenai hal yang begitu sulit bagi saya, serdadu mengingatkan saya bahwa orang-orang yang berpakaian putih-putih itu sambil duduk berangsur-angsur maju. Dan saya melihat sendiri memang orang-orang itu beringsud maju. Secara samar-samar kelihatan kilatan senjata tajam yang tiap kali berangsur maju diletakkan di samping mereka. Sekali lagi saya berteriak mengancam mereka.”
“Akan saya suruh tembak jika kalian masih bergerak maju, walau serambut pun!,” hardikku ini dijawabnya secara serius tetapi menyedihkan.
“Kalau Tuan ingin menembak kami, ya tembak saja!,” kata pasukan berbaju putih-putih itu.
Tetapi toh mereka kelihatan jelas tetap bergerak maju. ‘Mereka telah mendekat lima puluh meter sampai lima puluh lima meter. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan menyuruh tembak’.”
Tentu saja pekikkan “Tembaaak...!!!” oleh L.C. Westenenk ini adalah sebagai suatu penggambaran akan kekalutan dia dengan suasana yang semakin mencekam itu. Namun bagi pasukan rakyat yang berpakaian putih putih itu, teriakan L.C. Westenenk tersebut semakin membawa mereka ke puncak ‘kegairahan’ untuk membantai pasukan Belanda yang membawa serta komplotan marsose itu.
Dalam suasana kekalutan dan kegalauan Westenenk itulah Haji Abdul Manan dan pasukannya berhamburan, keluar dari sarang pengintaiannya dari semak belukar sambil mengayunkan kelewang, pedang dan rudusnya menghantam pasukan inti Westenenk.
“Tanpa aling-aling, setelah hardikanku itu segera mereka berdiri dan menyerang kami tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dengan rudus di tangannya. Kebanyakan diantara mereka tersungkur kena tembakan, tetapi beberapa orang tetap maju dalam cahaya remang-remang dan angker ditambah lagi dengan asap mesiu di udara lembab mereka berhasil memasuki barisan tentara. Saya dan para serdadu dan yang lain lain, karena tidak menyangka ini bisa terjadi, mulai mundur. Kaki dokter Justesen tersandung dan sempat terjatuh ke dalam got (selokan) di pinggir jalan. Pada saat saya dan Sersan Boorsma tetap memberi semangat supaya tentara jangan mundur, di depan saya dua orang gerombolan itu menebas batang leher dua orang serdadu, di depan saya sendiri.
Percikan darah kedua orang serdadunya itu mengenai wajah dan menghias pakaiannya, maka kepanikan L.C. Westenenk semakin menjadi-jadi. Sementara itu dr. Justesen berusaha bangkit dari selokan dan berupaya untuk bergabung dengan L.C. Westenenk.
Sedangkan Sersan Boorsma melihat lagi pasukan rakyat maju pula dari arah jalan yang satu lagi dan Letnan. II Leroux berteriak minta bantuan karena pasukannya kewalahan dalam serangan pasukan rakyat yang hening tanpa bersuara. Hanya bunyi dencingan klewang dan laras bedil, serta bunyi peluru yang tidak tentu arah yang terdengar dalam cahaya remang-remang yang menegakkan bulu kuduk.
“Begitulah kita harus menghadapi lebih delapan kali serangan yang terbagi dalam kelompok-kelompok, yang masing-masingnya terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh orang.”
“Pada serangan ke delapan, kata Westenenk lagi ‘adalah perlawanan yang sangat serius karena jumlah penyerang lebih banyak, jalan sempit, hanya memberi front yang kecil. Tidak punya ruang gerak”.
“Sementara itu pandangan kami terganggu oleh asap mesiu, walaupun sedikit tetapi tidak cepat hilang. Tiba-tiba beberapa penyerang melompat ke depan kami menembus asap mesiu, sehingga serdadu yang berada di depan saya mundur dan mendorong badan saya ke belakang, karena kaki saya terhalang oleh sosok mayat di pinngir jalan saya terjatuh ke selokan rawa’.”
Persis ketika itu, pada saat Westenenk masih terlentang di dalam selokan dia melihat tiga sosok berpakaian putih-putih dengan rambut tergerai melayang di udara sambil mengayunkan rudus di tangannya. Satu orang di antaranya menebas batang leher serdadu Belanda. Tapi yang sangat mengenaskan pula yaitu seorangnya lagi mengayunkan rudus dan membelah kepala seorang Sersan yang sedang terdesak, kemudian seorang lagi hinggap, bertengger tepat di pundak seorang Kopral sambil menjambak rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggesekkan sebilah rudus ke batang leher Kopral yang tertengedah itu.
“Kau kah itu, Aisyah?,” suara seseorang terdengar oleh L.C. Westenenk.
“Itu adalah suara Datuak Rajo Pangulu. Berarti yang membelah kepala sersanku itu adalah istrinya, Siti Aisyah. Tentunya pula yang menebas batang leher serdadu tadi adalah Siti Anisyah?! Tapi yang menggesek leher si kopral itu siapa ya...? Dia juga berambut panjang...?!,” gerutu L.C. Westenenk yang sedang menggigil dalam keterpurukannya direndam air di selokan.
Ketiga penyerang berambut panjang itu memisahkan diri mengejar musuh di depan dan di sampingnya sendiri bagaikan ‘singa lapar’ dengan memainkan klewang yang berada di tangannya. Sambil melompat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan kanan menebas tubuh-tubuh para serdadu Belanda tanpa pandang bulu.
Siapa yang menebas siapa, tidak dapat dintandai pada pertempuran yang berlangsung pukul 02.00 (dini hari ) hingga menjelang subuh itu, tetapi tiga orang berambut panjang yang tergerai itu sangat jelas hantaman dan makan tanggannya, yang semakin memperkecil jumlah para serdadu Belanda yang selamat.
Kalaulah rambutnya tidak tergerai, tidak lepas dari ikatan sanggulnya tentulah tidak diketahui bahwa mereka itu adalah Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam yang turut ke medan laga dan yang tidak kalah dahsyadnya dari kaum laki-laki di jalan yang kecil dekat jembatan di Kampung Tangah itu. Diperkirakan jalan raya yang lurus itu dari Simpang Koto Panjang hingga Simpang Pakan Sinayan hanya sekitar satu kilo meter dan lebarnya sekitar tiga setengah meter.
Setelah serdadu L.C. Westenenk dapat dilumatkan, kecuali hanya L.C. Westenenk , suasana menjadi sepi, hening. Dan Haji Abdul Manan kembali ke rumahnya dan mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk megevaluasi kejadian, menyusun strategi berikutnya dan beberapa instruksi selanjutnya.
“Induk pasukan Westenenk sudah dapat kita hancurkan, tinggal sisa-sisanya, tetapi Westenek dimana dia bersembunyi, belum dapat kita ketahui,” kata Haji Abdul Manan kepada rekan-rekannya. Kari Bagindo bersama Haji Ahmad disuruh untuk menyelidikinya dan segera melaporkan hasil penyelidikan mereka itu. Tapi sebelumnya Inyiak Manan memberikan analisa lagi.
“Hai Haji Ahmad dan yang lainnya. Bahwa yang berbahaya bagi posisi kita sekarang adalah pasukan sayap kirinya yang datang dari jurusan Aia Tabik, hingga mereka dapat dengan mudah mengepung kita dari arah Koto Panjang. Sedangkan dari arah Timur tidak mungkin, karena mereka melewati tempat terbuka semenjak jembatan dekat Joho hingga ke Simpang Pintu Koto,” Haji Abdul Manan diam, hening sejenak.
“Sementara itu kita juga belum mengetahui bagaimana pertahanan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah. Kalau ini bobol maka pertahanan kita akan terancam bahaya,” sambung beliau lagi, kemudian hening lagi.
“Dan bagaimana dengan pasukan Kari Mudo di Hilia, apa mereka sudah mengetahuinya?,” beliau diam lagi.
Sementara menungu jawaban dari masing-masing pembantunya, Haji Ahmad dan Kari Bagindo mohon diri untuk melakukan tugas penyelidikannya dalam saat fakum perang sebagaimana yang diisntruksikan Imam Perang mereka itu sebelumnya.
Syekh Jenggot dan Haji Abdul Samad tampil menjelaskan bahwa pasukan dari Pauah, Sungai Dareh, Suayan Sungai Balantiak, Simarasok dan dari Nagari Nan Tujuah sebagai sayap kanan pasukan yang dipimpin Datuak Parpatiah (Pauah) dengan didampingi oleh Datuak Simajo Nan Gapuak, Datuak Andaleh, Pakiah Sabatang (Tuangku Imam) dan Sutan Bandaro sudah siap menyambut kedatangan “tamunya”. Sedangkan pasukan Datuak Marajo Kaluang sudah merapikan pasukannya pula di Kampuang Tapi hingga ke Marambuang.
Angku Rumah Gadang melaporkan pula bahwa pasukan Kari Mudo di Hilia, Kamang Hilir sudah diberitahu oleh Angku Limau Kambiang dan beduk di surau Limau Kambiang sudah dipalu, dan utusan langsung menemui Kari Mudo pun sudah berangkat.
Tak lama berselang Haji Ahmad sudah kembali dari peninjauan melakukan penyelidikan sebagaiman yang diperintahkan pimpinan perang, ayahnya Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa pasukan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah sudah mengirim utusannya untuk melaporkan bahwa pasukan mereka sudah mengadakan perlawanan dengan gigih. Kari Bagindo belum memberikan laporan, belum kembali dari penyedikannya di sekitar Koto Panjang. Laporan komandan-komandan pasukan seketika itu selesai.
“Perundingan selesai! Semua kita harus tenang menunggu gerak-gerik musuh. Jangan mendahului, biar mereka yang memulai. Tetapi sedikit pun tidak ada dan tidak boleh berlalai-lalai!,” instruksi Haji Abdul Manan setelah selesai mengevaluasi situasi dan hasil penyelidikan.
Selesai briefing, para komandan pasukan di kediaman Haji Abdul Manan bersalam-salaman satu dengan yang lainnya dan kembali ke pasukannya masing-masing. Datuak Rajo Pangulu pun kembali pula ke tempat istrinya bersembunyi di parit sebelah Utara Kampung Tangah bersama Pado Intan, Tuangku Pincuran, Tuangku Parit, Datuak Gunuang Hijau dan beberpa orang lagi kawan-kawannya yang sedang menunggu pasukan Westenenk yang akan menerobos dari arah Barat.
Di semak belukar di sebelah jalan telah siap pula pasukan Pandeka Mukmin yang sedang mengambil posisi untuk melumatkan pasukan musuh dari arah Timur. Sekarang si Hendrick akan berhadapan dengan kawannya sendiri yaitu Sersan Boorman yang sedang mengawasi kawasan Timur sebagaimana yang diperintahkan Westenenk.
Pasukan Westenenk sudah berada dalam sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh militansi Kamang. Keadaannya benar-benar terjepit. Tinggal menunggu tembakan salvo atau dentuman beduk dengan gema takbir Allahu Akbar. Menunggu perintah siapa yang akan memulai babakan kecamuk perang selanjutnya.
Haji Abdul Manan sudah mengevaluasi situasi terakhir, sedangkan Westenenk masih dalam kegalauan. Pasukan Haji Abdul Manan sudah rapi membentuk sebuah lingkaran bola-bola api. Pasukan Westeneng kacau balau di titik tengah lingkaran bola-bola api tersebut.
Ramuan tradisional yang diseduh sore hari oleh pasukan Haji Abdul Manan mulai memperlihatkan reaksi. Tuak untuk menghangatkan darah dan menghilangkan rasa takut pasukan yang di ‘sasok’, diteguk berulang ulang oleh pasukan Westenenk sebelumnya di balai prajurit dekat Birugo itu telah kehabisan khasiatnya, karena telah terkuras oleh perjalanan panjang dan labrakan sesaat dari pasukan Haji Abdul Manan. Jangankan untuk menghisap candu, memasukkan peluru ke senapannya saja tidak sempat lagi.
Suasana tetap sunyi, sepi! Satu pasukan napasnya sesak menunggu gerik musuh. Pasukan yang satunya lagi jantungnya berdenyut kencang dalam kecemasan. Dalam kesunyian yang tak terperikan itu, dentuman salvo yang diiringi asap tebal mengiringi bola api menjulang kelangit serta diringi bunyi tiupan terompet perang dari arah Barat membelah kesunyian.
Dari siraman cahaya letusan komando itu Kari Bagindo melihat jelas posisi keberadaan Westenenk di sebelah Barat dia berada yang akan diperkuat oleh induk pasukannya di Koto Panjang. Kemudian bergegas melaporkan kepada abangnya Haji Ahmad yang segera pula melaporkan kepada Ayahnya Haji Abdul Manan.
Terompet komando dari induk pasukan itu dijawab oleh pasukan sayap kiri musuh. Pasukan induk yang dipecah di Simpang Banto dekat Simpang Empat Sungai Tuak telah masuk jurusan Barat menuju Kampung Tangah, mereka berjalan – ‘maojok-ojok’ – dalam kewaspadaan pada kiri dan kanan jalan, tak obahnya seperti burung onta berjalan di tengah padang. Tanpa diketahuinya, secara diam-diam pasukan Datuak Marajo Kaluang mengikutinya dari belakang.
Sesampai pasukan musuh di bahagian Barat Kampuang Tangah, Syekh Jenggot, Haji Jabang meneriakkan suara takbir “Allaaahuakbar...!”, dengan sekeras-kerasnya dalam semangat yang mendidih. Teriakan takbir itu disahuti pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tibalah saatnya pasukan yang bertahan pada posisi Barat dan Timur berhamburan maju mengeroyok pasukan Westenenk beserta sisa pasukannya yang bertahan di Kampung Tangah. Dari arah belakang sisi Barat pasukan Haji Jabang dan kawan-kawannya menyambut kedatangan sayap kiri musuh. Dibelakang sekali dari pasukan musuh itu diburu dan didesak pula oleh pasukan Datuak Marajo Kaluang.
Ronde selanjutnya dimulai, karena pasukan putih terbantu oleh kilatan stripstrip putih pakaian dan jumbai topinya pasukan Westenenk. Sehingga memudahkan sasaran penglihatan. Tanpa hayal lagi Syek Jabang mengganas tak kenal ampun bersama Tuangku Parit, Tuangku Pincuran Datuak Marajo Kaluang, Datuak Marajo Tapi, Datuak Parpatiah Pauah, Sutan Bandaro Kaliru dan Siti Aisyah yang didampingi suaminya Datuak Rajo Pangulu.
Bunyi letusan bedil hanya terdengar satu kali sewaktu penyerangan mendadak dimulai oleh pasukan Seyekh Jabang. Selanjutnya yang terdengar adalah gemerincing besi, kelewang beradu dengan laras senapan, bayonet beradu menangkis rudus dan pedang.. Bunga api dari peluru yang meluncur dari laras pancang berganti sudah dengan percikan bunga api besi yang beradu dan bergesekan. Pasukan Belanda kalang kabut tak tentu arah.
Ucapan-ucapan kotor keluar dari mulut pasukan marsose yang kena sayatan dan hantaman kelewang. Sebaliknya kalimat suci, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar dari pasukan Haji Abdul Manan meningkah kelatahan pasukan Belanda itu.
Haji Jabang, Syekh Jenggot sambil berkucitak dalam kecamuk itu tetap meneriakkan kalimah-kalimah yang membakar semangat pasukan fi sabilillah itu. “La takhaf wa la tahzan. Allahu ma’ana. Jangan takut dan gentar. Allah bersama kita.”
Komando itu disambut pula oleh Datuak Marajo Kaluang dengan pekikan ‘Allauhu Akbar’ berulang-ulang sambil memburu, menggempur dari bagian barisan musuh yang sudah dikuntitnya dari tadi. Pasukan musuh kucar-kacir, ada yang melompat ke dalam parit, selokan, melompat kolam, ke dalam sawah, tetapi tetap saja mendapat labrakan kelewang karena pasukan Bansa Kamang sudah bertebaran di sekeliling mereka, bak menunggu sapi masuk kandang untuk dijagal. Lumat sudah pasukan sayap kiri musuh yang datang dari arah Air Tabik, setelah longmarch sejauh lebih kurang 17,5 km hingga 20 km dari kota Ford de Kock itu.
Di bahagian Timur Kampung Tangah pertempuran berjalan dengan dahsyadnya pula, kejar mengejar di tengah jalan, lompat melompati selokan, decakan rudus, kelewang memindai di punggung dan pundak para marsose meningkah tarian pedang dan bayonet yang disandang mereka.
Suara hening kembali menandai perlawanan pada ronde ini selesai pula. Haji Abdul Manan dan komandan masing masing pasukan kembali ke rumah untuk melakukan evaluasi, penyelidikan dan follow-up untuk mengatur strategi berikutnya. Hari semakin larut juga. Udara semakin lembab, waktu Subuh semakin mendekat.
Kali ini instruksi yang diberikan Haji Abdul Manan adalalah “...andaikan subuh sudah datang, maka diperintahkan kepada seluruh pasukan untuk menyingkir dan menyelamatkan diri pada siang hari, karena di siang hari musuh akan mudah untuk mengarahkan senjatanya guna menghabisi pasukan kita dan bahkan seluruh isi kampung ini,” katanya.
“’Dan kamu!,” kata beliau, Inyiak Manan lagi kepadaku. “Andaikan peperangan ini tidak dapat dilanjutkan lagi, dan andaikan pula kita kehilangan pemimpin, bahkan termasuk saya sendiri, maka kepadamu aku amanatkan untuk berupaya menyelamatkan diri secepatnya guna terwarisinya kisah peperangan ini kepada anak cucu kita nanti.”
Haji Abdul Manan diam, menekurkan wajahnya dan terlihat lehernya menegang, menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongan yang sudah kelat. Kemudian air putih pun di hidangkan yang punya rumah.
“Sedapat mungkin kamu upayakanlah untuk dapat menyelamatkan diri ke Tanah Semenanjung, karena Ulando tidak akan mungkin mengejarmu sampai ke sana, karena Semenanjung telah di kuasai oleh Inggirih (Inggris). Konon kabarnya pula, Syekh Taher Jalaluddin, saudara sepupu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwi sudah menetap pula di negeri Semenanjung itu,” lanjut beliau lagi dan sedikit merangsang pertanyaanku pada beliau.
“Berarti Syekh Taher saudaranya Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek itu, Nyiak?.”
“Ya. Beliau saudara Amin Pamuncak, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo.”
“Ada bagusnya pula apabila menemui beberapa karib-kerabatku di Sungai Ujong di Negeri Sembilan terlebih dahulu, selain keteranganmu sendiri, berikanlah sepucuk surat saya ini untuk lebih menguatkan keteranganmu, supaya kamu bisa diterima mereka di sana,” sambung beliau lagi dan kemudian memberikan lembaran kertas yang berlipat, yang beliau keluarkan dari kantong ikat pinggang ‘kamareleng’-nya yang besar itu.
“Pada suatu saat yang telah memungkinkan, kamu susunlah riwayat perjuangan kita ini dalam menegakkan kedaulatan kita dan mengenyahkan kaum kafir di bumi kita ini. Selanjutnya kamu rawikan pulalah kepada pejuang-pejuang kita nanti dan kepada orang-orang yang singgah di – ‘gua persembunyianmu’ – itu. Kamu paham maksudku?”
“Insyaallah, Nyiak,” jawabku dengan anggukan kepala sebagai takjupku yang laur biasa pada beliau.
Dengan air mata berlinang, aku berusaha meyakinkan beliau di hadapan para komandan pasukan perang itu. “...segala petuah dan amanah Inyiak akan ambo pegang teguh. Semoga Allah, Swt pun memberikan perlindunganNya kepadaku dan kepada semua pejuang kita.”
Mendung yang sedang menunggu sambaran halilintar. Dengan mengangkat wajahku setengah menengedah dan sedikit suara agak serak aku tegaskan lagi “Insaallah, Nyiak!!!”
Pertemuan mendadak di rumah Haji Abdul Manan larut tengah malam itu, tanpa diduga sebelumnya juga dihadiri oleh Majo Ali, seorang utusan Siti Mangopoh yang sengaja datang menemui Haji Abdul Manan dengan maksud untuk mengkonfirmasikan kapan serangan terhadap Belanda akan dilancarkan. Tau-taunya malam itu, Majo Ali pun turut terlibat dalam kancah peperangan di Kamang itu.
Padahal Siti Maryam, si “chivalry” itu sudah diutus oleh Haji Abdul Manan ke Mangopoh untuk memberitakan bahwa perang melawan Belanda akan dimulai malam itu di Kamang dan segera pula letuskan perang di Mangopoh dan sekitarnya.
“Majo Ali! Sekarang segera pulalah kamu kembali ke Mangopoh. Beritakan kejadian malam ini kepada Siti dan pejuang kita yang lainnya. Dan kobarkan secepatnya semangat perang ini sampai ke Pariaman. Jangan biarkan serdadu Ulando itu dapat bernapas walaupun untuk satu hirup hisapan rokok! Kalau mereka mendapat peluang dan kesempatan meskipun sekejab maka habislah kita, karena mereka dibantu dengan peralatan perang yang maju dan pertolongan para pengkhianat perjuangan kita. Kepung dan lakukan serangan cepat dan mendadak, dan pecah pasukannya dengan penghadangan awal pada tengah-tengah barisannya! Serangan harus terpusat dengan pola maju-mundur, dan kalau musuh berada dalam garis pertahanannya atau benteng lakukan penyusupan terlebih dahulu dan hantam sekonyong-konyong!.” Demikian petunjuk terakhir dari Imam perang di Kamang malam itu.
“Sudah waktunya kalian untuk berangkat, dan kami pun akan melanjutkan perlawanan, guna menghabiskan sisa-sisa pasukan Ulando dan Siteneng itu sendiri.!,” sambung Inyiak Manan lagi kepada Majo Ali.
“Tapi, Nyiak! Kami harus membawa serta Inyiak malam ini untuk memimpin perjuangan pasukan – ‘tujuh belas’ – kita di Mangopoh. Kami berharap Inyiak memimpin zikir selama perang berlangsung. Ini pesan khusus dari Kak Siti,” pinta Majo Ali.
“Haji Abdul Gafar kan ada yang akan memimpin zikir,” tanggapan Haji Abdul Manan.
“Iya Nyiak!, tapi kami telah sepakat agar Inyiak yang memimpin zikir itu.”
“Sekarang tidak mungkin Majo (Ali), karena di sini perang belum selesai, belum berakhir,” kata Inyiak Manan lagi.
“Kalau begitu, Nyiak. Biarlah saya tunggu. Sama-sama kita selesaikan dulu pekerjaan yang terbengkalai ini, di sini!,” tegas Majo Ali pula.
“Maryam bagaimana?,” tanya Haji Abdul Manan
“Biarlah Maryam berangkat terlebih dahulu, Nyiak. Atau paling tidak Maryam akan menunggu di tempat yang telah kami sepakati tadi,” jawab Majo Ali.
Bersamaan dengan terperanjatnya saya mendengar perkataan Majo Ali itu, Kak Siti Aisyah memecah suasana dialogis itu, “O, ya! Apakah kamu tidak punya pesan kepada Maryam?,” kata Kak Siti Aisyah kepadaku sambil mengikat kembali rambutnya yang tergerai itu. Sehingga orang-orang diatas rumah serentak terdiam dan menoleh kepadaku.
“O,ya, Kak Aisyah! Sebetulnya di halaman rumah nanti akan saya sampaikan kepada Tuan Majo Ali. Tetapi karena sudah kakak mulai, ya..., tidak apalah, langsung sajalah sekarang saya sampaikan,” jawabku kepada Siti Aisyah.
“Tuan Majo Ali, sampaikan salam saya kepada Siti Maryam, dan kalau sempat ceritakanlah kepadanya bagaimana kelincahan dan kehebatan Kak Siti Aisyah dan Etek Siti Anisyah dalam menghadapi serdadu Ulando ini tadi. Kedua wanita kita itu benar-benar bagaikan ‘naga terbang’. Mudah-mudahan hatinya senang dan dapat menggelorakan semangat juangnya di sana.”
“Bukan hanya berdua, Juru Tulis. Tapi bertiga perempuan kita malam ini!,” pintas Majo Ali.
“Bagaimana...?,” tanyaku heran.
“Oh, maksudku Juru Tulis! Kilah Majo Ali kembali ‘apakah tidak sebaiknya kamu saja langsung untuk menemuinya?,” sambungnya.
Pernyatan Majo Ali semakin membingungkan aku dan termasuk semua orang di atas rumah itu, kecuali Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah.
“’Memangnya kenapa, Tuan Majo? Kan dia, Maryam’, kataku untuk lebih memastikan ‘sedang ke Mangopoh. Dan saya tidak mungkin menyusulnya ke sana malam ini, Tuan?!,’” sambungku lagi kepada Tuan Majo Ali.
“Bukan begitu maksudku!,” kata Tuan Majo Ali
“Lalu...?,” desakku lagi.
“Barangkali kamu kurang arif tentang maksud Aisyah tadi, Juru Tulis!,” jawab Tuan Majo Ali, membuat aku semakin bingung, apa sebutulnya yang terjadi dan rahasia apa sebetulnya yang luput dari tugasku.
“Maryam masih di sini, Juru Tulis!,” kata Tuan Majo Ali kepadaku.
Dengan serta-merta aku terlonjak kaget, bingung, nanar seperti orang kehilangan akal.
“Dia juga turut bertempur sebentar ini bersama Guru Tuonya ini,” jelas Majo Ali sambil menunjuk Kak Siti Aisyah.
“Tolong ulangi sekali lagi, Tuan Majo!, apakah aku tidak salah dengar tentang yang Tuan katakan itu!,” desakku untuk lebih meyakinkan, tentang keterlibatan Maryam pada pertempuran sesaat tadi dan entah dironde keberapa di masuk ke arena pertempuran. Kemudian Tuan Majo Ali mengulangi lagi kalimat yang sama kepadaku.
“Juru Tulis, Maryam masih di sini, dia turut berperang bersama-sama kita sebentar ini, dia telah bergabung dengan Aisyah dan Anisyah, Juru Tulis!”
“Betulkah itu, Tuan? Lalu, kenapa bisa begitu, Tuan Majo?” Tanyaku lagi dengan penuh haru dan antusias.
“Memang, tadi sore Maryam telah memacu kudanya menuju Mangopoh. Tetapi, sesampai di Simpang Gudang kami bertemu, karena saya juga menuju kemari ingin meminta penjelasan kapan perlawanan akan dimulai. Di sana terjadi pembicaraan kami, dia langsung menceritakan kondisi terakhir di sini, bahwa sudah dapat dipastikan pada malam ini perlawan akan berlangsung. Sejenak kami menyoal kondisi ini dan langkah apa yang akan kami tempuh. Apakah dia berbalik ke sini dan saya kembali ke Mangopoh membawa berita dari Maryam tersebut. Namun aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sini, akan turut bertempur sebisanya, maka Maryam pun tersentak dan memutuskan pula untuk balik ke sini. Sehingga kami putuskan bahwa kami berdua untuk secepatnya sampai di Kamang ini. Sesampai kami di sini keadaan sudah kacau, perang sudah berkecamuk, maka Maryam langsung meberikan perintah padaku untuk menyusup ke barisan Syekh Jenggot dan dia, yaitu Siti Maryam akan bergabung dengan Pandeka Mukmin. Dan selama di perjalanan Maryam sudah menjelaskan pula kepadaku tentang strategi, posisi dan kepala pasukan,” jelas Majo Ali kepadaku.
“Apakah Inyiak dan Mak Datuak sudah mengetahui hal ini, sebelumnya?,” tanyaku pula pada Inyiak Manan dan Mak Datuak Rajo Pangulu.
“Sudah. Sudah ada kurir yang menyampaikan kepada kami bahwa mereka berdua berada di sini dan turut bertempur!,” jawab Inyiak Manan.
“Lalu, dimana dia sekarang, Tuan Majo?,” tanyaku lagi kepada Majo Ali.
“Itulah dia Siti Maryam, masak kamu tidak mengenalnya? Dia itu bertempur seperti siluman, dengan secepat kilat dia menyerang dan secepat itu pula dia menghilang. Kemudian menyerang lagi dan menghilang lagi,” jawab Majo Ali.
“Dia sekarang sedang bersama Kak Siti Anisyah!,” sela Siti Aisyah dengan tegas.
“Tetapi selama diperjalanan tadi kami juga telah sepakati bahwa andaikan kami selamat dalam kecamuk perang malam ini, maka menjelang subuh, selesai atau tidak peperangan ini maka kami harus tinggalkan dan bersama-sama pula kembali ke Mangopoh untuk mengkondisikan dan membantu perlawanan di Mangopoh bersama pasukan – “tujuh belas” – dan dia sendiri akan mendampingi Kak Siti, istri Tuan Rasyid (Hasyik) Bagindo Magek nantinya. Barangkali dalam kondisi perang yang agak reda ini dia sudah berbalik menuju Mangopoh. Dia pasti menunggu saya di sebuah tempat yang sudah disepekati di Garagahan, atau kalau saya yang duluan sampai di sana, maka saya yang menunggunya untuk bersama sama memasuki Mangopoh,” jelas Majo Ali lagi kepadaku.
Mendengar semua pemaparan Majo Ali itu, sehubungan dengan Maryam, aku hanya termangu-mangu memikirkan betapa militannya si perawan desa itu, dia relakan kecantikan wajahnya dicabik-cabik peluru serdadu Belanda. Juga terlintas dipikiranku .....’apakah dia tidak ingin berjumpa denganku, atau dia memang telah melihat sosokku dalam kecamuk tadi?’ Akh..!, aku kehilangan kendali lagi ulah si ‘chivalry’ itu, yaitu perempuan satria dengan kepribadian sempurna penuh keteladanan nan selalu berbakti pada Tuhan.
Setelah selesai mengatur strategi di rumah Haji Abdul Manan itu, kemudian kami berangkat kembali ke medan pertempuran, berniat untuk menghabisi sisa pasukan dan termasuk L.C. Westenenk sendiri yang masih belum diketemukan. (bersambung)
No comments:
Post a Comment