CAPITA SELECTA
Oleh M. Natsir
Oleh M. Natsir
Sebuah buku karangan M.Natsir, berjudul Capita Selecta, sudah lama saya pegang. Buku yang tidak pernah dipublikasikan ini, diterbitkan oleh N.V.Penerbitan W.Van Hoeve, Bandung. Karangan M.Natsir dihimpun oleh D.P.Sati Alimin, diterbitkan tahun 1954. Kata Pendahuluan diberikan oleh D.P. Sati Halimin, Sepatah Kata oleh Z.A. Achmad dan Kata Sambutan oleh H.Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Berturut-turut akan saya terbitkan isi Capita Selecta ini, bagian yang tercecer dari pemikiran Sang Buya yang tak banyak dikenal oleh kalangan sekarang. Cantigi Peace akan menyajikannya bab per bab. (Rizal Bustami)
MENGENAL M.NATSIR
M.Natsir |
Moh. Natsir, adalah putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat 17, Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Natsir adalah orang yang berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Ayah Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persis. Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan.
Tanggal 5 April 1950 Natsir mengajukan mosi intergral dalam sidang pleno parlemen, yang secara aklamasi diterima oleh seluruh fraksi. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan RI (NKRI), yang sebelumnya berbentuk serikat. Karena prestasi inilah Natsir diangkat menjadi perdana menteri. Bung Karno menganggap Natsir mempunyai konsep untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Natsir pernah menjabat Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yang waktu itu ketuanya dijabat oleh Assaat Datuk Mudo, dan beberapa kali menjadi Menteri Penerangan.
Natsir banyak berjasa untuk perkembangan dakwah Islam dan termasuk di antara sedikit tokoh Indonesia dengan reputasi internasional. Dia pernah menjabat presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), ketua Dewan Mesjid se-Dunia, anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah. Sebagai mubaligh, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, yang mengirimkan mubaligh ke seluruh Indonesia.
Natsir sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia setelah pembubaran RIS. Namun penentangan Natsir terhadap sikap Presiden dalam Irian Barat, dan maraknya pemberontakan separatis mengganggu kestabilan kabinatnya. Manjelang akhir masa jabatnaya sebagai perdana menteri, Bung Karno selaku Presiden dan ketua PNI meminta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk tidak mendukung pemerintahan terutama PM Natsir dan wapres Hatta. Tak lama setelah itu Kabinet Natsir mengalami aneka goyangan dari Partai Nasional Indonesia di parlemen. Menurut Hatta, Soekarno mendesak Manai Sophiaan dan teman-temannya menjatuhkan Kabinet Natsir. Dua kali anggota Partai Nasional Indonesia di parlemen memboikot sidang sehingga tak memenuhi kuorum. Hari itu juga Natsir mengembalikan mandatnya sebagai Perdana Menteri.
Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Muhammad Natsir bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Akhir tahun 1979 Raja Fadh dari Arab Saudi memberi anugerah Faisal Award melalui King Faisal Foundation di Riyadh, bersama mufti Palestina. Sebelumnya tahun 1967, Universitas Islam Libanon memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam. Tahun 1991, gelar kehormatan yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan Malaysia.
Perdana Menteri Indonesia ke-5, dengan masa jabatan 5 September 1950–26 April 1951,
Soekarno sebagai Presiden. Ia juga pernah mejabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia ke-2 pada masa jabatan 12 Maret 1946–26 Juni 1947. (Sumber Wikipedia).
Saya seorang beruntung, ketika melayat kematiannya di rumah anaknnya di Pamulang. Sebagai mana saya sempatkan mengantar Bung Hatta dan Buya Hamka ke tempat peristirahatan terakhirnya du Tanah Kusir.
PENDAHULUAN
Capita Selecta, adalah nama buku yang memuat kumpulan karangan-karangan-karangan sdr M. Natsir, yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit U.B. “Ideal” di Jakarta. Dua jilid yang diterbitkan oleh penerbit tersebut, memuat 23 karangan.
Dalam pada itu masih banyak lagi karangan-karangan sdr M. Natsir, yang baik dibukukan. Antara tahun 1936 – 1941, sdr M. Natsir menulis tidak kurang dari 90 karangan. Tapi tidak mudah untuk mengumpulkan karangan-karangan itu kembali.
Dari beberapa teman-teman di Sumatera Tengah dan di Bandung, kami banyak dapat pertolongan. Begitu juga dari Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta, banyak kami mendapat bantuan.
Kepada semuanya, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih.
Buku ini memuat 52 karangan, dari karangan-karangan yang banyak itu. Selebihnya, karena merupakan karangan bersambung, mungkin akan diterbitkan juga nanti.
Seperti pembaca dapat menyaksikan sendiri, karangan-karangan ini ditulis antara 13 sampai 18 tahun yang lampau. Meskipun demikian, ia tetap masih aktuil, nilainya tidak dimakan masa. Walaupun oleh karangan-karangan ini tidak lagi zaman sekarang yang dihadapinya dengan langsung, tapi ia tetap berharga untuk dibaca dan dipahamkan. Dalam pada itu jangan dilupakan bahwa tulisan-tulisan tersebut, ditulis dibawah tekanan duri-duri pers yang begitu banyak, mulai dari masa ranjau-ranjau pers biasa sampai kepada masa “persbreide” dan masa “Staat van Beleg”. Sebab itu tepat kalau dikatakan bahwa selain dari pada mempunyai nilai-nilai biasa, tulisan-tulisan ini juga membawa kita membaca sejarah, membaca suara dan semangat-zaman diwaktu itu.
Supaya lebih memudahkan, susunannya dibagi atas rubrik-rubrik. Karangan dalam satu-satu rubrik umumnya disusun chronologis. Masa ditulis dapat dilihat dibawah masing-masing kepala karangan.
Suatu hal yang tegas, ialah dasar dan ruh dari karangan-karangan ini; soal maupun yang diuraikan, dasar dan ruhnya hanyalah satu, yakni mengemukakan dengan cara hudjah yang tersendiri, langsung atau tidak langsung, akan ketinggian dasar dan ajaran-ajaran Islam dan bahwa Islam itu adalah suatu aturan-hidup untuk segala pencinta-kemanusiaan dari pencinta Tuhan. Islam, Islam, menurut keyakinan M. Natsir, wajib jadi kriterium bagi hidup seorang Muslim, dan tak mungkin Islam itu dijadikan objek untuk di-kriterium-kan kepada yang lain.
Ada baiknya dimaklumi, lebih-lebih, berkenaan dengan rubrik “Ketatanegaraan”, bahwa seharusnyalah dibaca dengan berurutan, karena ia ditulis menurut peristiwa dan gelombang-masa diwaktu itu, yang menyebabkan hampir selalu ada hubungan antara karangan yang satu dengan yang lain. Ya, …malah tak berapa buah diantara karangan-karangan ini sebenarnya, yang berdiri sendiri-sendiri.
Kepada sdr. Z. A. Ahmad dan sdr. Hamka, yang telah memberi kata-sambuatan atas isi dan usaha mengumpulkan karangan-karangan ini, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih. Memang keduanya berhak memberi pertimbangan demikian.
Moga-moga ada paedahnya usaha kami menghimpunkan ini.
Penghimpun,
Jakarta, Okt. 1954
D. P. SATI ALIMIN
Dari beberapa teman-teman di Sumatera Tengah dan di Bandung, kami banyak dapat pertolongan. Begitu juga dari Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta, banyak kami mendapat bantuan.
Kepada semuanya, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih.
Buku ini memuat 52 karangan, dari karangan-karangan yang banyak itu. Selebihnya, karena merupakan karangan bersambung, mungkin akan diterbitkan juga nanti.
Seperti pembaca dapat menyaksikan sendiri, karangan-karangan ini ditulis antara 13 sampai 18 tahun yang lampau. Meskipun demikian, ia tetap masih aktuil, nilainya tidak dimakan masa. Walaupun oleh karangan-karangan ini tidak lagi zaman sekarang yang dihadapinya dengan langsung, tapi ia tetap berharga untuk dibaca dan dipahamkan. Dalam pada itu jangan dilupakan bahwa tulisan-tulisan tersebut, ditulis dibawah tekanan duri-duri pers yang begitu banyak, mulai dari masa ranjau-ranjau pers biasa sampai kepada masa “persbreide” dan masa “Staat van Beleg”. Sebab itu tepat kalau dikatakan bahwa selain dari pada mempunyai nilai-nilai biasa, tulisan-tulisan ini juga membawa kita membaca sejarah, membaca suara dan semangat-zaman diwaktu itu.
Supaya lebih memudahkan, susunannya dibagi atas rubrik-rubrik. Karangan dalam satu-satu rubrik umumnya disusun chronologis. Masa ditulis dapat dilihat dibawah masing-masing kepala karangan.
Suatu hal yang tegas, ialah dasar dan ruh dari karangan-karangan ini; soal maupun yang diuraikan, dasar dan ruhnya hanyalah satu, yakni mengemukakan dengan cara hudjah yang tersendiri, langsung atau tidak langsung, akan ketinggian dasar dan ajaran-ajaran Islam dan bahwa Islam itu adalah suatu aturan-hidup untuk segala pencinta-kemanusiaan dari pencinta Tuhan. Islam, Islam, menurut keyakinan M. Natsir, wajib jadi kriterium bagi hidup seorang Muslim, dan tak mungkin Islam itu dijadikan objek untuk di-kriterium-kan kepada yang lain.
Ada baiknya dimaklumi, lebih-lebih, berkenaan dengan rubrik “Ketatanegaraan”, bahwa seharusnyalah dibaca dengan berurutan, karena ia ditulis menurut peristiwa dan gelombang-masa diwaktu itu, yang menyebabkan hampir selalu ada hubungan antara karangan yang satu dengan yang lain. Ya, …malah tak berapa buah diantara karangan-karangan ini sebenarnya, yang berdiri sendiri-sendiri.
Kepada sdr. Z. A. Ahmad dan sdr. Hamka, yang telah memberi kata-sambuatan atas isi dan usaha mengumpulkan karangan-karangan ini, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih. Memang keduanya berhak memberi pertimbangan demikian.
Moga-moga ada paedahnya usaha kami menghimpunkan ini.
Penghimpun,
Jakarta, Okt. 1954
D. P. SATI ALIMIN
SEPATAH KATA
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penulis yang dahulu memakai nama “A. Muchlis”, ialah sdr M. Natsir, yang sekarang menjadi Ketua Umum partai politik Islam Masyumi, dan pernah menjadi Perdana Menteri pada mula terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Dia menulis pada 15 a 16 tahun yang lewat didalam majalah yang dahulu kami pimpin di Medan, “Panji Islam” dan juga didalam majalah “Pedoman Masyarakat”.
Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.
Dia tampil kedepan. Dia mengetahui betul kapan dia harus berteriak memberi komando untuk memimpin perjuangan bangsanya, dan dia tahu pula kapan masanya dia berkelakar dan bergembira untuk menghibur, membangkit semangat baru bagi perjuangan. Dengan lain perkataan, dia tahu waktunya untuk membunyikan terompet dengan genderang perang, jika ia hendak menghadapi lawan yang menentang cita-cita Islam, baik terhadap bangsa penjajah maupun terhadap bangsa sendiri yang belum menginsafi akan ideologi Islam itu. Tetapi nanti tepat pada saatnya pula dia bersenandung dengan irama yang beralun kegembiraan untuk menggembirakan hati pejuang-pejuang Kemerdekaan.
Bukankah pada masa itu, tahun 1939 dan selanjutnya adalah tahun-tahun persiapan dan latihan untuk menghadapi suatu revolusi besar Kemerdekaan Indonesia, yang meletus enam tahun kemudiannya? Tangkisannya menghadapi tindakan licik dari penajajah dan suara benggolan-benggolan kapitalis asing di Dewan Rakyat, begitu pula terhadap beberapa pemimpin Indonesia yang tidak mengerti akan ideologi Islam, dicoretkannya dengan cara tersendiri, yang berirama dan bersemangat dalam segala tulisan-tulisan-nya.
Didalam segala tulisan-tulisan tersebut, sekalipun merupakan polemik yang se-tajam-tajamnya, belumlah pernah ia mempergunakan perkaitaan yang mengurangkan nilai “jiwa-besar”-nya. Bahkan, semakin tajam soal yang dipolemikkan, semakin bertambah teranglah cita-cita besar yang gerkandung didalam dirinya.
Dari itu, tidak saja ragu bahwa pada suatu saat sdr M. Natsir atau penulis a. Muchlis ini akan maju kedepan untuk memimpin umat bangsanya.
Dia datang pada saatnya yang tepat. Didalam rangkaian pemimpin-pemimpin Islam Indonesia yang dipelopori oleh H. O. S. Tjokroaminoto dan H. A. Salim, dia merupakan mata rantai yang sambung-bersambung untuk melaksanakan ideologi Islam. Dan didalam perjuangan kemerdekaan ini, ia menempati suatu lowongan yang tertentu. Jika 15 tahun ia memberi komando dengan tulisan, maka sejak zaman kemerdekaan, ia langsung terjun ketengah medan jihad bersama kawan-kawan yang se-ideologi ataupun tidak, mengantarkan Bangsa dan Negara ketempat yang layak dan sesuai sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Tulisan-tulisan A. Muchlis pada 15 tahun yang lampau itu masih tetap merupakan pimpinan yang berjiwa bagi angkatan yang sekarang. Masing-masing pembacanya masih senantiasa merindukan dan mengharapkannya, yang sebagai irama suling perindu menawan hati atau sebagai terompet yang memanggil kepada jihad yang suci.
Dengan ini, saya menyambut kumpulan tulisan A. Muchlis, yang dahulu dimuat dalam majalah-majalah yang saya pimpin Panji Islam dan Al-Manar.
Saya hargai usaha penghimpunnya dan mudah-mudahan usahanya yang baik itu mencapai maksudnya. Dan saya mendoakan, moga-moga kumpulan karangan A. Muchlis ini dapat semakin mengenalkan orang kepada cita-cita tinggi yang terkandung didalam dirinya saudara M. Natsir.
Wassalam,
Jakarta, Akhir Nop. 1954
Z. A. AHMAD
Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.
Dia tampil kedepan. Dia mengetahui betul kapan dia harus berteriak memberi komando untuk memimpin perjuangan bangsanya, dan dia tahu pula kapan masanya dia berkelakar dan bergembira untuk menghibur, membangkit semangat baru bagi perjuangan. Dengan lain perkataan, dia tahu waktunya untuk membunyikan terompet dengan genderang perang, jika ia hendak menghadapi lawan yang menentang cita-cita Islam, baik terhadap bangsa penjajah maupun terhadap bangsa sendiri yang belum menginsafi akan ideologi Islam itu. Tetapi nanti tepat pada saatnya pula dia bersenandung dengan irama yang beralun kegembiraan untuk menggembirakan hati pejuang-pejuang Kemerdekaan.
Bukankah pada masa itu, tahun 1939 dan selanjutnya adalah tahun-tahun persiapan dan latihan untuk menghadapi suatu revolusi besar Kemerdekaan Indonesia, yang meletus enam tahun kemudiannya? Tangkisannya menghadapi tindakan licik dari penajajah dan suara benggolan-benggolan kapitalis asing di Dewan Rakyat, begitu pula terhadap beberapa pemimpin Indonesia yang tidak mengerti akan ideologi Islam, dicoretkannya dengan cara tersendiri, yang berirama dan bersemangat dalam segala tulisan-tulisan-nya.
Didalam segala tulisan-tulisan tersebut, sekalipun merupakan polemik yang se-tajam-tajamnya, belumlah pernah ia mempergunakan perkaitaan yang mengurangkan nilai “jiwa-besar”-nya. Bahkan, semakin tajam soal yang dipolemikkan, semakin bertambah teranglah cita-cita besar yang gerkandung didalam dirinya.
Dari itu, tidak saja ragu bahwa pada suatu saat sdr M. Natsir atau penulis a. Muchlis ini akan maju kedepan untuk memimpin umat bangsanya.
Dia datang pada saatnya yang tepat. Didalam rangkaian pemimpin-pemimpin Islam Indonesia yang dipelopori oleh H. O. S. Tjokroaminoto dan H. A. Salim, dia merupakan mata rantai yang sambung-bersambung untuk melaksanakan ideologi Islam. Dan didalam perjuangan kemerdekaan ini, ia menempati suatu lowongan yang tertentu. Jika 15 tahun ia memberi komando dengan tulisan, maka sejak zaman kemerdekaan, ia langsung terjun ketengah medan jihad bersama kawan-kawan yang se-ideologi ataupun tidak, mengantarkan Bangsa dan Negara ketempat yang layak dan sesuai sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Tulisan-tulisan A. Muchlis pada 15 tahun yang lampau itu masih tetap merupakan pimpinan yang berjiwa bagi angkatan yang sekarang. Masing-masing pembacanya masih senantiasa merindukan dan mengharapkannya, yang sebagai irama suling perindu menawan hati atau sebagai terompet yang memanggil kepada jihad yang suci.
Dengan ini, saya menyambut kumpulan tulisan A. Muchlis, yang dahulu dimuat dalam majalah-majalah yang saya pimpin Panji Islam dan Al-Manar.
Saya hargai usaha penghimpunnya dan mudah-mudahan usahanya yang baik itu mencapai maksudnya. Dan saya mendoakan, moga-moga kumpulan karangan A. Muchlis ini dapat semakin mengenalkan orang kepada cita-cita tinggi yang terkandung didalam dirinya saudara M. Natsir.
Wassalam,
Jakarta, Akhir Nop. 1954
Z. A. AHMAD
KATA SAMBUTAN
Pada akhir tahun 1929 terbit di Bandung majalah Pembela Islam. Didalamnya menulis sdr alm. Sabirin, Fachruddin al-Kahiri, dan M. Natsir sebagai pengisi tajuk-rencana.
M. Natsir mengemukakan sikap dan pendirian Islam sebagai asas untuk memperjuangkan Kemerdekaan. Berangsur-angsur mulai jelas perbedaan pandangan hidup antara nasionalis, yang berjuang karena kemerdekaan itu an sich dengan pandangan hidup mestinya seorang Muslim.
Ir. Soekarno, yang menjadi pelopor gerakan nasional ketika itu, menyemboyankan: “Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme! Adapun agama adalah pilihan dan tanggung jawab masing-masing diri!”
M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan dan juga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya didalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia dibawah lindungan dan keridhaan Ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair, demikian pandangan M. Natsir.
Bertahun-tahun ideologi yang dijelaskan M. Natsir itu tinggal dalam bundelan Pembela Islam saja, sebab M. Natsir tidak masuk partai politik. Baru pada tahun 1939, ia masuk Partai Islam Indonesia.
M. Natsir senang sekali duduk dimeja tulisnya seorang diri, menulis untuk menyatakan fikiran-fikirannya dengan bebas dan merdeka, seperti juga dikelas didepan murid-muridnya. Ia menjauhi arena gembar-gembor; dalam tulisan-tulisannya hal itu dapat diperhatikan.
Sebab itu dengan girang saya sambut, usaha mengumpulkan buah fikiran M. Natsir ini. Penting dan berguna bagi pemuda-pemuda kita angkatan baru, lebih-lebih bagi angkatan baru Pemuda Islam.
Lain dari pada itu, ada lagi yang utama, yakni:
Sesudah selesai perjuangan merebut kemerdekaan ini, kita masuk ketaraf baru, yaitu memikirkan nilai-nilai ideologi yang akan disumbangkan dalam pembinaan dunia baru. Kaum Muslimin sedunianya yakin, bahwa mereka termasuk tenaga yang terpenting dalam pembinaan itu, Pemimpin dan penulis Islam yang besar-besar dimasa sekarang, seperti Khawaja Kamaluddin, Maulana Muhd. Ali, Iqbal, Hasan al-banna, Ajatullah al-Kasyani dan lain-lain, telah menjelaskan dan mengemukakan fungsi-fungsi masyarakat dan kepercayaan dari segi Islam, dalam menghadapi dunia sekarang, justru dalam masa dua blok besar yang berbeda dasar perjuangannya itu berhadapan dewasa ini.
Maka fikiran M. Natsir ini, dapatlah diartikan fikiran Muslimin Indonesia dan sudah pada tempatnya pula kita kemukakan.
Berdasar kepada yang saya terangkan diatas ini, saya menganjurkan agar kumpulan karangan ini disalin kebahasa Arab atau bahasa Inggris.
Inilah sambutan saya dan moga-moga berhasil anjuran saya itu.
HAJI ABDUL MALIK KARIM
Jakarta, Akhir Nop. 1954
AMRULLAH (HAMKA)
3 comments:
Kelanjutannya donk pak!! Capita Selecta M. Natsir
Kelanjutannya donk pak!! Capita Selecta M. Natsir
Siap, nanti dilanjutkan !
Terimakasih komentarnya!
Post a Comment