ABU NASR AL-FARABI
(Wafat 339 H-950 M.)
MARET 1937
Politik-Ekonomi Siapa Bapanya?
Al-Farabi-Ibnu chaldun-Machiavelli-Hegel-Gibbon
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad binauzalagh bin Thurchan, anak dari seorang pembesar militer dari Parsi. Dilahirkan di Farab, yaitu suatu negeri bahagian Turkestan. Tidaklah tahu ahli tarich tahun berapa ia dilahirkan, akan tetapi dengan yakni dapat ditentukan bahwa ia berpulang kerahmatullah dalam umur + 80 tahun pada bulan Rajab tahun 339 H. (Dec. 950 M.).
Diriwayatkan bahwa al-Farabi, adalah seorang yang amat bersahaja, yang mencari sesuap pagi sesuap petang sebagai tukang jaga kebun. Walaupun demikian kefakiran yang dideritanya, tapi sedikitpun tidak mengalanginya bekerja terus dalam dunia falsafah. Siang hari ia menyingsingkan lengan baju sebagai tukang kebun, malam memegang kalam, memutar otak selaku filosof, diterangi oleh pelita kecil yang mengiyap-ngiyap.[1] Ia memberi syarah dan komentar atas falsafah Aristoteles dan Plato, serta memperbandingkan paham kedua filosof itu dengan Agama Islam.
Al-Farabi memperdalami semua ilmu-ilmu yang diselidiki oleh al-Kindi, malah dalam beberapa ilmu, al-Farabi melebihi al-Kindi, terutama dalam ilmu mantik.
Selain dari itu al-Farabi menulis lagi beberapa kitab tentang berbagai macam masalah yang belum pernah orang tulis pada sebelumnya, seperti kitabnya: Ihshaul- ‘ulum (Statistik atau ringkasan dari bermacam ilmu), kitab mana telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan Hibrani. Masih ada satu naskah dari kitab tersebut di El-Escorial dekat kota Madrid.
Politik-Ekonomi
Selain dari itu Al-Farabi-lah yang mula-mula menulis tentang “Assiyasatul-madaniyah”, yakni yang dinamakan orang sekarang “Politik Ekonomi”; yang dianggap oleh orang Eropah umumnya, sebagai pendapat mereka yang muchtara’ (orisinil). Padahal seorang filosof Muslim, 1000 tahun yang lalu, telah menguraikan dasar-dasar ilmu tersebut dan sesudahnya Al-Farabi, diikuti lagi oleh seorang filosof Muslim pula, Ibnu Chaldun dalam kitabnya yang masyhur Muqaddamah dengan tidak diantarai oleh filosof lainnya. Dari tangan Ibnu Chaldunlah ilmu ini sampai kepada Machiavelli, Hegel, Gibbon dan lain-lainnya itu.
Musik
Tidak sedikit pula jasa Abu Nasr Al-Farabi dalam memajukan ilmu musik. Ia mengarang lagu, ia membuat instrumen, ia menulis teori dan memperbaiki kesalahan-kesalahan teori ahli musik yang terdahulu, serta menyusun metode belajar yang lebih sempurna. Diterangkannya sifat-sifat suara, bagaimana irama, (ritma) dan harmoninya. Diunjukkannya macamnya tempo (maat), dan semangat satu-satu lagu (majeur dan mineurnya).
Dalam teori musik itu, tak gentarnya pula Al-Farabi mengupas dan menunjukkan yang dipandangnya keliru dalam teori Pythagoras dan muridnya, seumpama hipotese (chayal-chayal) yang berhubung dengan “suyara bintang” dan lain-lain.
Dengan jalan praktek Al-Farabi menentukan bagaimana pengaruhnya gelombang-gelombang suara (geluidsgolven) atas tali-tali dari alat –alat musik. Salah satu dari pendapatnya ialah alat musik yang bernama qanun.
Dengan cara yang orisinil, ia menunjukkan cara menyusun suara-suara yang empuk dan enak, yang belum diketahui ahli-ahli musik dimasa itu.
Achlaknya.
Abu Nasr Al-Farabi hidup dengan akhlak yang tinggi, tidak amat mementingkan kesenangan dunia, tapi amat mencintai falsafah, ilmu dan seni. Pernah ia bekerja diistana amir Saifud-Daulah di Halb (Aleppo). Pun dimasa itu, tidak pernah ia mau menerima dari amir lebih dari untuk keperluan yang utama sehari-hari, khabarnya tidak lebih dari 4 dirham sehari (lk. Rp. I,-)[2]. Kemudian ia pindah ke Damaskus, disanalah ia tetap, sampai berpulang kerahmatullah.
Sekianlah dengan ringkas, sebagai menghidupkan peringatan dan kenang-kenangan, atas salah satu pujangga Muslim yang memberi bekas utama itu.
Hidup bersahaja di alam maddah (materi) sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani sebagai raja!
Al-Farabi meninggal dalam tahun 950 M. sebagai seorang miskin, tidak meninggalkan harga benda, tetapi wafatnya sebagai alim, meninggalkan pusaka ruhani yang tak ternilai, tak rusak dimakan masa, dari zaman bertukar zaman, jadi mustika di dunia kebudayaan.
Wahai ahli waris, mengapa pusaka dibiarkan hanyut?
Dari Pedoman Masyarakat.
No comments:
Post a Comment