Sunday, December 18, 2011

Capita Selecta M.Natsir Bagian IX

PEMANDANGAN TENTANG “BUKU-BUKU ROMAN” JANUARI 1940
Bandung, tgl. 1 Januari 1940
Sdr. Z. A. ahmad dan
M. Yunan Nasution

Assalamu’alaikum w.w.
Surut sdr-sdr kebetulan sama datangnya, yakni yang berhubung dengan ajakan sdr-sdr supaya saya turut menulis satu artikel tentang roman-roman yang sekarang musim diperbincangkan orang.
Lama saya beragak-agak hendak menulis, akan tetapi kesudahannya saja mengambil keputusan, meminta maaf kepada sdr-sdr, lantaran tidak sanggup saya memenuhi ajakan sdr-sdr itu. Sebabnya, bukan lantaran apa-apa, melainkan karena saya belum lagi membaca roman-roman tersebut. Bagaimanakah saya akan menetapkan salah satu pemandangan terhadap sesuatu yang belum saya ketahui. Satu tahun yang lalu, pernah saya mendapat kiriman satu kitab roman yang baru terbit, yang bersangkutan dengan Tuanku Imam bonjol. Akan tetapi pembacaan yang satu itu tentu tak mungkin menjadi dasar untuk membicarakan puluhan roman yang belum saya baca.
Oleh sebab itu harap dimaafkan. Dalam pada itu harap jangan sdr-sdr sangka, bahwa saya menganggap masalah roman ini tak begitu penting, atau bagaimana. Roman adalah salah satu dari bentuk-bentuk perpustakaan, jadi juga salah satu bahagian dari kebudayaan, satu bahagian dari cultuurverschijnsel. Sedangkan bermacam-macam kelahiran kultur itu,ialah lukisan dari tingkatan kecerdasan salah satu kaum, bukan? Betul ada juga saya mendengar dan membaca keberatan-keberatan beberapa pembaca, umpamanya yang berhubung dengan scene asyik ma’syuk itu. Itu bukan satu hal yang tak mungkin terjadi dalam roman-roman kita. Saya tidak baca sendiri roman yang asal. Cuma saya baca beberapa penolakan atau keberatan-keberatan tersebut.
Umpamanya penolakan itu begini: “Pekerjaan asyik-mas’syuk itu bukan satu hal yang tak mungkin terjadi dalam masyarakat kita sekarang ini. Apakah salahnya kita menceritakan hal-hal yang mungkin terjadi, bukan fantasi dan bukan dusta? Semuanya itu bisa dibaca saban waktu dalam warta harian surat-surat kabar. Melukiskan satu asyik-ma’syuk itu ‘kan tidak berarti: menyuruh orang mengerjakannya! Apa bahayanya? Dll. Dll.

Saudara-saudara! Kalau memang begitu, ya apa yang harus dikatakan lagi. Kalau sudah begitu, tentu memang tak ada “apa-apa”! Apalagi kalau yang menolaknya itu penulisnya sendiri. Dengan itu bukankah sudah berarti bahwa ia sendiri tidak menghargakan kesenian buah penanya. Dengan itu ia sudah mengakui bahwa apa yang ditulisnya tidakmempunyai ruh, tidak mempunya suggestieve kracht sama sekali. Ini bukan roman namanya. Tetapi “prosa-rubrik-kabarkota”! Lantas, apalagi yang harus kita katakan, sekiranya hendak membicarakan tulisannya itu, kalau kita diajak turut membicarakan masalah roman sebagai satu bangun-kesenian (Kunstvorm)?!
Tetapi, kalau pada hakikatnya tulisan salah satu pujangga kita itu memang mempunyai ruh dan semangat  yang menjadi syarat bagi tiap-tiap yang boleh dinamakan kesenian, maka sudah tentu tulisannya itu mengandung satu kekuatan sugesti, yang pada galibnya lebih dalam bekasnya dari pada “suruhan” terang-terangan. Apalagi kalau pujangga itu seorang yang berpengaruh dalam masyarakat, terkenal sebagai seorang penganjur, pengajak “nahi munkar-amar ma”ruf!” Mau tak mau si pembaca mudanya mengambil nama dan kedudukan pujangga itu sendiri sebagai “jaminan”, malah sebagai “sanksi” atas apa yang tertulis. Disini suggestieve kracht dari keseniannya bertambah besar.
Bagi seorang yang berpendirian “seni-buat-kesenian”, (I’art pour I’art) yang semacam itu memang tidak mengapa malah makin bagus. Andai kata seorang pembaca muda (bujang atau gadis), -sebab golongan inilah yang banyak membaca buku roman itu -, sampai jatuh sakit umpamanya, lantaran sugesti pembacanya itu, baginya berarti satu kemenangan, menjadi satu kemegahan. Andai kata besok lusa berdiri disini seorang Cyrano de Gergerac Indonesi, dan banyak pula pembaca-pembacanya yang kegila-gilaan kepadanya, hanya lantaran sugestu tulisannya itu, walaupun belumpernah bertemu dengan dia sendiri, (sebagaimana dalam karangan rostand itu)-, maka ia tentu tetap berhak dinamakan ahli seni yang kelas satu. Ini andai kata[1]
Akan tetapi kalau orang minta pertimbangan mudharat dengan manfaatnya tulisan semacam itu untuk masyarakat Indonesia sekarang, itu lain fasal. Itu tidak cukup bila dilihat dari sudut kesenian semata-mata. Sebab itu menjadi soal kemasyarakatan yang lebih luas.
Dan apabila dilihat, bahwa sebahagian yang terbesar dari pembaca kbuku-buku romanyang semacam itu, ialah dari kalangan pemuda-pemuda dan gadis-gadis kita dalam umur. Pancaroba” (puberteitsperiode) dimana perasaan mereka itu jauh lebih lekas terpikat dan terikat oleh rayu-rayuan asyik ma’syuk yang terlukis dan tersurat terang-terangan daripada oleh moralyang disembunyikan dan disirat-siratkan disana sini itu, maka seseorang yang merasa berkewajiban turut menanggung jawab atas keselamatan masyarakat umumnya, tidak mungkin berkata lain, selain dari pada: “Seni atau tidak seni, tetapi apa yang memberi mudharat kepada kebatinan kaumku, atau yang lebih banyak mudharatnya dari manfaatnya, harus aku tolak sebagai barang yang berbahaya!
Seorang Muslim akan berkata; “Kita tidak anti seni. Kita juga suka akan tiap-tiap yang bagus. Agama kita tidak melarang mengadakan barang-barang yang bagus dan cantik, bahkan menggemarkan berbuat begitu. (Innallaha jamilun, wa juhibbul-jamal).
Akan tetapi jamal atau tidak jamal, kalau bersifat batil akan kita tolak, sekalipun batil yang pakai “sirat” disana sininya. Kita harus mendahulukan penting dari yang kurang penting. “Taqdimul-aham-mi ‘ala’muhim, bukan? Ini, sekiranya betul ada roman yang begitu!
Sdr-sdr! Bagaimanakah kita akan terus berpendirian I’art pour I’art, seni untuk kesenian, dalam tingkatan (stadium) perjalanan kecerdasan bangsa kita masih begini? Dimasa seseorang masih agak terlampau lekas menamakan sesuatu buah tangannya, adalah buah kesenian, kunstproduct, meesterwerk dan yang semacam itu?! Sdr-sdr lebih maklum, bahwa selain dari pada seni masih ada moral, masih ada ideologi kenegaraan, masih ada I’tikad ketuhanan, masih ada cita-cita keagamaan, masih ada falsafah kehidupan.Dan pada hakikatnya seni yang sebenarnya seni dari salah satu bangsa, ialah bangun-lahir (uitingsvorm) dari apa yang seluhur-luhur  dan sesuci-sucinya yang ada dalam sanubari bangsa itu.
Kalau sebenarnya salah satu buah kesusasteraan itu (syair, prosa, roman, dsbnya), terbit dari sanubari yangsuci murni, kalau betul buah perpustakaan itu “tetesan jiwa” dari pujangga yang timbul ditengah-tengah masyarakat kehidupan bangsanya, sudah tentu akan tergambarlah dalam buah tangannya itu: cita-cita yang senantiasa diidamkan oleh jiwanya dan jiwa bangsanya, akan terlukis perjuangan ruhaninya, akan terdengar keluh kesah masyarakat umatnya, akan terbentang ideologinya menurut falsafah kehidupan yang tertentu.
Sdr-sdr! Sebagaimana sdr-sdar maklum, pujangga yang demikianlah pada lahirnya yang membuat, riwayat dunia”. Bukankah sejarah perpustakaan itu selalu berjalan beberapa puluh tahun lebih dahulu dari pada sejarah politik dunia? Sebelum ada Revolusi Perancis, beberapa puluh tahun sebelum itu, sudah ada “revolusi” dalam literatur eropah Barat (Montesquieu, Locke, Voltaire a.l. dengan “Essay” nya, rousseau dengan “Contract social”-nya. Boleh jadi buah perpustakaan yang begitu sifatnya tidak begitu lekas populer, tidak lalu seperti pisang goreng. Boleh jadi cerita-cerita yang setingkat dengan “Lord Lister” dan lain-lain pembacaan diatas kereta api yang lebih lekas maju. Akan tetapi sebagaimana sdr-sdr maklum, tujuan pujangga bukanlah larisnya bukunya itu yang terutama baginya, bukan?
Bebasari” dari rustam Effendi tidak diketahui orang benar. Pujangga Rustam Effendi tidak bisa memutarkan uangnya dengan tetesan jiwanya itu. Pada hal “Bebasari” boleh dinamakan “epoch-making” kata orang Inggeris, pembikin riwayat! Ditakdirkan rustam Effendi tadinya menulis “Geoffry Gill Indonesia”, digrami disana-sini dengan scene asyik ma’syuk yang memikat hati muda remaja kita, barangkali ia bisa lekas kaya sedianya?
Eeh! Sudah sampai kemana obrolan saya ini. Maaf sdr-sdr, sekali lagi: Tidak sanggup saya memberi pemandangan terhadap roman-roman pujangga kita yang sedang diperbincangkan itu!
Apakah betul ada yang bersifat “prosa-rubrik-kabarkota”, yang “netral” saja seperti air hujan, ataukah sebagai “pekabaran plus-prikkel dan sensasi”, atau sudah “merayu sukma” a la cyrano plus moral yang tersembunyi disrat-siratkan, ataukah lebih tinggi dari itu, bersih dari pada rayu-rayuan yang membawa chayal pembacanya berlarat-larat tak tentu entah kemana, malah menanam didikan yang bersifat positif, membangkitkan semangat, memimpin batin, menuntun akhlak, atau bagaimana, - untuk ini semua sdr-sdr, perlu kepada pembacaan roman itu satu persatu dengan teliti. Ini belum saya kerjakan. Dan rasanya tak akan mungkin saya melakukannya. Lantaran itu saya tak bisa menulis apa-apa ditentang masalah itu! Terus terang mengaku begini, lebih baik dari pada sdr-sdr, tuduh saya sebagai seorang yang mentapkan satu hukum atas apa yang belum diketahuinya. Bukan tak suka, tapi tak bisa.  “Lajukallifu’llahu nafsan illa wus’aha”. Entahlah dihari depan!
Sdr-sdr khususnya, dan sdr-sdr teman sejawat kita yang duduk dalam redaksi majalah-majalah tempat orang mengirimkan kitab-kitab untuk diresensi, atas bahu sdr-sdrlah terletak satu kewajiban yang berat dalam memberi resensi itu. Membaca rolan itu dari awal sampai akhir tentu akan memakan waktu yang amat banyak. Dan saya maklum bahwa pekerjaan sdr sebagai pejabat redaksi amat banyak pula. Akan tetapi, apa boleh buat, perlu sdr-sdr membaca kitab-kitab yang akan diberi resensi itu dengan saksama lebih dulu. Dan kalau sesudahnya sdr mempunyai pemandangan yang tertentu, “pejamkanlah” mata sdr dan tuliskan apa pendirian sdr terhadap buku itu. Manis, pahit, pedas, asin, terserah! Ini lebih bermanfaat bagi Ikedua belah pihak, bagi pembaca dan penulis itu sendiri.
Bagi pembaca-pembaca, oleh karena umumnya dirumah tangga kita boleh dikatakan tidak ada kontrol pembacaan sama sekali. Dalam pamili-pamili terpelajar umpamanya, tulisan-tulisan Emile Zola dll. Yang mereka namai realistische romanstidak usah dikuatirkan akan mendatangkan akibat yang kurang baik. Sebab dijaga, supaya buku-buku itu hanya jatuh ketangan orang-orang yang sudah cukup persediaannya untuk membaca, dan memahamkan “apa yang tersirat”. Akan tetapi umumnya dalam rumah tangga kita, kalau datang pos membawa satu roman, masak mentah turut membacanya. Itulah sebabnya kita amat perlu kepada resensi yang teliti dan adil.
Membaikkan pula bagi pujangga kita sendiri, oleh karena satu resensi yang ikhlas dan terus terang serta beralasan, lebih banyak paedahnya bagi seorang penulis muda dari pada pujian-pujian, yang tidak pada tempatnya. Tak usah kita kuatir, bahwa seorang penulis akan patah hatinya bila tidak mendapat pujian. Sebab, kalau betul ada mengalir darah pujangga dalam tubuhnya, ia tidak akan patah hati. Tetapi ia akan menggertamkan gigi dan berjalan terus sampai buah penanya mendapat penghargaan yang sempurna. Kalau “syaalman” dalam Max Havelaar pematah hati, sudah tentu tidak akan ada pujangga Multatuli, bukan?
Tetapi andai kata penulis muda kita itu betul datang patah hatinya, itupun baik sekali bagi dirinya.
Sebab yang demikian menunjukkan, bahwa dia bukan seorang pujangga. Itu bukan satu celaan baginya, tidak! Akan tetapi satu pemberian ingat, bahwa ia itu semestinya duduk dilapangan lain. Boleh jadi ia lebih pantas menjadi seorang tukang yang cakap atau arsitek yang pintar, atau seorang saudagar yang ulung, seorang fabrikan barang tenun atau lain-lain. Dunia Allah besar! Banyak pintu rezeki disediakan-Nya untuk makhluk-Nya yang bermacam-macam itu. Tidak semua orang mesti menjadi pujangga saja.
Duduknya masalah kita sekarang, tentu bukan : ‘Apakah penulis-penulis kita itu boleh terus mengarang atau tidak?”  Saya rasa bukan begitu, melainkan, umpamanya: “Karangan-karangan dan gubahan-gubahan yang manakah dan yang bagaimanakah yang harus ditolak dan yang manakah yang harus diterima oleh penerbit-penerbit buku, mengingat kepada keselamatan dan keperluan-keperluan masyarakat kita dewasa ini? Satu!
Dan: “sumber-sumber kebudayaan manakah, yang sebaik-baiknya tempat pujangga kita mengambil “inspirasi” untuk buah penanya?” Dua!
Dan sebagainya…!
Ini sebagai pokok-pokok soalnya saja.
Diantara penulis-penulis kita itu tentu ada pujangga yang sebenar pujangga. Sekurang-kurangnya kandidat pujangga. Dan jiwa pujangga itu, bila sudah “menggelora” kata orang sekarang, tak mungkin ditahan atau distop atau disuruh non aktif sama sekali. Tenaga muda itu amat berharga bagi masyarakat kita sekarang, tapi dialirkan dalam saluran yang tertentu dan teratur, jangan dibiarkan melantur kesana kemari, merompak parit dan pematang.
Dan lapangan pekerjaan untuk pujangga kita, amat luas sekali. Baik dalam kalangan syair ataupun prosa. Buku-buku bacaan yang memberi didikan amat sedikit. Pembacaan anak-anak hampir nihil. Kita kekurangan kitab nyanyi yang menarik dan teratur. Dibandingkan dengan anak-anak Eropah, dalam pembacaan dan nyanyian, anak-anak kita amat miskin.
Tidak heran, karena penulis-penulis untuk bacaan anak-anak dikalangan kita boleh dikatakan baru sedikit sekali, dibandingkan dengan keperluan yang amat besar. Alangkah baiknya sekiranya pujangga-pujangga kita meletakkan Conon doyle dan Manfaluthi barang sebentar dan mencari inspirasi dalam gudang lagu-lagu lama dan cerita-cerita lama bangsa kita sendiri, yang sekarang masih banyak yang belum dipedulikan. Banyak yang mungkin disaring, diperbagus dan dirombak oleh Pujangga Muda Indonesia!
Memang tidak ada alangan mencari inspirasi keluar negeri. Kebudayaan itu tidak monopoli satu bangsa, dan tidak mungkin dipagar rapat supaya jangan keluar dari satu kaun. Tidak bisa dan tidak perlu! Barat boleh mengambil inspirasi ke Timur, timur boleh mengambil inspirasi ke Barat. Akan tetapi tidak semua sumber-sumber itu mengeluarkan air yang dijernih, yang memberi manfaat kepada kita. Baik buat orang, belum tentu baik buat kita. Jadi disini perlu rupanya pujangga kita memakai saringan sedikit, apalagi sebagai Pujangga Muslim!
Kita tak usah anti Barat. Kita orang Islam perlu menerima dorongan-dorongan dari Barat, terutama dalam urusan beberapa ilmu-ilmu yang eksak dan praktis. Akan tetapi hingga zat-zatnya ilmu itu pulalah. Bila melangkah selangkah lagi, mengambil-oper ruh semangat kehidupan orang Barat, yang pada umumnya sangat meremehkan, malah seringkali menentang moral dan etik, - apabila mengambil inspirasi dari suasana kebudayaan yang demikian untuk kesusasteraan kita, dengan tidak disaring dan ditapis benar lebih dahulu, besar bahanya bagi masyarakat kehidupan kaum Muslimin, pada hal kebudayaan Islam sendiri cukup mempunyai sumber-sumber inspirasi bagi pujangga-pujangga kita.
Generasi kita yang akan timbul masih miskin bacaan yang baik-baik, yang munasabah dengan umur dan pengertiannya. Mereka amat suka kepada cerita-cerita yang penuh pengalaman (awas, bukan sensasi!). Kapankah pujangga-pujangga kita yang mempunyai talent akan menggubahkan perjalanan Ibnu Bathutah umpamanya, supaya sedap dibaca anak-anak kita kaum Muslimin? Anak-anak kita itu dan kaum guru pendidik kita, menanti-nati! Ini sebagai umpama saja. Anak-anak Musliminyang lebih besar sedikit, amat perlu kepada kisah pahlawan-pahlawan, tempat menggantungkan cinta dan simpatinya. Sdr-sdr maklum, bahwa kisah pahlawan-pahlawan itu adalah suatu alat yang penting untuk pembentuk jiwa anak-anak kita, lebih-lebih dalam umur “pancaroba” itu.
Kalau seorang Goethe mengambil inspirasi dari Timur untuk “Westastichen Divan”-nya, kalau seorang Dante mengambil inspirasi dari kisah Mi’raj untuk “divina Comedia”-nya, alangkah baik dan pantasnya, sekiranya pujangga Muslimin kita mencari pula dari sumber-sumber yang lebih dekat, dan yang lebih sesuai dengan falsafah hidup kita orang Islam. Bukan untuk anak-anak saja, akan tetapi untuk orang-orang tuapun bisa diselenggarakan lektur yang semacam itu. Buta huruf kita akan tetap terbanteras juga, didikan batin bisa terbawakan sekali jalan, dan mudah-mudahan dengan begitu roman-rolan itu tidak lagi akan begitu banyak ditelan oleh pemuda-pemuda dan gadis-gadis kita yang masih belum bisa “membaca yang tersirat” .., bukan?
Sdr-sdr! Barangkali sdr-sdr berkata dalam hati, bahwa saya ini hanya bisa mengatakan saja. Betul! Sebab saya bukan pujangga. Jadi hanya saya bisa berkata. Berkata dengan penuh pengharapan, mudah-mudahan dengan perantaraan sdr-sdr hal ini bisa difikirkan lebih dalam dan diamalkan oleh Pujangga Muda kita, yang bisa mengerjakannya. Ini harapan saya.
Apa boleh buat, rasanya tidak sangguplah saya menurutkan aliran faham “I’art pour I’art”, dengan arti terlepas dari moral dan etik dan tidak kena mengena dengan akhlak budi pekerti, tidak mempedulikan keimanan dan kesucian batin. Tidak sanggup dan tidak diizinkan oleh pandangan hidup saja.
Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. suka mendengar orang bersyair. Ini tidak asing lagi. Sering kali beliau s./a.w. suka mendengar orang bersyair. Ini tidak asing lagi. Sering kali beliau s.a.w. memanggil ahli syair  dizaman itu untuk membacakan syair mereka yang bagus-bagus. Akan tetapi apakah sabda beliau s.a.w. sewaktu beliau mendengar seorang membacakan syair, yang walaupun bagus, tapi isinya dan semangatnya “tidak keruan”?
Peganglah syetan itu! Sesungguhnya lebih baik bila seseorang dari pada kamu penuh perutnya dengan nanah, dari pada dengar syi’ir (yakni syair yang munkar)” (Hadits r. Ahmad).
Waktu orang menceriterakan kepada Richard Wagner yang tersohor itu, bahwa Garibaldi, pendekar kemerdekaan Itali dalam tahun 1848 melarang serdadu-serdadunya mengarahkan menriam kebenteng kota roma, walaupun benteng-benteng itu amat  berbahaya bagi lasykarnya, hanya lantaran hendak memelihara barang-barang kesenian yang ada di dekat-dekat itu jangan rusak, -waktu itu ahli seni Wagner marah, sambil berkata:
Apakah artinya kesenian! Alangkah celakanya kesenian kalau tak ada kemerdekaan”.
Sekrang kalau kita belum sanggup mengeluarkan perkataan sekontan itu, dengan sedikit variant kita bisa berkata, umpamanya begini: “Alangkah bagusnya seni yang sebenarnya seni. Akan tetapi, alangkah celakanya kesenian itu, apabila ia membawa kepada kerusakan batin dan keimanan. Apalagi “kesenian” yang genap tidak, ganjil tak tentu”
Sdr-sdr! Sekianlah, sekali lagi harap maafkan lantaran saya tak sanggup memenuhi permintaan sdr-sdr itu, karena sebab-sebab yang telah saya katakan diatas.
Wassalam, M. Natsir
Dari Pedoman Masyarakat dan Panji Islam.




[1] Cyrano de Bergerac (1619-1655), adalah seorang tokoh yang sangat ahli dalam mebangunkan dan menghidupkan chayal manusia. Ia pandai sekali bermain pedang dan terkenal karena banyaknya pertandingan pedang yang dihadapinya. Tetapi disamping kegemarannya yang demikian, cyrano juga adalah seorang penyair, filosof dan seorang idealis yang sangat benci kepada kecurangan.
Cirano mempunyai sebuah cacat muka yang mesti dideritanya seumur hidupnya, yakni hidungnya yang terlampau panjang.
Edmond rostand (1868-1918), seorang pujangga Perancis, mendapat inspirasi dari hidung jelek Cyrano itu, yaitu menciptakan drama bersajak yang sangat masyhur: Gyrano de Bergerac. Diceritakannya, bahwa Cyrano insaf, kejelekannya itu adalah jadi pengalang besar bagi cinta mesranya terhadap gadis Roxane. Sebab itu diserahkannya dengan sukarela curahan cinta roxane yang tertarik karena ucapan-ucapan sastra yang indah-indah dan memikat hati itu, kepada sahabat karibnya Christian. Roxane tak pernah tahu bahwa segala ucapan-ucapan yang menawan hati dari Christian itu, sebenarnya adalah ciptaan jiwa dan senduan rindu dari Cyrano. Christian sendiri hanyalah pipa, dan sebenarnya seorang yang tidak punya keahlian dan fantasi sdikit juga.
Setelah Christian meninggal di medan perang dan Cyrano dekat pula akan mengembuskan nafat penghabisan, barulah Roxane tahu bagaimana duduk perkara sebenarnya. (Keterangan ini disarikan dari sebuah karangan dalam harian “Pedoman” Jakarta, Penghimpun).

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023