Saturday, March 10, 2012

Moh.Natsir : Capita Selecta

SEKOLAH TINGGI ISLAM
JUNI 1938
I
Tuan Dr. Satiman telah menulis artikel dalam “PM.” No 15 membentangkan cita-cita beliau yang mulia itu, akan mendirikan satu Sekolah Tinggi Islam. Saudara dari Redaksi telah menyambut artikel itu dalam editorial P.M. no 16 dan mengundang supaya Yain-yain teman beramai-ramai membicarakan soal ini dan mengemukakan fikiran masing-masing, agar cita-cita itu tercapai hendaknya.

Dalam A.I.D. 12 Mei, no 128 tersiar berita, bahwa sudah diadakan permusyawaratan antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi, yakni yang di Betawi, di Solo dan di Surabaya.

Di Jakarta akan diadakan Sekolah Tinggi sebagai bagian atas dari Sekolah Menengah Muhammadiyah (A.M.S.) yang bersifat westersch (kebaratan). Jadi bukan  satu Sekolah Tinggi yang memberi pelajaran tinggi tentang Agama Islam.

Di Solo akan diadakan satu Sekolah Tinggi untuk mendidik muballighin  yang cukup pengetahuan umum. Dan akan diambil bibitnya dari Mulo atau H>B.S. 3 tahun untuk bagian bawahnya dan dari H.B.S. 5 tahun untuk bagian atasnya.

Di Surabaya akan diadakan Sekolah Tinggi yang menurut kabar “akan menerima orang-orang dari pesantren”.

Begitulah “pembagian pekerjaan” yang kabarnya sudah diperbincangkan.

Dengan tidak hendak menjawab terlebih dulu pertanyaan yang mungkin terbit: Manakah yang lebih baik, mendirikan dengan tenaga bersama satu Universitet Islam yang lebih luas dan rapi pembagian fakultetnya, ataukah mendirikan dengan serentak tiga Sekolah tinggi Islam, oleh tiga panitia pula dalam tiga tempat yang berjauhan, maka marilah kita perhatikan lebih dahulu satu masalah yang sekarang sedang hangat, yakni masalah pengambilan bibit untuk studen-studen bagi berbagai Sekolah tinggi yang akan diciptakan itu.

Panitia Sekolah Tinggi yang di Jakarta telah menerangkan dengan jelas, bahwa Sekolah tinggi itu didirikan sebagai bagian atas Sekolah Menengah yang bersifat westersch, lantaran memang yang dimaksud rupanya, satu Sekolah tinggi untuk dagang, ekonomi dan perusahaan yang semacam itu.

Keterangan ini tentu akan disambut orang dengan segala persetujuan. Lantara beberapa waktu yang lalu pernah didengar anjuran, supaya yang akandiambil untuk Sekolah tinggi yang begitu sifatnya “terutama dari H.B.S. atau A.M.S., tapi, “boleh juga” dari sekolah-sekolah Menengah Islam seperti Normal Islam, Islamic college, Kweekschool Muhammadiyah dan lain-lain yang setingkat denganitu. Ini buat sementara waktu, dimulai dengan sebisa-bisanya, lambat laun dapat ditambah rapikan berangsur-angsur.”

Anjuran yang demikian itu boleh jadi terbit dari dua pertimbangan:
1)    Pertimbangan, bahwa sesuatu Sekolah Tinggi untuk ekonomi, dagang atau yang sebangsa dengan itu, perlu kepada bibit yang mempunyai ilmu dan bahasa Barat yang cukup sebagai dasar.
2)    Terasa pula ketimpangan terhadap kepada Sekolah Tsanawiyah Islam yang sudah ada, yang juga tak kurang diharapkan sambutan-sambutannya terhadap Sekolah tinggi Islam yang akan didirikan itu. Karena itu, dibukakan uga pintu walaupun sedikit, untuk pelajar-pelajar dari Sekolah Menengah Islam itu.
Sekedar niat hendak mencari jalan menengah ini, “supaya sama-sama adil”, patut dihargakan, akan tetapi dalam prakteknya cita-cita yang baik itu tidak akan menghasilkan natiah yang diingini.

Abiturient H.B.S. dengan abiturient Tsanawiyah Islam tidak dapat didudukkan dengan begitu saja dalam satu kelas untuk menerima pelajaran yang sama. Kalau dipaksa-paksakan tentu mungkin! Akan tetapi kalau-kalau Sekolah Tinggi kitaitu nanti, menjadi Sekolah Tinggi “karikatur”, kemari senteng, kesana senjang.

Disini perlu diambil keputusan yang tegas, berpahit-pahit. Buat satu Sekolah untuk ilmu keduniaan (kebaratan) dan memakai semangat Islam sebagai dasar, tak dapat tidak harus dicari bibitnya dari Sekolah Menengah Barat. Syarat ini bukan satu syarat yang boleh ditawar-tawar, kalau kita betul-betul hendak menjaga peil (derajat) Sekolah tinggi itu, yang mengajarkan ilmu yang bersifat akademis.

Adapun yang dimaksud oleh Dr. Satiman cs. Di solo itu, ialah satu Sekolah Tinggi yang berlainan sifatnya dari Sekolah Tinggi dengan Islam sebagai dasar, seperti yang di Jakarta itu. Sekolah Tinggi yang di Solo akan menghasilkan muballighin yang berpengetahuan luas.

Syukurlah! Memang amat banyak keperluan kita kepada mubalighin, baik yang berpengetahuan luas ataupun yang belum begitu luas. Hanya sekarang yang menjadi pertanyaan: “Apakah gerangan yang menjadi sebab, maka untuk Sekolah Tinggi ini, pun dibukakan hanya untuk abiturient dari Sekolah Menengah Barat dan ditutup pintu untuk lepasan Tsanawiyah Islam yang sudah ada sekarang ini?”

Maturiteit, Kematangan Otak
Apakah yang perlu untuk tiap-tiap Sekolah Tinggi? Jawabnya: Pengetahuan Umum!

Baik! Akan tetapi bukan semata-mata itu saja. Yang penting pula ialah kematangan-otak (naturiteit) atau persediaan-ruhani yang cukup untuk berfikir menurut garisan ilmu pengetahuan.

Apakah gerangan ada persangkaan bahwa Sekolah Tsanawiyah kita yang sedikit telah teratur dan sudah banyak juga tambah baiknya dizaman akhir-akhir ini, tidak sanggup menyediakan pelajar-pelajar yang cakap dan mencukupi syarat-syarat, untuk menerima pelajaran Sekolah tinggi?

Sebaliknyalah yang sudah terbukti! Sudah banyak studen-studen kita yang sedang dan yang sudah meningkat Sekolah tinggi di Luar Negeri yang tadinya dihasilkan “hanya” oleh Tsanawiyah dan Pesantren di negeri kita ini; itu membuktikan bahwa mereka cukup matang untuk menduduki bangku Sekolah tinggi.

Dan kalau kita sedikit rajin memasang telinga, mendengarkan suara dari pihak Sekolah Menengah Barat, kita tak urung pula mendengar suara-suara yang membuktikan, bahwa diploma H.B.S. itu saja, belum dapat dianggap sebagai satu jaminan untuk kecakapan menerima pelajaran Sekolah Tinggi.

Demikianlah, dalam salah satu rapatumnum dari Paedagogisch Studie Comite di Bandung, beberapa tahunyang lalu, Prof. van der Ley menyatakan kemasgulannya melihat berapa banyak studen-studen yang tadinya telah lulus ujian-penghabisan H.B.S. dengan angka 9 a 10, akantetapi pada tahun-tahun pertama di Sekolah Tinggi mereka “terluncur” saja. “De heeren weten niet wat studeeren is!”,-beliau-beliau itu tak tahu apa yang dinamakan menuntut ilmu!,” -,kata Prof. Ley.

Demikian bunyi keluh yang dapat didengar dari pihak ini.

Kembali kita kepada “Pengetahuan Umum”, atau yang pernah kita dengar dengan nama “Modern Science” itu. Memang perkataan ini menjadi buah bibir dizaman akhir-akhir ini “Modern Science” perlu untuk menyiarkan Agama! “Setuju!,” kata kita.

Kita sekali-kali tidak menyangkal, bahwa sesungguhnya banyaklah pengetahuan umum yang telah dikumpulkan oleh abiturient H.B.S. kita. Baik tentang bahasa-bahasa, ataupun dtentang tarich, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu hisab, dll. Dan kita tidak mengurangi penghargaan terhadap “pengetahuan umum” yang ada pada sisinya tersebut, sebagai penambah melengkapkan persediaannya untuk pekerjaan sebagai muballigh Islam kelak.

Hanya kita merasa tidak layak, apabila kita pukul rata saja, bahwa semua keluaran Tanawiyah Islam, hanya tahu mengaji rukun bersuci dan rukun tiga belas saja.

Kalau diperlukan memeriksa lebih jauh, akan ternyata bahwa penghargaan terhadap kecakapan murid-murid Tsanawiyah sekarang ini, perlu mendapat koreksi kembali. Diantara murid Sekolah Menengah Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, hampir semua kenal akan buku “Hadhirul’Alamil Islamy” dari emir Syakib Arslan. Manakah H.B.S.’ers yang sudah memerlukan membaca “The New World of Islam” dari Lothrop Stoddard yang tertulis dalam bahasa yang dia mengerti, yakni bahasa Inggeris itu?

Santri-santri kita rata-rata kenal akan “Muqaddamah Ibnu Chaldun”. Coba tunjukkan A.M.S.’ers manakah yang sudah menelaah buku-standard yang hampir sederajat dengan itu, seperti buckl’s, “History of Civilisation” , umpamanya?

Kalau A.M.S.’ers kita kenal kepada Ibnu Rusyd dengan nama Averrus, Ibnu Sina dengan Avicienna, Ibnu Bajah dengan nama Avenpace, maka murid Tsanawiyah juga cukup kenal kepada Socrates dengan nama “Suqrath”, Hippokrates dengan nama, Buqrath”, aristoteles dengan “Arsthutalis:, dan begitulah seterusnya.

Murid Tsanawiyah tak dapat membaca Golethe?! Baik ! Apa A.M.S.’er pandai membaca ‘Umar Chayam?

Dan jangan dikira bahwa murid Tsanawiyah mustahil akan dapat berkenalan dengan “Cyrano de Bergerac” atau dengan salah satu buah dengan Victor Hugo atau buah pena shakespeare dan teori-teori Sigmund Freud, Inggeris dan Jerman.

Beberapa contoh diatas ini masih dapat dipanjangkan satu atau dua kolom, akan tetapi cukuplah sekian sebagai penggambarkan perbandingan tingkatan “pengetahuan umum” antara abiturient Tsanawiyah dengan A.M.S.’er atau H.B.S.’er. Sebab ada pepatah berbunyi : tak rapat maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta”.

II
Dalam pada itu jangan kita lupakan, bahwa untuk Sekolah tinggi Agama Islam, semua ini bukan  harus dijadikan dasar, akan tetapi menjadi tambahan ragam.

Dasar pelajaran bagi Sekolah Tinggi Agama Islma, ialah ilmu pengetahuan yang sudah berurat-berakar  tentang ilmu-ilmu Islam  dengan memakai bahasa Arab  yang amat luas dan dalam itu sebagai kunci  perbendaharaannya.

Jadi kebalikannya dari yang perlu untuk sekolah tinggi yang pertama tadi. Sebab memang ada dua pembuluh tempat mengalirnya kebudayaan yang hidup  dalam masyarakat kita. Yang pertama memakai saluran bahasa Barat, yang kedua memakai saluran bahasa Arab.

Dengan bahasa Arab sudah dicapai lapisan yang ada dikampung-kampung dari segenap pojok dan pesolok dengan perantaraan pesantren, pondok-pondok, sekolah-sekolah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang tak terhitung banyaknya itu, bertebaran dalam dusun-dusun, sampai-sampai ketepi hutan yang penduduknya dianggap buta huruf (yakni buta huruf Latin).

Malah boleh dikatakan, bahwa kecerdasan yang dialirkan dengan pembuluh bahasa Arab ini, sudah lebih dulu dan sudah lebih mendalam masuk ketulang sumsum masyarakat hidup kita. Dan dengan bertambah rapinya organisasi pondok pesantren dan Ibtidaiyah serta Tsanawiyahnya, sebagaimana yang tampak di zaman sekarang, semua itu mempunyai pengaruh atas aliran kecerdasan bangsa kita, yang sekali-kali tak boleh kita abaikan.

Kalau kira-kira 20 tahun yang lalu, perpustakaan Arab yang masuk ke negeri kita terbatas dalam ilmu tafsir, hadits dan fiqh saja, maka pada saat yang akhir-akhir ini, Indonesia sudah dibanjiri oleh bermacam-macam kitab-kitab dari risalah yang tipis-tipis sampai kepada yang besar-besar, dalam bermacam ilmu pengetahuan Agama dan keduniaan: tarich, filosofi, kesusasteraan, psychologi, kesehatan, pendidikan, ilmu bangsa, dll. Semuanya dalam bahasa Arab, yang dapat dibaca dan dipahamkan oleh segolongan yang lebih besar dari golongan yang dapat mempergunakan bahasa Belanda untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Dua golongan Inteligensia

Biasanya orang kita suka memberi titel “intelektuil” itu khusus bagi mereka yang dapat berbahas Belanda, sedangkan yang berbahasa Arab itu adalah “kiai kampung” atau “urangsiak”.

Sebenarnya duduk perkara bukan begitu. Disamping inteligensia kita yang ber “mazhab” ke Leiden, Paris, London dan Berlin, ada satu golongan inteligensia yang berpedoman ke Kairo, Mekah, aligarh dan Delhi. Kedua golongan ini berhak mendapat penghargaan yang sama.

Adapun selama ini golongan intelektuil yang kedua ini, berdiri agak terbelakang dalam masyarakat hidup. Sebabnya bermacam-macam. Salah satunya, lantaran perebutan mencari kehidupan dalam masyarakat kita sekarang, memberi kesempatan lebih banyak kepada golongan intelektuil yang berbahasa rasmi, yakni bahasa Belanda. Mau tak mau timbullah dalam kalangan intelek yang bersifat ketimuran itu perasaan kecilantaran susah sehilir semudik seperti orang. Bukan lantaran “bodoh”, tetapi kalah, “stem”, lantaran tak pandai memakai suatu bahasa yang sekarang orang pandang tinggi derajatnya dari bahasa lain. Mereka susah memasuki alam pikiran dan sanubari dari golongan yang tidur, bangun, makan, minum, ya boleh dikatakan bermimpipun dalam bahasa Barat itu, yakni golongan yang sebenarnya tidak selamat pula dari perasaan tinggi tidak keruan.

Akan tetapi ini tidak berarti bahwa mereka didikan ketimuran itu tidak layak menerima pelajaran Sekolah Tinggi. Malah sebaliknya: buat mereka inilah, sepantasnya terlebih dahulu kita usahakan Sekolah tinggi yang akan memperkokoh dasar yang sudah ada, yang akan memperlengkapi dengan rempah-ragam bahasa-bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar Agama yang ada pada mereka, yang perlu untuk berhadapan dengan segala macam lapisan masyarakat, sebagai propagandis Islam. Supaya hilang perasaan asing dari pergaulan hidup (Weltfremdkeit), supaya kembali kepercayaan akan harga diri, bila berhadapan dengan golongan yang bergelar “modern”.

III
Tenaga Terpendam

Untuk menyiarkan Agama kita kedaerah yang belum dimasuki Islam,untuk memperlindunginya dari serangan-serangan materialisme, syirk, tachyul, churafat dan lain-lain, kita pe kepada kekuatan a yang bukan sedikit.

Maka dalam golongan inteligensia kita yang bersifat ke Timuran ini sudah teredia satu gudang tenaga yang belum bergerak, tenaga terpendam yang amat besar. Dan adalah sekolah Tinggi, yang garis besarnya kita sebutkan sebentar ini, dapat memancing dan menghidupkan energi yang tersimpan ini jadi mengalir dan bergerak (dinamis). Tarichlah yang akan membuktikan, manakah kelak dari dua golongan inteligensia ini, yang akan lebih berjasa bagi kecerdasan Bangsa dan Tanah Air kita, lahir dan batin. Apalagi sebagai muballigh Islam.

Muballighin
Kenalkah tuan, wahai pembaca yang budiman, siapakah mereka Muballighin Islam itu?
Muballighin, ialah segolongan orang-orang yang biasanya disorong supaya bekerja, dengan perkataan “fi sabilillah”. Diberi gaji dengan perkataan: “lillahi Ta’ala”.Disokong dengan: “aulun-ma’rufun…” Diobati dengan: “Innallaha ma’assabirin”,  dll..!

Begitu sifanya pekerjaan Muballighin itu sampai sekarang. Dan kira-kira akan begitu seterusnya lebih kurang selama belum ada peti besi dibelakang si muballigh, seperti peti besi yang ada dibelakang tiap-tiap zendeling dan missionaris.

Hendaklah kita perbedakan dengan nyata satu “Theologische Faculteit” dengan satu “Sekolah Tinggi untuk Muballighin”, yang bersifat kira-kira seperti Seminarium dalam kalangan Katolik, tapi lemah dalam keadaan keuangan. Yang pertama untuk menghasilkan orang pintar, yang satu lagi untuk mengadakan si tukang kurban.

Bila untuk Theologische Faculteit cukup mengambil ilmu pengetahuan sebagai ukuran untuk masuk, maka untuk yang belakangan, ada lagi beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat-syarat yang bersangkut dengan tabiat, sifat, akhlak dan tujuan hidup dari bibit-bibit yang akan diterima. Sifat-sifat dan tujuan hidup yang sepadan dengan pekerjaan mereka kelak sebagai muballighin seperti ketabahan hati, keimanan dan kesediaan berkurban yang bukan sedikit. Jauh lebih banyak syaratnya dari pada yang perlu untuk seorang alim-tiang-rumah, yang duduk dikelilingi lemari kitab, dihadapi oleh murid-murid yang menunggu fatwa.

Persilakan melihat dikeliling saudara! Dari golongan manakah timbulnya golongan muballighin yang bertebaran, kerap kali atas risiko sendiri yang berkeliaran diseluruh Kepulauan kita, sebagai pedagang dan guru-guru Agama biasa, menyampaikan firman Allah dan sabda Nabi ini? Dari lapisan manakah datang “Barisan Kehormataní”,  yang pernah mendapat gelar “kiai-kiai kampung”, dengan sedikit ejekan-ejekan itu? Bukan dari lapisan rakyat yang hidup kerap kali dibawah dari yang dinamakan sederhana, yang hanya sanggup menyerahkan anak-anak mereka…, kepondok atau kepesantren, dengan pembayaran murah ataupun gratis sama sekali, yang keadaan hidupnya sehari-hari sudah menjadi sekolah tinggi bagi mereka, yang mendidik mereka dari kecil sampai besar dan sampai tua, agar tidak  terlampau bergantung kepada kemewahan hidup dan yang sedari umur 6 / 7 tahun sudah berkenalan dengan kalimah: “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati li Ilahi Rabbil-alamin”.

Apakah lagi yang lebih logis dari pada mencari bibit dari kalangan demikian, untuk satupekerjaan sebagai muballighin itu?

IV
Sekali-kali tidak kita hendak mengurangkan penghargaan terhadap pada kecakapan ahli-ahli pendidik muballighin kita nanti di Sekolah Tinggi tersebut, yang akan membentuk pemuda-pemuda yang berdiploma H.B.S. itu menjadi muballighin Islam dalam masa 4 / 5 tahun. Tidak kita akan menyatakan, bahwa pekerjaan itu takkan mungkin.

Dalam pada itu kita percaya, bahwa ahli pendidik kita itu akan lebih maklum, bahwa hasil tiap-tiap pendidikan, selainnya bergantung kepada kecakapan yang mendidik, terutama juga pulang kepada watak atau tabiat bibit yang sedang dididik.

Dari H.B.S.’er kepada Muballighin Islam, adalah panjang jalan, jauh rantau yang harus ditempuh!

Dan apabila kita telah berpendapat, bahwa jalan yang akan ditempuh itu, lebih banyak mendaki dari pada mendatar, lebih banyak yang berbatu dan berduri dari pada yang beraspal, bahwa musafirnya lebih banyak yang tergelincir kebawah, dari pada yang sampai keatas, maka adalah pendapat itu banyak sedikitnya berdasar kepada pengalaman dalam beberapa tahun turut menyelenggarakan pelajaran dan pendidikan untuk pemuda-pemuda kita Muslimin umumnya dan turut memasukkan pelajaran serta perasaan Islam ke sekolah-sekolah Mulo dan Menengah, baik kepunyaan Pemerintah atau partikelir yang bersifat ke Baratan.

Dan kita yakin, bahwa pendapat yang demikian akan dikuatkan oleh semua teman sejawat kita, yang juga duduk sehari-hari dalam lapangan pekerjaan yang begitu sifatnya, yang merasai betapa pahit dan getirnya pekerjaan itu, berhadapan dengan “rebung” yang sudah menjadi “betung” itu.

Masih berdengung kiranya perkataan sdr kita Mohd. Zain Djambek  dalam salah satu artikelnya tentang missi dan zending dalam Nomor ‘Idilfitri “Pedoman Masyarakat” yang lalu, dimana sdr. kita itu membentangkan dengan jelas dan tegas bagaimana akibatnya pengaruh kemewahan dunia terhadap pekerjaan penyiaran agama, yang berkehendak kepada pengurbanan tenaga, uang, keinginan dan umur yang bukan sedikit.
Beratus-ratus tiap-tiap tahun Sekolah Menengah dengan nama “tsanawiyah”, “pesantren” atau “pondok” di tanah Jawa ataupun di tanah seberang menghasilkan pelajar-pelajar yang boleh dikatakan telah dibesarkan dengan garam Islam, sepadan untuk pekerjaan tabligh Islam, yang akan dipikul oleh mereka. Akan tetapi pelajar-pelajar ini tidak dapat melanjutkan ilmunya, lantaran kesempatan di negeri ini tidak ada dan untuk pergi ke luar negeri tidak ada kekuatan uang.

Alangkah besar hati mereka ini. Bila mereka mendengar bahwa sekolah tinggi yang akan didirikan itu, sedia menyambut mereka!

Dan akan herankah kita, bila mereka yang beratus itu akan merasa terkecewa, apabila sesampainya di Jakarta, ditanya kepadanya diploma A.M.S. atau H.B.S., datang ke solo, diminta diploma H.B.S. atau Mulo?

V
Koordinasi
Boleh jadi orang akan berkata: Ya, tapi Sekolah-sekolah Tsanawiyah itu semua kurang teratur, tidak sama rencana pelajarannya, sedangkan sekolah Mulo atau H.B.S. sudah teratur baik, dapat ditentukan mana yang harus ditambah atau dilengkapkan.

Ini tidak kita sangkal. Memang betul! Akan tetapi menurut hemat kita, inilah dia salah satu dari alasan-alasan yang terkuat untuk membukakan pintu Sekolah tinggi dalam ilmu-ilmu Islam itu dengan lebih luas bagi lepasan Tsanawiyah dan yang sebangsanya itu.

Sebab dengan membukakan pintu ini hiduplah harapan murid-murid Sekolah Tsnawiyah yang bertebaran diseluruh Indonesia itu untuk meneruskan pelajaran mereka. Dimana harapan sudah hidup, disitulah Sekolah Tinggi dapat menawarkan bermacam syarat yang harus dipenuhi oleh Tsanawiyah itu baik berhubung dengan rencana pelajaran atau lainnya, supaya dapat diadakan perhubungan yang langsung antara Sekolah Menengah Islam dengan Sekolah tinggi Islam dinegeri kita ini.

Dengan begitu ada harapan, bahwa dibelakang pendiri Sekolah-sekolah Tinggi Islam akan beraris, kalau tidak akan beratus, tentu berpuluh pemimpin-pemimpin dari sekolah Tsanawiyah, yang akan turut memikirkan rencana pelajaran dan menciptakan bibit untuk Sekolah tinggi itu, suatu usaha yang merapikan pekerjaan dengan usaha bersama, untuk cita-cita yang suci itu.

Cara menjatukan usaha bersama itu banyak macamnya. Umpamanya dengan mendirikan satu dederasi dari pemimpin-pemimpin sekolah Tsanawiyah, atau dengan membentuk bersama-sama suatu komisi rencana pelajaran dalam satu permusyawaratan atau kongres, sebagaimana yang ada dalam kalangan Kristen atau lainnya, atau dengan mengadakan permusyawaratan dengan perantaraan M.I.A.I. di Surabaya. Walhasil banyaklah cara yang dapat diciptakan dan dirancangkan untuk persatuan (koordinasi) sekolah-sekolah Menengah Islam itu. Hal itu dapat pula terlebih dulu diperbincangkan dengan pers umumnya, atau Warmusi  khususnya sebagai preadpis atau persediaan.
Walaupun bagaimana, semua ini baru dapat berlangsung manakala harapan sebagaimana yang kita sebut diatas itu, telah diberi dan dihidupkan lebih dulu dari pihak pendiri Sekolah-sekolah Tinggi Islam itu.

Tsanawiyah, Sekolah Menengah Islam kurang teratur sebagai Mulo atau H.B.S.? Baik!

Akan tetapi dengan segala “kekurangan”-nya itu, dapat juga ia menghasilkan pemuda-pemuda dan pemimpin-pemimpin yang tak kurang memberi jasa lahir dan batin kepada Bangsa dan Tanah Air kita dan kalau tidak akan berlebih, tidak akan banyak kurangnya dari pada pujangga dan pemimpin-pemimpin kita yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah Menengah ataupun Sekolah Tinggi Barat. Menolehlah kekanan dan kekiri, buktinya akan saudara lihat sendiri!

Tsanawiyah, Sekolah Menengah Islam kurang teratur!
Memang, lebih enteng menyusun dan menjalankan salah satu peraturan atau sistem, bilamana selalu tersedia alat-alat yang perlu berupa alat-alat pelajaran, yang dapat dengan tak usah dibayar, dari Depot Leermiddelen dan bilamana dapat tersedia guru-guru yang cukup mendapat hasil yang lumayan dan tetap dari ‘s Landskas serta bilamana selalu tersedia pedoman, penuntun dan pemeriksa dari Departemen Pengajaran.

Cobalah fikirkan dan kenangkan, wahai pembaca yang budiman, bagaimana susahnya, mencukupkan “peraturan” dalam semua kekurangan, kekurangan alat-alat pelajaran, kekurangan uang dan segala-galanya, yang penuh hanyalah kemauan  hendak mendidik dan menuntun umat!

Dalam pada itu ada beberapa “peraturan” dari Departemen-departemen yang tak dapat tidak harus berlaku: aturan guru-ordonansi untuk guru-guru yang akan mengajar, aturan sekolah-liar untuk pengurus dan guru-guru yang mengusahakan sekolah. Selain dari itu, tempoh-tempoh ada lagi “aturan dari Landraad’  bilamana ada pajak yang tak kunjung lunas, Tumbuh utang uang, lantaran hendak membayar utang kepada allah dan Tanah Air!

Dan apabila sudah nyata, bahwa oleh kesulitan yang begini cita-citanya tidak menjadi hilang lenyap, akan tetapi sebaliknya, setiap hari bertambah pesat dan teratur, mereka bertebaran kemana-mana, lantaran sedia menyambut semua kesusahan dan halangan dengan  senyum simpul dan terus membanting tulang, patah tumbuh hilang berganti, yang demikian adalah suatu bukti, bahwa disini kita berhadapan dengan satu usaha dan jihad yang didorong oleh satu kekuatan umat yang tak boleh diabaikan. Satu tenaga-rakyat yang akan lebih banyak hasil dan manfaatnya bila dapat pedoman dan pimpinan.

Pedoman dan pimpinan ini dapat diberi oleh satu Sekolah Tinggi Islam yang suka memperhubungkan diri kepada usaha rakyat tersebut!

Timbulnya pula, satu Sekolah Tinggi Islam yang suka berhubungan langsung kepada usaha rakyat tersebut, akan berdiri dengan kokoh lantaran berurat dan  berakar dalam satu pundamen kekuatan dan kemauan umat yang telah terbukti kekerasan dan keteguhannya.

Dengan begitu akan lebih ternyatalah kepada kaum kita Muslimin umumnya, bahwa niat mendirikan Sekolah Tinggi itu bukan sekedar hendak pelepaskan tanya orang saja: apakah orang Islam di Indonesia telah mempunyai sekolah tinggi apa belum, akan tetapi selainnya dari pada hendak memberi pengajaran tinggi, juga terutama hendak memberi aliran kepada kekuatan dan usaha rakyat dalam kalangan pelajaran dan pendidikan, seraya menjadi pusat pimpinan bagi pendidikan dan tuntunan umat, yang diselenggarakan dengan inisiatif rakyat sendiri.

Kaum Muslimin Indonesia haus akan pelajaran tinggi. Entah manakah yang akan berdiri lebih dahulu dari yang tiga Sekolah Tinggi yang dirancang itu. Hanya tampaknya ada dua dari yang tiga itu akan menutup pintu buat pelajar-pelajar keluaran Tsanawiyah, kalau sekiranya betul kabar dari A.I.D. itu dan sekiranya pendiri-pendiri dari sekolah tinggi itu, tidak hendak memeriksa kembali, rancangan pekerjaan yang sudah ada.

Tiap-tiap usaha untuk menciptakan Sekolah tinggi dinegeri kita ini sudah tentu akan disambut oleh seluruhumat Islam dengan gembira dan sukacita. Dan tiap-tiap pendiri Sekolah Tinggi, berhak mendapat sokongan harta dan semangat dari tiap-tiap orang Islam dan perkumpulan-perkumpulan Islam.

Sebaliknya, kaum Muslimin berhak pula banyak sedikitnya mengetahui dengan jelas arah mana yang hendak dituju, dan bagaimana rancangan pekerjaan yang hendak dilakukan. Supaya jelas kemanakah sokongan, banyak sedikitnya hendak diserahkan pula.

Penutup
Kita tutup sedikit pemandangan ini dengan saringan dari apa yang kita kemukakan diatas:
(1)    Seorang tamatan Tsanawiyah (Sekolah Menengah Islam) tidak dapat didudukkan bersama-sama dengan seorang tamatan H.B.S. untuk pelajaran tinggi yang satu macam dengan begitu saja, jikalau hendak menjaga dengan saksama, supaya tingkat atau peil dari pelajaran itu betul-betul bersifat akademis.
(2)    Pendidikan untuk ulama-ulama Islam yang berpengetahuan umum (“modern science”) berbeda sifatnya dengan pendidikan untuk muballigh Islam. Kalau yang pertama boleh diibaratkan sebagai Hoogere Krijgschool untuk opsir Staf Umum angkatan Perang, maka yang kedua ibarat pendidikan untuk opsir Korps Perintis.
(3)    Pesamaian tempat mengambil bibit untuk sekolah Muballighin tinggi, terutama letaknya bukan dalam Sekolah Menengah berdasar Barat, akan tetapi dalam kalangan Sekolah Menengah Islam yang bertebaran diseluruh Indonesia.
(4)    Bilamana dalam merancangkan pekerjaan untuk Sekolah Tinggi Islam hanya, atau terutama didahulukan dan mementingkan inteligensia yang berbahasa Barat, berarti menutup mata kepada satu pembuluh kecerdasan yang sudah berpengaruh dan sudah masuk ketulang sumsum masyarakat kita serta membiarkan satu kekuatan rakyat yang sudah terkumpul, tapi belum tersusun, hingga tinggal tidak terpakai dengan cara yang lebih manfaat.
(5)    Bilamana dapat Sekolah Tinggi Islam membuka pintu bagi tamatan Tsanawiyah yang beratus-beratus itu, berarti:
a.    menghargai satu golongan inteligensia kita yang besar artinya dalam masyarakat hidup, yang sampai sekarang belum mendapat penghargaan yang sepantasnya, lantaran terutama “tak-pacak” berbahasa Barat.
b.    Menghargai tenaga dan pengurbanan rakyat yang telah dilimpahkannya beberapa belas atau puluh tahun lamanya, untuk pelajaran Menengah Islam dengan bersusah payah.
c.    Menambah semangat mereka ini untuk bekerja lebih giat dan lebih rapi dimasa yang akan datang.
(6)    Dengan mengadakan perhubungan yang rapat antara pemimpin-pemimpin Perguruan-perguruan tinggi Islam yang akan diadakan itu dengan pemimpin-pemimpin Sekolah Menengah Islam yang sudah ada, akan terbitlah satu persatuan-usaha dimana Perguruan Tinggi Islam dapatlah memancarkan pengaruhnya keseluruh daerah negeri kita ini, sebagai penuntun dan pengerahkan usaha pendidikan rakyat, hal mana akan tak ternilai harganya untuk kemajuan kecerdasan kaum Muslimin umumnya.

Kita hadapkan sedikit seruan ini kepada pendiri dari Sekolah-sekolah tinggi yang kita harap-harapkan itu, terutama, kepada teman sejawat kita dari Sekolah Menengah Islam dinegeri kita ini, khususnya, dan kepada semua yang merasa berkepentingan dengan adanya Universitet Islam di Indonesia umumnya.
Kita habisi, dengan mengulangi ajakan dari saudara-saudara Redaksi: “supaya lain-lain kolega beramai-ramai membicarakan soal ini…, agar cita-cita kita tercapai hendaknya”.

                                                                                           Dari Panji Islam dan Pedoman Masyarakat.

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023