Sumber Foto ; TNI AL |
Sumber Foto : TNI AL |
MENGENANG USMAN DAN HARUN
Wed Nov 16 19:29:15 CET 2005
Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Usman, Masa Kecil
Pada masa penjajahan Jepang, di desa Tawangsari Kelurahan
Jatisaba Kabupaten Purbalingga, lahirlah seorang bayi bernama Janatin, tepatnya
pada hari Minggu Kliwon tanggal 18 Maret 1943 pukul 10.00 pagi. Janatin lahir
dari keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah yang kemudian dikenal dengan nama Usman, salah seorang Pahlawan Nasional. Hari, bulan dan tahun berjalan terus, Janatin
terus tumbuh menjadi besar dan kemudian memasuki lingkungan yang lebih luas
sesuai dengan pertumbuhannya dan ia
mulai menunjukkan identitas dirinya sebagai Janatin. Orangnya pendiam lagi
tidak sombong, memang demikian pembawaannya. Pergaulannya luas, bisa bergaul
dengan teman semua lapisan yang sebaya dengannya. Tidak merasa rendah diri
walaupun anak desa, dan tidak sombong dengan orang yang lebih lemah dari dia,
sehingga ia mempunyai teman banyak.Sebagai kepala keluarga Haji Muhammad Ali selalu menerangkan agama sebagai landasan hidup. Demikian pula dalam bidang pendidikan sebagai dasarnya beliau menekankan pada pendidikan agama. Tujuannya tidak lain agar kelak putra-putrinya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa serta tahu membalas jasa orang tua. Karena itu tidaklah mengherankan bila putra-putri Haji Muhammad Ali sedikit banyak mengetahui soal keagamaan dan semua dapat membaca Al Qur'an dengan baik.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Janatin meneruskan ke SMP
kota Purbalingga, yang jaraknya kurang lebih sekitar tiga kilometer dari tempat
tinggalnya. Ia masuk di sekolah swasta SMP Budi Bhakti. Sekolah ini merupakan
salah satu sekolah yang mendapatkan simpati di kalangan masyarakat Purbalingga,
karena prestasinya sejajar dengan sekolah negeri.
Walaupun Janatin dari kalangan Islam, namun tidak ada
halangan dari orang tuanya untuk memasuki sekolah tersebut. Karena tujuan masuk
sekolah bukan untuk belajar agama tetapi untuk menuntut ilmu pengetahuan yang
akan dipergunakan sebagai bekal hidup. Sedangkan masalah ilmu agama sudah diperoleh di rumah yang diajarkan oleh orang tuanya sendiri.
Sebagai anak desa Janatin tidak lupa akan tugas yang diberikan oleh orang
tuanya, yaitu membantu orang tuanya. Ia turut bekerja untuk meringankan beban
orang tua, seperti membersihkan kebun, membantu bekerja di sawah dalam mengolah
sawahnya, kemudian turut membantu memetik hasil kebun serta memikulnya ke
rumah. Setiap hari ia membawa sabit dan menjunjung keranjang untuk mencari
makanan binatang piaraan. Pekerjaan demikian sudah menjadi kewajiban yang
dijalankan setiap hari, sehingga menjadikan dirinya seorang yang tabah dan
ulet.
Di samping itu Janatin ikut juga memperkuat olah raga bulu
tangkis di desanya. Permainan bulu tangkis ini diperoleh dari perkenalan dengan
anak-anak kota. Untuk arena permainan telah dikorbankan sepetak tanah miliknya
yang terletak di dekat rumahnya. Dengan dibukanya lapangan ini banyak
mengundang pemuda-pemuda di desanya, bahkan lebih luas lagi sampai ke kota.
Memasuki Kehidupan Militer
Dengan dikomandokannya Trikora pada tanggal 19 Desember 1961
di Yogyakarta oleh Presiden Sukarno, mulailah konfrontasi total terhadap
Belanda. Guna menyelenggarakan operasi-operasi militer untuk merebut Irian
Barat, maka pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar
Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan No. 1 tahun
1962 membentuk Komando Mandala yang bertanggung jawab atas segala kegiatan
Operasi ABRI serta Sukarelawan.
Masalah Trikora berkumandang di seluruh pelosok tanah air,
telah memanggil segenap lapisan
asyarakat dan membangkitkan hati semua pemuda untuk menyumbangkan tenaga
dalam pembebasan wilayah yang masih dikuasi Belanda.
Kesempatan inilah membuka pintu bagi Janatin untuk memasuki
dinas militer, seperti pemuda lainnya dari pelosok tanah air. Sehingga dalam
waktu yang singkat berbondong-bondong pemuda Indonesia mendaftarkan diri untuk
menjadi Sukarelawan, dan salah seorang yang terpanggil adalah Janatin.
Pada saat itu Janatin sudah menduduki SMP kelas tiga ialam
kwartal terakhir.Karena panggilan hatinya yang bergelora ingin menjadi ABRI,
maka setelah menyelesaikan pendidikan, Janatin mendaftarkan menjadi ABRI.
Sebelumnya ia memang nengagumi angkatan Bersenjata. Hal ini terlihat dari
perhatian fanatin kepada kakaknya yang berdinas di Militer. Bila
kakaknya pulang, selalu mendapat perhatian dari Janatin, baik dari pakaian
seragam, sikap, dan geraknya. Begitu pula setiap melihat anggota ABRI baik
tetangga se desa ataupun kenalan selalu menjadi perhatian baginya. pengaruh
inilah yang mengilhami dirinya sehingga ingin menjadi seorang militer.
Semula maksud Janatin tidak mendapat restu dari bapaknya,
orangtuanya mempunyai pandangan lain, menghendaki agar anaknya melanjutkan
sekolah yang lebih tinggi. Haji Muhammad Ali mengharapkan anaknya tidak
memasuki dinas militer, beliau sudah merasa cukup karena ketiga kakaknya sudah
menjadi ABRI, sedangkan Janatin biarlah mencari pekerjaan yang lain.
Namun karena kemauan keras yang tidak dapat dibendung, ia berusaha mendapatkan
restu dari ibunya. Akhirnya Janatin mendapat restu dari orangtuanya untuk
memasuki dinas militer.
Janatin pada tahun 1962 mulai mengikuti pendidikan militer
di Malang yang dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini
dilaksanakan guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora.
Karena itulah Korps Komando Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama
(Secatamko), lamanya pendidikan enam bulan dan Janatin termasuk siswa angkatan
ke - X . Setiap siswa selesai melakukan pendidikan dan latihan pendidikan
amphibi dan perang hutan. Pendidikan ini
merupakan kekhususan bagi setiap anggota Korps Komando Angkatan Laut.
Pendidikan Calon Tamtama dilaksanakan bertingkat. Pendidikan dasar militer
dilakasanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat
latihan Pasukan Pendarat di Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan
latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo. Di
sinilah letaknya pembentukan disiplin yang kuat, ketangguhan yang luar biasa,
keberanian yang pantang menyerah serta membentuk kemampuan fisik di segala
medan dan cuaca, merupakan Pembentukan Pendidikan Korps Komando Angkatan Laut.
Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia
berhak memakai baret ungu.
Berkat pendidikan dan latihan yang diperoleh selama memasuki
militer, Janatin tubuhnya menjadi tegap, kekar, pikirannya tambah jernih,
korek, yang lebih penting lagi ia terbina dalam disiplin yang tinggi, patuh,
taat dan tunduk kepada perintah atasannya.
Janatin pada bulan April 1964 dengan teman-temannya
mengikuti latihan tambahan khusus di Cisarua Bogor selama satu bulan. Mayor KKO
Boedi Prayitno dan Letnan KKO Harahap masing-masing sebagai Komandan latihan
dan wakilnya. Dalam pendidikan khusus ini dibagi dalam 13 Tim, sedangkan materi
yang diberikan antara lain: Inteljen, kontra inteljen, sabotase,Demolisi,
gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini,
diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nanti.
Tohir alias Harun, Masa Kecil
Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya,
tampaklah dari kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer
persegi. Di pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau
inilah pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa
itu, yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama
Keramat Bawean.Pada saat tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Bawean tanggal 4 April 1943, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Tohir bin Said.
Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu
Aswiyani, yang kemudian terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.
Sejak dibangku Sekolah Dasar ia tertarik dengan kulit-kulit
kerang yang terdampar di pasir-pasir tepian pantai daripada memperhatikan
pelajaran di sekolah, hal ini akibat seringnya Tohir pergi ke pantai laut.
Perahu-perahu yang setiap hari mencari nafkah di tengah-tengah lautan,
merupakan daya tarik tersendiri bagi Tohir. Dengan jalan mencuri-curi ia sering
menyelinap ikut berlayar bersama perahu-perahu nelayan ke tengah lautan. Bahkan
ia sering tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumah, karena mengikuti
perahu-perahu layar mencari ikan di tengah laut beberapa hari lamanya.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuan
keluarganya, ia berhasil melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas di Jakarta sampai mendapatkan ijazah. Sejak ia menginjak bangku
Sekolah Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal dagang, di samping itu tetap rajin belajar mengikuti
pelajaran-pelajaran di sekolahnya dengan jalan mengutip kawan-kawannya.
Ia telah menjelajahi beberapa Negara, tetapi yang paling
dikenal dan hafal daerahnya adalah daratan Singapura. Kadang kadang ia
berhari-hari lamanya tinggal di Pelabuhan Singapura. Dan sering pula ia ikut
kapal mondar-mandir antara Singapura - Tanjung Pinang.Seorang pemuda Tohir tidak terlepas dari persoalan dunia percintaan. Pada masa remaja kira-kira umur 21 tahun ia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis idaman hatinya yang bernama Nurlaila.
Tanpa diketahui oleh Samsuri kakak sulungnya sebagai pengganti ayahnya yang sudah meninggal, Tohir dan gadis tersebut telah sepakat untuk kemudian hari membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sebagai tanda janjinya gadis tersebut dilingkarkan cicin emas di jari manisnya.
Setelah mendengar kabar, bahwa gadis idaman yang pernah
ditandai cincin akan melangsungkan perkawinan dengan seorang pemuda pilihan
orang tua sang gadis, Tohir merasa tersinggung. Pada saat di rumah sang gadis
sedang ramai-ramainya tamu dan kedua mempelai sudah hampir dihadapkan penghulu,
tiba-tiba Tohir dan kawan-kawannya datang menghentikan Upacara perkawinan.
Dengan nada marah-marah, ia bersikeras menghendaki agar Upacara perkawinan itu
dibatalkan.
Karma penghulu mendapat ancaman dari Tohir, akhirnya lari ke
rumah kakaknya yang dekat tempat Upacara perkawinan bekas pacar Tohir di Jalan
Jember Lorong 61 Tanjung Priok, minta tolong untuk mencegah tindakan Tohir.
Akhirnya Samsuri terpaksa ikut campur dalam masalah perkawinan ini. Ternyata
setelah diusut, barulah diketahui bahwa gadis tersebut secara diam-diam dengan
Tohir melakukan tunangan.
Sebagai seorang anak yang menghormati orang tua maupun
saudaranya yang lebih tua, akhirnya ia menuruti apa yang dikatakan kakaknya
untuk mengurungkan niatnya, tapi dengan syarat barang-barang perhiasan dan uang
yang sudah diberikan kepada gadis tersebut dikembalikan. Sampai saat ini gadis
tersebut masih hidup rukun dengan suami dan anaknya, di bilangan Tanjung Priok.
Memasuki Dunia Militer
Dalam Tim Brahma I dibawah Letnan KKO Paulus Subekti Tohir
memulai kariernya sebagai anggota KKO AL. Ia mulai masuk Angkatan Laut bulan
Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia
bertemu dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep.
Ketiga pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering
ditugaskan bersama sama.
Setelah Tohir memasuki Sukarelawan ALRI, yang tergabung
dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II) dan mendapat gemblengan
selama lima bulan, di daerah Riau daratan, pada tanggal 1 Nopember 1964.
Kemudian pada tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I
(Kopko I).
Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai
Sukarelawan Tempur bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu.
Hingga beberapa lamanya rombongan Tohir dan kawan-kawannya yang tergabung dalam
kesatuan AKOTI Basis X melaksanakan tugas di Pulau Sambu. Tohir sendiri telah
ke Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura
menyamar sebagai pelayan dapur, ia ke sana menggunakan kapal dagang yang sering
mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.
Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat
menguntungkan dalam penyamarannya. Bahasa Inggeris, Cina dan Belanda yang
dikuasai dengan lancer telah membantu pula dalam kebebasannya untuk bergerak
dan bergaul di tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.
Pertemuan Usman Harun dalam Operasi Dwikora
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi
dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah
baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya
Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando
tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini
terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.
Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar.
Dilihat dari segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang
akan dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi
negatif kurang menguntungkan, karena apabila
sukarelawan
itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa,
jadi bukan sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan
itu tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.
Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian
memutuskan untuk mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna
mendampingi sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan
Indonesia di daerah musuh. Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300
orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan
Operasi A. mereka diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor.
Selesai latihan mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan
di daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).
Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim
Brahma I beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45
orang dan tim Brahma V 22 orang.
Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
1. Sub. Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat
dengan sasaran Singapura. 2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.
Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah
Basis II. A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan
menggunakan kapal jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di
bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan
pangkat Letkol KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang
berpangkalan di Pulau Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan
kawan-kawannya,, ia berkenalan dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini
merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat
tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.
Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya
sedikit lebih tua dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam
bidang militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah
Singapura. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih
banyak memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang
keadaan dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana.
Tetapi sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa
tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.
Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus
maka satu-satunya jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan
memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut
kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian
dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Dari penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang
penting bagi para Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian
para Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah
musuh.
Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan
kecurigaan lawan, para sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini
disesuaikan dengan nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian
Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang
tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji
Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya
Harun bin Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan
penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian
tempat-tempat yang dianggap penting.Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di daerah perbatasan.
Memasuki wilayah Singapura
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan iini mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka. Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka meng adakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapa berhasil kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II dimana Usman dan Harus bertugas.
Korban bom di pintu samping MacDonald House. (http://www.singapolitics.sg) |
Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald, Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.
Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali
menyusuri Orchad Road. Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura
ketiga putra Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi
karena pada saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu
yang paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi,
mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk memasang
bahan peledak seberat 12,5 kg.
Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam
tersentaklah penduduk kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung
meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald
yang terbuat dari beton cor tulang hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke
penjuru sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling
berdesakan ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula
penghuni toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan
sehingga mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di
sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30
orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara orangorang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar
dari hotel tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
Foto3 : Bom ditempatkan di tangga di lantai MacDonald House.
Merobek dinding beton Hongkong Shanghai Bank Dan, menewaskan dua perempuan bekerja
di sana. (http://www.singapolitics.sg)
Bom ditempatkan di tangga di lantai MacDonald House.
Merobek dinding beton Hongkong Shanghai Bank Dan, menewaskan dua perempuan bekerja
di sana. (http://www.singapolitics.sg)
|
Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul
kembali. Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi
menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari
pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya,
lagi pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa
ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.
Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat
untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama
Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri.
Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret
1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan,
karena apa yang mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui
secara bulat untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang
telah dicapai kepada atasannya. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan
kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan,
supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah
Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya. (lanjut...)
Gagal Kembali ke Pangkalan
Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan
masing-masing. Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas
Harun berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan
daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman
meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke
pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka berjalan
saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada
hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas dari pengawasan
masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat tertentu. Semua jalan
telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.
Koran The Straits Times (http://www.singapolitics.sg)
|
Tetapi pada malam itu, waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal.
Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada
Polisi. Alasan mengusir kedua pemuda itu karena takut diketahui oleh Pemerintah
Singapura, kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua
Sukarelawan Indonesia keluar dari persembunyiannya.
Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat
bersembunyi supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang
mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh
seorang Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan
dua kemungkinan tertangkap atau dapat lolos daribahaya. Akhirnya
dengan tidak pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan
dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju
ke Pulau Sambu. Tetapi apadaya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.
Sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian Singapura,
motorboatnya macet di tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri
dari patroli musuh, sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan
Harun tertangkap di bawa ke Singapura sebagai tawanan.
Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau
apa yang terjadi, karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib
manusia di tangan Tuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan
Harus tenang saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri
mereka.
Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka
dengan sabar menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia
telah ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan
yang Maha Mengetahui.
Proses Pengadilan
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk
di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu
prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan
sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai
Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court)
Singapura dengan tuduhan :
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan
Harun telah melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan
pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation
tahun 1964.
Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh
Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan
kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta
kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).
Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat
tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menola permintaan
tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian
militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober
1965 Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J.
Chua memutuskan bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan
meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi
hukuman mati.
Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik
banding ke Federal Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu,
Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of
Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17
Februari 1967 perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam
kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela
yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di
Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat
penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.
Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun
ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir
adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan
ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan
kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di
Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat
dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua
sukarelawan Indonesia tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri
Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang
dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9
Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman
mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.
Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman
dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden
Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk
menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku
Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan
permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada
pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip
tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang
KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul
06.00 pagi waktu Singapura.
Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman
terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua
terhukum dengan orang tuanya dan sanak
farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap
pada keputusannya, pelaksanakan hukuman
gantung terhadap Usman dan Harun.
Pesan Terakhir
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman,
dimana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan
hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul
06.00 pagi Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang
gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada pencipta - Nya.
Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot
ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha
untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang
menyangkut perlindungan dan pem belaan warga negaranya. Satu malam sebelum
pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN
Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi.
Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel
A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat
berhadapan dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada
pukul 16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama
dalam penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.
Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk
dalam penjara dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar
kecerahan dan kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti
gaya khas seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan
gelisah yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah
menunggu.
Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan
hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH
memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap
yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan
terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru,
sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu
lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa
Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati
oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka
berdua terhadap Negara. Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo
mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa
Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula
menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk
dimakamkan berdampingan di Indonesia.
Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal
Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan
pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya
kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya
memberi hormat.
Menjalani Hukuman Mati
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara
Changi, Usman dan Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari
keramaian dunia.
Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap
agama. Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi
itu menambah hati mereka semakin dekat dengan pencipta - Nya. Karena itu empat
tahun dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan
nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan
kedua pemuda ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa
mereka.Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.
Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam, tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.
Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap
dua Usman dan Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu
mereka akan menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar
bahkan khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali gantungan. Sikap kukuh dan tabah ini
tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968,
yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah
berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal in dapat dilihat dari
surat-surat mereka yang dikirimkan kepada keluarganya:
Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak
anda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa
pelaksanaan hukuman mati ke atas anakanda telah diputus kan pada 17
Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.
Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat
mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00
pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai
mati.
Menghadapi Tiang Gantungan
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas
penjara, kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing.
Sebenarnya tanpa diperintah ataupun dibangunkan Usman dan
Harun setiap waktu tidak pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah
keagamaan dengan matang.
Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan
diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius.
Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat
nadinya dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama
sekali.
Dalam keadaan, lumpuh dan tangan tetap diborgol, Usman dan
Harun dibawa petugas menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari
Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan kalungkan ke leher Usman dan
harun.
Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui
bahwa kedua prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat
segi-segi kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian
mereka menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia
itu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung
tali gantungan di negeri orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan
bangsanya.Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa dan
Tanah Air tercinta.
Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur,
terpisah nyawa dari jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar
menyampaikan berita kepada para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti
peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula
tersiar berita ke seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran mass media sebagai
pengumuman terhadap dunia atas
terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan Harun.
Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai
tanda berkabung. Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura
berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa
karangan bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.
Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi PemerintaH
Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara
Changi untuk menerima kedua jenazah iti dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan
Besar RI untuk dise mayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan
dari penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya
dari Pemerintah Singapura. Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama untuk
mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di masukkan ke
dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang
dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti jenazah kedua
Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara.
Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan
Besar RI Mendapat penghormatan terakhir dan Anugerah dari Pemerintah Setelah mendapatkan penghormatan terakhir
dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke
lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI-AU. yang akan membawa ke
Tanah Air. Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau
daerah Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan
Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah
melaksanakan hukuman gan tung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto
menyata kan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.
Pada pukul 14.35 pesawat TNI-AU yang khusus dikirim dari
Jakarta meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah
diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada
hari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah
tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjemput
kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia
yang ingin melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan
Negara, Bangsa dan Tanah Air.
Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah
Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan
seterusnya disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini
menimbulkan suasana yang mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah
masyarakat yang menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan
kemarahan yang tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya
telah mereka anggap sebagai sahabat baik. Pada barisan paling depan terdiri
dari barisan Korps Musik KKO-AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur
bunga,
kemudian disusul dengan barisan karangan bunga. Kedua peti
jenazah tertutup dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya.
Kedua peti ini didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi
yang kemudian diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula
Hankam.
Di belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo
dan Kuasa Usaha RI untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar
jenazah Usman dan Harun dari Singapura.
Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena baik
Brigjen Tjokropranolo maupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan air
mata.
Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat
penghormatan terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun
sipil, Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang
dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua
jenazah diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang
terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan
M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu
dan akhirnya sampai Kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara Merdeka Barat
dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala sebagai
penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut mengiringi dan
mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para Menteri Kabinet
Pembangunan.
Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin
Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para
pemuda dan pelajar serta masyarakat. Upacara pemakaman ini berjalan dengan
penuh khidmat dan mengharukan. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah
Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad
Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat
diberikan tempat yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.
Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari
keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat.
Suasana bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dan Harun
terhadap Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah me naikkan pangkat mereka satu
tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi
Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta
KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang
Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Copyright by : Korps Marinir
Link baca : http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2005-November/000960.html
Presiden Soeharto Bahas Hukuman Mati Dua Prajurit KKO-AL
oleh Singapura
Rabu, 16 Oktober 1968 Dalam sidang kabinet hari ini, Presiden Soeharto telah membahas masalah penjatuhan hukuman mati atas dua prajurit Indonesia dan penolakan pemerintah Singapura akan permintaan Presiden Soeharto agar hukuman tersebut diperingan. Dengan ditolaknya permintaan Jenderal Soeharto itu, maka dua prajurit KKO-AL, Usman Ali dan Harun Said, akan menjalani hukuman mati di penjara Singapura besok. Keduanya dituduh memasuki wilayah Singapura dan melakukan sabotase militer, padahal tindakan itu merupakan bagian dari pelaksanaan tugas Dwikora dalam masa konfrontasi terhadap Malaysia (AFR).
Perdana Menteri Singapore Lee Kuan Yew ketika tabur
bunga di makan Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata 28 Mei 1973 (http://soeharto.co/tag/usman/)
|
Presiden Soeharto Putuskan Angkat Usman dan Harun jadi
PahlawanKamis, 17 Oktober 1968
Sehubungan dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap dua prajurit KKO-AL, Usman Ali dan Harun Said, Presiden Soeharto hari ini memutuskan untuk mengangkat keduanya sebagai pahlawan dan menganugerahi tanda kehormatan “Bintang Sakti”. Keduanya juga dianugerahi kenaikan pangkat satu tingkat secara anumerta, sehingga masing-masing menjadi Sersan Dua dan Kopral.
Saat itu, Presiden Soeharto berada di Pontianak dalam rangka kunjungan kerja selama satu minggu di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. (AFR).
Lest we
forget...
Posted on Feb 7, 2014 6:59 PM Updated: Feb 7, 2014 7:01 PMBy Tan Chuan-Jin
Next week, we remember the fall of Singapore on 15 February
by commemorating Total Defence Day. It is a reminder that we do not take our
peace for granted. And that we must ourselves defend our own home because no
one else will.
When we failed then, the consequences were tragic. To this
day, it is unclear how many perished during the occupation of Singapore. We all
know of the cruelty and atrocities committed by the Japanese. My grandfather
was rounded up to be executed. It must have been part of the Sook Ching. But he
was released at the last moment because a ‘local' Japanese knew him. My father,
who was only a boy then, to this day, remember the horrors of seeing
dismembered bodies due to the bombings.Over the years, there have been other threats. A date that has been recently thrust back into our consciousness is 10 March 1965. On that day, Indonesian Marines Harun Said and Usman Hj Mohd Ali planted and detonated a bomb at MacDonald House, killing three Singaporeans and injuring 35. This was part of the Konfrontasi where Sukarno sought to undermine the formation of Malaysia by stirring racial tension as well as targeting key installations and fomenting fear via an indiscriminate bombing campaign.
I know of this event from a young age because my father
worked in Metal Box and his office was in MacDonald House. He told me that he
hardly ever took medical leave but happened to be off that day. When he heard
the news over the radio, he was shaken but hugely relieved as the bomb had gone
off in an area where he could have been at.
While these seemed like fascinating stories when growing up,
as I got older, I began to realise that we should never let these things happen
to us again. As Dr Toh Chin Chye, then Deputy Premier said: “…this incident
should make us realise that our own survival must depend on our determination
and resolve to protect our own independence."
The two Indonesians were caught, tried and executed. Their
hanging on 17 October 1968 sparked off an attack on our Singapore Embassy in
Jakarta by a mob. They then attacked our consul's residence and the homes of
two other Singaporean diplomats. They also burnt our Singapore flag. In 1973,
then PM Lee Kuan Yew visited the graves of the two marines. It was a gesture of
reconciliation that brought closure and allowed both countries to forge a close
relationship. Over the many years of interaction, I myself have found many
friends in the Indonesian military and have also worked closely with them while
providing humanitarian aid and disaster relief in Aceh, in the aftermath of the
Indian Ocean Tsunami.
Remarkably, the Indonesian Navy is now naming one of their
ships KRI Usman Harun, in honour of the two.
When Elizabeth Suzie Choo, 36, died, 6 young children no
longer had a mother. Mr and Mrs Goh lost their only child when Juliet Goh, 23
died in the blast. Mohammed Yasin Kesit, 45, did not awake from his coma and
left behind a widow and 8 children. Many more Singaporean lives have been
permanently scarred.
It is one thing to remember your heroes from your wars of
independence; or those who have built your nation. But it is another thing
altogether when you celebrate those who had acted in a brutal and cowardly
manner. There is nothing heroic about killing innocent civilians.
Our neighbours have insisted that it is their right to name
the ships as they see fit. That may well be so. But it is also our right to
state categorically that this very act reflects callousness and disrespect.
As neighbours and friends, we can and should forgive.
But by the naming of this ship, the message is clear. We
should also never forget.
Link baca : http://www.singapolitics.sg/views/lest-we-forget
Yang Pertama
dan Utama : SIR During Konfrontasi
Posted on October 23, 2013 by hafizuddinsulaiman
The 1st Battalion, Singapore Infantry Regiment (1 SIR) was
formed in March 12, 1957 against the backdrop of self-government for Singapore.
Recruitment began on March 4, 1957 with only Singapore citizens and persons
born and bred in Singapore were recruited. Out of a total of 1,420 applicants,
237 were initially accepted for training. It was intended that 1 SIR together
with another battalion would form part of a regiment within a brigade group in
the Singapore Military Forces.
Self-government for Singapore in 1959 gave the Ulu Pandan
Camp based 1 SIR the opportunity to mount the Istana Guards in place of the
Gurkhas, while the battalion was presented with Queen’s and Regimental Colours
in 1961. In 1962, the second Singapore Infantry Regiment battalion was raised.Following the inclusion of Federation of Malaya, Singapore, Sabah, Sarawak into the newly created Malaysian Federation on September 16, 1963, the respective armed forces were amalgamated and integrated into the Malaysian Armed Forces’ structures. North Borneo Constabulary and Sarawak Ranger were combined and became the nucleus of Malaysian Ranger Regiment (now Royal Ranger Regiment). The Singapore Infantry Regiment was renamed the Malaysian Infantry Regiment.
The founding of Malaysian Federation was not without
problems. Both of its closest neighbour, the Philippines under President
Diasdado Macapagal (the father of former President Gloria Macapagal
Arroyo) as well as President Sukarno of
Indonesia have strongly object the creation of this new nation. President
Sukarno even went too far by labeling Malaysia as a form of neo-colonialism and
called for the destruction of Malaysia which he referred to as Ganyang
Malaysia.
Just like any other unit in the MAF, both Singaporean
battalions were mobilised in the defend of the Federation against the
Indonesian forces now mobilised by Sukarno to implement Operasi Dwikora or
better known as the Konfrontasi (Confrontation), an undeclared four years
conflict between Malaysia, its British Commonwealth allies and the Indonesian
regime.
It was not just about the problem caused by the Indonesian
that needs to be tackled by this new nation, the resurgence of communist
element despite four years respite seems to be another challenge that also need
to be quickly addressed. Hence 1SIR (the whole battalion) was moved to Taiping
to undergo anti-communist insurgency operations training.
Following the initiation of hostilities by the Indonesian, 1
SIR was posted to Pulau Sebatik in Sabah. Being an island which lies in the
middle of the border of Malaysia and Indonesia, this is one of the few place
during the conflict where fierce firefights and artillery fire had occurred.
Throughout its deployment to Pulau Sebatik, 1SIR has not suffered
any casualties but 2SIR did during the deadly airborne landing conducted by the
Indonesian Pasukan Gerak Tjepat (Rapid Deployment Force) in Labis on September
1 and September 2, 1964.
Three Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Lockheed
C-130B Hercules from Jakarta set off towards Peninsular Malaysia along with the
cracked team of Indonesian ‘commandos’. While en route over the Straits of
Melaka, one of the Hercules had crashed (s/n T-1307 or 1303) presumably being
shot down by RAF’s No 64 Sqn’s Javelin FAW Mk 9 fighter flown from RAF Tengah
(now Tengah AB).
The rest of the Hercs pressed on and had successfully
disembark their respective paratroopers over Labis. The Kota Tinggi police were
alerted over the landing and 2 SIR from its Temasek Camp garrison was rushed
from Singapore to check and response on the Indonesian intrusion.
A platoon from 2 SIR was sent inside the jungles of Kota
Tinggi to look for the 98 strong intruder, now in hiding after they were
scattered by tropical storms on the day of their landing. Some of them have
landed near to the camp where the 1st Battalion, 10th Gurkha Regiment (1/10
Gurkha) is being based. Along with the the 1st Battalion, Royal New Zealand
Infantry Regiment (1 RNZIR) from Fort George (now Terendak Garrison) in Melaka,
the 4th Malaysian Infantry Brigade (now 4 Div Inf) conducted mopping up
operation to weed out the Indonesian intruders.
Unfortunately though, disaster strike when the intruders had
tailed one of the section of the 2SIR’s platoon deployed. They were ambushed in
Kota Tinggi, killing 8 of the men. The remains of the fallen were recovered and
were brought back to Temasek Camp in Holland Road Camp for the full-military
burial.
The one month long mop out operation saw 32 Indonesian
paratroopers killed and 62 others captured and surrendered. Beside the heavy
casualties suffered by 2SIR, an officer from 1RNZIR was also killed during one
of the contacts made with the Indonesians.
Throughout the Konfrontasi, Singapore had suffered 37 bomb
attacks mounted by Indonesian saboteurs. One of the raids was the MacDonald
House bombing on 10 March 1965 by two intruders from the Korps Komando Angkatan
Laut (KKO and later Korps Marinir) which had killed two people and injuring
thirty three others. The bombers, Sersan Dua Anumerta (2SG posthumous) KKO
Usman Janatin and Kopral Dua Anumerta (2CPL posthumous) KKO Harun Thohir were
caught and were subsequently tried and executed.
In 1964, following a racial riot, 1SIR was mobilised to
patrol the streets. Following Singapore’s separation from the Malaysian
Federation in 1965, the regiment regained its former name. 1SIR was made up of
75% Singaporean and 25% Malaysians while 2SIR was made up of a balance 50-50
ration of Malaysians and Singaporeans during the separation.
The brief period under the MAF control (1963-1965) had
produced several notable officers trained in Malaysia which had later rose the rank
to become the helms of what is to become today as the Singapore Armed forces
(SAF).
LTG Winston Choo was the first Chief of Defence Force of the
SAF from 1974 to 1992. He was also an alumni of the prestigious Federation
Military College (FMC now Royal Military College-RMC) from 1959 until 1961.
Upon completion of his FMC training in Port Dickson, he was a Second Lieutenant
in 1SIR where he served as 11th platoon commander of ‘C’ (Charlie) Company. 2LT
Choo later saw action in Pulau Sebatik during the Konfrontasi.
link baca : http://malaysiaflyingherald.wordpress.com/2013/10/23/yang-pertama-dan-utama-sir-during-konfrontasi/
No comments:
Post a Comment