Cantigi Peace: SI TARO BERAKSI KEMBALI: Aksi Tangguh Taro Rangers, Kembali Lagi!! Jakarta, 23 Maret 2016. Di tengah masih kurangnya program televisi khusus untuk anak, pr...
Thursday, March 24, 2016
SI TARO BERAKSI KEMBALI
Aksi Tangguh Taro Rangers, Kembali Lagi!!
Jakarta, 23 Maret 2016.
Di tengah masih kurangnya program televisi khusus untuk anak, program televisi petualangan anak-anak, "Aksi Tangguh Taro Ranger (ATTR)" kembali menjumpai pemirsa ciliknya tahun ini. Setelah mendapat sambutan cukup positif tahun lalu, ATTR di tahun 2016 tetap pada konsep utamanya, yakni menghadirkan tayangan edukatif untuk anak-anak usia Sekolah Dasar, yang diharapkan mampu merangsang sikap tangguh, cerdik dan peduli di tiap episode penayangan.
Tahun ini, ATTR hadir dalam 12 episode yang telah mulai ditayangkan sejak 6 Maret 2016, setiap hari Minggu pagi, pukul 7.30 wib, di RCTI. Dalam tiap episode, akan hadir 5 orang anak Indonesia yang akan menyelesaikan sebuah misi penyelamatan. Misi tersebut telah dirancang sedemikian rupa oleh tim senior Taro Rangers, yang akan membuat para peserta nantinya harus mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik mereka dalam hal: bekerjasama, keberanian mengambil keputusan, hingga kecakapan memimpin agar misi dapat selesai dengan baik.
Tantangan demi tantangan yang mendebarkan, mulai dari meloncat dari jembatan tinggi, terjun ke sungai dari helikopter, mengarungi derasnya jeram-jeram, merayap di tali untuk menyebrangi tebing tinggi, hingga menerobos rimba untuk menyelamatkan rekan mereka, menjadi tontonan menarik untuk disaksikan oleh anak-anak Indonesia. Seluruh misi yang tampak seperti dalam film aksi tersebut, juga membawa anak-anak yang berperan dalam ATTR berkesempatan menjelajah alam Indonesia, mulai dari menempuh rimba melihat keindahan hutan dan danau di Situgunung-Sukabumi, berenang mengarungi eksotisme waduk Jatiluhur di Purwakarta, sampai menuruni goa Jomblang di Yogyakarta yang menakjubkan pemandangan di dalamnya.
Nilai kepedulian sosial juga diselipkan dalam program TV ini. Dalam tiap misi yang berhasil diselesaikan anak-anak Taro Rangers, mereka berarti telah menyumbangkan sejumlah dana untuk sekolah Master di Depok, Jawa Barat. Sekolah Master adalah sekolah yang dibangun untuk anak-anak jalanan di sekitar terminal bus Depok.
Seluruh aksi anak-anak yang dihadirkan dalam program ATTR, dilakukan oleh operator yang sangat berpengalaman, dengan prosedur keselamatan dan keamanan tingkat tinggi. Ini sudah menjadi standar yang tidak bisa ditawar oleh PT Tiga Pilar Sejahtera, produsen makanan ringan Taro, sebagai pemrakarsa hadirnya program TV anak-anak ini.
Head of marketing snack division, PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS), Hetty Herawati menjelaskan, "Kami memang merancang ATTR sebagai program TV yang diharapkan mampu membangkitkan keinginan anak-anak Indonesia untuk berani beraktifitas di alam. Kami meyakini, anak-anak jika diberi tantangan-tantangan terukur di alam terbuka, akan tumbuh menjadi anak-anak yang memiliki karakter atau kepribadian tangguh di dalam diri mereka."
Rangkaian program TV, Aksi Tangguh Taro Rangers ini, juga menjadi event pembuka dari kegiatan off air-nya: Taro Rangers Camp, sebuah event berkemah 3 hari 2 malam untuk anak-anak usia SD yang dilengkapi dengan kegiatan outbound untuk pembentukkan karakter yang akan berlangsung pada 5 – 7 Mei 2016, di kawasan Gunung Pancar, Sentul, Jawa Barat.
Taro Rangers Camp, dan juga program TV: Aksi Tangguh Taro Rangers, telah diniatkan menjadi program tahunan dari PT TPS, untuk berperan serta dalam melakukan pendidikan karakter anak-anak Indonesia, agar tercapai generasi #AnakTangguhIndonesia.Tentang PT.Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF).
PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF) merupakan perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003. Sejalan dengan proses transformasi bisnis yang dicanangkan pada akhir tahun 2009, TPSF telah berkembang pesat dengan kombinasi akuisisi dan pola pertumbuhan internal. TPSF mengakuisisi snack merek Taro beserta fasilitas produksinya dari PT. Unilever Indonesia, Tbk pada akhir tahun 2011.
Dengan terus membangun kapabilitas sumber daya manusia, inovasi dan efisiensi di setiap lini kerja dan kepemimpinan yang mempunyai visi kuat, TPSF yakin akan dapat memenuhi komitmen untuk memberikan kepuasan bagi pelanggan, keuntungan bagi investor, dan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dan kepada bangsa dan negara. TPSF termasuk dalam Indeks Kompas 100 dan mendapat Best Consumer Goods Industry Public Listed Company serta masuk dalam daftar “A List of the Top 40 Best Performing Listed Company”.
Tentang TARO
Taro adalah merk makanan ringan yang diproduksi oleh PT. Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. Melalui brand Taro, TPSF banyak melakukan kegiatan-kegiatan Corporate Social Responsibility untuk anak-anak berusia 7 – 12 tahun. Kegiatan ini selain untuk mendukung penggemar Taro baik secara langsung maupun tidak. Pada tahun ini, Taro akan melaksanakan kegiatan National Camp Taro Ranger yang akan mengundang anak-anak tangguh dan peduli, berusia 7-12 tahun untuk berpartisipasi pada perkemahan nasional yang akan diadakan pada bulan Juni 2015.
Karena komitmen yang kuat dari Taro untuk terus melakukan kegiatan pemasaran yang berbasis edukasi, Taro berhasil mendapatkan penghargaan Best Road Show Activation dan Indonesia's Best of the Best CSR Program 2014: Taro Go Green pada tahun 2014 dari Majalah MIX. Selain itu brand Taro berhasil mendapat predikat The Indonesian Best Brand Award (IBBA) selamat 3 tahun berturut-turut untuk kategori snack.
Lihat juga di : http://www.planetwanita.com/
Friday, June 19, 2015
Susur Sungai Cikundul
Sungai Cikundul, Taman Nasional Gede Pangrango...
Gunung Gede Pangarango, Taman Nasional Gede Pangrangro, tidak saja sebagai lahan mendaki gunung, ternyata banyak yang ditawarkan olehnya. Diantaranya adalah melihat pemandangan langka, dan tanaman langka. Ada pula berbagai jenis binatang, burung, oa, macan tutul, tikus, berbagai jenis tumbuhan dan sebagainya. Meski tidak menampakkan dirinya, binatang-binatang tersebut bisa kita dengarkan suaranya.
Hal-hal unik koleksi Taman Nasioanal Gunung Gede Pangrango, umumnya tersembunyi, dan menyembunyikan dirinya dari keriuhan para pendaki gunung yang menuju ke Gunung Gede atau ke Gunung Pangrango atau ke Air Terjun Cibereum.
Pengunjung baru akan menemukan segala keunikan, dan kecantikan itu, hanya bisa dilihat di sepanjang jaur pendakian Geger Bentang - Mandalawangi Pangrango. Di jalur yang panjang dan berat ini, akan ditemui berbagai variasi track.
Setelah menikmati jalur khusus tersebut, disebut khusus karena tidak dibuka untuk pendakian umum, saya dan kawan-kawan mejajaki menyusuri Sungai Cikundul dari hulu sampai di Cibodas.
Jalur air ini, bisa dilihat di rekam jejak GPS yang kami bawa.
Begitu menceburkan kaki di Sungai Cikundul yang awanya hanya selebar 3 meter, terasa amat dingin. Airnya dingin dan jernih karena berhulu di Gunung Pangrango. Serta merta saya meneguk air tersebut.
Bongkahan batu berlumut, tidak pernah terinjak olah kaki manusia, manjadi tantangan pertama. Saya beru pertama kali ini menjajakinya. Sebelumnya, Juned, Masan, Krisna, Ferdy, sudah menelusurinya, namun ketika itu belum didokumentasi dengan GPS dan foto.
Makin ke bawah, bebatuan makin besar menghalangi sungai. Sungai cikundul mendapat pasokan debit air dari dua sungai, salah satunya dari air terjun Cibereum.
Pinggir-pinggir sungai, adakalnya landai, dan lebih banyak tebing tinggi yang memagarinya. Terdapat pula beberapa jeram kecil. Jeram paling dalam, sekita empat meter.
Sungai Cikundul juga memiliki dua air terjun di sisi timur.
Sebagai orientasi, Sungai Cikundul berada di sisi barat jalur pendakian Cibodas - Kandang Badak. Di sebelah barat sungai tersebut, terdapat punggungan Geger Bentang - Pangrango.
Menyusuri Sungai Cikundul sepanjang 6 km, selama 5 jam non stop. Perjalanan dimulai dari ketinggian 1848 dpl, dari jalur Geger Bentang-Pangrango, ke sungai di ketinggian 1699 dpl.
Ternyata, sungai - yang tak disangka-sangka tersebut, memberikan kesan yang mencekam ketika berada di dua tebing tinggi, seakan-akan terjepit oleh bumi.
Tapi, bagi petualang muda, hal-hal macam itulah yang dicari.
Saran saya bagi peminat susuri sungai ini, tidak melakukannya sendiri. Ajaklah orang yang sudah berpengetahuan tentang Sungai Cikundul.
Lakukan penjelajahan pada cuaca musim kemarau. Memasuki kawasan pada pagi hari. Membawa perlengkapan yang ringan. Memakai sepatu air minimal memakai ket ket atau sendal gunung. Sering-sering meminum air hangat.
Silahkan mencoba....
Wednesday, April 29, 2015
Monday, March 23, 2015
Duka untuk Lee Kuan Yew
Turut berduka untuk berpulangnya Lee Kuan Yew.
ASEAN kehilangan seorang sesepuhnya, founding father Singapore dan ASEAN.
Anda, akan selalu dikenang di kawasan kepulauan ini.
Foto : http://therealsingapore.com
Thursday, March 19, 2015
Doa untuk Lee Kuan Yew
Doa kami untuk kesembuhan Lee Kuan Yew sebagai sesepuh Asean.
Semoga kesehatan beliau dipulihkan... Amein...!
Saturday, January 31, 2015
Petualangan Devi Asmadiredja
Devi Asmadiredja tinggalkan Jerman demi gubuk di Chechnya
BBC,27 Januari 2015
Devi Asmadiredja awalnya menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga di Jerman, tapi kemudian sang suami yang keturunan Chechnya menyuruhnya berkemas dan meninggalkan negara itu.
Asmadiredja yang berdarah Indonesia, akhirnya tinggal di sebuah pondok terpencil di kawasan pegunungan antara Chechnya dan lembah Georgia Pankisi, setelah menempuh perjalanan sejauh 3.000 km (2.000 mil).
Namun bagi Devi Asmadiredja, wilayah terpencil bagian dari pegunungan Kaukasus ini adalah tempatnya mengungsi.
Empat tahun yang lalu, dia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di Jerman. Tetapi pada awal 2011 secara tiba-tiba suaminya mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintainya dan menyuruhnya untuk meninggalkan rumah.
Suami memintanya pergi ke Pankisi untuk belajar bahasa Chechnya, bahasa leluhurnya.
"Ia tahu bahwa saya bisa belajar bahasa dengan cepat dan ia pikir saya akan kembali dan mengajarkannya,"katanya.
"Saya belum pernah bepergian sebelumnya," ujarnya setelah suaminya membelikan tiket pesawat dan memberinya uang untuk makan.
Ia mengatakan bahwa hal itu menarik dan kesempatan untuk melarikan diri dari suaminya. Namun meninggalkan tiga anaknya yang berusia lima, delapan dan 12 tahun adalah keputusan terberat.
"Itu sangat sulit. Saya tidak bisa tidur setiap malam tanpa mereka,"katanya. Tapi ia tak punya pilihan lain.
Tidak kenal seorang pun
Asmadiredja tiba di Tbilisi, ibu kota Georgia dengan menaiki serangkaian kendaraan minibus atau marshrutki menuju ke desa Duisi, desa pertama yang ia lalui sebelum lima desa lainnya.
Ia mengatakan bahwa ia tidak mengenal seorang pun di sana, hingga ia bertemu dengan warga dan menanyakan apakah ada orang yang bisa mengajarinya bahasa Chechnya.
Dalam waktu 20 menit, ia berhasil mendapatkan pelajaran dan akomodasi gratis berkat pertolongan warga setempat.
Ia mempelajari bahasa itu dengan cepat dan masyarakat setempat memberinya nama Khedi yang berasal dari Khedijat [Khadijah], nama istri Muhammad.
Tapi tak jarang kehadirannya mengundang rasa curiga, baik sebagai orang asing maupun wanita yang bepergian sendiri. "Mereka pikir saya mata-mata Russia," katanya.
Ia memang terlihat berbeda dengan wanita lain di kawasan itu karena penampilannya yang tanpa kerudung dan memiliki tujuh tato, termasuk sebuah belati tradisional Indonesia di kaki kirinya dan belati Kaukasia di kanan.
Namun, karena mendapat tekanan dari salah satu imam mesjid Wahhabi, tuan rumah tempatnya menumpang mengatakan ia harus pergi dan pindah dengan keluarga Kist lainnya, yang sekarang ia sebut sebagai "ibu saya" dan "adik saya".
Keluarga Kists, adalah keturunan Georgia Chechnya yang pindah ke lembah itu pada abad ke-19.
Setelah tinggal selama 18 bulan di desa itu, suaminya menelepon dari Jerman dan mengatakan padanya bahwa ia telah menemukan cinta yang lain, jadi Asmadiredja tidak perlu lagi pulang.
Usai menerima kabar yang mengejutkan itu, ia pindah ke pegunungan dan tinggal di di sebuah gubuk penggembala sapi - bangunan sederhana dari batu tanpa alat pemanas, listrik, ataupun air.
Namun ia memiliki telepon genggam dan baterai bertenaga matahari.
Dua bulan lamanya Asmadiredja bertahan hidup hanya dengan pemberian makanan dari para penggembala yang melintas dan minum air yang mengalir dari pegunungan.
Jatuh cinta
Meskipun ia hidup dalam lingkungan yang keras, namun kesendirian dan kehidupan di pegunungan membawa berkah baginya.
"Saya jatuh cinta dengan pegunungan,"ujarnya. "Saya belum pernah melihat pegunungan seperti ini sebelumnya, orang-orang dan cahaya di gunung yang luar biasa."
Ia mengatakan, ia hanya makan sedikit dan menghangatkan diri dengan berjalan kaki ke sejumlah desa terpencil lainnya seperti Khevsureti, Tusheti, and Georgia.
Ia mengaku tidak memiliki uang sehingga pilihan satu satunya adalah berjalan kaki.
Asmadiredja yang awalnya hanya menguasai bahasa Chechnya, kini mampu berbicara dalam bahasa Georgia setelah diajari oleh para penggembala asal Tush dan Khevsur.
Dia menghafal labirin, jalur dari Pankisi ke pegunungan, setelah dia terluka di pergelangan kakinya dan tersesat, tanpa makanan dan hanya minum air dari sungai selama 12 hari sebelum ada orang yang lewat menemukannya. "Aku sangat dekat dengan kematian saat itu," tuturnya.
Tantangan lainnya datang dari masyarakat setempat, beberapa penggembala mengejarnya dengan agresif karena mereka sudah lama tidak melihat perempuan. Perempuan yang hidup sendiri seperti Asmadiredja, sangat menarik bagi mereka.
Ia biasanya mampu mengusir para pengganggu hanya dengan kata-kata atau mengibaskan sepotong kayu, tapi kadang ia harus melawan untuk menghadapi para penggembala yang sangat agresif. Setelah tinggal lama di pegunungan, Asmadiredja pun memutuskan kembali ke desa.
Mendapat pekerjaan
Sebuah agen perjalanan Jerman menawarinya pekerjaan sebagai pemandu bagi para pendaki melalui Kaukasus dengan gaji $100 per hari, di sana terdapat sarana pariwisata kecil dan ada penduduk yang berbicara bahasa Inggris atau Jerman.
"Saya sampai harus membuka rekening bank," katanya sembari tertawa.
Teman lainnya memberinya kamera bekas setelah mendengar ketertarikannya di bidang fotografi dan ia mulai memamerkan foto-foto tentang Pankisi di sejumlah galeri di Tbilisi. "Saya bukan penyusup, orang-orang di sini kenal saya,"katanya.
Awal tahun depan, untuk pertama kalinya Asmadiredja akan menunjukkan hasil karyanya di ajang internasional, di Kedutaan Besar Georgia di Jakarta.
Tapi kepulangannya ke desa terasa menyesakkan. "Saya bukan orang Chechnya, Kist, bahkan Georgia. Saya lahir di Jerman Timur. Saya butuh kebebasan. Saya seorang wanita mandiri, yang tidak memerlukan ijin untuk pergi ke mana pun. Dalam tradisi Kist Anda harus mengikuti orang tua Anda. Saya butuh waktu untuk sendiri, [di tempat] di mana seorang pun tahu. "
Pada bulan Maret tahun lalu, temannya bercerita tentang gua kecil yang tersembunyi di selatan provinsi Samtskhe-Javakheti Georgia. Ia langsung bertolak ke sana, hanya berbekal kompor berkemah, kantong tidur, dan serta buah-buahan dan kacang-kacangan.
Namun kedatangan dua orang penggembala sapi setempat mengubah hidupnya, mereka memaksanya untuk kembali ke rumah namun ia menolak.
Saya pikir 'Mengapa mereka tidak meninggalkan saya sendiri?" "Mereka bertanya apakah ia menyukai khinkali - daging tradisional Georgia. "Mereka meninggalkan saya dan setengah jam kemudian mereka kembali dengan membawa khinkali dan anggur."
Salah seorang penggembala Georgia, bernama Dato, mengunjunginya setiap hari dan meminta nomor teleponnya. Dari sana, terjalinlah sebuah hubungan.
Mereka berencana untuk menikah akhir tahun ini. Namun upacara itu tidak dilaksanakan secara hukum karena status Asmadiredja masih menikah dengan suami Chechnya yang berada di Jerman. Tapi keluarga angkatnya telah merencanakan pesta tradisional Pankisi. "Saya tidak pernah berpikir saya akan memiliki cinta seperti itu," katanya.
Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal dengannya di berbagai gua dan pondok, jarak yang memisahkan antara rumah di Pankisi dan pegunungan cukup jauh, jadi ia mendorong suaminya untuk belajar mengemudi, sehingga ia bisa bekerja bersamanya untuk memandu wisatawan.
'Rumah saya di gunung'
Bahkan hingga kini, Asmadiredja, 45, menyadari betapa banyak yang ia telah tinggalkan. Dua anaknya, masing-masing berusia sembilan dan 12, yang awalnya tinggal bersama suaminya, kini dirawat di panti asuhan. Dengan pasangan yang berbeda, ia juga memiliki seorang anak yang berusia remaja, seorang anak perempuan yang tinggal dengan ayahnya.
Asmadiredja mengirim surat kepada anak-anaknya secara rutin, tetapi mereka tidak membalas. Ia sempat tergoda untuk kembali ke Jerman dan menuntut hak asuh atas anak-anaknya, tetapi ia tidak mendapat jaminan bahwa ia akan berhasil.
"Saya punya kehidupan di sini," kata dia. "Kehidupan ini telah menyerap banyak energi saya. Untuk kembali ke Jerman... mungkin saya akan mendapatkan anak-anak saya lagi, mungkin tidak, tapi bahkan jika saya mendapatkan mereka, [mungkin hanya untuk] beberapa tahun saja, dan untuk itu, saya harus melepaskan semua? Saya tidak bisa. Mungkin saya egois, tapi saya sudah membangun hidup saya di sini. Nama saya dikenal sebagai pemandu, fotografer. Kenapa saya harus melepaskan itu semua demi hidup dengan jaminan di sana?"
Pegunungan itu, kata dia, adalah rumahnya yang asli. "Di gunung saya bebas."
BBC,27 Januari 2015
Devi Asmadiredja awalnya menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga di Jerman, tapi kemudian sang suami yang keturunan Chechnya menyuruhnya berkemas dan meninggalkan negara itu.
Asmadiredja yang berdarah Indonesia, akhirnya tinggal di sebuah pondok terpencil di kawasan pegunungan antara Chechnya dan lembah Georgia Pankisi, setelah menempuh perjalanan sejauh 3.000 km (2.000 mil).
Para wisatawan yang pernah mengunjungi lembah ini, mengenalnya sebagai tempat penyelundupan narkotika dan senjata, serta tempat tinggal salah satu pemimpin Negara Islam (ISIS), Abu Omar al-Shishani.
Namun bagi Devi Asmadiredja, wilayah terpencil bagian dari pegunungan Kaukasus ini adalah tempatnya mengungsi.
Empat tahun yang lalu, dia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di Jerman. Tetapi pada awal 2011 secara tiba-tiba suaminya mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintainya dan menyuruhnya untuk meninggalkan rumah.
Suami memintanya pergi ke Pankisi untuk belajar bahasa Chechnya, bahasa leluhurnya.
"Ia tahu bahwa saya bisa belajar bahasa dengan cepat dan ia pikir saya akan kembali dan mengajarkannya,"katanya.
"Saya belum pernah bepergian sebelumnya," ujarnya setelah suaminya membelikan tiket pesawat dan memberinya uang untuk makan.
Ia mengatakan bahwa hal itu menarik dan kesempatan untuk melarikan diri dari suaminya. Namun meninggalkan tiga anaknya yang berusia lima, delapan dan 12 tahun adalah keputusan terberat.
"Itu sangat sulit. Saya tidak bisa tidur setiap malam tanpa mereka,"katanya. Tapi ia tak punya pilihan lain.
Tidak kenal seorang pun
Asmadiredja tiba di Tbilisi, ibu kota Georgia dengan menaiki serangkaian kendaraan minibus atau marshrutki menuju ke desa Duisi, desa pertama yang ia lalui sebelum lima desa lainnya.
Ia mengatakan bahwa ia tidak mengenal seorang pun di sana, hingga ia bertemu dengan warga dan menanyakan apakah ada orang yang bisa mengajarinya bahasa Chechnya.
Dalam waktu 20 menit, ia berhasil mendapatkan pelajaran dan akomodasi gratis berkat pertolongan warga setempat.
Ia mempelajari bahasa itu dengan cepat dan masyarakat setempat memberinya nama Khedi yang berasal dari Khedijat [Khadijah], nama istri Muhammad.
Tapi tak jarang kehadirannya mengundang rasa curiga, baik sebagai orang asing maupun wanita yang bepergian sendiri. "Mereka pikir saya mata-mata Russia," katanya.
Ia memang terlihat berbeda dengan wanita lain di kawasan itu karena penampilannya yang tanpa kerudung dan memiliki tujuh tato, termasuk sebuah belati tradisional Indonesia di kaki kirinya dan belati Kaukasia di kanan.
Namun, karena mendapat tekanan dari salah satu imam mesjid Wahhabi, tuan rumah tempatnya menumpang mengatakan ia harus pergi dan pindah dengan keluarga Kist lainnya, yang sekarang ia sebut sebagai "ibu saya" dan "adik saya".
Keluarga Kists, adalah keturunan Georgia Chechnya yang pindah ke lembah itu pada abad ke-19.
Setelah tinggal selama 18 bulan di desa itu, suaminya menelepon dari Jerman dan mengatakan padanya bahwa ia telah menemukan cinta yang lain, jadi Asmadiredja tidak perlu lagi pulang.
Usai menerima kabar yang mengejutkan itu, ia pindah ke pegunungan dan tinggal di di sebuah gubuk penggembala sapi - bangunan sederhana dari batu tanpa alat pemanas, listrik, ataupun air.
Namun ia memiliki telepon genggam dan baterai bertenaga matahari.
Dua bulan lamanya Asmadiredja bertahan hidup hanya dengan pemberian makanan dari para penggembala yang melintas dan minum air yang mengalir dari pegunungan.
Jatuh cinta
Meskipun ia hidup dalam lingkungan yang keras, namun kesendirian dan kehidupan di pegunungan membawa berkah baginya.
"Saya jatuh cinta dengan pegunungan,"ujarnya. "Saya belum pernah melihat pegunungan seperti ini sebelumnya, orang-orang dan cahaya di gunung yang luar biasa."
Ia mengatakan, ia hanya makan sedikit dan menghangatkan diri dengan berjalan kaki ke sejumlah desa terpencil lainnya seperti Khevsureti, Tusheti, and Georgia.
Ia mengaku tidak memiliki uang sehingga pilihan satu satunya adalah berjalan kaki.
Asmadiredja yang awalnya hanya menguasai bahasa Chechnya, kini mampu berbicara dalam bahasa Georgia setelah diajari oleh para penggembala asal Tush dan Khevsur.
Dia menghafal labirin, jalur dari Pankisi ke pegunungan, setelah dia terluka di pergelangan kakinya dan tersesat, tanpa makanan dan hanya minum air dari sungai selama 12 hari sebelum ada orang yang lewat menemukannya. "Aku sangat dekat dengan kematian saat itu," tuturnya.
Tantangan lainnya datang dari masyarakat setempat, beberapa penggembala mengejarnya dengan agresif karena mereka sudah lama tidak melihat perempuan. Perempuan yang hidup sendiri seperti Asmadiredja, sangat menarik bagi mereka.
Ia biasanya mampu mengusir para pengganggu hanya dengan kata-kata atau mengibaskan sepotong kayu, tapi kadang ia harus melawan untuk menghadapi para penggembala yang sangat agresif. Setelah tinggal lama di pegunungan, Asmadiredja pun memutuskan kembali ke desa.
Mendapat pekerjaan
Sebuah agen perjalanan Jerman menawarinya pekerjaan sebagai pemandu bagi para pendaki melalui Kaukasus dengan gaji $100 per hari, di sana terdapat sarana pariwisata kecil dan ada penduduk yang berbicara bahasa Inggris atau Jerman.
"Saya sampai harus membuka rekening bank," katanya sembari tertawa.
Teman lainnya memberinya kamera bekas setelah mendengar ketertarikannya di bidang fotografi dan ia mulai memamerkan foto-foto tentang Pankisi di sejumlah galeri di Tbilisi. "Saya bukan penyusup, orang-orang di sini kenal saya,"katanya.
Awal tahun depan, untuk pertama kalinya Asmadiredja akan menunjukkan hasil karyanya di ajang internasional, di Kedutaan Besar Georgia di Jakarta.
Tapi kepulangannya ke desa terasa menyesakkan. "Saya bukan orang Chechnya, Kist, bahkan Georgia. Saya lahir di Jerman Timur. Saya butuh kebebasan. Saya seorang wanita mandiri, yang tidak memerlukan ijin untuk pergi ke mana pun. Dalam tradisi Kist Anda harus mengikuti orang tua Anda. Saya butuh waktu untuk sendiri, [di tempat] di mana seorang pun tahu. "
Pada bulan Maret tahun lalu, temannya bercerita tentang gua kecil yang tersembunyi di selatan provinsi Samtskhe-Javakheti Georgia. Ia langsung bertolak ke sana, hanya berbekal kompor berkemah, kantong tidur, dan serta buah-buahan dan kacang-kacangan.
Namun kedatangan dua orang penggembala sapi setempat mengubah hidupnya, mereka memaksanya untuk kembali ke rumah namun ia menolak.
Saya pikir 'Mengapa mereka tidak meninggalkan saya sendiri?" "Mereka bertanya apakah ia menyukai khinkali - daging tradisional Georgia. "Mereka meninggalkan saya dan setengah jam kemudian mereka kembali dengan membawa khinkali dan anggur."
Salah seorang penggembala Georgia, bernama Dato, mengunjunginya setiap hari dan meminta nomor teleponnya. Dari sana, terjalinlah sebuah hubungan.
Mereka berencana untuk menikah akhir tahun ini. Namun upacara itu tidak dilaksanakan secara hukum karena status Asmadiredja masih menikah dengan suami Chechnya yang berada di Jerman. Tapi keluarga angkatnya telah merencanakan pesta tradisional Pankisi. "Saya tidak pernah berpikir saya akan memiliki cinta seperti itu," katanya.
Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal dengannya di berbagai gua dan pondok, jarak yang memisahkan antara rumah di Pankisi dan pegunungan cukup jauh, jadi ia mendorong suaminya untuk belajar mengemudi, sehingga ia bisa bekerja bersamanya untuk memandu wisatawan.
'Rumah saya di gunung'
Bahkan hingga kini, Asmadiredja, 45, menyadari betapa banyak yang ia telah tinggalkan. Dua anaknya, masing-masing berusia sembilan dan 12, yang awalnya tinggal bersama suaminya, kini dirawat di panti asuhan. Dengan pasangan yang berbeda, ia juga memiliki seorang anak yang berusia remaja, seorang anak perempuan yang tinggal dengan ayahnya.
Asmadiredja mengirim surat kepada anak-anaknya secara rutin, tetapi mereka tidak membalas. Ia sempat tergoda untuk kembali ke Jerman dan menuntut hak asuh atas anak-anaknya, tetapi ia tidak mendapat jaminan bahwa ia akan berhasil.
"Saya punya kehidupan di sini," kata dia. "Kehidupan ini telah menyerap banyak energi saya. Untuk kembali ke Jerman... mungkin saya akan mendapatkan anak-anak saya lagi, mungkin tidak, tapi bahkan jika saya mendapatkan mereka, [mungkin hanya untuk] beberapa tahun saja, dan untuk itu, saya harus melepaskan semua? Saya tidak bisa. Mungkin saya egois, tapi saya sudah membangun hidup saya di sini. Nama saya dikenal sebagai pemandu, fotografer. Kenapa saya harus melepaskan itu semua demi hidup dengan jaminan di sana?"
Pegunungan itu, kata dia, adalah rumahnya yang asli. "Di gunung saya bebas."
Sumber Foto : BBC dan Devi Facebook. Peta : GoogleMaps
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
LAPORAN PERJALANAN : Apa saja di Baduy ? Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang...
-
Saya baru-baru ini saja bisa mengendarai sepeda motor dalam arti sesungguhnya. Dengan kata lain, status pemula. Namun, dalam hitungan bulan,...