Wednesday, January 14, 2009
AYO TEBAK ! DIMANAKAH FOTO INI ?
Tebak Foto Djakarta ini akan muncul dengan foto lain setiap bulan....
Anda menjawabnya di kolom komentar....
Tuesday, January 13, 2009
JAKARTA DULU
Keterangan Foto :
Foto 01 : Terminal Bus Lapangan Banteng
Foto 02 : Terminal Bus Lapangan Banteng
Foto 03 : Terminal Bus Tanjung Priok
Foto - foto Jakarta Era 60-an secara berkala akan ditambah. Koleksi foto ini silahkan dipakai dengan menyebutkan riwayat sumber (Djakarta Through The Ages / Cantigi ) untuk dipublikasikan di media massa.
KEARIFAN TRADISIONAL
Bunga Raflesia
Raflesia itu tumbuhan yang manja. Terusik sedikit saja, ia langsung ngambak. Gede adat, kata orang Betawi. Begitu terusik, ia serta merta menjadi layu, bahkan sampai tak mau lagi tumbuh. Ia memerlukan lingkungan yang khas untuk berkembang. Kerja keras harus dilakukan untuk menyelamatkannya dari proses pemusnahan yang saat ini tengah terjadi.
Abangya Rafika Burhan pernah mencoba menanam Raflesia. Namun, sepotong akar tersebut tidak tumbuh. Ia coba menanam kembali, tetap saja tidak ada hasilnya. Sebelumnya, kata Rafika, di lahan milik ayahnya pernah muncul Raflesia. Anehnya, ketika daerah sekitar Reflesia dibersihkan, bunga yang sedang mekar cantik itu langsung saja layu. Dan, sejak itu tidak pernah tumbuh lagi. “Kayaknya, Raflesia itu tidak mau diutak-atik. Manja sekali dia,” kata Rafika seperti menyesali Raflesia tidak muncul lagi di lahannya.
Rafika pemilik warung di Taba Penanjung, Bengkulu Utara, suatu kawasan habibat Raflesia Arnoldy. Bila Raflesia muncul, banyak pengunjung datang. Habibat Raflesia tersebut berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Bengkulu dan Curug - lebih kurang 40 km dari ibukota Provinsi Bengkulu, mamng mudah dijangkau. Terakhir Raflesia muncul pada bulan haji tahun lalu. Kapan lagi bunga antik tersebut muncul, Rafika tidak bisa memastikannya karena katanya tergantung iklim.
Ia sangat menyayangkan Raflesia tidak nyaman hidupnya. Banyak pengunjung yang merusak bunga tersebut dan mengacak-acak tempat mereka tumbuh. “Sampai ada yang mencincang-cincang,” kata Rafika.
Yang juga disesalkan oleh Rafika adalah petugas Jagawana yang sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap kawasan Raflesia. Menurutnya, secara rutin kawasan tersebut perlu “dirazia”. Ia setuju habitat Raflesia ditetapkan sebagai daerah terlarang. “Selalu penduduk sekitar sini yang menemukan raflesia. Yang dapat nama petugas,” terang Rafika, yang juga mengatakan, bahwa bagi penduduk Raflesia bukan sesuatu barang aneh lagi.
Jangan Sakiti Dia
S. Nur Muin, 42 tahun, peneliti Raflesia dari Universitas Bengkulu, tertawa menanggapi apa yang dilakukan oleh abangnya Rafika itu. Sebab, apa yang ditanamnya, bukanlah Raflesia, melainkan inang, dimana Raflesia tumbuh.
Raflesia merupakan tumbuhan yang canggih. Sebab ia tumbuh tanpa memerlukan umbi dan akar dan tidak memiliki batang serta daun. Ia langsung menjadi bunga. Dalam pertumbuhannya, beberapa tahap ia dilalui. Lazimnya tanaman yang baru muncul didahului dengan kecambah. Lalu tumbuh batang, daun, ranting dan bunga. Kemudian terjadi penyerbukan oleh tanaman sejenis lainnya. Sedangkan pada Raflesia tidak demikian, ia langsung menjadi bunga tanpa penyerbukan. Ia tumbuh pada inang yang bernama latin tetratigma sp.
Kalau tidak dengan umbi, akar, melalui apa ia tumbuh ? Raflesia tumbuh melalui biji - biji yang ia serbuki sendiri. Teori yang sudah-sudah mengatakan, Raflesia yang sudah membusuk, terinjak oleh binatang. Melalui telapak, kuku serbuk biji tersebut menyebar. Biji Raflesia sangat halus. Sampai-sampai tak terlihat dengan mata. Hanya melalui mikroskop khusus biji Raflesia baru tampak.
Muin meragukan teori yang mengatakan bahwa penyebaran Raflesia oleh binatang. Ia punya alasan. Sudah tiga Raflesia ia temukan tumbuh menggantung dengan ketinggian satu sampai dua meter dari tanah di inang yang menggelayut di pohon. Bagiamana bisa Raflesia tumbuh menggelantung ? Ini yang menjadi pertanyaan besar baginya. Mungkin saja biji Raflesia terbawa oleh angin, katanya mengingat demikian halusnya Raflesia.
Proses tumbuhnya Raflesia ditandai dengan membengkaknya inang. Tak ubahnya seperti bisul. Di bagian yang membengkak itu kemudian merekah dan memerah serta selanjutnya muncul kelopak. Lama-kelamaan bunga yang kuncup berkembang. Dan, akhirnya mekar seluruhnya. Proses “pembisulan” tadi sampai berkembang utuh memakan waktu selama 8 bulan. Dua minggu lamanya berkembang, bunga akan layu dan akhirnya membusuk. Nah, begitu membusuk, belum tentu tahun berikutnya Raflesia muncul kembali di tempat yang sama. Dalam semusim biasanya bisa tumbuh sampai 8 bunga di tempat yang terpisah. Iklim menentukan pula baginya kapan ia akan muncul. Karena itu bulan-bulan kemunculannya tidak bisa diduga.
Raflesia tumbuhan yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Ia baru bisa tumbuh di kawasan yang memiliki kelembaban tinggi, terlindung matahari dan harus ada sungai serta tumbuh pada jenis tanah tertentu. Dedauan, semak dan humus merupakan lingkungan pendukungnya. Bila saja lingkungan sekitarnya dibersihkan, seperti semak dicabut, sampah-sampah disingkirkan, ia tidak akan tumbuh. Bahkan saat berbunga pun Raflesia langsung layu bila lingkungannya berubah sedikit saja. Bila saja bunga tersebut tergores apalagi terluka, ia langsung layu dan kemudian membusuk.
Dalam Proses Pemusnahan
Raflesia tumbuhan endemik. Pertamakali ditemukan di Bengkulu oleh Sir Thomas Rafles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi tahun 1818. Nama Rafles dan Arnoldy kemudian diberikan kepada bunga yang mereka temukan dengan diameter 100 cm itu.
Di Bengkulu terdapat beberapa habitat Raflesia seperti di Taba Pananjung, Pagar Gunung (Kapahiyang), Talang Ulu, Taba Rena dan Suban (Curug-Rajang Lebong), Dusun Lubuk Tapi dan Talang Tais (Bengkulu Utara). Namun belakangan, Raflesia ditemukan pula di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Selatan.
Kecil kemungkinan ia bisa hidup ditempat lain. Melihat karakteristik Raflesia yang “manja”, potensi kehancurannya sangat besar. “Saat ini Raflesia dalam proses pemusnahan,” terang Muin.
Proses pemusnahan yang dimaksud oleh Muin karena berubahnya lingkungan dimana ia biasanya muncul. Raflesia memerlukan suatu kawasan yang cukup luas dan harus memiliki syarat-syarat yang spesifik tadi. Kemudian, manusia termasuk ancaman besar pula bagi Raflesia.
Ancaman manusia terhadap Raflesia memang terasa. Ketika Raflesia ditemukan, maka orang berbondong-bondong menontonnya. Bila hanya menonton saja, tak apa. Tetapi bila disertai iseng, sampai melukai kelopak, ini jelas akan merusak dirinya apalagi mengacak-acak lingkungannya. “Maka sekarang, saya tidak lagi mau mengekspos bila menemukan habitat Raflesia,” kata Muin yang saat ini merahasiakan tiga habitat Raflesia.
Beberapa penduduk percaya Raflesia memiliki kasiat. Yang diyakini oleh penduduk, Raflesia bisa mengobati kelainan kelamin kaum pria. Kelopak Reflesia dikeringkan, lalu dijadikan ramuan untuk diminum. “Saya pernah melihat tetangga mengobati kelamin anaknya dengan Raflesia. Sembuh memang,” terang Rafika. Sembuh karena Raflesia, walah uawalam.
Perambahan hutan, pembukaan hutan untuk kepentingan umum, merupakan proses pemusnahan Raflesia dalam janga pendek. Muin menceritakan, bagaimana suatu kawasan dibuka telah memusnahkan satu habibat Raflesia. Satu habitat Raflesia yang ditemukan olehnya, kemudian hancur karena di kawasan itu dibangun jalan dengan proyek berlabel AMD. Meskipun yang dibuka hanya selebar jalan, sudah cukup untuk menghancurkan suatu habitat.
Upaya – upaya penyelamatan Raflesia seperti besikerjar dengan waktu mengingat perkembangan kawasan yang pesat. Bersikejar dengan waktu sangat dirasakan oleh Muin. Ia seperti kehabisan daya ditengah penelitain yang dilakukannya. Bersama teman-teman dan dibantu oleh mahasiswanya, Muin tengah berusaha agar Raflesia bisa hidup di luar lingkungan aslinya. Untuk itu, perlu suatu penelitian yang lengkap dan tentunya dengan sejumlah percobaan-percobaan. Tim peniliti sudah cukup lengkap. Ada ahli kehutanan, ahli tanah, ahli ekologi dan sampai kemasyarakatan. Sosial ekonomi masyarakat tidak luput dari pengamatannya.
Sejauh ini, penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Muin sudah berhasil memindahkan inang. Inang tersebut hidup dengan baik. Tinggal kini percobaan membuat lingkungan yang persis sebagaimana habibat Raflesia. “Keberhasilan membiakkan inang Raflesia ini, sudah merupakan kemajuan besar bagi kami. Tinggal mencari cara memindahkan Raflesia,” terang Muin yang sudah melakukan penelitian Raflesia sejak tahun 1988.
Kadang kala ia harus melakukan perjalanan berjam-jam, berhari-hari, naik naik – turun, keluar masuk hutan hanya untuk menemukan Raflesia. Nara sumber utamanya adalah penduduk. Ketika penduduk melihat Raflesia muncul, langsung diberitahukannya kepada Muin. Lalu bersama timnya Muin mengungjungi tempat tersebut.
Ia sudah kehabisan napas. Dana penelitian yang didapatkannya sudah habis, sementara sejumlah percobaan-percobaan harus dilakukan. Penelitian dan percobaan harus berjalan. Ia sudah mencoba meminta bantuan ke sebuah LSM yang begerak soal lingkungan di Jakarta. Proposalnya ditolak karena penelitiannya terhadap Raflesia dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi. Padahal, sebelumnya, ia pernah berhasil mendapatkan dana peneltian dari sebuah lembaga swadaya masyarakat luar negeri. Namun, uang yang dapatkan itu dipakai sendiri oleh rekannya.
Percobaan – percobaan yang dilakukannya di bawah Pusat Pengembangan Sumber Daya Alam Universitas Bengkulu boleh dikatakan terhenti karena tidak ada lagi dana. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya menginvantarisir pertumbuhan raflesia. Rizal Bustami & Agus Blues / Foto : Muin dan Rizal Bustami
Thursday, January 01, 2009
Monday, December 29, 2008
Sunday, December 28, 2008
Friday, December 19, 2008
MASJID ANTIK
Masjid Jamik,
yang tak Rubuh karena GempaMasyarakat Sumatera Barat dikenal relegius. Surau dan masjid banyak didirikan di pelosok kampung dan
Cantik dipandang dengan interior dan mimbarnya artistik. Suasana khusuk dan terkadang kesan magis diusahan agar peribadatan lebih merasuk.
Salah satu masjid tertua di Kabupaten Agam, Sumatera Barat adalah Masjid Sariak. Didirikan pertamaka kali tahun 1800-an. Semula bangunannya terbuat dari kayu kemudian diganti dengan tembok.
Meski masjid ini berlantai dua, namun tidak menggunakan kerangka besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang dicampur dengan pasir. Lantai dasar masjid dipergunakan untuk ibadah sehari-hari, seperti shalat
Pada komplek masjid terdapat satu buah surau atau langgar tempat belajar mengaji bagi anak-anak, satu buah rumah guru agama, satu buah rumah garin dan satu buah menara yang artistik pula. Sayangnya, masjid yang diperkaya khasanahnya dengan sebuah kolam yang cukup luas itu, tidak diketahui oleh masyarakat setempat tentang sejarah keberadaannya.
Darlis St. Rajo Mudo (67 tahun), salah seorang warga Negeri Sariak, hanya mengetahui bahwa masjid tersebut didirikan tahun 1901 dan lama pengerjaannya tiga tahun. Cerita pembangunan mesjid tersebut bukanlah diwarisi dari leluhurnya, melainkan dari salah seorang pekerja bangunan yang masih hidup. Pekerja tersebut secara kebetulan bertemu dengannya di sebuah tempat perburuan pada tahun 1984.
Bekas kuli bangunan masjid itu bernama Malin Sutan. Waktu bertemua dengan St. Rajo Mudo Malin Sutan ia telah berusia 117 tahun (1984). Dan yang dapat dituturkan oleh Malin Sutan hanyalah kapan masjid tersebut dibangun dan selesai. Yang jelas, kata penduduk setempat, masjid didirikan lantaran di kampungnya ada seorang ulama besar yang bernama Buya Angku Pasia. Buya Angku Pasia kebetulan guru sekolah agama pada salah satu pesantren di Kecamatan IV Angkat Candung (Tarbiyah Pasir).Tanah tempat mesjid kini berdiri pemberian Dt. Palindih yang ia wakafkan. Dt. Palindih masih bersaudara dengan ulama besar itu mendukung pula menyerahkan tanah kaumnya.
Seperempat abad setelah berdirinya masjid, tahun 1926 gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 6,5 S.L, yang terkenal dengan gempa Padang Panjang, menggoncangkan seluruh bangunan di sekitar Gunung Merapi.
Ajaibnya, bangunan masjid tersebut tidak mengalami apa – apa, kecuali menara masjid yang mirip dengan menara masjid Kudus roboh separohnya. Pada sisa bangunan menara, dibangun saja kuncup atap seperti sebelumnya. Sehingga tinggi menara tidak lagi setinggi pertama sekali dibuat. Kubah baru tanpa menggunakan pipa besi untuk penyangganya. Untuk perekat tembok masih mempergunakan kapur sirih. Masjid lama berarsitektur asli dengan bentuk atap punden berundak.
Masjid Jamik yang lebih dikenal dengan Masjid Taluak terletak di Nagari Taluak, Kecamatan Banuhampu Sungai Puar, Kabupaten Agam. Dari
Bendungan yang disebut penduduk setempat dengan "pakok-an" dikerjakan secara bergotong-royong. Bahkan penduduk nagari tetangga berpartisipasi pula dalam pekerjaan besar tersebut. Batu-batu diangkut dari dalam jurang, dan tanah diuruk. Diatas bendungan itulah kini Masjid Jami Taluak berdiri.
Masjid Jamik Taluak dimanfaatkan oleh masyarakat dari tiga buah jorong (desa), begitu pula dalam pembagian jabatan kepengurusan masjid tersebut. Biasanya, yang menjadi Imam masjid adalah ulama dari Jorong Taluak Mudiak, Kadhi dari Taluak Ilia (tempat beradanya masjid), dan Khatib dari Tanjuang Alam-Jambu Air.
Dalam sejarahnya masyarakat ketiga jorong inilah yang membangun mesjid ini. Rizal Bustami / Foto : Agus Blues
Wednesday, December 17, 2008
Tuesday, December 16, 2008
KUNJUNGAN KE CISOKA
Kami melayani kunjungan ke Tambang Emas Rakyat Cisoka dengan mobil Land Rover. Dapatkan pengalaman yang seru, menggapai puncak bukit, menuruni lembah untuk melihat dari dekat koloni penambang emas. Lama perjalanan 1 hari penuh. Berangkat jam 06.00 dari Bogor. Tujuan ke arah Rangkas Bitung. Baca artikel lengkap dan foto : Tambang Emas Tradisionil Cisoka.
-
LAPORAN PERJALANAN : Apa saja di Baduy ? Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang...
-
Saya baru-baru ini saja bisa mengendarai sepeda motor dalam arti sesungguhnya. Dengan kata lain, status pemula. Namun, dalam hitungan bulan,...