Ranah Pametik, Kisah “7 Harimau Kerinci”
Pemukiman yang makmur di tengah
Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan sepeda saya kesana...
Berawal dari bincang-bincang ringan dengan Pak Randa, dimana
saya tinggal selama berada di Sungai Penuh. Pak Randa, tinggal di dekat wisata
Air Panas Semuruk, 11 km dari pusat kota Sungai Penuh, di ruas jalan Sungai Penuh - Kayu Aro.
Berbicaralah Pak Randa, bahwa 7 orang warga Semuruk, pada tahun 1965,
meninggalkan kampungnya, mencari lahan pertanian dan pemukiman baru. Nah,
pemukiman tersebut, yang dikenal dengan nama Ranah Pametik, sekarang
berada di tengah-tengah
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Kawasan Ranah Pametik itu kemudian
dikembangkan menjadi tiga desa. Naluri jurnalis saya dan kepekaan akan
lingkungan sosial, tersentak seketika, mengingat ada 3 desa berada di tengah
kawasan yang dilindungi oleh Undang Undang Negara. Sudah barang tentu, ini
menjadi persoalan antara pemukim dengan otoritas kawasan taman nasional.
Semangat heroik 7 pemuka masyarakat Semuruk membuka lahan baru – yang berada di
tengah-tengah hutan itu, menjadi cerita yang langka dan menarik. Ke 7 pioner tersebut, ditandai dengan
lahan persawahan. Hanya 7 orang saja yang memiliki sawah di sana. Karena
alasan-alasan itu, maka saya minta kepada Pak Randa untuk mengantarkan saya ke
Ranah Pametik. Maka Pak Randa, keesokan harinya, menitipkan saya untuk ikut ke
Ranah Pametik itu. Ranah Pametik, lebih kurang 40 km dari kota Sungai Penuh.
Legenda 7 orang
perintis Ranah Pamatik dari Semurup
Ranah Pemetik berada di zona inti Taman Nasional Kerinci
Seblat. Di kawasan Ranah Pematik, Kabupaten Kerinci, berkembang menjadi 3 desa, yaitu Desa
Pasir Jaya, Desa Lubuk Tabun dan Desa Sungai Kuning.
Pada tahun 60-an, muncullah pemikiran dari sesepuh Semurup,
Kerinci, bahwa puluhan tahun ke depan, lahan pertanian dan pemukiman makin
menyempit seiring dengan pertumbuhan manusia. Maka tercetuslah untuk mencari
lahan baru. Setelah melalui perundingan-perundingan, maka tahun 1965, berangkatlah 13 orang menempuh hutan
belantara, yang dilepas secara adat, diantar sempai batas hutan. Akhirnya, pada
hari ke 4, ke 13 orang tersebut menemukan suatu lembah datar dengan sumber air
melimpah. Setelah membuat patok, hari ke tujuh, 13 orang tersebut kembali ke
Semurup.
Lebih kurang tiga bulan kemudian, 7 orang pioner kembali ke lokasi yang sudah
ditandai. Ke tujuh orang tersebut membawa peralatan pertanian dan bahan pokok
untuk satu bulan bekerja. Sedangkan 6 orang lainnya, tidak tertarik kembali ke
Ranah Pametik karena dianggap terlalu jauh, dan berada di tengah hutan lebat.
Kembali ke Ranah Pametik, ke 7 orang tersebut membagi lahan
persawahan dan membuat batas kampung. Mereka mendirikan rumah sederhana satu
per satu, sampai ke tujuh orang tersebut memiliki rumah sendiri. Rencana awalnya
satu bulan, memanjang menjadi tiga bulan. Ke tujuh orang tersebut berpikiran,
mereka persiapkan dulu semua, baru mereka pulang ke Semurup untuk menjemput
keluarga mereka. Secara bergantian, mereka menjemput keluarga mereka.
“Saya lahir di Ranah Pamatik, di hutan,” ungkap Ibu Randa,
istri Pak Randa.
Satu dari 7 orang tersebut, bernama Yanman, masih hidup. Saya
tidak dapat menemui orang tua itu, karena dia sedang melakukan umroh di tanah
suci.
Selepas dari Sungai Penuh, jalan beraspal naik tajam. Kemudian jalan menurun tajam, dan naik turun
perbukitan. Pemukiman pertama yang dilewati adalah Desa Pungut Mudik.
Di Desa Pungut
Mudik ini, dimana
berkahirnya pelayanan listrik PLN. Sampai batas hutan produksi, jalan masih
beraspal. Selanjutnya jalan tanah yang naik – turun perbukitan.
“Kita harus buru-buru, supaya punya teman dijalan. Kalo kita
sendiri, tidak ada menolong kita,” kata Pak Irwan (50), dimana saya menumpang mobil pick
upnya ke Ranah Pametik.
“Segawat itukah Bang,” tanya saya.
“Tidak. Mudah-mudah tidak hujan. Kalo hujan, jalan tidak bisa
dilalui. Kita harus bantu-bantu supaya mobil bila lolos dari jalan berlumpur,”
jelas Pak Irwan, yang mengendarai mobil pick up.
Pak Irwan, merupakna putra sulung
Dari Pak Yanman. Ketika Ayahnda Pak Irwan merintis kampung di Ranah Pametik,
ketika itu ia berusia 4 tahun.
Apa dikawatirkan Pak Irwan benar adanya. Di satu penanjakan,
banyak mobil pick up berbaris. Jalan tanah yang berlubang dalam menanti. Setiap mobil dipasangi rantai pada ban
belakang. Mobil pertama yang lolos, membantu menarik mobil dibelakang, sampai semua
mobil lolos.
Ranah yang cantik
Tidak salah ke tujuh orang tersebut memilih kawasan ini
sebagai pemukiman dan pertanian, meski jauh dari kota. Sebidang
kawasan di daratan yang rata, dikelilingi oleh perbukitan serta dilimpahi air
yang jernih. Kata warga setempat, sungai yang mengalir ke Ranah Pametik berasal
dari Danau Gunung Tujuh. Di kawasan tersebut juga terdapat air terjun yang belum tersentuh, hanya 1 jam perjalanan dari
desa.
Kerja keras para pioner, dan
pengikut dibelakangnya, Ranah
Pametik berkembang menjadi pertanian yang subur. Hasil buminya adalah padi, kayu manis, kentang, kopi, dan
tembakau. Sedangkan padi
dan beras, mereka konsumsi sendiri. Padi yang mereka tanam, padi kuno, yang
dibawa oleh 7 orang perintis tadi. Padi tersebut bernama Pagi Payo Ranah
Pamatik. Masyarakat tidak memperjual belikan beras yang mereka tanam.
Beras Payo Ranah Pametik berusia
tanam 1 tahun. Batangnya besar-besar, tingginya sampai 1 meter. Beras Payo
Ranah Pamatik berserat halus, sehingga renyah dikunyah. Pernah jenis padi lain,
yang berusia pendek ditanam di Ranah Pametik, namun hasilnya tidak baik. Karena
itu, warga Ranah Pametik mempertahankan padinya.
“Kami tidak pernah kekurangan
makanan disini. Karena itu, kami mempertahankan padi asli disini, yang ditanam
oleh leluhur. Begitu cara kami menghormati leluhur,” seorang warga
mengungkapkan di warung Ibu Wawan.
Berbincang-bincang tentag Ranah
Pametik, bagai mendengarkan legenda. Warga dengan kebanggaan tinggi, antusias
bercerita tentang sejarah kawasan ini. Tradisi mereka pegang kokoh. Gotong
royong dan menjadi etika kepatutan di junjung tinggi.
Salah satu tradisi yang mereka
pegang teguh yaitu, gotong royong menanami sawah dan bersama-sama mendirikan
rumah, yang disebut batagak rumah.
Seseorang yang akan mendirikan,
akan memberitahukan warga dengan cara mendatangi setiap warga. Warga diundang
dengan mempersembahkan hantaran daun siri. Pada hari yang ditentukan, warga
berhenti beraktivitas, datang untuk mendirikan rumah. Bukan hanya kaum pria
yang datang, kaum wanita juga hadir. Sementara kaum pria ke hutan mencari kayu,
membuat papan, balok, kaso, kaum ibu memasak makanan dan minuman. Dalam satu
hari, rumah sudah berdiri dan bisa ditempati.
“Warung saya ini contohnya, satu
hari saja sudah bisa tempati,” terang Pak Wawan, yang dulu bertani kelapa sawit
di daerah lain, memilih bermukim di Ranah Pametik sejak 5 tahun lalu.
Saya salah seorang mendapat
undangan untuk melihat batagak rumah.
Tentu kesempatan ini tidak saya sia-siakan.
Lingkungan alam Ranah Pametik
relatif terjaga dengan baik. Meski ada penjarahan hutan pembukaan hutan, dapat
ditangani dengan cepat oleh pihak Taman Nasional. Namun, warga asli Ranah
Pametik, menjaga dengan baik lingkungan sekitar. Bagi mereka, lahan pertanian
ayang ada sudah cukup untuk menghidupi keluarga mereka, sehingga tidak perlu
membuka hutan. Mereka sadar betul, bahwa kawasan dimana mereka tinggal adalah
hutan yang dilindungi. “Jika kami perlu kayu, itu hanya untuk membangun rumah,
untuk fasilitas umum. Kayu yang kami tebang, kami pilih mana yang aman,” tutur
warga.
Dibeberapa tempat, di kawasan taman nasional, khususnya di zona
produksi, sudah beralih fungsi lahan. Saat ini marak ditanami kopi arabica.
Hasil bumi yang melimpah
Buah kerja keras “Tujuh Harimau
Kerinci” itu, Ranah Pametik menjadi pemasok hasil bumi penting di Kerinci. Di mulai dari Desa Sungai Kuning sampai Desa Pungut
Mudik, atau lebih kurang 30 km ruas jalan Sungai Penuh – Ranah Pametik, hasil bumi setiap hari yang dibawa ke
Sungai Penuh, sebanyak
50 trip kendaraan bermuatan 1 ton. Jadi, dalam
sehari, hasil bumi yang dibawa ke Sungai Penuh mencapai 50 ton.
Ketiga desa di Ranah Pametik tidak memiliki akses jalan
aspal, tidak memiliki jaringan listri PLN, tidak ada jaringan komunikasi, baik
kabel maupun seluler, dan tidak ada siaran televisi.
Sumber penerangan warga, berupa kincir listrik. Setiap kincir listrik,
menghasilkan 2000 sampai 3000 watt. Harga satu unit kincir listrik, mencapai
Rp. 10.000.000.
Sekolah yang ada, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Ada Puskesmas, tetapi tidak ada tenaga medis.
Warga Ranah Pemetik sangat berharap jalan aspal. Ketika
hujan, kendaraan tidak ada yang datang, dan tidak ada pula yang keluar membawa
hasil bumi.
“Jika musim hujan, mobil tidak
bisa bawa hasil tani. Selain itu pemilik
mobil meminta ongkos tinggi,” jelas Ibu Wawan dimana saya bermalam di
warungnya.
Saya rupanya pengunjung
satu-satunya yang datang tanpa kepentingan. Kedatangan saya semata hanya untuk
melihat langsung peninggalan si “7 Harimau Kerinci” itu. Namun demikian, setiap
warga yang temui, mengeluhkan akses jalan dan tidak tersedianya aliran listrik
PLN dan tidak terjangkau oleh saluran komunikasi.
Ke Ranah Pametik dari Sungai
Penuh, tidak ada transportasi reguler untuk penumpang. Untuk menuju Ranah
Pamaetik, menumpang dengan mobil bak. Penumpang tidak dipungut bayaran, namun
cukup diberi pengganti bahan bakar secukupnya. Untuk ke Ranah Pematik, menunggu
kendaraan di Simpang Tutung antara jam 07.00 sampai jam 11.00.
Saya menjelaskan – sebatas
pengetahuan saya, bahwa tidak memungkinkan untuk membangun jalan aspal, dan
menyediakan listrik PLN karena Ranah Pametik memasuki kawasan taman nasional.
Meski Ranah Pemetik sudah terbentuk dalam pemerintahan desa, dan memiliki hak
infrastruktur, namun terbentur kepada Undang Undang yang melindungi kawasan
taman nasional. Hanya seizin taman nasional, dalam ini Kementrian Kehutanan,
infrastruktur bisa dibuka.
Konon, ketiga desa di Ranah Pametik sudah diakui oleh TNKS (Taman
Nasional Kerinci Seblat),
artinya, TNKS sudah mengeluarkan ketiga desa tersebut dari kawasan taman
nasional. Disebut-sebut oleh warga, bahwa ada surat perjanjian
dengan pihak TNKS. Saya
berburu data kesalah satu keluarga Pak Randa,
catatan dan surat perjanjian warga Ranah Pametik dengan pihak TNKS sudah raib,
karena berkas-berkas tersebut dibuang-dianggap sampah.
Kembali ke Sungai Penuh, saya
menggowes sepeda. Berangkat dari Warung Ibu Wawan di Ranah Pametik, sampai di
Semuruk jam 19.00. (Rizal Bustami)