FENOMENA PESISIR JAKARTA, DARI MARUNDA SAMPAI KE KAMAL
|
Disain Dr.Herri Muin |
Ada Kampung Laut di Kamal, ada Kampung “Tak Bertuan” di Angke, Masjid Kuno Luar Batang, sampai Marunda yang Terisolir....
Jakarta adalah kota yang sudah di “lapuk”. Dari selatan diterjang air bah, dari utara ditumpahi air laut. Warga Jakarta yang “semau gue”, menambah berat kota ini.
Siapun yang menjadi gubernur DKI, Jakarta harus ditata lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dan, gubernur tersebut harus mempunyai nyali untuk itu. Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, rupanya menjadi “ekskutor” dalam banyak hal dalam pembenahan DKI Jakarta. Ahok, bernyali besar untuk itu.
Adalah fakta bahwa dibeberapa tempat daratannya sudah berada di bawah permukaan laut. Supaya Jakarta tidak tergenangi oleh air laut, maka akan dibangun tanggul di sepanjang pantai Jakarta dari Kamal Muara sampai dengan Marunda. Chairul Tanjung, yang ketika itu (2014) mejabat sebagai Menko Perekonomian, meresmikan dimulainya pembangunan tanggul penahan banjir di Rumah Pompa Pluit.
Pekerjaan berikut DKI untuk mengembangkan kota ini yaitu apa yang disebut-sebut sebagai Great Sea Wall atau Giant Sea Wall atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tentu saja perubahan besar akan ada di bagian utara DKI, dan itu soal menunggu waktu saja. Sementara itu, di pesisir Jakarta, berdiam koloni-koloni masyarakat yang sudah berurat dan berakar. Warga masyarakat yang terdampak langsung oleh pembangunan tanggul tersebut dalah Kamal Muara, Muara Angke, Pluit, Luar Batang, Kali Baru, Cilincing dan Marunda. Sebagaimanakah “perwajahan” koloni-koloni masyarakat di pesisir Jakarta itu?
“Tanah timbul”, menjadi istilah yang – barangkali hanya populer oleh kalangan masyarakat pesisir. “Tanah timbul”, adalah lahan padat yang dibuat dengan sengaja oleh seseorang, atau sekelompok orang di lahan berair, baik itu di laut, danau, rawa, sungai atau situ. Suatu kawasan basah, ditimbun dengan berbagai material padat oleh masyarakat. Apa yang disebut “tanah timbul” tersebut, itulah apa yang kita kenal secara generik sebagai reklamasi.
Di “tanah timbul” itu, kemudian seseorang atau sekelompok orang mendirikan bangunan rumah tinggal. Biasanya, dimulai oleh satu orang, yang kemudian diikuti oleh orang lain, yang lama-kelamaan menjadi koloni dan berubah menjadi perkampungan. Pada kawasan “tanah timbul” – yang sudah menjadi perkampungan itu, diklaim atau diakui oleh individu yang berada disana sebagai miliknya. Fakta inilah yang terjadi di sepanjang pesisir Jakarta, mulai dari Kamal Muara sampai ke Marunda.
Kawasan-kawasan yang diakui oleh masyarakat sebagai “tanah timbul” tersebut, berada di Keluarahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, di Keluarahan Kali Baru, dan Keluarahan Cilincing, Kecamatan Cilincing.
Rintisan “tandah timbul” terjadi rantang waktu tahun 1970-an sampai tahun 90-an. Ketika DKI mengalami perkembangan yang pesat sebagai kota bisnis, kota industri, kota jasa, kota perdagangan, perumahan, kebutuhan lahan menjadi mendesak. “Tanah timbul”, menjadi subjek yang diinginkan untuk dikuasai.
Berada di kawasan yang tidak memiliki status kepemilikan, masyarakat di “tanah timbul” hidup dalam ketidak pastian, sewaktu-waktu mereka bisa terusir dari tanah yang ia bangun sendiri. Klaim sejarah, asal usul tanah, hanya menjadi pengakuan lisan, yang tidak memiliki kekuatan hukum. Akhirnya, mereka menerima kenyataan pahit, kehilangan tempat tinggal, dan hilang pula mata pencaharian.
Itulah yang terjadi di DKI selama ini. Apakah penguasaan “tanah timbul” tersebut akan terjadi lagi, karena masih terdapat dibeberapa kawasan “tanah timbul” di DKI?
Untuk memahami dan mengerti sosial budaya masyakarat pesisir Jakarta, tidak ada suatu refrensi apapun yang ada, ditinjau dari khasanah sosiologi, sejarah atau budaya. Jakarta yang dinamis dan majemuk, masyarakat menjalankan hidup dengan siasat, azaz manfaat dan dengan kegigihan.
Memahami masyarakat pesisir DKI, dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara cermat setiap koloni atau perkampungan.
Laporan yang saya buat ini, saya dua bagian. Bagian pertama berupa diskripsi dan analisa yang dilengkapi dengan peta kawasan. Bagian kedua, adalah foto-foto kawasan yang saya potret antara tahun 2015 sampai dengan 2016.
“KAMPUNG LAUT”, Muara Kamal, Kecamatan Penjaringan
|
Kawasan Kamal Muara |
Kegelisahan warga di RW 04, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, semakin meninggi. Betapa tidak, karena laut yang sedang diuruk menjadi pulau oleh pengembang property swasta semakin mendekati pemukimannya. Warga dicemaskan soal kelangsungan hidupnya, sudahlah mata pencahariannya tercerabut sebagai peternak kerang hijau, ancaman angkat kaki dari rumah yang mereka tempati menghantui mereka pula.
|
Reklamasi oleh pengembang swasta. Citra Google Earth April 2016 |
Bagian administrasi Kelurahan Kamal Muara yang berbatasan dengan laut, ada dua Rukun Warga, yaitu RW 01 dan RW 04. RW 04 merupakan pemekaran dari RW 01. RW 04 berada di pesisir pantai.
Warga di RW 01, terdiri dari etnis Banten, Betawi dan Bugis. Sedangkan RW 04, 90 persen adalah etnis Bugis.
Di kedua RW tersebut, tidak ada lagi lahan yang tersisa untuk dibangun rumah. Di RW 04, pendatang baru, atau keluarga baru, membangun rumah diatas permukaan laut.
Masyarakat di kedua RW tersebut, 90 persen beraktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Artinya, mereka secara ekonomis hanya berada di kawasan Kamal Muara. Mata pencaharian mereka adalah sebagai nelayan kerang hijau, perdagangan kecil, jasa transportasi dan jasa wisata.
Diantara RW 01 dan RW 04, RW 04-lah yang terkena dampak langsung oleh pembangunan tanggul laut dan ekses dari pembuatan pulau oleh pihak swasta. RW 04 lokasinya berada di tepi pantai, terdiri dari 9 RT, dengan jumlah rumah 700 unit dan jumlah KK 780. Status hunian, Sertifikat Hak Guna Bangunan. Namun demikian, 90 persen warga membayar PBB. Pengurus RW 01 dan tokoh masyarakat merasa aman-aman saja. Pengurus RW 01 mengatakan, bahwa lahan yang ditempati oleh warganya sudah hak milik dan pemukiman mereka tidak berhubungan dengan garis pantai.
“KAMPUNG X, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan
Kata lusuh sangat tepat diberikan ke kawasan Muara Angke. Dalam sejarah modern Jakarta, Kali Angke sudah menanggung beban yang amat berat. Di muaranya, kapal-kapal penangkap ikan bersedsak-desakkan dan di sepadannya sesak pula dengan gubuk. Akibatnya, sungai menyempit dan terjadi pendangkalan. Kapal dan gubuk-gubuk, menjadi penghambat lajunya air dan tempat berlabuhnya sampah. Sementara itu, Kali Angke merupakan bagian dari Marga Satwa Muara Angke, dimana satunya-satunya kawasan konservasi di DKI daratan.
|
Kampung "X" |
Meski Kali Angke penuh dengan kapal penangkap ikan, mereka buaknlah warga setempat, melainkan berasal dari Indramyu, Tegal, Cirebon, Pekalongan dan dari daerah lainnya. Mereka hanya singgah di Kali Angke, setelah melaut, mereka. menurunkan ikan, lalu mengisi perbekalangan kembali laki ke laut. Sedangkan warung-warung yang berada di bantaran sungai, bukan penduduk tetap disana. Para penghuni, dibagi per kelompok, setiap kelompok berinduk ke RW setempat.
Warung yang ada disana, berperan pula sebagai “pemodal” bagi kapal ikan. Warung memberikan pinjaman uang, dan memberi hutang untuk bahan bakan bensin, beras, lauk pauk. Hutan dibayar selepas melaut.
Jadi, dikawasan Angke, khusunya Kali Angke, tidak ada nelayan DKI.
Muara Angke menanggung beban yang amat berat disebabkan multi aktivitas siang dan malam, sebagai pusat bongkar ikan, pelelangan ikan, penyimpanan ikan, pengolahan ikan, dan pemukiman.
Pertumbuhan yang pesat di luar kawasan Muara Angke, yang berkambang manjadi kawasan elitis, sementara Muara Angke masih bertahan dengan kesemerautan dan kekumuhan.
Ada empat aktivitas utama di Muara Angke, yaitu perdagangan ikan segar, pengolahan ikan asin, pengolahan kerang hijau, sebagai tambatan kapal, dan jasa transportasi serta jasa tenaga.
Aktivitas yang secara langsung melibatkan masyarakat pemukim disana, yaitu pengolahan ikan asin dan pengolahan kerang hijau. Pegolahan ikan asin dan pengolahan kerang hijau, melibatkan banyak tenaga kerja.
Pengolahan ikan asing memerlukan lahan terbuka yang luas untuk penjemuran. Usaha pengolahan ikan asin tersebut, 90 persen dikelola olah masyarakat yang berasal dari Indramayu.
Pengolahan kerang hijau, yang juga dikerjakan masyarakat Indramayu, merupakan kegiatan ekonomi sehari-hari warga.
Secara administratif kependudukan, di kawasan Muara Angke terbagi dalam 2 RW, yaitu RW 01 dan RW 11. Dilihat dari luasan pemukiman dan jumlah warga yang menetap, RW di kawasan Angke melebihi dua RW, namun tidak mendapat pengakuan Pemda DKI.
Perkampungan "X", kita namakan saja demikian, karena perkampungan besar tersebut tidak memiliki RW sendiri dan juga tidak memiliki nama kampung. Perkampungan "X" tersebut, secara administratif, bukan bagian dari RW 01 maupun RW 11. Untuk keperluan administratif, Kampung "X", menginduk kepada RW01 atau ke RW11.
Kampung "X", terdiri dari 3 blok, yaitu Blok Empang, Blok Kampung Nelayan, dan Blok Enceng. Blok tersebut dibagi lagi dalam 11 kelompok. Pembagian Kelompok, setingkat RT (Rukun Tetangga). Kesebelas Kelompok dikepalai oleh seorang Kepala Kampung. Kepala Kampung tersebut, setara dengan Ketua Rukun Warga (RW).
Kampung "X" dihuni oleh sekitar 1300 KK. Jumlah rumah dan KK selalu berkembang, karena sewaktu-waktu ada pendatang baru yang bermukim atau warga setempat membentuk keluarga baru dan rumah hunian baru.
Mata pencaharian warga Kampung "X" adalah pengolah kerang hijau, yang dikerjakan oleh kaum wanita. Kaum pria bekerja sebagai pengumpul kerang hijau dan nelayan pancing.
Kampung "X", yang berada di bibir pantai, akan mendapatkan akibat langsung dari pembangunan tanggul laut.
Selain Kampung "X" dimana warganya dianggap sebagai "pemukim liar", terdapat pula di bantaran Kali Angke. Menurut Ketua RW 01, keberadaan pemukiman liar di sepanjang Kali Angke, tidak sulit jika harus dikosongkan. RW 01 yang bersentuhan langsung dengan pemukim liar, selama ini membina dan mengawasi lingkungan sosial setempat.
Tambatan perahu dan pemukiman liar di Kali Angke menghambat aliran sungai dan sebagai pemyumbat sampah.
Kedua RW diatas, yaitu RW 01 dan RW 11, warganya berstatus menetap dan setiap individu tercatat sebagai penduduk DKI. Kedua RW tersebut, tidak secara langsung bersentuhan dengan aktivitas perdagangan ikan di Muara Angke.
Orang yang mejabat sebagai Kepala Kampung tersebut, adalah Arpani, berusia 70 tahun. Orang pertama, tahun 1976 yang menancapkan sebatang bambu untuk mendirikan pondok di bagian barat Muara Angke. Arpani, adalah "sang pelindung", Abah Arpani adalah "good father" bagi warga yang bermukim di kawasan tersebut.
LUAR BATANG, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, sebagai Situs Batavia
|
Kawasan Luar Batang, Palabuhan Sunda Kelapa, Meseum Bahari |
Di Luar Batang, kawasan Pasar Ikan, terdapat situs sejarah yaitu Menara Pasar Ikan, Meseum Bahari, Pasar Lama Luar Batang, dan situs religi Masjid Luar Batang.
Warga yang bermukim di Luara Batang, berbagai etnis.
Kegiatan ekonomi masyakat setempat, perdagangan dan jasa ojek perahu.
Di kawasan situs sejarah, dikepung oleh pemukiman dan pasar. Pasar tua Luar Batang, sudah tidak berfungsi. Kios-kios yang terdapat di Pasar Luar Batang, berubah fungsi sebagai tempat tinggal.
|
Posisi Masjid Luar Batang |
Sisi pantai Luar Batang sudah diturap, namun demikian, warga yang bermukim disekitar pasar, was-was pada suatu waktu mereka tergusur. Issu bahwa akan dibangun turap besar, sudah diketahui warga.
Kawasan Luar Batang, bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Jakarta, sebagai bandar besar Nusantara.
KALI BARU, Kecamatan Cilincing, Sentra Ikan Asin dan Kayu
|
Kawasan Kali Baru |
Kali Baru merupakan salah satu pelabuhan tertua di Jakarta, selain Pelabuhan Sunda Kelapa. Sampai saat ini, pelabuhan kecil di Kali Baru masih beraktivitas, meski fungsinya sudah berkurang. Secara tradisionil, Kali Baru sebagai pelabuhan kayu.
Kelurahan Kali Baru, merupakan kawasan terluas dan terdapat di pesisir Jakarta. Tiga etnis, yaitu Bugis, Madura, Sumatera Selatan, bermukim turun-temurun di Kali Baru. Tiga etnis perantau yang saling bersaing menguasa kawasan, sampai akhirnya ketiga etnis tersebut hidup damai dan saling berdampingan.
Diantara pemukiman warga, tumbuh dua pusat bisnis, yaitu perdagangan kayu dan ikan asin. Ikan asin dominan oleh keuturuna Bugis, sedangkan kayu dikuasai oleh etnis Sumatera Selatan.
Pada akhirnya, Kali Baru dibebaskan oleh Pelindo, karena lahan tersebut milik Palindo untuk perluasan pelabuhan. Pelabuhan baru Palindo saat ini sedang dalam pembangunan.
Warga menerima penggantian nilai bangunan dengan harga yang layak. Suatu cara penyelesaian Pelindo yang dipuji oleh masyarakat yang terkena penggusuran.
Di Kelurahan Kali Baru yang terkena penggusuran, meliputi 3 RW, yaitu RW 08, RW 09 dan RW 10.
Meski mendapat penggantian yang layak, bagi pedagang kayu dan pedagang ikan asin, mempertanyakan mereka pindah kemana. Perundingan-perundingan masih berlangsung, untuk mencari lokasi yang tepat. Untuk ikan asin, diusulkan beberapa pasar terdekat.
CILINCING, Kecamatan Cilincing, yang Kerap dilanda Pasang
|
Kawsan Clincing |
Muara Cilincing, persisnya di aliran Cakung Drain, atau Sungai Landak, memiliki peran ekonomi yang penting bagi warga setempat karena dari sinilah kebutuhan sehari-hari masyarakat pesisir utara Bekasi dipasok. Kebutuhan pokok, kebutuhan erumah tangga, bahan bakar, diangkut dengan perahu bermotor ke kawasan pemukman di Bekasi Utara.
Cilincing, dikenal dengan program rumah deretnya, yang dipopulerkan oleh Jokowi, ketika masih mejabat sebagai Gubernur DKI.
“Jika takut dilamun ombak, janganlah berumah di tepi pantai,” begitu pepatah lama mengingatkan.
Pepatah kuno itu menjadi kenyataan di pesisir Cilincing. Saban tahun, pemukim disana dua musim didera olah angin dan ombak, yaitu musim barat dan musim timur. Ombak tinggi disertai angin, membuat pantai terkikis. Untuk menahan terkikisnya pantai, maka warna membuat penahan gelombang yang terbuat dari bambu.
Namun kemudian, Pemda DKI membangun tembok penahan gelombang. Penahan gelombang yang dibangun Pemda DKI itu, ternyata tidak memadai, maka akan dibangun lagi dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi.
Tokoh masyarakat Cilincing, mendukung rencana pemerintah untuk membuat turap disepanjang pantai dan membersihkan Cakung Drain dari kapal serta pemukiman liar. Bahkan, warga menginginkan secepatnya membangun tanggul.
Warga Cilincing, khususnya RT012/RW04, merasakan manfaat tanggul yang sudah ada, terutama ketika musim angin. Namun demikain warga keberatan tanggul yang ada sekarang ini, dibangun memasuki pemukiman.
Lahan yang ditempati warga sekarang ini, apa yang disebut sebagai "tanah timbul". Di RT 012, ditempati 350 KK dengan 330 rumah. Sebagian besar rumah warga sudah direhab, yang disebut sebagai rumah reret.
MARUNDA, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing
|
Kawasan Marunda |
Marunda mewarisi budaya Betawi, yang bercirikan masyarakat pesisir. Dari sinilah legenda Betawi bermula, dengan tokoh legendaris Betawi Si Pitung di Marunda. Sebagai masyarakat asli Betawi, Marunda diwarisi sebuah masjid tua, yaitu masjid Al-Alam. Masjid yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu, terletak di Marunda Besar, RT 09/RW 01 yang dibangun pada tahun 1527 oleh Fatahillah bersama para prajuritnya.
Ada tiga kampung di Marunda, yaitu Marunda Pulo, Marunda Besar dan Marunda Kongsi. Marunda Pulo dan Marunda Besar, murni dihuni oleh warga Betawi. Sedangkan di Marunda Kongsi, sudah bercampur baur dengan para pendatang.
Marunda yang berada di pesisir, ditandai pula sebagai kawasan tambak. Dulu, warga bekerja sebagai nelayan di laut, tapi kini, warga Marunda tidak ada lagi berprofesi sebagai nelayan. Bekerja di laut, tidak dilakukan lagi sejak harga bahan bakar mahal. Sebagai nelayan tambak, tidak pula, karena lahan tambak sudah berpindah tangan.
Masyarakat Marunda berpenghasilan bekerja di pabrik dan bekerja sebagai sopir dan jasa angkutan lainnya.
Pantai Marunda Pulo dan Marunda Besar sudah dibuatkan turap. Turap yang membentengi Marunda Besar dan dengan rumah susun yang dulunya ditempati oleh warung-warung makan, kini sudah dibongkar.
Ironis, Jakarta yang kaya, masyarakat Marunda bagai tinggal di dusun. Sampai saat ini, belium adfa jalan untuk kendaraan roda empat yang menyentuh Kampung Marunda. Ke Marundo Pulo, dimana keberadaan situs Si Pitung, baru dibangun jembatan. Selanjutnya, mencapai kampung dan situs hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Marunda Besar lebih terislosir lagi, karena dikepung oleh tambak. Sedangkan Marunda Kongsi, lebih beruntung karena adanya Rusunnawa Marunda.
Saya merasa kawatir pada kahirnya nanti Marunda, sebagai puak Betawi pesisir, akan tinggal namanya saja. Kawasan Marunda yang sudah dikepung oleh kawasan insdustri, pegudangan dan palabuhan, akan beralih tangan kepada pihak pengembang karena warga Marunda tergoda menjual milik tanahnya.
|
Kawasan Rumah Pompa Pluit |
Penutup
Setelah mencermati dengan setiap langkah di pelosok-pelosok pesisir DKI, warga berdomisili di lingkungan yang buruk. Buruk sanitasi, buruk lingkungan, dan buruk perekonomian. Buruknya lingkungan tempat tinggal oleh pencemaan limbah ikan asin, limbah sampah dan buruknya kwalitas udara berdampak besar kepada kesehatan manusia. Demi generasi masa depan, koloni-koloni masyarakat pesisir sudah saatnya dibenahi secara total dengan tidak merugikan masyarakat yang sudah bermukim bertahun-tahun. "Angkat, dan tempatkan kembali". Pembangunan turap, akan menghambat terjadinya "tanah timbul" kembali dan mencegah banjir dari laut. (Rizal Bustami)
Foto-foto lengkap lihat di Rubrik Gallery Foto