Tuesday, July 05, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XVI)


Singguluang Batu

Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai rakyat Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu bersenjata lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang tidak lebih dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat serdadu Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang serdadu Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu.

Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut berperang waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu lawan satu. Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi pasukan Belandalah yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan, semula Westenenk berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata pasukannya yang ‘habih - tandeh’, ludes oleh kaum militansi di Kamang.

Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C. Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh Angku Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya putus,  karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai bagaikan “mayang taurai – si gadih Ranti” pada saat memainkan rudusnya tersebut.



Setelah pertempuran babak terakhir reda, pagi-pagi sekali barulah Westenenk muncul dari persembunyiannya, seperti tikus keluar dari got, karena memang bersembunyi di dalam kolong jembatan yang airnya penuh lumpur bercampur darah. Kolong jembatan itu adalah aliran tali bandar, got  dari kancah pertempuran di Kampuang Tangah.

Westenank berganti pakaian sepeti gaya penduduk setempat, dengan menyandang kain sarung layaknya orang pulang pagi dari menunggui sawah di malam hari menuju Aia Tabik, ke tempat kediaman Angku Suku Marah.

Sehari penuh Westrenenk beristirahat dalam pesakitannya, sakit karena kegagalan misi pembantaian maupun atas kehilangan seruas jarinya. Mungkin saja ujung jarinya itu meloncat menari-nari mencari tuannya akibat dijemur terik matahari seharian dan mungkin juga sudah terinjak-injak oleh masyarakat yang menjamur dari dan ke Kampung Tangah untuk membezuk dan sekaligus untuk mengenali anggota keluarganya yang telah syuhada dalam pertempuran semalam.

Setelah Maghrib barulah Westenenk diantar oleh Angku Suku Marah di Aia Tabik yang dikawal oleh beberapa pengiring, hulubalang Angku Suku menuju Baso dengan manaiki kendaraan bendi, sado kebesaran Angku Suku, layaknya kendaraan kaum feodal hasil rekayasa Belanda. Dari Baso Westenenk diselundupkan ke Benteng Fort Van der Capellen di Batu Sangkar.

Tetapi, tidak beberapa berselang, terdengar pula desas-desus bahwa yang menyelamatkan Westenenk adalah Jaar. Dt. Batuah (Laras Tilatang), dan kemudian hari diangkat menjadi Demang dan tersohorlah dengan sebutan Damang Cingkuak yang pernah menerima Oranye van Nassau, suatu penghargaan tertinggi dari Ratu Juliana kepada kaum pribumi yang telah berjasa besar dalam melancarkan kekuasaannya di Hindia Belanda.

Meskipun perang sudah dianggap selesai, tetapi Tuangku Pincuran masih belum bersenang hati karena perjuangan suci itu telah dikhianati oleh orang Kamang sendiri. Pagi pagi buta rumah Angku Suku Babukik dikepungnya, terjadilah penyergapan terhadap Angku Suku tersebut dan tanpa berpikir panjang Angku Suku Babukik dibunuh dan mayatnya dicincang sebagai ungkapan kebencian dan kekesalan yang maha sangat. Walaupun Angku Suku Babukik telah terbunuh, namun masa belum puas. Rumahnya di bakar, binatang ternak peliharaannya seperti kuda dan anjingnya juga dibunuh.


Pada hari-hari selanjutnya, setiap orang yang lewat di depan rumah Angku Suku Air Tabik, Kepala Nagari dan pesuruh-pesuruh Belanda - yang telah mengkhianati orang kampungnya itu meludah di depan rumah itu. Bagi masyarakat Minangkabau perbuatan semacam itu entah mana yang sakit rasanya daripada sayatan klewang dan rudus. Karena sikap semacam itu adalah menandakan kebencian warga terhadap elite lokal di nagari nagari.

Menantang habis-habisan masyarakat tidak mau, mereka masih trauma, pemimpin tidak ada lagi, surau sudah lengang. Tetapi kepada anak-kemenakannya mereka  berwasiat dan tetap menanamkan kebencian terhadap Belanda, kaum penjajah termasuk para orang kampung, si Belanda hitam.

Sesuai hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang, maka pagi-pagi hari jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke Kamang Hilir untuk dimakamkan berdampingan di pandam perkuburan Siti Aisyah.  Syuhada yang berasal dari Kamang Hilir lainnya akan dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir  oleh masyarakat dan keluarga masing-masing korban. Termasuk yang dimakamkan di dekat Suarau Taluak jenazah Siti Anisyah dan suaminya Sutan Nan Basikek, orangtua dari Ramaya kecil yang kemudian pada tahun 1926 menjadi tokoh revolusi pula dalam menentang penjajah Belanda yang terkenal dengan Pemberontakan Kamang 1926, berbarengan dengan Pemberontakan Silungkang dan Sawahlunto.

Sekarang terbukti sudah tentang naluri anaknya, Ramaya sewaktu dia dan suaminya Sutan nan Basikek sedang latihan di halaman belakang Suarau Taluak beberapa waktu yang lalu.

Semenjak kematian ayah dan ibunya deraian air mata dan isak tangis Ramaya belum berhenti. Dengan terbata-bata yang diringi isak tangis dalam gendongan neneknya Ramaya kecil  tetap menanyakan ibunya.

“Kenapa Ibu ditembak Ulando, Nek?,” tanya Ramaya dengan suaranya yang sendu kepada sang nenek. Dan sebelum dijawab neneknya dia sudah bertanya lagi.
“Apa salah ayah dan ibu, Nek?”
“Ayah dan ibumu tidak punya salah, Maya!,” jawab neneknya.
“Nanti Maya tidur sama siapa, Nek?
“Kan ada nenek dan etek, Maya?! Nanti kita tidur bersama-sama, ya?,” jawab neneknya pula.
“Siapa lagi jadi Ibu Maya nanti, Nek?
Mendengar pertanyaan cucunya itu si nenek pun tidak bisa lagi menjawabnya, kerongkongannya terasa kelat dan lekat, mulut terasa terkunci, bernapas pun terasa susah, yang bisa dia lakukan hanyalah mencium dan mencium cucunya itu berulang kali dalam pelukan dan gendongannya.

Jangankan seorang nenek yang luluh hatinya melihat cucu semata wayang itu menangis dan sebentar-sebantar menanyakan ayah dan ibunya, orang yang hadir berta’ziyah ke rumahnya di Pintu Koto, Kamang Hilir itu pun tak kuasa menahan derai air matanya.

Dipihak lain, tuan Residen Padang Bovenlanden di Bukittinggi langsung mengambil alih pemerintahan Underavdeeling Oud Agam, karena Controleur Westenenk belum kembali ke Bukittinggi dan nasibnya belum diketahui.

Tuan Residen memerintahkan Laras Kamang, Tilatang dan Salo, termasuk para Kepala Nagari serta Penghulu Suku untuk membersihakan dan mengangkut prajuritnya yang menjadi korban pembantaian rakyat Kamang. Dan untuk menggotong para serdadu serdadu itu dipergunkan tenaga orang rantai, orang tahanan dari tangsi di Bukittinggi yang sengaja dikeluarkan dari sarangnya dalam sebuah pengawalan ketat dengan tangan dan kaki tetap dirantai.

Laras, Kepala Nagari dan Penghulu Suku sibuk mencari gerobak pedati untuk membawa bangkai-bangkai yang tubuhnya compang-camping tersebut, berserakan dimana-mana, di pematang sawah, di selokan di pinggir jalan.

Masih di tengah jalan, orang rantai – ‘si Melayu’ juga – menghela gerobak pedati  yang sarat muatan bangkai-bangakai serdadu Belanda - sudah mulai mengeluarkan bau amis, busuk karena sudah semalaman direndam air hujan dan air selokan, air sawah serta air  kolam. Lalat dan kumbang-kumbang kecil pun silih berganti “membezuknya” di sepanjang jalan, kadang-kadang sering mengganggu penglihatan dan pendengaran si penghela pedati yang terseot.

Gemerincing rantai di kaki yang bergeser dengan jalan berbatu dan dengungan lalat serta kumbang bagaikan lagu suci mengahantarkan mayat-mayat itu ke liang kuburnya, mungkin di laut lepas menjelang Pulau Pisang atau di jurang Ngarai Sianok yang menganga. Karena tak satupun kita menemukan nisan para serdadu itu di Bukittinggi.

Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian yang memalukan pemerintahannya itu.

Orang-orang rantai itu tidak lain adalah masyarakat Agam ataupun masyarakat di Sumatera Barat umumnya, yang telah dijatuhi hukuman karena beberapa kesalahan yang dianggap menganggu ketertiban umum dan mulusnya jalan pemerintahan kolonial Belanda. Artinya adalah ‘urang awak’ juga. Beban berat singgulung batu jadinya bagi masyarakat kita sendiri. Semua kesalahan ditimpakan kepada masyarakat jajahan yang dikatakan Belanda sebagai rakyat ‘inlander’, karena tabiat busuk beberapa orang kita juga yang mau mengkhianti arti kedaulatan dan kebangsaan. (besambung)

5 comments:

Anonymous said...

Maa sambuangannyo pak...?

Anonymous said...

Rancak bana
disambung..... tambah rancak

Melihat Indonesia said...

Terimakasih komennya. Novel ini nantinya akan dibukukan...

Unknown said...

cerita novel tentang perang kamang yang di pimpin oleh Inyik H Abdul Manan dan para Niniak mamak dan Penghulu kamang sungguh membawa ingatan saya kepada perjuangan belaiau beliau semuanya diluar penghinat nagari tentu ke jaman perjuangan itu sendiri. Tidak berhentinya dan rasa penasaran yang terus menerus untuk membacanya. Saya bertanya apakah Novel mengandung sejarah dengan para tokoh tokoh yang tidak asing lagi bagi kita semua sudahkah di jadikan kumpulan Novel dan saya sangat penasaran sekali dengan sang juru tulis ini. Beliau mampu menggambarkan aliran sejarah yang tidak fiktif melainkan fakta sejarah tokoh tokoh di dalam catatan beliau itu sebagai Juru tulis. Dan salut buat SDR. Rizal Bustami dengan systimatisnya mengurai cerita , kalau bagi umum tentu hanya sebuah cerita belaka, tapi bagi para keturunan tokoh tokoh di dalam novel tersebut itu adalah bagian sejarah perang kamang yang di kemas dalam bentuk sebuah novel. Semoga novel ini sudah masuk cetak dan kemudian lanjutan kepada cerita perjuangan tahun 1926 dengan tokoh sentral yaitu Ramaya.
Dan dimana kami bisa mendapatkan novel tersebut terimaksih.

Anonymous said...

bilo sambuangannyo kalua, pak?

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023