Badai Menjelang Subuh
Bagian 2 (habis)
Bagian 2 (habis)
Tiba-tiba dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet. Dalam hening semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan mengarahkan pendengran untuk memastikan dari arah mana bunyi terompet tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan kesunyian.
“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata Haji Ahmad.
“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.
“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.
“Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.
“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan dengan tak pernah pupus.
“Haji, kobarkan kembali semangat perang. Sudah kepalang. Sibungsu tidak akan beradik lagi!! Sekarang kita selesaikan amanah dari Tanah Suci, Mekah itu,” ketus Haji Abdul Manan kepada sahabatnya Haji Jabang.
Haji Jabang langsung berdiri membawa pasukannya menyeberang selokan besar di sebelah kanan. Sedangkan pasukan inti Haji Abdul Manan tetap di sebelah kiri jalan. Mereka sama-sama menuju sasaran, yaitu Koto Panjang untuk menyonsongkan musuh yang datang dari arah Magek. Haji Ahmad tetap mendampingi ayahnya bersama Angku Rumah Gadang.
Tak berselang lama dalam perjalanan ke Koto Panjang dengan penuh kehati-hatian dalam kesunyian larut malam itu terdengar suara tembakan. Cuma sekali dentuman saja dan arahnya tidak diketahui.
Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuh pun melompat ke seberang bandar, selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil membentak, “Mana Westenenk?!!!”
“Celaka, saya tidak tau,” jawab musuh itu yang kemudian minta ampun. Tapi apa boleh di kata klewang Haji Ahmad keburu menebas batang leher musuh itu. Dan seorang kawan musuh itu mengejar Haji Ahmad untuk membantu kawannya yang tergeletak dengan leher yang hampir putus itu. Tetapi terlambat pula, Angku Rumah Gadang telah lebih dahulu menyambut musuh itu dengan dengan menebasnya pula. Musuh jatuh tersungkur berhimpitan menimpa bangkai kawannya. Keadaan kembali sepi....
Haji Jabang kembali menemui Haji Ahmad, berbisik mengatakan bahwa Westenenk sudah dicari-cari tetapi tidak ditemukan juga tempat persembunyiannya.
Tau-tau ada suara panggilan dari arah belakang “Ahmad...!”
Haji Ahmad berpaling mengarahkan telinganya. “Ahmad...!” Sekali lagi suara memanggilnya. Mereka saling berpandangan “...Ayah?!”, dan serentak pula berlari ke arah suara itu.
“Oh, Ayah rupanya, ada apa Ayah?”
“Kemarilah kamu, dan kawan-kawan kamu. Ayah mau bicara!”
Kami pun menghampiri beliau, sang pemimpin perang itu. “Bagimana?, apa Westenenk sudah ditemukan?,” tanya orangtua itu. “Belum!!!,” jawab Haji Ahmad dan Haji Jabang serentak. Kemudian Sekh Jenggot itu melanjutkan laporannya.
“Westenenk sudah dicari-cari sampai ke Koto Panjang. Setiap liku dan tebing sudah diteliti, tetapi satupun pasukan musuh tidak ditemukan lagi, selain bangkai-bangkai musuh yang bergelimang darah. Dan sekarang beberapa orang pasukan kita sedang mencarinya ke dalam kampung Koto Panjang, mereka belum kembali,” jelas kawan Imam Perang itu yang sehidup semati sejak dari kecil sampai di perantauan dan sama-sama pulang pula untuk mempersiapkan apa yang terjadi dimalam buta itu.
“Ahmad!,” kata ayahnya lagi dan kemudian berhenti sejenak.
“Haji!,” serunya kepada Haji Jabang sambil memegang tangannya.
“Sekarang sudah pukul tiga atau pukul empat pagi, mungkin Westenenk sudah mengundurkan diri bersama sisa pasukannya, namun tetaplah waspada menjelang subuh ini. Kalau sudah siang kita tidak mungkin bertempur lagi karena senjata kita tidak mungkin bisa melawan musuh dengan bersenjatakan senapan dan meriam di siang hari. Oleh sebab itu persiapkan pasukan kita untuk mundur mencari perlindungan masing masing di siang hari untuk menanti saat selanjutnya pada malam besoknya. Dan beri kabar semua kawan-kawan kita di daerah dan pos-pos lain supaya selalu siap sedia melawan musuh, jika nanti pasukan Westenenk menyerbu lagi.”
Haji Abdul Manan kemudian berhenti sejenak, napasnya mulai sesak dan badannya terlihat semakin letih. Dan dengan suara terputus-putus berwasiat lagi.
“A...yah!, a...y...ah!, A...yyy...a...h!, tidak... mungkin...lagi...me...ne...russs...kan pim...pinan perrrang ini!. Ayyah kennna!, sebentar lagi mungkin Ayyyah akan menghadap Illahi Rabbi, Allah Subhanawata’ala, dan sudah tak mungkin lagi...! Terrruskan perrrjuangan...!”
Diam lagi, namun mulutnya tetap komat kamit dan ujung lidahnya terkilas melentik lentik seperti orang mengucapkan Allah! Allah! Allah!
“A...yah sssuddah merrasa puas. Amanat kakekmu di tanah suci dulu sudah kita laksanakan bersama.... Kita tidak menyerah begitu saja pada kehendak dan kelancangan musuh terhadap anak, kemenakan dan cucu kita nati.... Berjuanglah terrruss. Ingat!!! Pengkhianat selalu ada dimana mana, hati-hati! Jangan ceroboh! Demi dekat dengan Allah Subhanawata’ala biarlah miskin harta daripada menjadi budak kapitalih. Karena kaum kapitalih tidak akan sadar akan perbuatannya telah menghalalkan apa saja untuk jabatan dan kekayaan, bahkan riba pun dia halalkan. Ingat pesan Ayah. Dekatkan diri selalu pada yang paling berkuasa, yaitu Allah Subhanawata’ala.”
Diam lagi, dengan tatap terengah-engah pelan, dan berupaya pula mengambil napas lagi untuk menyampaikan amanah selanjutnya.
“Ahmad!!!, kalau batu sipadan di asak urang!,” sempadan ulayatmu diusik orang. “Begitu pula terhadap negeri ini, terhadap agama kita dan terhadap bangsa kita. Busungkan dadamu, nak!!!. Malam ini kamu dan adikmu serta kawan-kawan kita telah membuktikannya”
“Tapi, Ahmad!!!” Katanya lagi setelah terdiam pula sejenak, “Selagi menyangkut dengan pribadi sendiri tetaplah bersabar, bersabar dan bersabar. Tenangkan perasaan, jernihkan pikiran dan sandarkan perasaan kepada pemiliknya, yaitu Allah Ajja wazalla. Bertanyalah dan memintalah kepada-Nya petunjuk yang lurus.”
Sunyi lagi sesaat.
“Juru Tulisku! Maafkan saya karena kamu selalu aku suruh, aku perintah selama ini. Sekarang jalankan amanahku tadi, selamatkanlah dirimu sekarang. Biarlah Haji Jabang dan lain-lain yang menyelesaikannya perang menjelang subuh ini. Selamatkanlah segala perbendaharaanmu tentang seluk beluk perlawanan ini. Dan..., jadilah... kamu... sebagai perawi ikhwal perang ini... untuk cucu-cucu kita nanti.”
Ditengah-tengah bersemangatnya mengkhotbahi kami, tiba-tiba tubuh beliau oyong dan rebah dalam pelukan Haji Ahmad, beliau berhenti berbicara dan keadaan kembali sunyi. Angku rumah gadang berupaya pula memeluk beliau, membantu Haji Ahmad.
Tiba-Tiba kedengaran gema takbir, “Allahu Akbar!.. Allahu Akbar!... Allahu Akbar!” dari jurusan Timur yang sayup-sayup kedengarannya dari tempat kami bersembunyi di Koto Panjang. Tak lama kemudian terdengr pula bunyi tiupan terompet perang musuh dari arah Pulai Magek sebelah Selatan. Haji Abdul Manan yang menelentang dalam pelukan Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang saling berpandangan denga Haji Jabang.
“Oi!, Mungkin pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah dapat ditembus musuh,” kata Haji Jabang tiba-tiba.
“Sekarang Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang selamatkan ayah segera. Bawa beliau ke rumah sebelum terlambat. Biarlah bapak pimpin pasukan kita menghadapi musuh itu. Agaknya Kari Mudo telah mengerahkan pasukannya dari Timur untuk membantu kita.”
“Baiklah Bapak,” jawab Haji Ahmad. Kemudian tubuh Haji Abdul Manan kami gotong ke rumah beliau di Kampung Tangah.
Sawiyah menahan perasan sedihnya saat Majo Ali membuka pakaian Haji Abdul Manan untuk memeriksa lukanya. Terlihat dada kanan Haji Abdul Manan sobek dari arah rusuk di bawah ketiak hingga ke bidang dadanya, dengan serta merta Majo Ali membalurkan air ludahnya ke tempat yang luka tersebut dan membalut luka itu, setelah meminta sorban beliau kepada Miyah, anak perempuan Haji Abdul Manan yang seorang lagi.
Pakain Haji Abdul Manan ditukar semuanya dengan yang bersih. Itulah satu satunya obat penawar luka dan atiseptik dalam keadaan yang sangat darurat ketika itu, air ludah Majo Ali yang sudah dimantrainya. Kemudian Majo Ali berlalu dari rumah untuk menyusul Sekh Jabang. Haji Jabang mempersiapkan pasukan untuk menghadang musuh yang datang dari arah Selatan, yaitu dari Magek Pulai yang didampingi Majo Ali.
Tak berselang lama sudah terlihat pasukan musuh berjalan membungkuk bungkuk seperti amai-amai akan menangkap anak ayam. Suara takbir dari pasukan Kari Mudo dari arah Timur Koto Panjang terdengar semakin mendekat dan semakin bergemuruh. Selepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah pasukan Kari Mudo dihujani oleh tembakan musuh, karena pasukan Kari Mudo masuk dalam jebakan musuh yang tidak di duga oleh Kari Mudo sebelumnya, sehingga banyaklah diantara pasukannya itu yang menjadi korban.
Haji Jabang dengan serangan itu dapat mengetahui persis keberadaan pasukan Belanda, selanjutnya memberikan isyarat dan perintah kepada pembantu-pembantunya, Sutan Bagindo Kaliru di sebelah kanan dan di sebelah kririnya Majo Ali yang tergabung dalam pasukan banyak. Haji Jabang membisikkan siasat penggempuran.
“Jika musuh mulai menembak lagi, komando segera saya berikan, dan apabila sudah terdengar komando segera lakukan serangan serentak ke tengah-tengah barisan musuh. Beri tahu kawan-kawan!”
Selesai menerima penjelasan itu Sutan Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran langsung mendekati kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah tersebut. Tembakan musuh mulai ramai lagi ke arah pasukan Kari Mudo. Haji Jabang langsung memberikan komando dengan meneriakkan takbir “Allahu Akbar”. Pasukan yang dipimpin Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran serentak menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Pasukan Belanda tidak mengira bahwa meraka dalam pengintaian pasukan Haji Jabang sebelumnya, dan dengan serangan mendadak itu mereka kalang kabut, mereka menembak membabi buta, tidak tentu arah. Pertempuran kembali berkecamuk antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Belanda.
Tetapi pertempuran di sini hanya berjalan sekejab karena pasukan musuh hanya sekelompok kecil. Di arah Timur pasukan Kari Mudo ‘bakuhampeh’ pula dengan dahsyadnya dalam waktu setengah jam sudah jelas jantan betinnya. Perang berhenti kembali. Susana tenang, hening...!
Haji Jabang kembali meneriakkan takbir beberapa kali ke arah Timur. Dari arah Timur Kari Mudo menyahut dengan suara takbir pula. Kedua pasukan ini berjalan berlawan arah, makin lama makin mendekat antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Kari Mudo. Kedua pimpinan pasukan saling maju berjabatan tangan dan saling rangkul-rangkulan dan para pasukan juga melakukan hal yang sama dalam kegembiraan karena mereka dapat menyelesaiakan peperangan dengan sebaik-baiknya. Kecuali Westenenk masih belum diketahui jejaknya.
Haji Jabang menyampaikan khabar kepada Kari Mudo bahwa Datuak Rajo Pangulu dan istrinya, Sutan Nan Basikek dan istrinya, Datuak Marajo Kaluang dan beberapa anggota pasukan laiannya sudah syuhada, haji Abdul Manan pun kena sasaran tembakan musuh dan sekarang sedang disitirahatkan di rumah anaknya Miyah. Beriringan laporan itu pula Haji Jabang menyampaikan pesan Haji Abdul Manan agar seluruh pasukan segera mengundurkan diri dan menyingkir ke tempat yang aman karena subuh sudah sangat dekat, hari akan siang dan tidak akan mungkin melanjutkan peperangan di siang hari.
Kari Mudo sangat terharu, urat-urat di dahinya semakin terlihat jelas, matanya basah dan memerah karena kawan-kawan dan peminpin perangnya banyak yang gugur. Semoga kesyahitannya dibalas Allah di sorga yang telah dijanjikan. Kemudian Kari Mudo memerintahkan sebahagian pasukannya untuk mengangkat anggota pasukan yang gugur dalam pertempuran dan anggota pasukan yang lain mengiringinya bersama Haji Jabang menjumpai Hai Abdul Manan dan jenazah Datuak Rajo Pangulu dan lain-lainnya. Setelah semua pemimpin pasukan berkumpul di Kampuang Tangah langsung merundingkan segala sesuatau tentang langkah langkah selanjutnya.
Hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang itu adalah bahwa jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke Kamang Hilir dan begitu pula para syuhada yang berasal dari Kamang Hilir akan dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir yang digotong oleh pasukan Kari Mudo yang masih selamat.
Atas permintan terakhir Majo Ali, demi keselamatan Haji Abdul Manan yang sedang terluka dan juga demi perjuangan di Mangopoh, maka Haji Abdul Manan agar diizinkan untuk dibawa menuju Mangopoh pagi-pagi itu.
Sepeninggal Majo Ali yang membawa serta Haji Abdul Manan beduk di surau-surau sudah mulai terdengar, menandakan waktu shalat Subuh sudah masuk. Semua pasukan segera mengganti pakaiannya yang sudah berlumuran darah.
Setelah waktu dhuha Haji Ahmad mendapat berita bahwa Yusuf Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek juga syahid malam itu, karena didatangi pasukan Warido, tangan kanan Belanda yang berjabatan sebagai Mantri Kopi dan terakhir sebagai Laras. Pada mulanya Belanda menanyakan di mana rumah Datuak Parpatiah Pauah, tetapi orang salah tunjuk, rumah Datuak Parpatiah Magek yang ditunjukkan.
Pada malam itu, pada pukul 03.00 (dini hari) sampailah serdadu Belanda di rumah istrinya di Pakudoran Koto Marapak-Magek. Tanpa berfikir panjang rumah Siti Hasnah itu digebrek oleh pasukan Belanda, di atas rumah itu terjadilah perkelahian yang hebat pada saat pasukan dibawah kendali Agus Warido itu ingin menagkapnya hidup-hidup, namun apa daya sejumlah tamu yang tidak diundang itu dapat dihabisi oleh Yusuf Dtauak Parpatiah Nan Sabatang, termasuk Agus Warido sendiri tewas di tangan Pendekar dari Magek ini.
Perkelahian berlanjut ke halaman rumah Siti Hasnah, meskipun datuak ini telah mulai kekurangan stamina karena telah menghunus lima belas orang serdadu Belanda, namun semangatnya belum juga kendor. Dalam kondisi stamina mulai mengendur regu pelapis yang datang menyusul mendapatkan ruang tembak di balik pagar halaman rumah. Pada saat bidikan tepat sasaran ujung jari telunjuk salah seorang prajurut Marsose itu menarik pelatuk senapannya. Yusuf Datuak Parpataiah Nan Sabatang tersenungkur persis di “batua tapak-an”, halaman rumahnya.
Kemudian sisa prajurut itu tidak mengacuhkannya lagi karena peluit untuk kembali kekesatuan telah terdengar pula. Datuak mengerang kesakitan, tubuhnya dipopong keatas rumah, Hasnah hanya bisa meratapi kepergian suaminya untuk selama lamanya.
Pagi hari mulailah berdatangan saudara dan kemenaakan Datuak Parpatiah melihat jasad saudara dan mamandanya. Sesuai dengan hukum adat di Minangkabau, apabila seorang penghulu meninggal dunia maka jasadnya harus dikebumikan di tanah pusaka, ditanah ibunya yang akan diwariskan kepada kemenakannya. Maka jasadnya dikebumikan di Dusun Kabun Jorong Lurah Ateh Nagari Magek, di dekat sebatang pohon duren dekat rumah pusakanya sendiri. (bersambung)
No comments:
Post a Comment