LEGENDA MANUSIA DAYAK
Meski profil masyarakat Dayak telah banyak diungkap lewat buku, kartu pos, film, maupun perangko, sesungguhnya masih lebih banyak lagi misterinya yang tak terungkap. Masyarakat Dayak telah ratusan tahun menghuni Kalimantan, berselaras dengan alamnya yang buas hingga mampu melahirkan peradaban yang sistimatis. Tapi, mampukah mereka bertahan menghadapi perubahan jaman ?
Tenang dan sunyi. Begitulah suasana dermaga lama kapal motor di depan Museum Mulawarman, Tenggarong, Kalimantan Timur. Sejak dermaga baru dibangun, maka dermaga lama tak lagi berfungsi melayani transportasi masyarakat tujuan Long Bangun, Long Iram, Tabang, Muara Wahau, Long Lees, maupun Samarinda. Hanya waktu-waktu tertentu saja kapal “Dr. Soewondo” singgah. “Rumah sakit” terapung ini berkeliaran di atas perairan Kutai dalam rangka pelayanan kesehatan masyarakat. Pagi yang cerah. Kapal motor “Lima Putra” sandar sejenak di dermaga lama untuk memperbaiki mesin.
Kapal berkekuatan 160 pk ini membawa sebuah rombongan kesenian berjumlah 104 orang, sebuah motor bebek RRC, lemari rias, dan ratusan ikat atap sirap serta barang-barang bawaan lainnya. Kalau ada bau menyengat, itu berasal dari enam drum besar solar untuk bahan bakar kapal. Setelah menunggu beberapa lama, kami pun berangkat menuju Tabang—sebuah kota kecamatan di pedalaman Kabupaten Kutai—dengan jurumudi Awai. Perjalanan akan memakan waktu tiga hari menyusuri Sungai Mahakam dan anak-anaknya. Berbeda dengan 17 kecamatan lainnya yang tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Tabang hanya bisa dicapai melalui sungai. “Jika menggunakan transportasi udara, ongkosnya sekali jalan beberapa ratus ribu,” terang Ala Ingan (56), Kepala Adat serta Kepala Desa Umaq Tukung, Kecamatan Tabang.
Upacara Nemlem
Kepala Manusia Bagian dari Upacara Para pendatang baru di Kalimantan biasanya sudah “dibekali” cerita-cerita spektakuler seputar manusia Dayak; misalnya perburuan manusia, pemotongan kepala, guna-guna, teluh, dan sejenisnya. Bayangan kian riuh oleh kengerian setelah terjadi bentrokan tragis antara warga Madura dengan warga Dayak beberapa waktu lalu.
Perburuan terhadap manusia—dikenal dengan sebutan mengayau—sudah tidak berlaku lagi. Juga perbuatan-perbuatan yang menggunakan kekuatan mistik. Meski demikian, semangatnya belum hilang sama sekali. Pada upacara nemlem, misalnya, masyarakat Dayak tetap menggunakan tengkorak manusia sebagai syarat pokok. Demikian dijelaskan oleh Ledjie Taq, yang masih keturunan Dayak Wehea (Bahau). Upacara nemlem mempunyai makna kemenangan, juga merupakan upaya untuk menyelamati desa supaya masyarakatnya hidup bahagia, makmur, terhindar dari marabahaya (peperangan antarsuku, penyakit, dan sebagainya).
Pemuda Dayak yang belum mengikuti nemlem belumlah dianggap dewasa. Bahkan, ia belum boleh menikah hingga menjalani nemlem. Kalau ini dilanggar, maka rumah tangganya dipastikan akan mengalami kesialan berkepanjangan. Untuk mengikuti nemlem, seorang pemuda harus menjalani berbagai ujian, semisal menahan nafsu atau berpuasa. “Dulu orang melakukan nemlem selama 12 hari, tapi kemudian hanya enam hari saja dan tidak ada lagi perburuan kepala manusia,” jelas Ledjie Taq. “Selain sudah ada hukumnya, juga karena kami ini orang beragama, yang tidak boleh saling menyakiti.” Terakhir kali upacara nemlem yang menggunakan tengkorak manusia diadakan tahun 1997. Kala itu, para pekerja film Jepang meminta tetua adat Dayak untuk menggelar upacara tersebut. “Saat itu kami bisa menggelar upacara itu untuk mereka, karena mereka menjamin untuk menyediakan tengkorak dan sanggup menutup segala ongkos kegiatan,” tambah Taq.
Suara knalpot “Lima Putra” mendadak melemah dan laju kapal pun melambat. Kami bersiap-siap memasuki Desa Sinoni, memberi kesempatan bagi penumpang untuk makan, mandi, atau membeli berbagai keperluan untuk di perjalanan. Disini tersedia aneka penganan, mulai dari masakan Jawa sampai masakan Padang. Kami punya waktu satu jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Penhos, Ritual yang Mengerikan Matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Tinggal bias-bias merahnya saja yang menerangi permukaan air. Lampu rumah-rumah penduduk di kanan-kiri sungai mulai dinyalakan.
Bulan di atas sana cukup membantu kapal kami menyusuri kegelapan sungai, sementara kapal kami hanya menggunakan sebuah lampu sorot usang. Ada beberapa wanita Dayak di kapal kami; baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih gadis.
Wanita Dayak dikenal dengan kecantikannya. Berkulit terang bersih dengan bentuk mata seperti peranakan Tionghoa-Melayu. Kisah-kisah para pendatang yang melakukan kawin kontrak dengan wanita Dayak—juga “jamuan seks” bagi tamu lelaki—selalu menggoda angan para lelaki nakal yang baru datang ke Kalimantan. Entah benar entah tidak segala cerita itu, yang pasti, ada hukuman adat bagi para pezina, yakni dengan diarak keliling kampung tanpa busana. Masyarakat Dayak memang sudah mengenal proses peradilan.
Upacara Penhos
Inilah pengadilan bagi para pelaku maksiat, mati di ujung tombak. Meski hukuman mati tidak diberlakukan lagi, namun prinsip-prinsip hukum Penshos tetap diterapkan. Pesakitan mendapat pengawalan dari para sesepuh adat dari kemungkinan mereka melarikan diri. “Penhos tidak lagi menghukum si pelanggar dengan cara mematikan memakai tombak, tetapi diganti dengan membayar denda,” kata Rayun, kepala adat Dayak Mondang dari Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur. Seperti juga Nemlem, adat Penhos biasanya dilakukan seusai panen padi karena upacara ini besar biayanya.
Upacara memerlukan seekor babi jantan berukuran besar, yang sudah dikebiri. “Kalau sekilonya sepuluh ribu, hitung saja berapa besar uang yang dibutuhkan untuk babi seberat 50-an kilogram. Belum lagi beberapa ekor babi yang digunakan untuk pesta makannya,” papar Rayun. Para pelaku maksiat pasti lebih memilih lintang-pukang menutup biaya besar itu daripada harus kehilangan nyawa di ujung tombak.
Dayak Tertua
Malam semakin larut. Sebagian besar penumpang tidur meringkuk di tempatnya masing-masing. Yang kita dengar hanya suara mesin kapal yang sangat monoton sepanjang perjalanan. Zeng Hong—seorang pria keturunan Dayak Wehea (Bahau)—sudah beberapa kali menguap. Ia rebahan di antara barang-barang dengan rokok terselip di bibir sambil mencoba menjelaskan ihwal sukunya. (Dalam literatur nama sukunya sering ditulis “salah” dengan sebutan Bahau. Mereka umumnya mendiami daerah Dun, Melak, Long Tesak, Long Bangun atau Nehes Liang Bing).
Masyarakat Dayak Wehea mulanya bermukim di sekitar sungai Long Nak Teng, yang artinya untaian manik, sekitar tahun 1600-an. Sungai tersebut kemudian berganti nama menjadi Sungai Wehea. “Dari nama Sungai Wehea itulah nama suku kami berasal. Tapi, mungkin karena orang sulit menyebut Wehea, sehingga terpeleset menjadi Wahau sampai belakangan menjadi Bahau,” papar Zeng Hong. Beberapa kalangan bahkan menyebut mereka sebagai Dayak Modang, karena dianggap masih serumpun dengan orang-orang Modang. “Kami bukan Modang. Kalaupun kami punya Modang, itu lebih kepada pengertian Modang dalam tatanan kasta,” tambah Zeng. Modang adalah salah satu urutan kasta Dayak Wehea, seperti Hepui, Medang, Pengin, dan Psap. Sejalan kemajuan jaman, Dayak Bahau tidak lagi memberlakukan status kasta dalam tatanan hidup.
Bila kasta diberlakukan, menurut Zeng, akan banyak mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. “Bagaimana mungkin orang yang dari kasta Psap bisa menikah dengan orang yang dari kasta Hepui,” jelasnya. Kalaupun masih mengangkat kasta ke permukaan, tidak lebih dalam hal upacara adat. Perbedaan kasta bisa terlihat dalam cara berpakaian. Perbedaan lain terdapat saat melaksanakan upacara adat. Kalangan Hepui berhak untuk berdiri di atas gong, sedangkan Medang berdiri di atas parai, untuk Pengin cukup berdiri di atas rotan. Sebaliknya Psap berdirinya tanpa alas apapun.
Dayak Wehea berasal dari Desa Kejin, kawasan Apokayan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bulungan. Nenek-moyangnya kemudian oksodus ke selatan dan sampailah mereka di Kutai sekarang ini. Menurut Zeng, Dayak Bahau dan Dayak Modang bisa disebut sebagai dayak tertua yang mendiami Kabupaten Kutai. “Sedikit memahami budaya suku dayak lain, merupakan kunci dalam pergaulan,” sela Juk Kahang, bapak beranak lima yang berasal dari Desa Umaq Tukung. Meski ia berasal dari Dayak Kenyah, bukan berarti ia tidak mengerti adat dan budaya suku-suku Dayak lainnya. Juk Kahang membenarkan, beberapa dari adat pidana, adat tata kampung, adat kepercayaan yang sudah terpelihara ratusan tahun akhirnya melemah karena adanya pengaruh dari luar. “Masuknya agama sudah merupakan bukti semakin melemahnya hukum adat,” ungkap Juk yang tinggal di Lamin atau rumah panjang. Sebagai contoh adalah musnahnya patung-patung Belontang. Dulu, patung-patung itu digunakan untuk upacara pemujaan roh leluhur. “Kami sudah tidak lagi menggantungkan banyak hal kepada upacara adat. Itu karena sudah ada hukum yang mengaturnya. Selain itu juga kita telah beragama,” papar Juk, dimana katanya upacara adat kini lebih terfokus untuk kepentingan dunia pariwisata.
Agama dan hukum akhirnya “menggusur” unsur-unsur dalam tatanan lama, adat atau kepercayaan. Meski demikian, tidak semuanya tergusur. Pengaruh adat dalam upacara kelahiran, kematian, menanam dan panen serta pengobatan masih banyak diterapkan, termasuk pemberian nama. “Lidjie” untuk nama Lidjie Tag yang berarti harimau. “Sedangkan nama dibelakangan, Taq, diambil dari nama leluhur yang telah tiada,” kata Lidjie Tag.
Makna dalam nama orang Dayak merupakan hal yang sangat penting dan biasanya terdiri dari dua suku kata. Suku kata pertama diambil dari nama binatang atau tumbuhan. Sedangkan nama belakang berasal dari nama orang (kerabat) yang telah tiada. “Jangan mengambil nama orang yang masih hidup, karena itu berarti berebut hidup,” tambah Lidjie. Pemberian nama dilakukan melalui prosesi yang disebut Erau Anak. Setidaknya ada enam tahapan upacara Erau Anak yang harus dijalani. Seperti Na’ Ngelam, sebuah upacara pemberian nama kepada bayi. Bukti bahwa sebagian nilai-nilai tradisionil masih bertahan ada pada demonstrasi pengobatan yang dilakukan di Pulau Kemala, Tenggarung. Dalam acara tersebut, dukun memperlihatkan kebolehannya. Di antaranya adalah Agok, pawang (dukun) yang biasa menjalankan acara Belian. Dengan caranya, Agok berusaha memenuhi kebutuhan makan para roh jahat supaya tidak menyakitkan orang.
Agok lebih mengutamakan kelebihannya untuk pengobatan penyakit. Pilihan itu, kata Agok, karena ketiadaan dokter maupun mantri. “Saya harus meminta pertolongan kepada Yang Berkuasa di sekitarnya untuk dapat membantu penyembuhan,” ujar Agok yang mampu melakukan gerakan berputar secara cepat dengan kakinya sebagai poros untuk bertumpu kala menggelar upacara Belian Bawo. Sebelum semuanya berlangsung, Agok terlebih dulu mempersiapkan segala persyaratan; yakni menyiapkan balai, patung, dan kelenggang serta menjalani berbagai pantangan yang tidak boleh dilanggarnya (berpuasa). Selama masa puasa itu, ia juga tidak boleh makan makanan yang mengandung bahan terasi, cabe, dan rebung. Setelah semuanya dilalui dengan penuh keyakinan, maka mulailah Agok melakukan ritual pengobatan yang spektakuler. (Agus Blues / Foto : Rizal Bustami)
Tenang dan sunyi. Begitulah suasana dermaga lama kapal motor di depan Museum Mulawarman, Tenggarong, Kalimantan Timur. Sejak dermaga baru dibangun, maka dermaga lama tak lagi berfungsi melayani transportasi masyarakat tujuan Long Bangun, Long Iram, Tabang, Muara Wahau, Long Lees, maupun Samarinda. Hanya waktu-waktu tertentu saja kapal “Dr. Soewondo” singgah. “Rumah sakit” terapung ini berkeliaran di atas perairan Kutai dalam rangka pelayanan kesehatan masyarakat. Pagi yang cerah. Kapal motor “Lima Putra” sandar sejenak di dermaga lama untuk memperbaiki mesin.
Kapal berkekuatan 160 pk ini membawa sebuah rombongan kesenian berjumlah 104 orang, sebuah motor bebek RRC, lemari rias, dan ratusan ikat atap sirap serta barang-barang bawaan lainnya. Kalau ada bau menyengat, itu berasal dari enam drum besar solar untuk bahan bakar kapal. Setelah menunggu beberapa lama, kami pun berangkat menuju Tabang—sebuah kota kecamatan di pedalaman Kabupaten Kutai—dengan jurumudi Awai. Perjalanan akan memakan waktu tiga hari menyusuri Sungai Mahakam dan anak-anaknya. Berbeda dengan 17 kecamatan lainnya yang tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Tabang hanya bisa dicapai melalui sungai. “Jika menggunakan transportasi udara, ongkosnya sekali jalan beberapa ratus ribu,” terang Ala Ingan (56), Kepala Adat serta Kepala Desa Umaq Tukung, Kecamatan Tabang.
Upacara Nemlem
Kepala Manusia Bagian dari Upacara Para pendatang baru di Kalimantan biasanya sudah “dibekali” cerita-cerita spektakuler seputar manusia Dayak; misalnya perburuan manusia, pemotongan kepala, guna-guna, teluh, dan sejenisnya. Bayangan kian riuh oleh kengerian setelah terjadi bentrokan tragis antara warga Madura dengan warga Dayak beberapa waktu lalu.
Perburuan terhadap manusia—dikenal dengan sebutan mengayau—sudah tidak berlaku lagi. Juga perbuatan-perbuatan yang menggunakan kekuatan mistik. Meski demikian, semangatnya belum hilang sama sekali. Pada upacara nemlem, misalnya, masyarakat Dayak tetap menggunakan tengkorak manusia sebagai syarat pokok. Demikian dijelaskan oleh Ledjie Taq, yang masih keturunan Dayak Wehea (Bahau). Upacara nemlem mempunyai makna kemenangan, juga merupakan upaya untuk menyelamati desa supaya masyarakatnya hidup bahagia, makmur, terhindar dari marabahaya (peperangan antarsuku, penyakit, dan sebagainya).
Pemuda Dayak yang belum mengikuti nemlem belumlah dianggap dewasa. Bahkan, ia belum boleh menikah hingga menjalani nemlem. Kalau ini dilanggar, maka rumah tangganya dipastikan akan mengalami kesialan berkepanjangan. Untuk mengikuti nemlem, seorang pemuda harus menjalani berbagai ujian, semisal menahan nafsu atau berpuasa. “Dulu orang melakukan nemlem selama 12 hari, tapi kemudian hanya enam hari saja dan tidak ada lagi perburuan kepala manusia,” jelas Ledjie Taq. “Selain sudah ada hukumnya, juga karena kami ini orang beragama, yang tidak boleh saling menyakiti.” Terakhir kali upacara nemlem yang menggunakan tengkorak manusia diadakan tahun 1997. Kala itu, para pekerja film Jepang meminta tetua adat Dayak untuk menggelar upacara tersebut. “Saat itu kami bisa menggelar upacara itu untuk mereka, karena mereka menjamin untuk menyediakan tengkorak dan sanggup menutup segala ongkos kegiatan,” tambah Taq.
Suara knalpot “Lima Putra” mendadak melemah dan laju kapal pun melambat. Kami bersiap-siap memasuki Desa Sinoni, memberi kesempatan bagi penumpang untuk makan, mandi, atau membeli berbagai keperluan untuk di perjalanan. Disini tersedia aneka penganan, mulai dari masakan Jawa sampai masakan Padang. Kami punya waktu satu jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Penhos, Ritual yang Mengerikan Matahari sudah tergelincir di ufuk barat. Tinggal bias-bias merahnya saja yang menerangi permukaan air. Lampu rumah-rumah penduduk di kanan-kiri sungai mulai dinyalakan.
Bulan di atas sana cukup membantu kapal kami menyusuri kegelapan sungai, sementara kapal kami hanya menggunakan sebuah lampu sorot usang. Ada beberapa wanita Dayak di kapal kami; baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih gadis.
Wanita Dayak dikenal dengan kecantikannya. Berkulit terang bersih dengan bentuk mata seperti peranakan Tionghoa-Melayu. Kisah-kisah para pendatang yang melakukan kawin kontrak dengan wanita Dayak—juga “jamuan seks” bagi tamu lelaki—selalu menggoda angan para lelaki nakal yang baru datang ke Kalimantan. Entah benar entah tidak segala cerita itu, yang pasti, ada hukuman adat bagi para pezina, yakni dengan diarak keliling kampung tanpa busana. Masyarakat Dayak memang sudah mengenal proses peradilan.
Upacara Penhos
Inilah pengadilan bagi para pelaku maksiat, mati di ujung tombak. Meski hukuman mati tidak diberlakukan lagi, namun prinsip-prinsip hukum Penshos tetap diterapkan. Pesakitan mendapat pengawalan dari para sesepuh adat dari kemungkinan mereka melarikan diri. “Penhos tidak lagi menghukum si pelanggar dengan cara mematikan memakai tombak, tetapi diganti dengan membayar denda,” kata Rayun, kepala adat Dayak Mondang dari Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur. Seperti juga Nemlem, adat Penhos biasanya dilakukan seusai panen padi karena upacara ini besar biayanya.
Upacara memerlukan seekor babi jantan berukuran besar, yang sudah dikebiri. “Kalau sekilonya sepuluh ribu, hitung saja berapa besar uang yang dibutuhkan untuk babi seberat 50-an kilogram. Belum lagi beberapa ekor babi yang digunakan untuk pesta makannya,” papar Rayun. Para pelaku maksiat pasti lebih memilih lintang-pukang menutup biaya besar itu daripada harus kehilangan nyawa di ujung tombak.
Dayak Tertua
Malam semakin larut. Sebagian besar penumpang tidur meringkuk di tempatnya masing-masing. Yang kita dengar hanya suara mesin kapal yang sangat monoton sepanjang perjalanan. Zeng Hong—seorang pria keturunan Dayak Wehea (Bahau)—sudah beberapa kali menguap. Ia rebahan di antara barang-barang dengan rokok terselip di bibir sambil mencoba menjelaskan ihwal sukunya. (Dalam literatur nama sukunya sering ditulis “salah” dengan sebutan Bahau. Mereka umumnya mendiami daerah Dun, Melak, Long Tesak, Long Bangun atau Nehes Liang Bing).
Masyarakat Dayak Wehea mulanya bermukim di sekitar sungai Long Nak Teng, yang artinya untaian manik, sekitar tahun 1600-an. Sungai tersebut kemudian berganti nama menjadi Sungai Wehea. “Dari nama Sungai Wehea itulah nama suku kami berasal. Tapi, mungkin karena orang sulit menyebut Wehea, sehingga terpeleset menjadi Wahau sampai belakangan menjadi Bahau,” papar Zeng Hong. Beberapa kalangan bahkan menyebut mereka sebagai Dayak Modang, karena dianggap masih serumpun dengan orang-orang Modang. “Kami bukan Modang. Kalaupun kami punya Modang, itu lebih kepada pengertian Modang dalam tatanan kasta,” tambah Zeng. Modang adalah salah satu urutan kasta Dayak Wehea, seperti Hepui, Medang, Pengin, dan Psap. Sejalan kemajuan jaman, Dayak Bahau tidak lagi memberlakukan status kasta dalam tatanan hidup.
Bila kasta diberlakukan, menurut Zeng, akan banyak mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. “Bagaimana mungkin orang yang dari kasta Psap bisa menikah dengan orang yang dari kasta Hepui,” jelasnya. Kalaupun masih mengangkat kasta ke permukaan, tidak lebih dalam hal upacara adat. Perbedaan kasta bisa terlihat dalam cara berpakaian. Perbedaan lain terdapat saat melaksanakan upacara adat. Kalangan Hepui berhak untuk berdiri di atas gong, sedangkan Medang berdiri di atas parai, untuk Pengin cukup berdiri di atas rotan. Sebaliknya Psap berdirinya tanpa alas apapun.
Dayak Wehea berasal dari Desa Kejin, kawasan Apokayan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bulungan. Nenek-moyangnya kemudian oksodus ke selatan dan sampailah mereka di Kutai sekarang ini. Menurut Zeng, Dayak Bahau dan Dayak Modang bisa disebut sebagai dayak tertua yang mendiami Kabupaten Kutai. “Sedikit memahami budaya suku dayak lain, merupakan kunci dalam pergaulan,” sela Juk Kahang, bapak beranak lima yang berasal dari Desa Umaq Tukung. Meski ia berasal dari Dayak Kenyah, bukan berarti ia tidak mengerti adat dan budaya suku-suku Dayak lainnya. Juk Kahang membenarkan, beberapa dari adat pidana, adat tata kampung, adat kepercayaan yang sudah terpelihara ratusan tahun akhirnya melemah karena adanya pengaruh dari luar. “Masuknya agama sudah merupakan bukti semakin melemahnya hukum adat,” ungkap Juk yang tinggal di Lamin atau rumah panjang. Sebagai contoh adalah musnahnya patung-patung Belontang. Dulu, patung-patung itu digunakan untuk upacara pemujaan roh leluhur. “Kami sudah tidak lagi menggantungkan banyak hal kepada upacara adat. Itu karena sudah ada hukum yang mengaturnya. Selain itu juga kita telah beragama,” papar Juk, dimana katanya upacara adat kini lebih terfokus untuk kepentingan dunia pariwisata.
Agama dan hukum akhirnya “menggusur” unsur-unsur dalam tatanan lama, adat atau kepercayaan. Meski demikian, tidak semuanya tergusur. Pengaruh adat dalam upacara kelahiran, kematian, menanam dan panen serta pengobatan masih banyak diterapkan, termasuk pemberian nama. “Lidjie” untuk nama Lidjie Tag yang berarti harimau. “Sedangkan nama dibelakangan, Taq, diambil dari nama leluhur yang telah tiada,” kata Lidjie Tag.
Makna dalam nama orang Dayak merupakan hal yang sangat penting dan biasanya terdiri dari dua suku kata. Suku kata pertama diambil dari nama binatang atau tumbuhan. Sedangkan nama belakang berasal dari nama orang (kerabat) yang telah tiada. “Jangan mengambil nama orang yang masih hidup, karena itu berarti berebut hidup,” tambah Lidjie. Pemberian nama dilakukan melalui prosesi yang disebut Erau Anak. Setidaknya ada enam tahapan upacara Erau Anak yang harus dijalani. Seperti Na’ Ngelam, sebuah upacara pemberian nama kepada bayi. Bukti bahwa sebagian nilai-nilai tradisionil masih bertahan ada pada demonstrasi pengobatan yang dilakukan di Pulau Kemala, Tenggarung. Dalam acara tersebut, dukun memperlihatkan kebolehannya. Di antaranya adalah Agok, pawang (dukun) yang biasa menjalankan acara Belian. Dengan caranya, Agok berusaha memenuhi kebutuhan makan para roh jahat supaya tidak menyakitkan orang.
Agok lebih mengutamakan kelebihannya untuk pengobatan penyakit. Pilihan itu, kata Agok, karena ketiadaan dokter maupun mantri. “Saya harus meminta pertolongan kepada Yang Berkuasa di sekitarnya untuk dapat membantu penyembuhan,” ujar Agok yang mampu melakukan gerakan berputar secara cepat dengan kakinya sebagai poros untuk bertumpu kala menggelar upacara Belian Bawo. Sebelum semuanya berlangsung, Agok terlebih dulu mempersiapkan segala persyaratan; yakni menyiapkan balai, patung, dan kelenggang serta menjalani berbagai pantangan yang tidak boleh dilanggarnya (berpuasa). Selama masa puasa itu, ia juga tidak boleh makan makanan yang mengandung bahan terasi, cabe, dan rebung. Setelah semuanya dilalui dengan penuh keyakinan, maka mulailah Agok melakukan ritual pengobatan yang spektakuler. (Agus Blues / Foto : Rizal Bustami)
No comments:
Post a Comment