Saturday, March 13, 2010

Kunjungan ke Pulau Durai


La Hanni,
“Robinson Cruise” dari Pulau Durai
Oleh : Alfan
Hampir 90 tahun usianya. Tinggal sendiri di sebuah pulau yang kerap didatangi “penyamun ikan” dari Thailand. La Hanni, satu-satunya manusia Indonesia di pulau terluar Indonesia itu.


Pompong bergerak perlahan meninggalkan hiruk pikuk pelabuhan kota Tarempa di Kabupaten Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Siang itu terasa terik sekali, matahari bersinar membakar tubuh dan gelombang laut kencang menggoyang perahu yang kami tumpangi.

Tujuan pelayaran kami adalah Pulau Durai, salah satu pulau dari gugusan pulau di kabupaten yang baru tahun 2009 dipisahkan dari Kabupaten Natuna. Kabupaten Anambas dahulunya masuk kedalam kewedanaan Pulau Tujuh.

Kabupaten yang menjadi wilayah terluarnya Indonesia ini, berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Karena posisinya ini, Anambas dikenal di negeri serumpun dan pulau-pulau kecil disekitarnya pun jadi incaran banyak pihak.

Lokasi yang kami kunjungi adalah Pulau Kosong, tempat habitat penyu Sisik dan penyu Belimbing berkembang biak. Pulau Durai atau Pulau Penyu, begitulah masyarakat di Tarempa menyebutnya. Jarak Pulau Durai dari Tarempa tidak terlampau jauh, satu jam perjalanan dengan pompong besar.
Dua buah gubuk kecil nampak diseberang sana, seorang lelaki tua dengan sampan mendatangi pompong kami, lincah mendayung sampan kecilnya.

La Hanni, Sang Empu Pulau Durai
Ya, dialah “sang empunya” Pulau Durai, La Hanni namanya.
Kerut-kerut diwajahnya memperlihatkan bahwa menandakan dia seorang pekerja keras. Sendirian dia menjemput kami dengan sampan kecilnya, memainkan dayung, meliuk-liuk diatas ombak, mengantar kami dengan selamat hingga tepi pantai. Setelah menyeret sampannya ke tepi pantai, La Hanni mempersilahkan kami masuk kedalam gubuknya. Gubuk berukuran tujuh kali empat meter inilah yang jadi tempat berteduh baginya selama 19 tahun. Usianya kini sudah genap 88 tahun, tetapi masih terlihat sehat dan gagah. La Hanni lahir di Desa Biningko-Bakar Rumende Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.


Tahun 1957, La Hanni bersama saudara laki-lakinya berlayar meninggalkan tanah kelahirannya di Sulawesi menuju Laut China Selatan. Tujuan awalnya adalah Kota Tanjung Pinang, untuk mencari kayu bakau yang akan dijadikan arang. Bersama tiga belas awak kapal phinisi La Hanni berlayar mengarungi luasnya samudera. Beberapa bulan berlayar akhirnya mereka berlabuh di Tiabuh. Bagaikan “Robinson Cruise”, karena perahu pecah, mereka sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Terdengar kabar bahwa di Pulau Tujuh bisa memberikan kehidupan yang layak, tetapi bukan sebagai nelayan. Kabar inilah yang membuat La Hanni beserta saudara laki-lakinya putar haluan menuju Pulau Tujuh (Tarempa sekarang.red). Setibanya di Pulau Tujuh, La Hanni bekerja sebagai pengumpul buah kelapa selama tiga bulan. Lepas dari sini dia bekerja di Gunung Button, seberang Pulau Tarempa sebagai penyadap karet. Lama dia bekerja dengan sistem bagi hasil, hingga akhirnya mendapat tawaran sebagai penunggu pulau penyu di tahun 1991. Dari sinilah dia memulai pekerjaan barunya sebagai penunggu pulau dan pengumpul telor penyu. Sekarang dia tinggal sendiri, hanya berteman belasan kucing yang memang sengaja dipelihara. Sebenarnya La Hanni masih memiliki istri lewat pernikahannya yang ke tiga setelah istri ke duanya meninggal di Pulau Durai. Karena sakit istrinya harus diungsikan ke Pulau Piasan seberang Tarempa agar bisa cepat diobati.


Dari menggumpul telor penyu dan menunggu pulau, setiap bulannya, La Hanni bisa mendapatkan uang dua hingga tiga juta. Kesemuanya itu adalah hasil dari pembagian yang dapatkan dari pemilik lapak di Pulau Durai. Jika musim bertelur tiba La Hanni bisa mendapat lebih dari dua juta, karena bisa tiga puluh ekor penyu yang bertelur dalam semalam. Satu butir telur di hargai Rp. 1500. Penghasilan yang didapatnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah.
Di dalam gubuk reotnya terdapat satu buah jenset dan barang-barang elektronik seperti televisi dan vcd sebagai penghibur diri. Karena mahalnya bahan bakar untuk jenset, listrik yang dipakai hanya bisa bertahan hingga pukul 22.00 WIB.

Untuk urusan perut, La Hanni biasa mendapatkan ikan dari nelayan yang mampir atau seminggu sekali mengayuh sampan selama tiga jam, membeli kebutuhan pokok di Tarempa.

Kedatangan Nelayan Thailand
Terkadang rasa kesendirian La Hanni bisa terobati, bukan oleh sang istri yang menemani. Tetapi, oleh nelayan lokal yang mampir hanya untuk sekedar lepas lelah atau membagi tangkapannya dengan La Hanni. Beberapa kapal penangkap ikan asal Thailand sering menjadi tamunya. Mereka menyandarkan kapal untuk meminta kelapa muda dari La Hanni. Biasanya untuk mendapat kelapa muda dari La Hanni, mereka tukar dengan minyak dan beras.


Pernah suatu ketika ada belasan kapal penangkap ikan asal Thailand merapat di pulaunya. Ramai sekali saat itu, dan menjadi moment yang menggembirakan buat La Hanni. Kelapa muda yang ditukar dengan minyak dan beras sudah barang tentu bertambah. Tetapi, suatu hari, La Hanni ketakutan mendapat tamu orang Thailand. Nelayan Thailand tersebut dalam keadaan babak belur. La Hanni mengusir mereka, tetapi mereka tidak mau pergi. Karena kekhawatirannya, La Hanni menggunakan parang itu untuk menakut-nakuti kedua nelayan Thailand tersebut agar mau pergi. Memang dasar kepala batu, biar sudah ditakut-takuti dengan parang, mereka tetap bertahan, sampai akhirnya datang Patroli Marinir dari Tarempa membekuk mereka dan menahannya. Ternyata kedua nelayan tersebut hasil tangkapan Marinir TNI AL.


“Nelayan Thailand itu perusak. Kapal-kapal mereka menggunakan pukat-pukat besar, yang tidak hanya menangkap ikan besar, tetapi juga ikan kecil dan merusak terumbu karang tempat ikan bertelur,” terang La Hanni.
Tetapi kini, sejak Marinir sering berpatroli, kapal penangkap ikan Thailand sudah tidak pernah lagi muncul. “Jadi, kami orang-orang pulau bisa mendapatkan banyak tangkapan,” tambahnya.

Mengumpulkan Telur Penyu
Pulau Durai atau Pulau Penyu sebutan orang Tarempa, karena memang menjadi syurga bagi banyak jenis penyu berkembang biak disini. Setiap hari paling sedikit delapan ekor penyu naik ke darat dan bertelur.
Sebenarnya Pulau Durai ada pengelolanya, yaitu tiga orang dari Tarempa. Salah seorangnya adalah Raja Asnan. Raja Asnan lah yang mempekerjakan La Hanni sebagai penunggu kebun kelapa miliknya dan sekaligus sebagai pengumpul telur penyu.

Jika musim bertelur tiba, sekitar bulan April hingga September, puluhan ekor penyu naik ke darat dan bertelur. Buat La Hanni ini adalah berkah yang tiada terhingga. Terkadang hasil penjualan telur penyu bisa mencapai enam puluh juta rupiah yang masuk ke kantong Raja Asnan.

Sekarang Pemerintah Kabupaten Anambas mengeluarkan kebijakan kepada penjual telur penyu, menyisihkan 25 % dari jumlah telur yang dihasilkan seekor penyu, untuk tujuan konservasi. Bahkan dalam waktu dekat ini Pemkab Anambas akan menjadikan kawasan Pulau Durai sebagai kawasan konservasi penyu. Artinya, jika sudah menjadi kawasan konservasi, sudah tidak ada lagi orang yang mengeksploitasi telur-telur penyu. Atau karena lahannya dimiliki perorangan, jumlah pengambilan telur penyu harus lebih banyak untuk tujuan penyelamatan penyu sisik dan belimbing.

La Hanni sengaja memelihara tukik-tukik karena kesadarannya untuk menyelamatkan hidup penyu yang semakin sedikit jumlahnya. Ia memelihara tukik-tukik itu hingga berusia satu tahun, untuk kemudian dilepaskan lagi ke habitatnya. “Saya pelihara tukik ini hingga besar supaya tidak dimakan hewan pemangsa,” ungkapnya dengan logat Melayu.

Apa yang dilakukan La Hanni harus dihargai, bukan saja kerna telah menjadi penjaga Pulau Durai yang memiliki potensi alam bawah laut yang eksotis, tetapi juga memilihara kelangsungan hidup penyu-penyu disana.*









2 comments:

Anonymous said...

bagus sekali artikel nya pak.. sangat menginspirasi, menambah wawasan, dan menyadarkan akan pentingnya lingkungan..

Melihat Indonesia said...

Terimkasih komentar Anda ! Indonesia kaya dan indah, karena itu harus kita rawat.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023