Tuesday, July 20, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Pengantar)



Maryam Chilvaldry


Pengantar Redaksi
Trides, anak dari seorang Legiun Veteran RI, lahir di Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat  tahun 1965. Trides seorang sarjana pendidikan, mantan Kepala Sekolah Dasar, dan peminat sejarah. Di Bukittinggi dia juga dikenal sebagai budayawan dan wartawan setempat yang produktif menulis. “Maryam Chilvaldry”, sebuah nama yang pemberian orangtuanya empat puluh tahun lalu, merupakan satu bagian “Trilogi Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Cerita tentang Perang Kamang tahun 1926, menentang pemberlakuan Belasting oleh Pemerintah Belanda 1908

Novel sejarah ini terdiri dari 25 bab. Guna meringankan pembaca dari pembukaan halaman blog, Redaksi (Cantigi) akan membagi-baginya lagi secara porposional – dengan tidak mengurangi isinya. Novel karangan Trides ini akan dimuat secara bersambung.

Redaksi merasa perlu memuat Pengantar oleh Trides, sebab musabab dia mengarang novel ini dan usaha – usaha yang ia lakukan merangkai sejarah dalam bentuk fiksi. 

Selamat membaca,




Pengantar dari Penulis

Wahai Ananda!
Simaklah apa yang telah diperbuat leluhurmu.
Berbuatlah kini & nanti untuk dunia & akhiratmu
Dan
Muliakanlah Ibumu !
Karena sorgamu atas keikhlasannya.

Ttd, Ayahanda

Pengantar

Bukan sekedar ‘bertanam tebu di bibir’ saja atas ungkapan Sang Proklamator RI, Ir. Soekarno yang dikutipnya dari ucapan funding father Amerika Serikat, bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

Pertanyaan kita, bagaimana kita dapat menghargai sejarah perjuangan bangsa pada masa lalu ? 
Dalam hal menghargai makna sejarah tentang masa lalu perjalanan bangsa ini adalah melalui pengkonstruksian kembali pilar-pilar sejarah pada setiap periodenya. Merekonstruksi kembali fakta-fakta sejarah masa lalu itu tidak hanya saja diaktualisasikan dalam bentuk penulisan sejarah secara ilmiah, malainkan dalam bentuk pengkisahan yang dikemas dalam penulisan non fiksi. Karena non fiksi adalah fakta-fakta dan data-data yang dirangkai dalam bentuk sajian sastra. 

Maka pada buku yang terkembang di tangan anda ini adalah bahagian pertama dari “Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Tema ini tidak lain adalah berangkat dari cerita rakyat Sumatera Barat yang telah menjadi bahan kajian para sejarawan dan sebahagian besar telah diaktualisasikan dalam bentuk karya ilmiah dengan berbagai judul dan periodesasi tentang sejarah perlawanan rakyat Sumatera Barat dalam menentang kolonialisme Belanda dari berbagai dimensi, sudut pandang penelitiannya. Diantaranya adalah Perlawanan Rakyat Menentang Pemberlakuan Belasting 1908, Pemberontakan Kamang 1926 dan Revolusi Fisik Pasca Proklamasi. 

Setelah kita telusuri mata  rantai sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialis di Sumatera Barat tersebut akan terlihatlah seutas benang merah yang ditandai dengan setiap akhir periodesasi perlawanan rakyat tersebut selalu menyisakan benih perlawanan untuk periode berikutnya, meskipun hal itu bukanlah suatu kesengajaan dan dipersiapkan pada masa-masa sebelumnya. 
Namun, waktu lah sesunggunhnya yang telah berperan dan rangkaian fakta lah yang berkisah dan menyambung mata rantai sejarah perlawanan rakyat tersebut. 

Kedua, atas pemikiran di atas maka fakta fakta sejarah ‘Perang Kamang 1908’ yang dirangkai dalam novel sejarah “Maryam Chivalry” yang sedang terkapar di tangan pembaca ini  yang dikenal juga dengan ‘Perang Belasting 1908’ itu ditulis bukan dalam bentuk penulisan sejarah (ilmiah). Tujuan dari penyajian dalam bentuk novel sejarah ini adalah untuk memikat minat membacanya sehingga fakta dan pesan sejarah itu sampai dan menjadi lebih bermakna kepada yang bukan sejarawan semata.

Umumnya rakyat di Sumatera Barat pada waktu itu (1908), terutama di Kamang dan Mangopoh tidak bersedia menerima perlakuan sepihak oleh pemerintah Belanda, yang secara sewenang-wenang melanggar rasa keadilan rakyat. Rakyat tidak bersedia untuk terus menerus dimelaratkan oleh keadaan perekonomianya dengan suatu ‘stelsel’ peraturan, perpajakan yang berat dan tak beralasan.

Walaupun Peristiwa Kamang dan Mangopoh tahun 1908 bersifat lokal dan daerah, tetapi hal itu adalah sekedar ukuran geografis saja, karena jiwa yang mendukungnya adalah jiwa nasionalis karena ia dengan perlawanan duhulu itu menunjukkan watak anti kolonialismenya anti imperealismenya. Malah dapat dikatakan merupakan bentuk perlawanan pertama kalinya oleh rakyat terhadap bentuk eksplotasi dan belasting, setidaknya untuk ukuran Minangkabau (Sumatera Barat) saat itu.

Watak anti kolonialisme ini, setidaknya untuk pertama kali tertuang secara tertulis dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat (pimpinan adat, ulama dan pemerintahan nagari) di Solok dengan Gubernur Thomas Stanfort Raffles pada 20 Juli 1818. Pernyataan politik yang berisikan anti kolonialisme – Belanda – itu sengaja untuk disampaikan kepada Raja Inggris guna ditindak lanjuti, sehubungan dengan penyerahan kembali Hindia-Belanda oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1916. Karena permintaan orang Minangkabau kepada Inggris tidak digubris, maka dua tahun kemudian (1820) meletuslah Perang Paderi  yang pada masa akhirnya dapat kita artikan sebagai ‘Perang Minangkabau’ melawan pemerintahan Belanda.

Perang Kamang 1908 adalah mata rantai dari perang Paderi. Dalam anggapan penduduk Minangkabau perlawanan Paderi terhadap pemerintah Belanda belumlah selesai, karena penangkapan Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif) sebagai pimpinan Paderi waktu itu adalah karena kecurangan Belanda akibat tidak kuatnya lagi menanggung beban perang untuk memusnahkan perlawanan rakyat Minangkabau tersebut, dan bahkan beberapa perlawanan rakyat di nusantara ini.

Malahan, kalau kita melihat di seluruh panggung sejarah Asia, maka permulaan abad ke-20 itu dan khususnya tahun 1908, adalah abad pergolakan rakyat di Turky, Afganistan, India, Mesir dan Rakyat Tiongkok yang mulai menentang penjajahan Eropa Barat. Maka peristiwa Kamang dan Mangopoh 1908 itu, dan lain peristiwa lagi di seluruh Indonesia pada waktu bersamaan menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak mau kalah dalam pergolakannya melawan penajajahan itu. Hal ini adalah bukti senyata-nyatanya rakyat sedang mengalami zaman ‘rebirth of the Indonesia nation’, zaman ‘renaissance’ atau zaman kebangunan kembali.
Dari berbagai literatur sejarah Perang Kamang pada 15 Juni 1908 itu, yang kita baca dikemudian hari, ternyata ditemui data sejarah tentang keterlibatan kaum ‘Siti Hawa’ secara totalitas sebagaimana layaknya kaum ‘Adam’ dalam peperangan itu. Sehingga semakin memperkuat ide penulisan kembali tentang Sejarah Perang Kamang 1908 sebagai sejarah lokal yang tidak kalah momentumnya terhadap kebijakan pemerintah Belanda, dan kemudian keinginan untuk mengungkapkannya dalam bentuk novel sejarah ini semakin mencuat  menjadi sebuah gagasan dan obsesi.

Agaknya, selama ini para pengarang dan peneliti sejarah hanya terfokus kepada pengkajian pada sosok peperangan tersebut dalam momen semangat dan jiwa patriotis orang Luhak Agam dan Minangkabau secara umum, namun penggalian akan emansipasi kaum perempuan dalam semangat patriotik itu kuranglah dikisahkan.

Kalaulah hal ini sebagai pesan moral dalam semaraknya pergunjingan akan issu global ‘emansipasi’ dan ‘gender’ apakah tidak sebaiknya juga dipaparkan tentang karakter orang Minangkabau yang telah lebih awal memperkecil jurang tentang peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai kesempatan, dan bahkan dalam segala bentuk perjuangan hidup. 

Dalam alur cerita, novel sejarah ini, kaum Hawa dalam pengertiannya bukanlah semata sebagai wanita (pemuas nafsu), tetapi lebih memberi makna sebagai seorang perempuan, seorang ibu (pertiwi) dan Bundo di Minangkabau.  

Cerita – novel sejarah - ini bisa menepis keengganan generasi muda, baik siswa maupun mahasiswa akan daya pikatnya untuk mengetahui makna historis tentang masa lalu zaman leluhurnya sendiri dalam semangat nasionalis. 

Maka, dalam kisah ini peran kaum perempuan dari nagari Kamang ini ditokohkan oleh Siti Maryam, Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Nama-nama itu adalah fakta. Ya, karena itulah nama-nama srikandi yang sangat berperan semenjak jauh hari sebelum dan pada saat meletusnya Perang Kamang 1908 menjadi perhatian tersendiri untuk dikisahkan dalam buku ini. Mereka adalah Sirkandi-srikandi dari Tanah Kamang disamping pejuang perempuan lainya yang kita temukan di pelosok Minangkabau.

Siti Maryam, gadis perawan  yang sedang berangkat dewasa, yang berasal dari Kampung Hanguih Kumpulan-Bonjol. Pada mulanya Siti Maryam hanya ingin belajar agama dan ilmu ilmu lainya kepada Haji Abdul Manan di Kamang. Namun dalam perjalannan hidupnya ternyata dia turut menceburkan diri ke kancah konflik dan peperangan, turut menyinsingkan lengan bajunya pada malam ‘pembantaian’  15 Juni 1908 di Kamang itu. Akan tetapi sebelumnya dia juga telah berperan aktif sebagai tenaga propaganda yang memprofokasi masyarakat bersama Siti Aisyah dan Siti Anisyah. 

Bahkan dia sering menjalankan misi dakwah anti Belasting dan anti Belanda ke seantero daerah, seperti ke Pasaman, Lubuk Basung, Mangopoh dan Pariaman. Cuma saja setelah Perang Mangopoh tanggal 16 Juli 1908 namanya tidak terngiang lagi, sehingga kita pun kehilangan jejak akan dirinya dan perjuangannya. Dan dari selentingan kisah perang Kamang dan Mangopoh tahun 1908 itu,  ternyata si perawan, Siti Maryam  turut gugur dalam pertempuran di Mangopoh pada malam 16 Juni 1908.

Pada waktu-waktu melintasi kampung dan pedusunan dalam kunjungannya ke beberapa daerah tujuan guna menjalankan misi propagandanya, Siti Maryam selalu menyempatkan pula untuk membantu pekerjaan-pekerjaan penduduk kampung di sepanjang perjalanannya, seperti ‘manggaro’, ‘mangisai’ dan ‘ma-angin’ padi atau pekerjaan wanita lainnya yang mungkin di kerjakan. Kesemua bantuannya itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, tandanya ‘berat sepikul – ringan sejiniing’ sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai budaya leluhurnya. Yang menariknya lagi perjalanan jauhnya itu ditempuhnya dengan duduk berayun di atas pelana yang bertengger di punggung seekor kuda betina. 

Meskipun plot cerita tentang kemahirannya menunggangi kuda, dan berbagai bantuan fisik dan mental yang dia sumbangkan untuk rakyat yang membutuhkan tidak ditampilkan dalam kisah ini, namun setidaknya telah menempatkannya bagaikan seorang – ‘Chivalry’ – yang tegar dalam setiap medan dan situasi.

Chivalry”, bukanlah sebuah gelaran di akhir nama, adalah sebuah kata yang mengandung pengertian setara dengan satria atau srikandi sejati; berani, kuat dan seorang pejuang yang tangguh yang murah hati kepada sesama dan selalu melindungi yang lemah, setia kepada majikannya serta selalu berbakti kepada Tuhan.

Penempatan kata ‘Chivalry’ pada karya ini tidak lebih memperlihatkan kesetaraan posisi wanita Minangkabau, adalah juga memiliki sifat dan karakter yang sama dan bukan saja bangsa Eropa yang memiliki superioritas dalam semangat patriotrisme untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Sehingga disandingkanlah kata Perancis kuno itu dengan nama-nama seorang pejuang wanita Minangkabau yang keberadaannya cukup unik, setidaknya di negeri Kamang, sehingga menjadi “Maryam Chivalry”, sebagai lokus pengkisahan dari serangkain “Catatan Usang Sang Juru Tulis” ini.  

Lain halnya dengan Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Siti Aisyah, perempuan muda nan molek bersuamikan M. Saleh Dt. Rajo Pangulu berasal dari Kamang Hilir sekarang, tapi belum mempunyai anak. Dan Siti Anisyah yang masih muda sudah punya anak satu orang, Ramaya namanya dari hasil perkawinannya dengan St. Nan Basikek.

Siti Aisyah dan Siti Anisyah adalah dua orang sosok perempuan (Bundo) yang turut berkuah darah dalam sebuah pertempuran rakyat Kamang Luhak Agam dalam menentang ‘stelsel’ Penjajahan Belanda, terutama sekali setelah Belanda melancarkan peraturan tentang pembayaran Balasting (pajak langsung) dan ‘rodi’ pada tahun 1908, pengganti peraturan Tanaman Paksa (jenis kopi) yang telah dilancarkan Belanda semenjak zaman Paderi.

Namun dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat Sumatera Barat menentang penjajahan, nama Siti Aisyah dan Siti Anisyah tidak obahnya dengan nasib yang bersua pada diri Siti Maryam, hanyalah sebaris kalimat dalam mengisi halaman sejarah itu. 

Akan tetapi apabila kita coba mencari sebuah makna dan nilai tiadalah dapat disetarakan dengan siapa pun karena pada zaman kegelapan dunia pendidikan sekuler, pada zaman yang masih berlampu ‘damar tondeh’ sebagai penerang malam di rumah gadang dan pada saat kekangan adat istiadat Minangkabau masih kental dari pada zaman sekarang, ternyata tampillah beberapa orang anak cucu Siti Hawa memegang sebuah kalewang (rudus) di malam buta  menyibakkan kabut mesiu, menghadang timah panas dan ‘mentulikan’ pendengaran akan gonggongan senjata Belanda yang tergolong amat modern pada waktu itu.

Memang, Tigo Sejoli (Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam) ini serupa tapi tak sama dengan Siti Mangopoh, walau pun tidak memimpin sebuah pasukan yang oleh Belanda dikatakan sebagai pemberontak itu, namun peran yang mereka mainkan sangatlah besar dan sangat berarti. 
Hal ini tidak saja sebagai “Bundo” yang turut kemedan laga namun jauh hari sebelumnya telah giat sebagai badan propaganda dari rumah ke rumah, bahkan di sumur tepian mandi pun agitasi dalam menanamkan semangat juang terhadap penjajah Belanda mereka lakoni, dan sekaligus mempersipakan diri secara matang pun mereka lakukan seperti memperdalam ilmu silat, ilmu kebatinan berupa ilmu kebal dan peringan tubuh dan termasuk nantinya ilmu tasauf yang sering juga disebut dengan ilmu akhirat.

Kenyataannya, tidak sedikit darah Belanda yang mengalir di pedangnya sebagai bukti seorang ‘srikandi’ yang benar-benar tangkas, berpencak dengan ilmu persilatan yang dia kuasai sambil meneriakkan kalimat takbir dan tahlil dalam kecamuk pedang disela-sela desingan peluru senjata serdadu L.C. Wetenenck. 

Mereka bukan sekedar berteriak “Demi Agama” akan tetapi lebih bermakna pula “Demi Nusa dan Bangsa”-nya kelak. Mereka benar-benar maju ke medan laga yang tak kalah semangatnya dari suami suaminya yang tercinta, meskipun timah panas serdadu marsose menembus dada dan kepalanya beberapa kali untuk mengakhiri perlawanannya. 

Siti Aisyah meninggal tersungkur di atas pematang sawah yang disusul oleh suaminya M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, semenatara Siti Anisyah terbunuh saat berupaya menebus darah Siti Aisyah. Tak terpikirkan olehnya dengan siapa anaknya kelak diasuh dan dibesarkan. Bukankah anak semata wayang ‘Ramaya’ adalah sebagai ‘pengobat hati pelerai demam ?’. Akhirnya suaminya, St. Sikek pun tersungkur di sisi tubuh istrinya yang dia cinta itu. 

Itulah akhir sebuah episode dalam kecamuk masa disebuah hamparan sawah di Kampung Tangah-Kamang sampai menjelang subuh 16 Juni 1908.

Catatan usang yang dimaksudkan disini adalah berupa pengaktualisasian, meskipun tidak dikatakan sebuah rekonstruksi dari fakta  fakta sejarah yang berserakan dan belum menjadi kajian sejarah murni yang utuh dalam episode Perang Kamang 1908 tersebut, dan bahkan termasuk beberpa fakta yang belum mencuat dalam karya-karya sejarawan sebelumnya. 

Maka, pengungkapannya pun di perankan oleh seorang jurutulis yang ‘larek’, berangkat ke negeri orang. Dalam misi penyelamatan diri itulah kisah ini ditulis kembali. Sosok si ‘Juru Tulis’ dalam novel ini adalah tidak lebih dari kamuflase dari sebuah icon akan upaya-upaya seorang – pecinta sejarah – untuk pengaktualisasian kembali dari sejarah yang tercecer yang mungkin saja luput dari kajian dan penelitian para ahli sebelumnya, dan atau sebagai pelengkap dari kisah-kisah yang telah ada sebelumnya. Sedangkan ‘larek’ dapat pula diartikan disini tidak lain adalah sekedar gambaran akan jaraknya data faktual (kejadian) Perang Kamang 1908 itu dengan masa penulis  merangkainya dalam pengkisahan ini, pada saat ini.

Ibarat sebuah lokomotif, maka jalan cerita ini hanyalah sekedar pembawa gerbong gorbong fakta sejarah tentang kisah heroik di sebuah sudut negeri di Minangkabau ini pada tengah malam buta, semangat patriotis yang dilandasi oleh nasionalisme yang dalam dari para pejuang kita itu tidak menghiraukan darahnya telah kering membasahi pertiwi demi nusa dan agama. Tinggal lagi bagaimana kita menghargai darah (leluhur) pejuang  yang ‘taserak’ dalam kenikmatan kemerdekaan kita pada saat sekarang ini, setidaknya sebagai kearifan lokal dalam khasanah perjuangan anak bangsa untuk menengakkan harga diri dan gagasan kemandiriannya serta martabat bangsa dan kebangsaan.

Bahkan melalui novel ini pula kita akan menemukan pula sederetan nilai-nilai dan dakwah Islam yang bersumberkan dari firman firman Allah, Swt dan sabda Rasulullah sebagaimana yang dikutipkan dari al-Qur’an kitabullah dan para perawi hadist (shahih) yang berhubungan dengan cinta, arti dan makna kebangsaan dan perjuangan untuk mencapai kedaulatan, kemerdekaan yang terkendali oleh nilai-nilai yang islami dan budaya ketimuran, khususnya dalam persepektif ke-Minangkabau-an.

Ide itu semakin lama semakin mengkristalisasi, dan menemukan kerangkanya dan memulai menorehkan fakta dan khayal untuk novel yang berada di tangan pembaca saat ini, setelah dikejutkan oleh sepotong kalimat seorang pujangga Sir Philip Sidney yang dinukilkan kembali oleh Richard E. Rubenstein. Katanya “’Wahai tolol !’ kata suara batin kepadaku, ‘lihatlah ke dalam hatimu dan menulislah’.” Adalah patut pula penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua tokoh kawakan dunia tersebut.

Terimakasih, penulis

Ucapan Terimakasih
Dalam kesempatan ini, untuk pertama sekali penulis mengaturkan rasa terimakasih yang sangat dalam kepada Bapak. H. Ibrahim Kesah Angku (I.K.A) Payuang Ameh dan Bapak Drs. H. Djazuli Dt. Gampo Marajo (keduanya sesepuh Kamang yang berdomisili di kota Bukittinggi).

Karena berkad kedua orang tua inilah beberapa literatur dan diskusi seputar Perang Kamang 1908 itu penulis dapatkan dan dikembangkan. Dan pada suatu ketika hasil diskusi dan wawancara yang diramu dengan berbagai literatur penulis menemukan ide untuk merekonstruksikan kembali sejarah yang terpendam itu dalam bentuk novel sejarah. 

Terimakasih yang tidak terhingga pun penulis sampaikan kepada mantan Gubernur Sumatera Barat terpilih (Periode 2005-2010) H. Gamawan Fauzi (Mendagri), SH, MM Dt. Rajo Nan Sati, karena perhatian beliau terhadap para ‘penulis lokal’ dan terutama karena bersama beliau mendapat kesempatan mengunjungi makam Pahlawan Perang Kamang 1908 tersebut pada saat Kampanye Pilkada Gubernur Sumatera Barat tahun 2005 lalu di Kamang Hilir sekarang.

Terimakasih penulis pun dilayangkan buat Drs. Cecep Trisnaldi, staf Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat di Padang, yang telah menyumbangkan foto-foto kuno bermuatan historis di Sumatera Barat dari dalam ‘hardisk’ komputernya.

Dan terkhusus pula rasa terikasih penulis disampaikan kepada seorang sahabat Asra Fery Sabri, yang telah turut mempreteli draft novel ini dan memberikan beberapa literatur, saran dan kritiknya sebgai pertimbangan lebih lanjut demi kematangan penulisan novel ini. 

Salam maaf dan terimakasih penulis kepada seluruh nara sumber dan kepada pihak keluarga pejuang perang Kamang 1908 itu yang tidak dapat disebutkan nama dan dipanggilkan gelarnya satu persatu, karena mungkin saja banyak hal yang kurang berkenan untuk menerima jalan cerita ini, tetapi bukanlah itu yang penulis maksudkan namun adalah sekedar penyampai fakta sejarah dalam bentuk ‘kisah’ novel. 

Akhirnya terimaksih penulis kepada istri dan anak-anak yang tercinta, karena kearifannya dengan selalu menyiapkan ‘kopi panggang’ pada saat-saat penulis sedang berkonsentrasi dalam mengemas naskah ini. Dan semoga arwah Ayah-Bunda pun ditempatkan oleh Allah, Swt pada tempat yang mulia.- 

Wassalam, Penulis !


































3 comments:

Unknown said...

Maaf sebelumnya. Saya senang ketika menemukan ada yang berusaha menjadikan cerita ini sebagai novel. Saya sendiri adalah orang kamang,dan juga memiliki hubungan darah dengan salah seorang tokoh yang bapak sebutkan di atas.. Namun yang saya dengar dari nenek-nenek saya nama beliau bukan siti aisyah tetapi siti asiah dan juga nama ibu bujang ramaya itu bukan siti anisyah tapi siti kamisah... Baiknya ceritanya tolong ditelusuri lagi.
Selain itu untuk seukuran novel, bahasanya masih banyak bahasa minangnya sehingga mungkin orang luar yang membaca cerita ini agak pusing karena terlalu banyak kata-kata minang (walaupun ada terjemahannya),akan lebih baik pakai bahasa yang lebih sederhana. sekian dari saya, mohon maaf jika ada kesalahan.

Unknown said...

saya sangat senang saat menemukan tulisan ini. Sejarah Perang kamang yang diangkat ke dalam bentuk novel. Saya adalah orang Kamang dan memiliki hubungan keluarga dengan salah satu tokoh di dalam cerita ini. Tapi yang saya dengar dari nenek-nenek saya bahwa nama beliau bukan siti aisyah tapi siti Asiah dan ibunya bujang ramaya itu bukan siti Anisyah tapi siti kamisah. tolong ditelusuri lagi ceritanya. untuk masukan alangkah lebih baik istilah-istilah minang tidak terlalu banyak disebutkan, karena walau istilah-istilah tersebut ada terjemahannya tetap saja membuat yang bukan orang minang bingung,maksudnya agar novelnya lebih ringan dicerna. Maaf jika ada kata-kata saya yang salah atau tidak berkenan di hati.

Melihat Indonesia said...

Terimakasih atas perhatiannya terhadap novel ini. Kami sangat senang, mendapatkan koreksi dari keluarga pelaku sejarah, sehingga kami dapat nara sumber yang masih hidup. Tentu, akan kami telusuri lebih lanjut. Boleh kami mendaptkan alamt dan nomor kontak Anda ? Kirim saja ke email kami.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023