Maryam Chivalry
Larek
DALAM perjalananku ke rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan diri di Saremban, namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah 1908 itu.
Pada ‘larekku’, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian, termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di Mianangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung ‘larek’-ku.
Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam 15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah Koto.
Dari persembunyianku di hutan Bukit Batu Bajak itu, komunikasi kami ke perkampungan masih tetap ada dengan bantuan seorang petani peladang dan bahkan dari dia aku mencoba menaksir kembali berapa jumlah korban perang ditengah malam itu.
Tapi setelah Mak Kari Mudo menyampaikan pesan Mak Garang Datuak Palindih, seorang Laras di Kamang Hilir yang berpihak kepada perjuangan rakyat dan memberiku uang sekedarnya untuk bekalku melarikan diri barulah aku menyeberang melintasi Bukit Barisan itu.
“Kata Mak Datuak Garang kepadaku, Mak Kari Mudo menirukan pesan Mak Datuak Garang ‘kamu harus secepatnya – larek – melarikan diri dari kampung ini, upayakan kamu selamat untuk menyeberang ke Malaya’. Dan ini sedikit uang bekalmu dalam perjalanan menuju rantaumu. Uang ini juga diberikan oleh Mak Dt. Garang,” katanya padaku.
“Dalam masalah perang ini dan apapun yang terjadi pada kami biarlah kami yang mempertanggung jawabkannya di meja hijau Ulando nanti. Dan mengenai pejuang-pejuang kita yang selamat jangan pulalah kamu hiraukan. Tapi yang perlu kamu risaukan adalah risalah perang ini supaya sampai kepada anak cucu kita nantinya, terutama pada zaman orang tidak lagi peduli atau memperdulikan hakikat perang Kamang ini dalam mengusir penjajah dan pengkafiran oleh bangsa asing di negeri yang berbudaya serumpun Melayu ini,” sambung Mak Kari Mudo untuk terakhir kalinya kepadaku.
“Apakah mamak dan mak Datuak akan menyerahkan diri ?,” tanyaku kepada beliau.
“Agaknya, seperti itu. Dari pada dunsanak, anak-kemenakan terutama yang perempuan diancam pihak Ulando terus-menerus, mungkin lebih baik kami menyerah saja,” awab beliau.
Sejak itu aku pun mulai menapak perjalanan rantauku dengan berbagai penyamaran yang aku lakukan. Pada sore harinya mulailah akau mendaki Bukit Barisan untuk turun di seberangnya menuju kampung Talang Anau dan Pandan Gadang di Suliki. Dari Suliki aku menyisir ke arah Mahat dan seterusnya mengikuti aliran Batang Mahat yang bermuara di Batang Kampar Kanan.
Dengan biduk yang dipergunakan rakyat di kampung itu aku menelusuri Batang Kampar menuju Sungai Siak sebagai seorang pedagang yang membawa hasil bumi dan sedikit candu, meskipun haram tapi adalah untuk berjaga-jaga kalau ada pemeriksaan maka dengan memberikan secumut candu kepada petugas sudah dapat melepaskan diri dari sederetan pertanyaan. Karena kala itu pemeriksaan terhadap siapa saja keluar masuk sungai Siak sudah mulai diperketat sebagai akibat dari perlawanan anti belasting itu.
Selat Malaka aku lintasi dengan menaiki sebuah tongkang, sejenis perahu kayu ukuran agak besar yang didorong oleh angin guna membawa barang-barang dagangan. Di atas sebuah Tongkang yang berbentuk agak persegi panjang itu dan di sela-sela tumpukan kulit manis dan gambir aku duduk dibawah sapaan angin laut di Selat Malaka yang bertiup lembut, yang membuat mataku lemas dan rasa mengantuk pun menimpa kedua pelupuk mataku. Rasa mengantukku berperang antara khayal dan fakta yang aku hadapi di negeri orang nantinya.
Tapi itu tak berlangsung lama, persis menjelang pertengahan laut, awan hitam menggulung seakan menyapu kami yang terapung-apung di laut itu. Tapi si Tekong yang sudah berpengalaman, malah memberikan obat penawar atas kecemasan kami yang berjumlah tujuh orang menumpang tongkangnya itu.
Tekong mencoba memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk awan, arah angin dan tipe hembusan angin mana yang berbahaya dan sebagainya. Setelah angin agak reda, badai sesaat sudah surut maka kami pun sudah mulai tenang kembali. Pada saat itu aku pun mencari posisi yang agak aman, duduk menyendiri menatap matahari yang sudah hampir memperlihatkan jingga di ufuk Barat.
Lama-lama dalam lamunanku muncul segala pengetahuanku tentang peranan Selat Melaka itu semenjak zaman purba dahulu kala, dan lamunan itu terus menjalari benak yang berada di bawah ubun-ubunku ke masa-masa berikutnya. Apalagi pada saat Selat Malaka pernah menjdi rebutan antara Peranggi di Timur (Malaka), Aceh di Barat dan Demak di Selatan. Meskipun akhirnya Demak dan Aceh beserta daerah Melayu lainnya termasuk Bugis bergabung untuk menghantam Peranggi di Melaka, namun gonggongan meriam-meriam Peranggi itu masih kuat menyalak untuk mendesak pasukan Barat dan Selatan yang dibantu oleh pasukan Bugis-Makasar, surut kembali ke keratonnya masing-masing guna menghitung hutang perangnya kepada rakyatnya masing-masing. Perang itu tentu terjadi di laut ini. Di Laut Selat Malaka ini.
Kebencian dan kekesalanku semakin memuncak pada saat aku menyaksikan langsung di negeri Malaka bahwa perairan Selat Malaka semakin menjadi rebutan bangsa asing yang silih berganti antara imperium Peranggi, Ulando dan Anggarih. Mereka adalah bangsa yang rakus yang tidak mengenal peri kebangsaan orang lain, dan seenaknya menghujat bangsa pribumi bahwa sejengkal tanah yang telah didudukinya itu adalah tanah kerajaannya untuk kejayaan dan kemegahan gerejanya dalam prinsip kolonialis dan imperealisnya yang terkenal dengan 3-G (Gold, Glory dan Gospel) itu.
Meskipun hanya sejengkal tali kailku tentang sejarah masa lalu nusantaraku ini lantaran aku tidak berkesempatan untuk melanjutkan perbekalanku di sekolah yang sedianya untuk anak-raja-raja itu, akan tetapi seteguk pengetahuanku telah membuat mataku terbuka tentang kedahsyatan penjajah di negeriku. Misalnya saja sesudah perang Kamang dan Mangopoh 1908, maka pada tahun 1915 pemerintah Ulando mengeluarkan peraturan agraria yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ditempati jatuh pada hukum pemerintah (Red: baca tanah negara), dengan sendirinya konsep tanah adat (ulayat) tidak diakui lagi.
Begitulah sekelumit lamunanku sewaktu mengharungi Selat Malaka kebanggaan nusantara.
Sampailah aku di negeri yang dituju. Tidak lama berada di negeri jiran melalui sahabat dan karib kerabat Inyiak Manan di Sungai Ujong, dimana tempat aku ditampung aku dapatkan sebuah dokumen baru berupa laporan kontrolir Oud Agam kepada atasannya. Laporan L.C. Westenenck kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui telegram tanggal 17 Juni 1908, kemudian disusul laporan Gubernur Sumatera Barat Heckler No. 1012 tanggal 25 Juni 1908. Adalah tidak mengurangi arti apabila aku kutipkan pada bahagian ini.
Westenenck dan Heckler memberikan sebuah gambaran bahwa “... suasana malam pada saat terjadi pertempuran di Kamang 15 Juni 1908, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak ada lagi, yang ada cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatapan dengan buasnya melalui kerlipan bintang bintang di langit. Siap untuk saling membunuh diantara kelompok yang bertentangan itu.”
Laporan L.C. Westenenck dan Gubernur Sumatera Barat Heckler tersebut terkesan meminta pembenaran atas tindakan yang diambilnya untuk menjalankan rodi dan belasting, meskipun banyak menelan korban dipihak prajuritnya pada malam 15 Juni 1908 dalam “Pemberontakan Kamang 1908” yang lebih dikenal rakyat umum dengan sebutan “Perang Kamang 1908” itu.
Barangkali ini pulalah sebabnya pertimbangan Haji Abdul Manan mempercayai aku sebagai juru tulis yang kadang kala sebagai juru bicaranya.
“Apakah faktor ini pula yang membuat Siti Maryam, terpaut hatinya dan tergantung angan fikirannya padaku?” Pertanyaan itu akhir-akhir ini sering pula menghisasi kegalauanku. Sering sosok Maryam membayangi kesendirianku, sering pula aku bertanya dalam hati, menyurat dalam bathin dalam kehanyutan khayalku pada orang yang aku cintai itu.
Pada suatu petang, sewaktu aku telah bermukim di Bandar Saremban Negeri Sembilan kembali anganku melayang kepada gadisku, Siti Maryam.
“Maryam, dimana kau berada sekarang?”
“Di hutan manakah mayatmu terkapar, atau di penjara manakah tubuhmu diusai dan diurai para pembesar atau sapir-sapir Ulando itu. Sehingga aku tidak lagi mendengar kabar berita darimu sampai saat ini ?
Tahukah engkau, Maryam! Beginilah nasibku sebagai petualang kalam, sebagai seorang juru tulis, pada saatnya kini aku kehilangan jejakmu di belantara kegalauan. Untuk kamu ketahui, Maryam. Kini petualanganku telah berakhir. Kalamku telah patah, dawatku telah kering, dan lenteraku pun telah padam dalam penjelajahanku. Aku telah kehilangan jejak tentang kamu dan srikandi srikandi lainnya dari Tanah Kamang. Aku tak dapat lagi melanjutkan penjelajahanku dalam pencaharian khayalku tentang dirimu, Maryam ! Cuma satu hal yang harus kamu ketahui, Maryam. Semoga saja ‘catatan sebagai seorang juru tulis’, tentang Perang Kamang 1908 yang aku kisahkan di atas kertas-kertas ini, dari tempat pengasinganku di tanah Semenanjung Malaya ini dapat sebagai petunjuk bagi orang orang sesudahku dalam pencahariannya, dihutan mana dan disungai apakah terbaringnya jasadmu wahai... gadisku, Siti Maryam.
‘Wahai, gadisku!’. Kamu bagaikan bintang yang datang di malam hari. Keganti damar salatin akan sejarah di negeri ini. Wahai, gadis Bonjol-ku !, dengan segala keterpaksaan aku jelang rantauku, “larek” dari kampung demi menjalan amanah terakhir untuk anak cucu kita.
‘Sekali lagi untuk kamu ketahui Maryam, dilihat kepada untung dan perasaianku, maka tidak obahnya seperti tongkang yang aku tumpangi sewaktu menyeberangi Selat Malaka duhulu.
“Tongkang kecil muatan penuh serat muatan kulit lokan.
Dagang miskin merantau jauh yang meratap sepanjang jalan.”
“Wahai...!, srikandiku,! songsonglah aku ‘si Juru Tulis’ di pintu sorgamu... !
Sorga yang telah dijanjikan Allah, Swt kepada orang-orang yang ikhlas berjuang. Berjuang di jalan-Nya !”
“Bamulo hati mako kaibo, badan di rantau bilo kapulangnyo.
Walau kakariang aia di talago, rindu ka adik batambah dalam juo.
Hari paneh cando kariak, mahampehnyo ka tapi juo.
Lah putuih hati dek taragak, denai bajalan batambah jauah juo.
Mandaki jalan ka Canduang, mamutuih jalan nan ka Lasi.
Saketek sasa ka nan kanduang, denai digantuang indak batali.
Bermula hati maka akan hiba, badan di rantau bila akan pulangnya.
Walau akan kering air di telaga Rindu ke adik bertambah dalam jua.
Hari panas seperti akan riak menghempas ke tepi juga.
Lah putih hati karena teragak (rindu), awak berjalan bertambah jauh jua.
Mendaki jalan ke Canduang, memutus jalan yang ke Lasi.
Sedikit sesal kepada nan kandung, awak digantung tidak bertali.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment