Saturday, August 21, 2010

Novel : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian III)

KANCIA, BUKAN PELANDUK
  
Selesai belajar dan mengaji murid di surau sudah mencari posisi tidur. Anak-anak perempuan sudah memisahkan diri dari anak laki-laki ke balik tabir sekram tinggi. Tapi diantaranya masih ada juga yang bermain catur harimau, catur raja, dan catur sembilan, disamping berteka-teki dan mendongeng sebelum tertidur.

“Magek, kesinilah !,” ajak si Guru Tuo. Magek menghampiri Guru Tuo, dan Guru Tuo berbalik dan melangkah menuju sebuah bilik, kamar yang bersebelahan dengan ruang Inyiak Manan.

Sesampai di kamar yang agak sempit itu si Guru Tuo menanyakan teman-teman Magek yang serombongan permisi buang hajat sewaktu masih berlangsungnya pembelajaran mengaji tadi. Magek mulai terkaget, dengan terbata-bata menyebutkan kawan-kawannya tadi.
“Ayo, panggillah kawan-kawan kamu itu !,” perintah Guru Tuo.

Magek pusing, cemas apa gerangan yang akan terjadi, apakah Guru Tuo sudah tau kelakuannya tadi, lalu bagaimana caranya mengatakan kepada kawan-kawan karena dia sendirilah yang punya ide. Hukumannya pasti berat. Kalau kawan dapat lecutan rotan satu kali, paling tidak dia menerima dua atau tiga kali. Magek menemui temannya satu persatu dan berbisik 




“...Engku guru menyuruh kita kekamarnya sekarang !,”. Kawannya merungut rungut ketakutan.
“Kamu sajalah menemui beliau Magek, kan kamu yang mengajak kita-kita semua,” kata kawan kawannya.
“Iya, tapi kalian kan juga bersemangat untuk ikut !,” jawab Magek.
“Iya, kami kan terpaksa olehmu Magek. Kalau tidak kami ikuti nanti kamu mengancam kami,” kata seorang lagi.
“Ha, tadi kan saya tidak memaksa kalian !”.
“Iya, Magek, kalau tidak kami ikuti, nanti kamu pasti mengancam kami, kan kebiasaan kamu seperti itu, Magek !,” timpal seorang lagi.
“Magek tadi kamu rayu kami, bahwa ada uni cantik di kamar Inyiak. Kami kan juga ingin melihatnya, Magek !,”
“Akh !, kalian sekarang semuanya berdalih. Biarlah nanti saya bilang saja kepada engku guru bahwa kalian membangkang akan perintah beliau. Baru nanti kalian rasakan !,” bentak Magek sambil berdiri.
“Itu, kan. Kamu mulai mengancam,” ciloteh seorang lagi, “ayolah kawan kita temui saja engku guru itu bersama-sama, apa boleh buat, mana tau engku guru bukan menanyakan pekerjaan kita tadi, kan engku guru tidak tau !”
“Ayo...!,” ajak Magek, tapi hati Magek sudah berkata-kata, sudah pasti tentang perbuatannya tadi, karena guru sudah menanyakan “mana kawan-kawanmu tadi, kepadaku”. Sudah pasti !, sudah pasti !  Bisik hati Magek saat menuju ruangan engku guru bersama pasukannya itu.

“Assalamu’alaikum...!,” serentak mereka mengucap salam sewaktu mau masuk kamar Guru Tuo. Berselang sesaat dari dalam terdengar suara engku guru.
“Masuk !”

Sambil mengaduk-aduk dua cawan kopi panas si Guru Tuo menyuruh anak-anak duduk. Anak-anak, sambil membetulkan kain sarung yang disandangnya duduk berderet melengkung dengan tertib dan kemudian membetulkan letak kopiah, pecinya.

Guru Tuo melempar sebuah granat untuk Magek. “Magek kamu pindah duduk ke tengah !”
Darah Magek meledak ke otak, syaraf-syarafnya terasa kesentrum. “Sudah pasti guru tau bahwa aku yang mengajak kawan-kawan tadi, hukumanku pasti berat”. Kegundahan Magek menyeruak sambil beranjak ke posisi yang diperintahkan guru.

“Sekarang kalian tau apa alasan kalian dipanggil ke sini ?,” tanya guru kepada segerombolan tentara semut itu.
“Tidak, engku !,” jawab mereka serentak.
“O, tidak, ya ?,” balas si Guru Tuo dengan kelam, kemudian menghirup kopi panasnya sedikit-sedikit dengan hirupan panjang sambil menyeringaikan bibirnya karena kopi masih panas. Air kopi yang dihirupnya  berkejaran manyisir sela-sela gigi engku guru sehingga terdengar bunyi suara mendering di lingkaran cangkir.

“...kalau saya kasih tau bagaimana ? kata si Guru Tuo lagi.
“Tapi sebelum saya kasih tau kamu harus menjawab pertanyaan saya dulu. Apakah kalian mau menjawabnya ?”
“Mau, Engku,” jawab mereka lagi serentak.
“Dengan jujur ?,” kata guru lagi.
“Iya, Engku !”
“Tidak akan berdusta ?”
“Tidak, Engku !” Semua pertanyaan Guru Tuo dijawab mereka secara serentak. Tanpa dikomandokan oleh siapapun.

“Tadi sewaktu permisi,  kamu kemana sebenarnya Magek ?” Pertanyaan awal diarahkan kepada Magek.
“Tidak kemana-mana, Engku,” Magek menjawab dengan suara tegas, tapi wajahnya ditundukkan.
“Kenapa kamu lama sekali baru balik ke atas surau ?”
“Tidak lama-lama, Engku,” Magek menjawab lagi dengan gaya yang sama.
“O, begitu !” Guru Tuo dengan sabar dan tidak terburu-buru menghadapi kilah si Magek, namun Guru Tuo tetap membelitkan persolan kepada Magek.
“Tadi kamu hanya pergi terkencing atau pergi buang air besar, Magek ?,” pancingan Guru Tuo lagi.
Dengan keluguan yang penuh kepura puraan Magek menjawab pertanyaan si Guru Tuo. Dua pertanyaan sekaligus, juga di jawab sekaligus oleh Magek.
“Tidak, Engku.”
“Tidak bagaimana. Semuanya kamu jawab dengan tidak. Jelaskan !” Guru Tuo mulai menghunjamkan sebuah tusukan dengan suara agak meninggi, dengan hardikan kecil. Perut Megek mulai merasa nyeri.
“Ya, tidak kedua-duanya, Engku,” jawab Magek dengan gagap.
“O, maksudmu. Tidak pergi terkencing dan juga tidak pergi buang air besar ? Begitu !”  kembali Guru Tuo dengan suara lembut menjinakkan anak yang licin bak belut itu.
“Iya, Engku,” jawab Magek lagi yang tidak berobah sikap setiap menjawab pertanyaan engku gurunya. Menunduk dengan kelam dan intonasinya yang tidak menantang.

“Angkat wajahmu, Magek ! Bentak sang guru. Dan dalam waktu bersamaan engsel pintu kamar berbunyi, diringi oleh ucapan salam. Rupanya ada seseorang sosok yang datang ke kamar itu.
“Itu kopi sudah saya buatkan untukmu, sudah dingin barangkali,” kata Guru Tuo menyilakan mencicipi kopinya kepada juru tulis yang baru masuk itu.
“Ya, terimakasih, Engku,” jawab juru tulis didepan bocah-bocah yang lagi diinterograsi si Guru Tuo.
“Ada apa ini, kenapa ramai-ramai di kamarku ?,”  tanya juru tulis pura-pura tidak tau persoalan.
“Siapa lagi yang bikin ulah ? Kamu lagi Magek ?,” kata jurut tulis lagi.
“Itulah ! Dia bawa teman-temannya tadi ke halaman. Alasannya permisi buang air. Tau taunya entah apa saja yang dia kerjakan, lama sekali baru dia balik ke atas suarau,” terang Guru Tuo kepada juru tulis.

Guru Tuo kembali menginterograsi bocah-bocah lesu tadi. Juru tulis duduk ditempatnya, mengambil sebuah buku dan kalam dan memulai kebiasaannya untuk menulis catatan hariannya.
“Sekarang giliran yang lain menjawab !” kata engku guru.
“Kemana kalian tadi dan apa yang kalaian lakukan ? Ayo...!, siapa yang akan menjawab,” guru Tuo mengajukan pertanyaan, sambil menoleh kepada masing-masing anak asuhnya. Anak-anak saling pandang, bermain sikut-sikutan untuk menjawab pertanyaan engku guru. Magek hanya diam dengan menopangkan kedua belah pipinya dengan kedua tanggannya dengan ujung siku bertumpu pada kedua pangkal lututnya.
===============================
“Tidak ada yang mau jujur?” kata gurunya lagi sambil berdiri dan berjalan ke arah dinding yang terbuat dari serpihan bambu yang dianyam. Rupanya si Guru Tuo mencabut sebilah rotan yang terselip di sela-sela anyaman dinding itu. Melihat sang guru telah mengambil sebilah rotan seorang diantaranya mulai sangat ketakutan dan mengisak tangis.
“Awak disuruh si Magek, Engku...” jawab seorang anak dengan tergagap-gagap, menggigil yang diringi isak tangis.
“Apa yang disuruh Magek ?”
“Mamanjek, Engku...” (Mamanjat)
“Apa yang kamu panjat ?” Bentak engku guru lagi
“Dinding, Engku.”
“Dinding yang mana ?”
“Dinding Mihrab, Engku...”
“Kalian Memanjat dinding mihrap ?”
“Iya, Engku,” jawab anak-anak lainnya serentak, kecuali Magek.
“Kamu Magek?” tanya engku guru berbalik kepada Magek.
“Awak tidak, tidak  mamanjek, Engku,” cepat-cepat Magek menjawab dengan sangat meyakinkan.
“Apa maksud kalian memanjat dinding mihrap itu ?”
“Kami disuruh si Magek ‘manciliang’ (mengintip), Engku,” jawab yang lain pula dengan tergagap gagap pula, tetapi tidak menangis.
“Mengintip apa kalian di suruh si Magek ?” tanya Guru Tuo lagi
“Kata si Magek di dalam kamar Inyiak ada ‘uni rancak’, Engku.”
“Uni rancak, cantik ?” tegas Guru Tuo lagi.
“Ehak...!” Si Juru Tulis tersedak, air kopi di dalam rongga mulutnya menyemprot keluar karena tersedak dan batuk-batuk sewaktu si bocah itu menyebut ada perempuan cantik di kamar Inyiak Manan.
Guru Tuo menoleh kepada Juru Tulis, “Ada apa Juru Tulis ?”
“Tidak, tidak apa. Aku cuma tersedak sedikit,” jawab Juru Tulis.
“Memang cantik dia itu ?” tanya Guru Tuo lagi kepada anak-anak
“Iya, Engku.Uni itu memang rancak, Engku,” jawab anak-anak kembali serentak, kecuali Magek.
“Kamu Magek, apakah kamu melihatnya juga ?”
“Tidak, Engku, awak tidak melihatnya, Engku,” jawab Magek.
“Kamu dari tadi setiap ditanya selalu menjawab tidak, “tidak engku, tidak engku.” Pembohong kamu !”  Bentak engku guru.
“Awak tidak berbohong, Engku. Sumpah Engku,” tantang Magek kepada gurunya.
“Tidak lagi kan, jawabmu,” bentak sang guru yang mulai naik pitam kepada Magek.
“Dia benar Engku. Si Magek tidak berbohong, Engku,” sanggah kawan-kawan Magek kepada gurunya.
“O, kalian kompak ya. Berani-beraninya membela si pendusta. Apakah kalian takut sama dia, sehingga dia dibela-bela ?” belalak sang guru sambil menunjuk-nunjuk Magek yang sedang dieksekusi sang guru.
“Sungguh, Engku. Magek tidak bohong, Engku !” jawab mereka lagi serentak.
“Baik,baik ! Sekarang apa buktinya, kenapa si Magek kalian katakan tidak berbohong.”
“Dia memang tidak ikut manciliang, Engku.”
“Kenapa tidak, kan dia yang mengajak kalian semua ?”
Salah seorang anak lagi menjawab, “Si Magek tidak ikut manciliang, Engku. Kan dia tidak ikut mamanjek, Engku.”
“Jadi kalian saja yang bergelantungan di dinding itu ?”
“Iya, Engku,” jawab mereka serentak lagi.
“Lalu si Magek.”
“Si Magek tidak ikut mamanjek, Engku. Karena dia takut jatuh, dia tidak bisa mamanjek, Engku !”
Si juru tulis hanya manggut-manggut saja memperhatikan pasukan si Magek sedang melakukan pledoi saat diadili gurunya.
“Jadi kamu tidak ikut  memanjat dinding itu, Magek ?”
“Tidak, Engku.”
“Aaaakh! Sambil mengibaskan tangannya dan mengertakkan gerahamnya sang guru penasaran akan jawaban Magek.
“Tidak lagi, tidak lagi ! Setiap ditanya jawabmu hanya ‘tidak’ terus. Apakah tidak ada jawaban lain, selain kata ‘tidak’ itu, Magek ?” Sambungnya lagi
“Ya, tidak, Engku.” jawab Magek lagi dengan polosnya.
“Kan awak tidak pandai mamanjek, Engku.” terang si Magek kepada gurunya.
Kawan-kawan si Magek mulai menggigil badannya, bukan karena takut dan dingin, tapi karena melihat kekecewaan gurunya terhadap Magek. Sama saja dengan si juru tulis, dia terpaksa menyurukkan wajahnya sambil menahan suaranya karena tidak tahan geli akibat ulah anak-anak, pasukan si Magek tersebut.
“Ya, sudah ! Sekarang taukah kalian bahwa perbuatan kalian itu adalah salah, juga mengandung resiko ?”
Semua anak-anak terdiam, meraka serba salah, mau dijawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Mereka bingung.
“Kalian harus diberi hukuman atas perbuatan kalian tersebut. Tapi sebelumnya coba kamu dengar baik-baik. Mau mendengarnya ?
“Mau Engku,” jawab mereka serentak, kali ini Magek telah turut menjawabnya.
“Apa hukumannya atas kesalahan kalian ?” si Guru Tuo secara demokratis menyikapi persoalan itu sebelum manjatuhkan hukuman.
“Dirotani, Engku,” jawab mereka serentak pula. Magek juga ikut menjawab
“Kalian dilecuti pakai rotan ?” Sebelum bocah-bocah lucu ini menjawab si guru menyambung pertanyaannya.
“Berapa kali, Magek ? Karena kamu ketuanya !”
“Ciek, Engku.”
“Satu kali..!, berarti kawan-kawanmu ini tidak dihukum. Kalian sudah jelas bersalah semuanya,” Belalak Guru Tuo kepada Magek dan yang lainnya.
“Kamu ini benar-benar ‘galia’, licik seperti kancil.” (Cerdik)
“’Ya, Magek Kancia’, sela Juru Tulis. ‘kancia saja namamu, ya ! Kalau dipanjangkan menjadi Magek Kancia namamu” tegas si Juru Tulis lagi memecah suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -nak.
“Kalian mau berapa kali dilecut dengan rotan ini ?” Sang guru berbalik kepada yang lainnya.
“Ciek, Engku.”
“Baiklah, kalian masing-masing dilecut satu kali dan si Kancia ini harus lebih. Kamu menerima lecutan rotan dua kali Magek !
“Kenapa dua, Engku ?”
“Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! ”
“Ya, tapi Engku !”
“Tidak ada tapi-tapian, Magek!”
 “Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas !”
“Jelas, Engku”
“Ayo, semua berdiri !”

Anak, anak semuanya bediri sambil menyandang kain sarungnya masing masing. Ada yang mengantungkan kain sarung di lehernya sehingga kain itu terkulai di punggungnya, ada yang mengikatkan di pinggangnya dan ada pula yang melipatkan di sebelah kiri dan kanan bahunya. Sang guru memegang sebilah rotan sambil memukul mukul pelan ke telapak tangan kirinya untuk mempertakuti anak-anak.
Tapi Magek agak berbeda dengan kawan-kawannya. Magek pura-pura alim, dia memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya, melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai, seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat.
Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang berada paling kanan guru.
“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama.
“Kamu ke sana, pindah !” Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut.
“Pip !” Begiti pula bagi anak ke dua.
Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan hukuman kepada anak yang ketiga.
“Poh !” Bunyi rotan di kain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginnya lagi, ternyata masih berbunyi “poh...!” rotan tersebut, bukan “pip !”.

Guru Tuo mulai curiga, kenapa berbeda bunyi rotan di kaki si Magek. Dengan mendadak sang guru menyinsingkan kaki Magek. Magek buru-buru mengembalikan posisi kakinya, tetapi kalah cepat dengan  tangan guru menyinsingkan ‘kodek’-nya itu. Maka ketahuanlah rahasia ilmunya si Magek.
“O, begitu ya! Pintar kamu menipu saya, ya !”

Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi rotan itu “balapoh” melecut kain sarung yang berongga itu.
“Sekarang buka kain sarungmu !” perintah sang guru. Magek pun menuruti perintah engku gurunya itu.
 Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulai sakit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. “Benar-benar seperti kancil anak ini,” gerutunya dalam hati.

Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan.
Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek.

“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan di sebelah kanan Magek. “Aduh! ”. Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi. Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil. Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya.
Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawannya yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. “Awak lah duo kali kanai, engku....?” raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang diayunkan gurunya mengenai kakinya.
Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek duduk.

“Magek. Duduk !”
 “Mana telapak tanganmu,” perintah guru kepada Magek.
“Keduanya !” perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak tangannya ke depan.

Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran.
Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini. Tanpa ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya,  dengan serta merta si guru membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit. Melihat sang guru sangat marah dengan ikat pinggang kulit di tangannya, Magek  ketakutan. Pada saat sang guru mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru, “Ini yang kamu minta !” kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling ke kiri, sehingga di tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah ‘kodek’ sang guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga di atas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang.
Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru ‘tangga’, lepas dari lilitan di pinggangnya.

Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat ‘Kancil’ itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah – pelanduk – yang sering memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani.

Sambil menyandar ke diding Guru Tuo meneguk kopinya yng telah dingin. Juru Tulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka Juru Tulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas tidurnya yang terbuat dari daun pandan.

Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar bersama para ikhwan lainnya.

(bersambung)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023