Friday, July 30, 2010

Catata Usang Seorang Juru Tulis (Bagain II)







"Maryam Chivalry"
Gadis Berkerudung


SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti suaru-surau lainnya di Minangkabau, sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi perguruan di surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui batas-batas nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau.


Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi, keberlangsungan dan merupakan keberlanjutan dari si’arnya tarekat Stariyyah dari pendahulunya yang bersuarau di kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah jembatan untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang dikhawatirkan ketika itu, karena sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti “Belanda meminta tanah”. Kalau kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan pemurtadaan orang Minangkabau dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung pula. Inilah akar kebangsaan yang berbasis agama.


Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan saja karena pendidikan Islam yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau itu para murid dibekali dengan berbagai kepandaian duniawi, seperti keterampilan ilmu persilatan, permainan pedang, berkuda, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata tajam pun ada. Jauh hari sebelum kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di Sungai Ujong Malaya, Haji Musa kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang berpengaruh pula di Kamang. Dengan keberadaan Haji Abdul manan maka Haji Musa pun berperan aktif mendukung segala aktifitas adiknya itu.


Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda yang elok rupa, cerdas pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur katanya ke surau di kampung Budi  menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang dari kampung Hanguih Bonjol.  







“Assalamu’alaikum...!” Salam pembuka meluncur dari mulut Siti Maryam yang jauh jauh datang dari kampungnya sewaktu menapakkan kakinya di Surau H. Abdul Manan.
“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!”. Serentak dan tanpa komando  orang yang berada di atas surau.


Surau kecil berada diantara pinggir ladang dan sawah. Untuk ke surau, melalui pematang sawah. Kiri kanan terdapat kolan ikan. Sebuah pelataran berbatu yang terdapat kolan kecil untuk membasuh kaki sebelum naik ke surau. Di sebelah kiri surau, terdapat gubuk kecil. Di gubuk itulah orang berudhu dan membuang hajat. 


Surau itu menghadap daratan sawah yang aman luas. Jauh dilayangkan pandangan, tampak gususan Bukit Barisan sbagai benteng alami yang melindungi kawasan itu. Di belakang surau, Gunung Marapi seakan mengawal perkampungan disitu. 


Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian dan perilmuan dilaksanakan.


Di samping ruangan ini, terdapat sebuah semacam rumah kecil, paviliun. Disinilah Tuanku Guru tempat istirahatnya. 


Setelah beberapa saat lamanya beristirahat melepaskan engahnya di tempat berkumpulnya kaum perempuan yang berada di belakang tabir pembatas saf laki-laki,  Siti Maryam mencoba memberanikan diri maju ke arah mi’rab untuk menemui seseorang yang sedang bertelekan di atas sajadah dengan kaki yang menyimpuh ke arah kiri, sebagaimana duduk tawadu’ orang orang suluak.
Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mi’rab mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya.


“Ssst...!” Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan suara berbisik pria ini berucap pelan.
“Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat ‘Isya menemui beliau. Sekarang Tuangku lagi beri’tiqaf ”.


Melihat reflek dan mendengar ucapan pemuda yang berperawakan agak sempurna itu Siti Maryam tersurut, dan kembali berlalu ke tempatnya semula. Maryam berfikir sejenak, “barangkali pemuda itu adalah tangan kanannya Inyiak Manan. Kalau tidak, kenapa dia berani memperingatkan saya sedangkan masih banyak pula pria lain dibarisan syaf itu. Bahkan saya sudah melewati dua saf tidak satupun yang menegor. Dialah yang aktif untuk menjaga adab adab di surau ini” dalam hatinya.


Tak lama antaranya terdengarlah suara ‘tabuah’ (beduk) bertalu-talu menandakan waktu Magrib telah masuk. Orang-orang yang berada di atas suaru mulai turun untuk mengambil wuduk, Maryam pun tidak berdiam diri. 


Selesai shalat Magrib berjamaah para murid H. Abdul Manan duduk mengelompok di atas surau. Mereka duduk mengelompok sesuai dengan tingkatan kaji dan kitab yang dipelajarinya. Masing-masing kelompok didampingi dan dipandu oleh seorang Guru Tuo. Namun Maryam kebingungan, ke kelompok mana dia harus bergabung karena belum menjadi murid Tuangku. Maryam gelisah, gusar dan mau bertanya, apa yang mau ditanyakan dan kepada siapa seharusnya bertanya karena orang-orang di suaru itu telah mengambil posisinya masing masing. Tak tahu apa yang harus ia lakukan.


Seorang ibu yang masih muda mencoba menghampiri Maryam. Ibu muda berbisik kepada Maryam menyampaikan perintah Tuangku.


“Maryam, kamu dipanggil Tuangku ke kamarnya. Baliau ingin menanyakan maksud kedatangan kamu ke sini.” 
“Ya, baiklah Tek !,” jawab Maryam. (tek atau etek = tante).
“Ayo!, Kamu tak usah gugup, saya akan menemanimu !,” sambung si ibu itu lagi.
“Ya, Tek. Terimakasih, Tek !,” jawab Maryam lagi.


Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di paviliun itu terdapat ruang tamu. 


Di depan pintu kamar Tuangku, si ibu muda itu batuk-batuk kecil dan kemudian mengucapkan salam.
Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar. 
“Kamukah itu Anisyah ? Silahkan masuk !” 
Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu adalah Anisyah. “Anisyah rupanya nama ibu ini” percikan memori otak Maryam.


Anisyah dan Maryam masuk ke kamar Tuangku, sambil membuka pintu dan melangkahkan kaki kanannya, mereka kembali mengucapkan salam.


 “Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh ! Jawab orang-orang yang berada di dalam kamar serentak.
“Duduklah !,” Kata Tuangku 
“Ya! Terimakasih Nyiak !, ” Jawab Anisyah dan Maryam.


Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri.


Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh (elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku.


Para ikhwan saling bertanya dengan berbisik-bisik. “Siapakah gerangan gadis itu ? Apakah dia seorang mata-mata Ulando yang ditangkap Etek Anisyah ?” Namun, semua pertanyaan mereka itu tak satupun dapat memberikan jawaban. Dalam keheranan itu maka Guru Tuo, sebagai pembantu guru utama dalam pengajian itu cepat arif dan mengambil alih suasana.
“Khmmm..!,” tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo.


Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara jelita itu sebagai musuh dalam selimut.


Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang Putiah Banuhampu.


Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan bertanya kepada Siti Anisyah. “Siapa gerangan gadis di samping Kak  Anisyah ini ?”


 “Gadis ini,” Anisyah sambil menyentuh lengan kanan Siti Maryam ‘adalah anak kita juga..., yang datang dari jauh, yaitu dari Kampuang Hanguih di Bonjol dan namanya Siti Maryam’.” 
Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan namanya sekali lagi.


“Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?,” kata Mak Dt. Rajo Pangulu pada Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan.


“Tepatnya dimana kampungmu itu ?,”  tanya Mak Datuak lagi.
“Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !,” jawab Maryam. 
“Di Kampuang Hanguih ?” timpal Mak Kari Mudo.
“Betul, Mak Kari !,” kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang sejamba  itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan memperbincangkannya.


Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang melayani lauk pauk dan nasi.


Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem.


“Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?,” tanya Maryam.
“Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak usahlah kita teruskan tentang kampung asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !,” pintas Tuangku Haji Abdul Manan.


“Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?,” tanya Haji Abdul Manan.
“Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!,” jawab Maryam.
“Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?,” tanya Tuangku lagi.
“Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak,” jawab Maryam sambil mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan.
“Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ?”
“Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !,” jawab Maryam.


Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya, karena “kilek baliuang lah ka kaki, kilek  camin lah ka muko. Kilek bayan kato sampai” (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah). Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu.


Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku meloncat kepertanyaan berikutnya, “Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah seizin kedua orangtua  ananda ?.” 
“Sudah. Nyiak !”
“Dari mamaknya ?,” tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman)
“Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!,” jelas Maryam. (dunsanak = saudara)
“Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh salah seorang keluargamu, apalagi yang laki-laki,” tanya Kari Mudo.
“Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?,” balas Maryam.
“Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya, dirampok, dirampas dan dinodai orang,” timpal Datuak Rajo Pangulu.
“Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang kontrole, atau oleh pembantu pembantu si ‘kapia’ (kafir) itu, seperti dubalangnya tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !,” belalak Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.


Siti Maryam hanya menekurkan wajah dan tidak mau menantang batang hidung Kari Mudo yang agak geram itu.


“Kalau sempat si ‘Ulando’ itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si ‘kapia’ itu ‘nan mancorengkan arang di kening’ ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini !  Tidak kah kamu fikirkan itu ?,” gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar itu.
Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan.


“Justru karena ‘arang sudah tercoreng di kening’ kita itulah makanya ambo ingin membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini’. Tak terbendung argumen Maryam, bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti
‘Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, ‘Tak akan mungkin sumpik (karung) kosong bisa ditagakkan’, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama,” kata Maryam.


Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan.


“Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian saja ?, ”  tanya Siti Anisyah pula.


“Tidak, Tek.  Bak kata pepatah juga Tek ! ‘Tak akan mungkin perang dilakukan tanpa keberanian’, Tek...!”


“Bijak kali anak ini !,” gerutuku dalam hati. 


Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, “...Mengenai kesendirian ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang, termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu.” 


Mendengar ucapan ‘gadih jolong gadang’ (gadis baru besar/remaja) nan berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala  saja sambil menundukkan wajahnya.


“Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?,”  tanya Anisyah lagi.
“Ambo melakukan penyamaran, Tek!”
“Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?,”  desak Anisyah lagi.
“Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki. Setelah mendapat petunjuk untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali pulang. Kami pun bertolak punggung.”


“Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu,” lanjut Siti Anisyah lagi.
“Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu, maka ambo ‘mambebek’, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru ditanam atau berpura-pura ‘mangaro’, mengusir burung di padi yang masak. Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek !”
“Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?,”  tanya Anisyah lagi dengan antusiasnya.
“Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek,” jawab Maryam.
“Luar biasa kamu Maryam,” komentar Haji Abdul Manan.
“Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !,”  tukas Datuak Rajo Pangulu.


Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun terbayang  suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang  kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.


Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.


Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak di surau.


Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat. 


Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan, berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah. 


Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya. “Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya !” Antara pikiran dan perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya.


Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintip-intip si guru tuo memeriksa sekitar ‘jamban’, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak ada, si guru tuo kembali ke tepi surau.


Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini terkejut, jatuh dan celaka.


Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas surau.


Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan-kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak seperguruannya saat itu.  


“Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan ?,” Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti Maryam.
“Betul adanya, Nyiak !,” jawab Maryam.
“Maryam...?,” panggil H. Abdul Manan lagi.
“Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui. Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan,” kata Haji Abdul Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam.


Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit  tersinggung, seakan niat hatinya telah ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu.


“Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya tentang ilmu persilatan itu ?” Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya.


Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja, termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang pemberani. 


“Kalau begitu..., baiklah !”
“Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !,” pintas Haji Abdul Manan.
“Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya,” sambung Haji Abdul Manan lagi.
“Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo itu, Nyiak !,”  tukas Siti Maryam.
“Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan sesuatu itu dengan cara terburu-buru,”  jawab Haji Abdul Manan pula.
“Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji,”  pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu.


Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri sambil menekur dia melayangkan sudut matanya  sambil sedikit menganggukkan kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku.


Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalau-kalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu.


Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti Maryam ke rumahnya. 


Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung. Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya. Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya. 


Terdenagr langkah – langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderak-derik menginjak lantai papan. “Belum tidur kalian,” bentak guru tuo.


Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.  Trides


(Bersambung...)

4 comments:

Anonymous said...

bagus novelnya pak rizal.. bole tau, judul buku, penulis, dan penerbitnya? apakah ada tersedia di toko2 buku?.. ditunggu juga kelanjutan kisah novel nya pak.. thx..

Melihat Indonesia said...

Penulis "Catatan Usang Seorang Juru Tulis" adalah Trides. Novelini belum diterbitkan. Trides seorang penulis, budayawan dan peminat sejarah di Sumatera Barat. Novel sejarah ini akan dimuat secara bersambung. Selajutnya akan dimuat Bagian IV.

Lanny said...

Pak Rizal, salam kenal...

Trides itu siapa pak? beliau menulis novel ini tahun berapa? menarik sekali :)

Melihat Indonesia said...

Trides berdemosili di Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia peminat sejarah dan mantan kepala sekolah, tapi masih bekerja di Kandep.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023