Thursday, August 26, 2010

The Real Mountain Bike : Yogyakarta - Dieng - Purwokerto



TRANS DIENG
Melintasi Pegunungan Dieng

Trans Dieng, melintasi Daratan Tinggi Dieng dari sisi timur ke barat. Bermain 
sepeda ke Dieng (bukan di Dieng), tentulah wajib memiliki fisik yang baik serta kemauan yang kuat. Jika Daratan Tinggi Dieng   dilintasi dari Yogyakarta sampai ke Purwokerto, tentu menjadi pekerjaan yang berat.
Katakanlah memulainya dari Kota Wonosobo, tantangan berat segera menghadang, apalagi setelah melewati Pasar Garuk. Dari sini, terasa betul kepayahan menjalankan sepeda baik digowes maupun di dorong.

Kami (Cantigi tim) berempat, yaitu Krisna, Ombing, Juned dan saya yang menggowes. Pendukung perjalanan Alvin dengan vespanya, Iwan Gobek dan Ikam. Perjalanan menjadi istimewa karena diikuti oleh Bung Don Hasman.

“Kau uangkan tiket kereta api ini, kita gunakan untuk ke Dieng,” anjur sang Maestro, yang membatalkan perjalanannya pulang ke Jakarta dari Yogyakarta.  Don, bersama Iwan dan Ikam, akhirnya menuju  Dieng dengan kendaraan umum. Ia lepas kami pagi-pagi sekali dari Yogyakarta.






Kami sama-sama memberikan ceramah di Festival Petulang Nusantara di Kaliadem, DIY yang berlangsung tanggal 6 sampai 8 Agustus 2010. Disamping dan Don Hasman, ikut pula Herry Macan dan Bongkeng sebagai nara sumber. Don memberikan materi fotographi, saya dengan materi Mountain Bike, Relawan dan Pameran Foto Bencana Alam dan SAR.

Monumen Yogyakarta Kembali, saya jadikan sebagai nol kilometer perjalanan. Perjalanan ke Wonosobo, kami mulai pukul 06.00 melalui Muntilan, Candi Borubudur, susuri jalan raya utama lintas selatan. Tidak ada catatan khusus di rute ini.

Sore, ketika sedang menggowes, sebuah sepeda motor berhenti di hadapan saya. Seorang gadis berjilbat turun, “Selamat sore Pak. Nama saya  Ary Indah. Saya komunitas sepeda juga. Bapak mau kemana ?”
“Kami mau ke Dieng,” jawab saya terengah-engah.
“Bapak dari mana ?”
“Saya dari Yogyakarta, selesai acara Festival Petualang Nusantara.”
“Ya,ya... Saya tidak bisa datang ke acara itu”.
“60 sepeda yang ikutan.”
“Lanjutkan perjalanan Bapak. Selamat jalan dan sukses.”
Ary bersama temannya dari Dieng menuju Yogyakarta. Melihat saya, dia berhenti dan berbalik arah kearah saya.
Di Wonosobo kami bermalam di sebuah hotel kecil dekat alun-alun. Kepada Bung Don  Hasman yang menunggu kami di Dieng, saya kirim pesan SMS bahwa kami bermalam di Wonosobo.

Pukul 11.00, keesokan harinya, perjalanan kami lanjutkan menuju Dieng. Bung Don saya informasikan bahwa kami meninggalkan Wonosobo. Rute yang kami pilih, bukan jalan utama Wonosobo – Dieng, melainkan melalui Telaga Menjer. Di Pasar Garuk berbelok ke kiri. Setelah melewati Pembangkit Listrik Tenaga Air Garuk, sekitar 1 km dari Pasar Garuk tanjakan pertama sudah menghadang. Setelah melewati beberapa SS, 'menjalar' pipa berukuran besar di sebelah kanan jalan. Pipa tersebut mengalirkan air untuk turbin pembangkit listrik dari Telaga Menjer.

Jalan beraspal halus menelusuri pipa ini, sampai ke Dam Menjer di ketinggian 1210 dpl. Pipa raksasa yang berdampingan dengan jalan raya, menjadi suatu pemandangan sendiri. Jalanan sepi oleh kendaraan roda empat. Sepeda motor saja yang melewati jalan ini. Udaranya jadi bersih.

Di Dam Telaga Menjer, dibuatkan taman bermain. Lapangan rumput dan pohon cemara meneduhi. Banyak pengunjung kesini. Bung Don dikirimkan berita lagi, bahwa kami beristirihat di Telaga Menjer.

Telaga Menjer merupakan satu etape, sebelum dua etape lagi mencapai Dieng. Etape berikutnya, adalah Telaga Menjer ke Pasar Kejajar yang merupakan pertemuan jalan utama Dieng - Wonosobo.

“Wadow..., masih dua etape lagi,” teriak Juned, ketika saya menjelaskan perjalanan berikutnya.

Tanjakan tajam segera menghadang begitu meninggalkan Telaga Menjer. Saat mencapai tingkungan, Puncak Gunung tersembul dari atap rumah penduduk. Makin dilanjutkan, jalan bertambah mendaki dan Gunung Sunduro disisi kanan terus menampakkan diri. Melewati perkebunan teh, jalan berkelok-kelok. Tanaman tembakau, dengan warna hijaunya yang pekat, memberikan nuansa yang menyejukkan mata. Gunung Sunduro yang utuh dari kaki sampai ke puncaknya, sebagai suatu suguhan alam yang luar biasa.

Melewati perkambungan, penduduk menjemur daun tembakau, dan tembakau rajangan. Rajangan tembakau dijemur di pinggir jalan dan di halaman rumah.

“Posisi dimana, Bung Rizal ?,” Bung Don memanggil.
“Menuju jalan utama Dieng. Keasyikan memotret, Bung !,” jawab saya.
“O, begitu. Lanjutkan memotretnya. Jangan lewatkan setiap moment,” balas Bung Don.

Sampailah di Pasar Kejajar, jalan utama Dieng. Ke kanan Dieng, ke kiri Wonosobo. Jalanan jadi ramai oleh kendaraan umum. Bus dan kendaraan pengakut sayur mayur lalu lalang, belum lagi deru sepeda motor.
Jalan lurus mendaki. Melewati pasar dan perkampungan, jalan mulai berkelok-kelok. Pendakian makin tajam. Di puncak bukit, menara pemancar dan atap rumah samar-samar kelihatan. Itulah jalan yang dituju, sebelum memasuki Dieng. Kembali saya hubungi Bung Don, yang sudah gelisah menunggu.
“Bung Don, rupanya kami terlambat masuk Dieng. Mohon bersabar,” kata saya.
“Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan berjalan. Kalo lelah, istirahat saja,” balas Don.
“Ok, Bung Don. Siapkan kentang goreng sepiring penuh untuk saya,” balas saya.
“Ok, Ok, disiapkan,” kata Don tertawa.

Sepeda sudah tidak bisa lagi digowes. Selangkah demi selangkah, sepeda seberat 22 kg dengan bagasi didorong. Memasuki perkampungan, matahari sudah hampir tenggelam. Lampu-lampu rumah dan  penerangan jalan mulai bercahaya. Saya hidupkan lampu jalan sepeda, dan lampu kelap-kelip belakang.

Azan berkumandang, menandakan waktu berbuka puasa sudah tiba. Jalanan pun sepi karena masyarakat tengah menikmati berbuka puasa.

Sampailah kami di panorama. Sesampai disini, matahari sudah tidak memberikan sinarnya lagi. Kami layangkan pemandangan ke bawah. Lampu – lampu dibawahnya, bagai taburan bintang dilangit yang cerah. Cukup lama kami duduk disini.
“Pemandangan yang nggak pernah kite lihat di Cibodas, Bang Aji,” komentar Juned kepada saya.
“Ya, benar. Nggak sia-sia jauh-jauh kesini,” jawab saya.
“Masih kuat nggak lanjutkan,” tanya Ombing.
“Untuk 10 km lagi gue masih kuat,” jawab saya.

Kami lanjutkan perjalanan. Di KM 7 Dieng, kami disongsong oleh Ikam dengan sepeda motor. Ia berikan kami minuman mineral – yang kami butuhkan.

Akhir perjalanan yang berat. Di  KM 3 Dieng, jalan mulai landai, sepeda bisa di gowes lagi. Alangkah senangnya hati menemukan jalan turun lurus yang kemudian bertemu di Simpang Tiga Dieng. Di sebuah home stay, sepeda saya belokkan. Saya pesan sepering kentang goreng dan sekaleng bir hitam. Saya rayakan pencapaian di Dieng. Selagi saya menikmati kentang Dieng, Don Hasman mendatangi saya. Ia memberikan salam. “Semua sudah disiapkan, kok makan disini,” kata Don.

“Maaf Bung Don, kentang inilah yang memanggil-manggil saya kesini,” kata saya.
“Nazar rupanya.”
“Lima belas tahun lalu saya kesini. Liputan,” terang saya.
“Lanjutkan saja. Saya mau menemui kawan-kawan yang lain,” Don berlalu.

Dua malam kami di Dieng, bersama Mbah Naryono. Hari pertama istirahat total dan jalan-jalan santai. Hari kedua digunakan untuk memperbaiki sepeda. Terutama memeriksa rem, untuk menghadapi jalan turun ke Batur. Don ikut membantu setting sepeda kami. “Soal sepeda, gue ngerti dong,” tukas Don yang menyesali tidak membawa sepedanya.

Pukul 06.00, melanjutkan perjalanan menuju Purwokerto. Don, Iwan dan Ikam, menggunakan kendaraan umum. Di Pasar Batur, kami bertemu dengan Don. Di sini, Don harus berganti kendaraan. Siang, ditengah jalan, kami bersua kembali dengan Don yang menumpang kendaraan terbuka. Don melambai-lambaikan tangannya.

Sepanjang jalan antara Dieng dengan Batur pemandangan tiada putus. Pemandangan ke segala sisi. Di hadapan lembah menghampar, dipagari pegunungan. Di belakang arah matahari datang Daratan Dieng. Teras – teras ladang penduduk bagai taman yang ditata dengan baik.

Anak-anak berangkat ke sekolah. Ibu – ibu berbaris ke ladang. Kaum lelaki membawa perlengkapan berladang. Kesibukan pagi warga desa. Aktivitas dijalankan, kehidupan dilanjutkan. Lalu lalang penduduk ke ladang, tak ubahnya para pekerja menuju perkantoran.

Pasar – pasar menampakkan aktivitas jual beli. Sepeda motor membawa sayur-sayuran, kendaraan terbuka mengangkut hasil pertanian. Dieng dan Batur terkenal dengan hasil buminya yang baik. Kentang, tembakau, kol, bawang, cabe dan sebagainya dihasilkan dari tanah yang subur disini.

Selepas dari Batur, kami mengambil jalan pintas lewat Wanayasa. Di Pasar Wanayasa, berbelok ke kiri. Di Pasar Wanadadi kami ambil jalan lurus. Sayang, kami tidak bisa menikmati keindahan Waduk Jenderal Sudirman karena sudah sore. Tujuan berikutnya adalah Tapen.

Sampai di Tapen, sudah gelap. Di simpang tiga Tapen, terdapat dua jalan menuju Jalan Raya Banjarnegara, lurus atau ke kiri lewat Klampok. Kami menempuh ke Klampok.

Di Tapen kami cukup lama berhenti. Alvin dalam keadaan sakit. Sambil menunggu ia pulih, kami memasak mie instan dicampur kentang rebus. Kentang tersebut sebetulnya milik Don Hasman, sebagai oleh-oleh untuk istrinya yang dititipkan di vespa.

Alvin tidak kunjung pulih. Saya putuskan untuk evakuasi Alvin. Saya telpon kawan yang sudah stay di Purwokerto untuk menyemput Alvin. Kami angsur-angsur berjalan. Setelah di sampai di Jalan Raya Banjarnegara, kawan – kawan yang dari Purwokerto menyongsong kami. Kemudi  vespa diambil alih oleh Ikam, Alvin dibonceng dengan sepeda motor Iwan Gobek. Seorang yang berkenalan dijalanan – yang mengendarai vespa, menawarkan rumahnya untuk bermalam, tapi kami tolak karena harus ke Purwokerto malam itu juga.

Makin turun, makin mencirikan perkotaan. Kendaraan makin berseliweran. Suara kendaraan dan debu berterbangan. Purwokwerto harus dicapai. Dini hari kami sampai di Purwokerto. Tempe mendoan panas-panas, sebagai makan malam kami.

Don sudah tertidur, berbungkus sleeping bag beralaskan matras di Sekretariat Pecinta Alam, Gramatepa, STT Wowirotomo,  Purwokwerto. (Rizal Bustami)










Lihat Jogya-Wonosobo di peta yang lebih besar

Lihat Wonosobo-Dieng di peta yang lebih besar



Lihat Dieng-Purwokerto di peta yang lebih besar


10 comments:

chelenx said...

sayang orang tua satu ini tak bisa ikut..utk satu hal yang amat menyenangkan

Melihat Indonesia said...

Trips berikutnya, mudah-muadahan bisa ikutan. Trips Utara - Selatan Dieng.

krisna said...

subhanaallah.....
sepeda tua spesializ bsa ikutan melintasi dieng!...

tanjakan dieng gilaaaa
bikin batuk-batuk haha

thank's to Don Hasman N DKk....

Melihat Indonesia said...

Im The Specialized.... Si Tua yang selalu ikut berlari...
Ya, thangks to Don Hasman, Si Tua yang selalu ikut berlari...

juned said...

sebuah perjalanan yg mengesankn & takan terlupakan.indahnya menikmati keindahan alam pedesa'an dngn bersepedah .......

Melihat Indonesia said...

Terimkasih sudah kasih komentar...
Tunggu gowes berikutnya...
Artikle dan foto hanya di Cantigi Peace. No publish di Facebook !

Anonymous said...

Hebat Oom,
Semoga lain kali ada hasrat untuk turut mencoba treknya... Amen
Bulan lalu aku keliling Jawa Tengah pakai sepeda motor; moga-moga lain kami bisa pakai sepeda sungguhan.
cheers...

Anonymous said...

Hebat Oom,

Semoga suatu hari bisa mencobanya. Bulan Agustus 2013, aku keliling Jateng pakai sepeda motor, moga-moga lain kali bisa dengan sepeda sungguhan. Amen...

Anonymous said...

Hebat Oom,

Semoga suatu hari bisa mencobanya. Bulan Agustus 2013, aku keliling Jateng pakai sepeda motor, moga-moga lain kali bisa dengan sepeda sungguhan. Amen...

Melihat Indonesia said...

Track Yogaya-Dieng-Purwokerto, tidak terlalu panjang sebetulnya, namun elevasi yang mencapai 2100 dpl itulah yang membuat menderita. Pasti capek pisik dan mental, tapi itulah ujiannya...

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023