Sunday, September 12, 2010

Catatan Usang Seorang Juru Tulis Bagian IV





Lamunan


Keesokan harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti Anisyah. Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa  menginap oleh Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti Maryam juga ‘dibuncahkan’ oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal di surau tadi yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri Kamang. 


“Siapa gerangan nama pemuda itu, ya?,” bisik hatinya. 


Sementara Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung jawab si pemuda itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit pendiam itu.


“Etek, kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru tulis Inyiak Manan tadi itu, ‘Tek ?,”  Siti Maryam memberanikan diri untuk menanyakan nama pria itu kepada Siti Anisyah.


“Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak muda itu Maryam ? Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi, sehingga membuat perasaanmu tersinggung ?,” Pancingan Siti Anisyah pada Maryam.


“Tidak, Tek ! Tadi itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria itu saja dan tidak menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu mendatang saya kira pasti akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya masih dianggap anak oleh orang Kamang ini, ‘Tek !,”  jawab Maryam, yang mencoba bersilat lidah dengan Siti Anisyah.


“O, begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang cukup dipanggil saja dengan ‘si-Juru Tulis’, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah bukan ? Yang jelas tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh perjalanan jauh. Tentu tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah mempersiapkan tempat dan selimut untukmu, Nak ?  Tidurlah dulu !,” kilah Siti Anisyah pada Maryam.







Maryam merebah diri. Tidur tertelentang memandang langit-langit yang hampir tak teraba oleh matanya. Ia pejamkan matanya, berkelebatlah bayangan perjalanan yang ditempuhnya sejak dari kampung halamannya. Dirinya kini terhempas di negeri orang, jauh dari orangtua dan sanak saudaranya.  “Sudah sejauh ini perjelananku,” bisik hatinya.


Tapi, ia telah menetapkan hatinya, dan telah melangkahkan kakinya. “Inikah yang aku pilih,” ia kembali mempertanyakan tujuan hidupnya. “Mengapa aku tidak sebagaimana gadis-gadis lainnya di kampung ku ?” 


Pemandangan sore tadi yang ditangkap oleh inderanya kembali menghiasai khayalnya. Pada saat itu Maryam berdiri sejenak di ‘tanggo’, pembatas (antara) anak tangga dengan lantai rumah dan sekaligus sebagai tumpuan batang anak tangga di surau itu Maryam mencoba melapas pandang jauh ke sisi kiri dan sisi kanan surau. Terlihatlah hamparan sawah sepuas mata memandang yang diterpa sinar kuning keemasan, seakan persawahan di Kamang bagaikan hamparan permadani. Ditengedahkan kepalanya menantap langit yang dihiasi sapuan awan – sirus – diantara kelompok cumulus, kalong kalong mulai keluar dari sarangnya mengukir cakrawala  untuk memangsa di malam buta. Maryam hanyut dalam lamunan pesona Lembah Kamang, karena alam Kamang ini sangat berbeda dengan kampungnya yang persis berada di pinggung deretan Bukit Barisan yang bersebelahan dengan nagari Kamang Mudiak itu. Sambil membetulkan lampaian tubuhnya di tikar daun pandan dengan tangan kiri menjadi bantal dan tangan kanan ditaroknya di atas hulu hati Maryam melanjutkan lamunan.


“Indah nian nagari Kamang ini. Daerahnya datar, persawahan luas, di tengah tengahnya diselingi oleh beberapa gundukan bukit yang bagaikan pulau-pulau di tengah bahari lepas, luas. Kampung yang benar-benar berada di sebuah lembah yang subur. Nun di Selatan terpampang pula dengan seonggok Gunung Merapi dan Singgalang, sementara di Utara, Timur dan Barat didindingi oleh Bukit Barisan,” bisik Maryam dalam hatinya. 


“Tapi..., siapa yang menyangka kalau di negeri yang nyaman, bumi yang subur, alamnya yang ramah ini melahirkan anak manusia yang berwatak kesatria, taat menjalankan perintah Islam dan adat leluhurnya. Membatu semangatnya untuk mengusir kaum kafir yang mencoba menjajah dan menjarah negerinya sampai berpengaruh di seluruh alam Minangkabau ini !”


“Bukankah pula leluhurku Inyiak Peto Syarif yang bergelar Tuangku Imam Bonjol berperang dengan Ulando pada tahun 1825-1837 dalam Perang Pidari dahulu, juga dibesarkan dan dimatangkan oleh Guru Tuonya yang bergelar Tuangku Nan Renceh dari kampuang Bansa. Kamang ini pula !” urai hatinya. 


“Kamu belum tidur, Maryam ?” Maryam kaget, rupanya Siti Anisyah telah mencuri pandang terhadap Maryam.
“Belum, ‘Tek. Aku lelah sehingga mata susah tertidur.”
“Tidurlah, Nak, sudah malam,” seru Anisyah kepadanya.
“Ya, ‘Tek. Terimakasih, ‘Tek,” sahut maryam. Terputus lagi pemutaran hasil bidikan kedua lensa mata yang telah disimpan dalam memori di otaknya itu.


Satu lagi yang membuat ia hatinya bergolak-golak, bagai kacang direbus satu, yaitu bisakah ia diterima sebagai murid ? Keberadaannya di surau ini masih sebagai tanda tanya. Kapan ia mendapat jawaban, diterima atau tidak ? Kalo ia diterima sebagai murid, tentu sesuai dengan harapannya. Jika ia ditolak, apa yang harus ia lakukan ? 


Ia tersentak oleh tidurnya ketika mendengar derak derik lantai. Ia tajamkan telinganya, langkah makin banyak menginjak lantai papan itu. Ia pun bangun, dan duduk. 
“Marayam, bangunlah. Waktunya sholat subuh,” panggil Siti Anisyah.
“Ya, Tek. Saya sudah bangun,” jawab Maryam.


Siti Anisyah berlalu. Dalam hati ia berguman, “Gadis yang baik !”.


Pembekalan


Haji Abdul Manan  menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambil menghela  napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam.


“Maryam mendesak ambo untuk mendapatkan jawaban dari Inyiak, kapan dia diperbolehkan belajar ilmu beladiri.” 


Tuangku Haji Abdul Manan tak dapat lagi mengelak akan kemauan keras Siti Maryam untuk memperoleh ilmu dunia, tentang persilatan dan tentunya ilmu kebal peluru dan ilmu meringankan tubuh, sekaligus cara menunggang kuda, meskipun ilmu tentang ajaran agama sudah dia dapatkan semenjak awal kedatangannya berguru kepada  Haji Abdul Manan di ke Surau Kampuang Budi Kamang. 


“Selain kemauan keras dari Siti Maryam, toh aku juga menerima amanah dari Ayah semasa di tanah suci Mekah dulu juga demiakian. ‘...kaum wanita dilahirkan tidak hanya menjadi tukang memasak di dapur, dan mengembangkan keturunan sebagai ibu yang baik, tetapi juga harus dididik menjadi pendekar bangsa. Tidakkah kamu mengetahui anakku bahwa keselamatan dunia dan akhirat nantinya juga terletak di tangan kaum ibu sendiri...”, pesan Ayahndanya itu yang masih terngiang ditelinganya, dan sekarang sedang bergelut dalam pikirannya untuk menjawab tuntutan Siti Maryam. 


“Ini adalah amanah dan tidak ada pilih kasih. Bukankah pula kamu Anisyah, Aisyah dan kawan perempuanmu yang lain juga telah aku beri pelajaran apa yang dituntut Maryam sekarang ini,” katanya lagi dalam hati.


“Betul, Anisyah. Tentu Maryam kembali menagihnya karena sudah sampai bilangan janji yang saya ujarkan beberapa waktu lalu,” ujar Haji Abdul Manan kepada Siti Anisyah.
“Lalau bagaimana Nyiak. Apakah dia sudah dibolehkan belajar silat ?,” desak Anisyah.
“Kalau hatinya sudah kuat, keyakinannya sudah bulat tidak apalah. Tapi, siapa yang akan melatihnya, dia seorang gadis,” jawab Haji Abdul Manan.
“Kalau Aisyah, bagaimana Nyiak,” pintas Siti Anisyah.
“Aisyah.... Tidakkah dia terlalu jauh dari Rumah Tinggi datang ke sini untuk melatih Maryam. Tentu Dt. Rajo Pangulu, suaminya juga akan repot mengantar dan menjemputnya nanti, meskipun waktunya hanya dua kali seminggu.” 
“Bukankah dahulu yang memperlancar jurus-jurus silatnya Aisyah juga kamu, Anisyah !”
“Kalau boleh aku bermohon kepada Inyiak, sebaiknya Aisyah saja yang melatih Maryam. Baiknya disepakatilah terlebih dahulu siapa yang akan melatih Maryam. Apakah kamu atau Aisyah.  Mintalah dulu pertimbangan dan izin dari masing-masing suami kalian.”
“Baiklah, Nyiak.” Tapi, Nyiak. Tentu tetap Inyiak yang membaiat Maryam untuk pertama kali, supaya ada berkat ilmu silat itu padanya.”
“Insyaallah..., tapi kamu jangan lupa menyampaikan kepada Maryam akan syarat syarat yang harus disediakannya sebelum memulai belajar silat  dan atau ilmu kebatinan lainnya. Begitulah biasanya, Anisyah.”
“Nanti saya sampaikan dan saya bantu untuk mendapatkan rumuan dan syarat-sayarat itu, Nyiak. Apa saja yang harus disediakan Maryam, Nyiak ?”


Akhirnya Tuangku memberikan kata pasti supaya Maryam melengkapi terlebih dahulu syarat-syarat berguru ilmu.


“Secara lahiriahnya berupa : Sirih/pinang langkok (lengkap), terdiri dari daun sirih, pinang muda, gambir, kapur sirih; beras satu liter ulang-aling (ekor dan kepala liter takaran diisi beras); cabe bulat; garam; sakin (pisau); jarum tangan; peniti; cermin kecil; selembar sapu tangan; dan kain putih satu kabung (satu hesta). Dan secara batinnya adalah keikhlasan dan kepasrahannya kepada Allah Subhanallahita’ala, semata !”


Sebagaimana biasanya, pada petang Kamis, malam Juma’at, yaitu selesai mengaji al-Qur’an, tafsir, muzaqarah tentang kandungan kitab kuning berhuruf arab gundul, para murid Tungku Haji Abdul Manan secara berangsur angsur menuju Ngalau Batu Biaro yang berjarak lima ratus meter melalui jalan pintas dari Surau tempat mereka ditempa. Sedangkan Maryam bersama murid perempuan lain dan beberapa tetua kampung tetap memakukan duduknya di surau.


Terlihat Siti Maryam mengenengahkan kehadapan Haji Abdul Manan syarat-syarat yang telah disediakan sebelumnya. Setelah memeriksa kelengkapan persyaratan yang diketengahkan Siti Maryam, lalu Haji Abdul Manan segera menurunkan ilmu-ilmunya kepada Siti Maryam.
“Majulah, Nak !,” kata Haji Abdul Manan kepada Maryam.


Maryam beringsut ke hadapan gurunya itu merekapun berjawat salam. Pembaiatan Maryam untuk memperoleh ilmu silat yang berbarengan nantinya dengan ilmu ilmu lainnya pun berlangsung. Semua hadirin mengunci mulut, mempererat sila dan simpuhnya dengan tertib.(bersambung)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023