Latihan di Malam Hari
Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’ kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu telah ‘dibao tagak’, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan melenturkan pinggang dalam duduk bersila, bersimpuh dengan jalan menukar-nukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada saat ‘mambao tagak’ latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan dengan gerakan silat yang sebenarnya.
Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan. Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang maju ke arena latihan.
Mula-mula Siti Maryam berjongkok memberi salam kepada gurunya, kepada sekalian orang tua-tua dan kepada orang banyak sekelilingnya. Ketika melayangkan pandangan sekeliling, mata Maryam terpaku kepada wajah si Juru Tulis yang tengah berdiri dibelakang penonton, seolah – olah ia hadir dengan bayang-bayangnya. Maryam kembali memfokuskan pikirannya akan pelajaran pertama yang akan ia terima, setelah seketika darahnya berdesir oleh tatapan Sang Juru Tulis.
Selesai memberi salam kepada orang banyak, masih dalam keadaan jongkok Maryam menundukkan wajahnya ke bumi dan menghunjamkan ujung-ujung jarinya ke tanah, sesuai dengan kebiasaan para juru silat di Minangkabau.
Begitu pula dengan Siti Aisyah, istri Datuak Rajo Pangulu dari Kamang Hilir turut melaksanakan tata krama persilatan, berjongkok sambil menjunjung salam diatas kepalanya meminta restu dari suaminya Datuak Rajo Pangulu. Siti Aisyah telah dipercayai sebagai ‘guru tuo’, guru pembantu dari guru utama untuk mengajarkan sesuatu kepada murid yang baru atau kepada murid yang belum fasih sebelum dikhatam oleh guru utama. Setelah keduanya selesai memberi salam dan siap ditempat masing-masing maka Haji Abdul Manan tampil ke depan memasuki gelanggang untuk memberikan kata sambutan dan petuah tentang kandungan filsafat silat Minang dan beberapa nasehat yang berguna bagi kedua pemain, terutama bagi Siti Maryam.
Selesai ulama yang kharismatik itu berbicara, maka ia memberikan isyarat bahwa permainan silat sudah dapat dimulai, maka Siti Maryam segera mendatangi Siti Aisyah Si Guru Tuo.
Sebelum permainan silat di mulai, maka Si Guru Tuo, Siti Aisyah mengucapakan sepatah kata pula yang isinya mengatakan kegembiraan dan rasa terimakasihnya atas kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang akan mengajarkan ilmu silat kepada Siti Maryam oleh Inyiak Manan dan ucapan terimakasih dan mohon bimbingan selanjutnya disampaikannya kepada suaminya Datuak Rajo Pangulu beserta tetua kampung lainnya.
Kedua perempuan itu berjabat salam dan memulai membuka langkah yang dikomandokan oleh Siti Aisyah dengan suara “Eep...!”
Serentak dengan suaranya, Siti Aisyah menarik kakinya selangkah ke belakang, dengan posisi tumit kiri dan kanan bagaikan membentuk huruf ‘v’ namun kedua tumit agak direnggangkan. Sedangkan tangan kiri mengepit rusuk kanannya, sementara tangan kanannya agak terbuka ke atas dengan siku agak ditekukkan. Keempat jarinya tersusun rapat dan ibu jarinya terpisah dari keempat jari lainnya di depan dahi dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawan. Ayunan tangan dan langkah itu disertai pula dengan tubuh yang agak membungkuk namun matanya menyudut ke sisi kanan, mewaspadai gerak lawan.
Sesaat Siti Aisyah bagaikan patung dengan posisi seperti di atas, yang memberikan kesempatan kepada Siti Maryam untuk menirukan gerakan yang dioeragakannya. Setelah Siti Maryam mengambil posisi yang sama dengan Siti Aisyah, maka mulailah Siti Aisyah bersuara lagi. “Ep...!”, lalu menukar gerak dengan kaki kanan yang disilangkan ke depan dan merunduk ke tanah, sedangkan tangan kanannya telah beralih ke belakang. Sehingga posisinya seakan duduk dipersilangan kaki bagaikan elang akan terbang. Kemudian mematung lagi beberapa saat, hingga Siti Maryam menirukan pula gerakan tersebut. Sehingga posisi mereka sekarang sudah berdampingan dan tidak berhadapan hadapan lagi, dan masing-masing bahu kiri mereka lah yang berhadapan, namun mata masing-masing secara reflek waspada.
Dengan aba-aba “Ep...!”, lagi, Siti Aisyah memutar tubuhnya sambil berdiri sehingga posisinya seperti gerakan awal tadi, namun arahnya telah bertukar seratus delapan puluh derajat. Maka tak ayal lagi, Siti Maryam pun menirukan gerakan itu. Begitulah pola latihan yang didapatkan Siti Maryam pada malam itu berulang-ulang sehingga mahir dalam jurus tersebut.
Pada malam berikutnya, jurus-jurus baru ditambah lagi oleh Siti Aisyah. Namun sebelumnya terlebih dahulu diawali dengan gerakan jurus yang telah dipelajari pada malam malam sebelumnya.
Dengan posisi jurus terakhir yang telah dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam cara meninju dan menangkap “jaro” (tinju), cara ‘pakuak’ dan ‘tabang’ (retas) dan kemudian memerintahkan Siti Maryam untuk menyerangnya.
“Jaro...!”, Kata Siti Aisyah kepada Siti Maryam.
Maka Siti Maryam dengan setengah berlari menghujamkan tinjunya ke arah perut Siti Aisyah. Dan secepat itu pula Siti Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya ke kanan sehingga tinju Siti Maryam tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti Aisyah menangkap pergelangan tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula pangkal betis kaki kiri Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam. Maka terkuncilah kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan Siti Aisyah. Sehingga badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah.
Pada saat posisi Siti Maryam sedang terkunci dan kehilangan keseimbangan, Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang gerakan tersebut. Setelah Siti Maryam memahaminya, maka Siti Aisyah memerintahkan Siti Maryam untuk mencobakannya, dengan bergantian menyerang. Mereka kembali keposisi sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam diserang dengan “jaro” oleh Siti Aisyah.
Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang sungguh-sungguh, maka Siti Maryam cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti yang dijarkan tadi. Namun ada kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya menyilang di lututnya Siti Aisyah, melainkan tumit kanannya diangkat seperti akan menghantam rusuk kanan Siti Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir bersilat, matanya menangkap gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka tangan kirinya yang menempel di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung menangkap pergelangan kaki Siti Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang ‘langkah sumbang’ Siti Maryam yang tersebut. Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam terkangkang itu diiringi pula oleh suara menderut, ternyata jahit celana yang dikenakannya putus, para hadirin yang menyaksikan persilatan kedua perempuan itu terkesima sesaat.
Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan mau melompat keluar. Bukan karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian tertentu paha Siti Maryam yang putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam itu disela jahitan celana Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas lutut.
Gelagat si Parmato yang memang agak suka jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan tangannya sambil menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu sembari melemparkan kain sarung – bugis makasar – yang disandangnya kepada Siti Maryam untuk ‘kodek’ nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam berganti pakaian ke atas surau dengan ditemani Siti Aisyah.
Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau ketawa takut akan dimarahi guru, tetapi perut semakin sakit menahan, karena melihat si Parmato yang sedang serba salah di hadapan guru dan orang tua-tua sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si Juru Tulis melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh !
Supaya jangan terlalu tersurut pula si Parmato, maka tampillah Kari Mudo ke tengah gelanggang berseru supaya latihan persilatan dilanjutkan oleh pesilat laki-laki yang berikutnya latihan bermain pedang dan debus. Setelah latihan silat oleh pemuda - pemuda di kampung tersebut, mereka berangkat ke Ngalau Batu Biaro untuk melakukan latihan intensif menghadapi peparangan.
Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah menunggu beberapa saat Siti Aisyah menemani Siti Maryam menukar pakaiannya. Kari Mudo berkata kepada Siti Aisyah, “Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan terlalu tinggi mengangkat tumit Maryam, sehingga celananya robek. Malu juga kita jadinya karena terlihat auratnya oleh kita semua yang hadir itu.”
“Bukan itu masalahnya, Tuan Kari !” Jawab Siti Aisyah. “Tetapi, kebetulan celana yang dikenakan Maryam itu adalah celana bekas dari saya yang dipinjamkan kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan benangnya pun barangkali sudah rapuh. Dan ‘ambo’ pun tak memperkirakannya pula sebelumnya, Tuan !”
“Dia bersemangat sekali untuk menguasai persilatan ini dan kelihatannya, Maryam termasuk anak yang cerdas dan lincah. Saya yakin dia bekal cepat menguasainya,” kata Kari Mudo lagi.
“Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan !” kata Aisyah.
“Ya !, tepat sekali !, berarti kamu dan Kak Siti Anisyah akan mendapatkan tambahan kawan dalam mempersiapkan atau pun dalam perlawanan dengan Ulando itu nantinya. Tapi Aisyah, hal ini tetap dalam genggaman rahasiamu, agar kamu pegang erat-erat, kau kunci dalam batinmu bahwa Siti Maryam adalah dapat dihandalkan dalam perlawanan kita nanti !” kata Kari Mudo sambil melangkah untuk turun kembali ke tempat sasaran persilatan.
“Baiklah Tuan !” jawab Aisyah sambil mengiringi Kari Mudo ke tanggo.
Pelajaran silat untuk Siti Maryam dilanjutkan. Namun di gelanggang sudah tidak seramai tadi. Paara pesilat pria sudah kembali ke Ngalau Kamang untuk melajutkan pelatiahan perang mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa mencari seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau Kamang.
Hatinya berharap Sang Juru Tulis berada di gelanggang latihan tersebut, meskipun dalam bayang-bayang kegelapan. Kari mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam, yuang sedikit terganggu pikirannya. “Ayo...,” bentak Kari Mudo.
Siti Anisyah yang duduk berjuntai kaki, membuang mukanya melihat kejadian sesaat itu. Ia tahu apa yang mengganggu pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap wajah Siti Maryam. Pandangan mereka bertemu. Siti Anisyah mempertajam matanya, sebagai isyarat sebuah tegoran. Siti Maryam menundukkan kepalanya.
Menguji Ketangkasan
Agar lebih cepat menguasai segala tetek bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak henti - hentinya Siti Maryam berlatih silat dengan Siti Aisyah.
Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti Maryam mempergunakan senjata tajam dan sekaligus mengelakkan serangan musuh yang mempergunakan senjata seperti pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya. Menurut pengamatan Siti Aisyah, penguasaan Siti Maryam akan materi latihan sebelumnya sudah cukup. Latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam ini adalah sebagai kelanjutan latihan-latihan sebelumnya.
“Maryam !, malam ini kita akan latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam. Kamu harus menguasai dan mahir mempergunakan pisau dan kelewang, yang sekaligus menangkis dan mengelakkan serangan musuh dengan mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak sekalipun,” kata Siti Aisyah.
“Baiklah, Bundo !”
“Bahkan ini pulalah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya tidak sabar menunggu pelajaran ini dari Bundo,” timpal Siti Maryam.
“Sekarang mulailah permainanmu Maryam, saya akan mengikuti permainanmu,” kata Siti Aisyah, yang berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang dari sutera putih berjumbai kiri dan kanannya dan ikat kepala dari beludru kuning.
Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali dengan kaki kanan, dan kemudian ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri di atas tumitnya serta tangannya menari seperti elang yang hendak menyambar mangsanya. Kadang-kadang ia berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah cepat keliling gelanggang dan kembali ketempat semula mengambil langkah langkah baru. Sementara itu Siti Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi permainan pencak yang begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. “Mari kita bermain Maryam, saya akan mengikuti permainanmu.”
Kedua perempuan itu mulai bermain, mula-mula secara lambat-lambat, makin lama makin cepat dan mulailah dengan sepak - menyepak yang cepat bagaikan kilat menyambar mendung. Siti Maryam berada dipihak menyerang dan Siti Aisyah dipihak yang bertahan dengan mengelit ke kiri dan ke kanan sambil mengintai terbukanya kesempatan untuk membalas serangan Siti Maryam. Pada saat kesempatan terbuka, Siti Aisyah menyapu kaki kanan Siti Maryam dengan secepatnya, sehingga Siti Maryam terpelanting ke belakang beberapa langkah. Tetapi Siti Maryam berputar dengan cepat dan kemudian berbalik menjaro Siti Aisyah dengan tinju tangan kanannya yang hampir saja mengenai lambung sebelah kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan cepatnya Siti Aisyah, sambil berkelit langsung menangkap pinggang Siti Maryam dan melemparkannya ke depan.
Sungguhpun Siti Maryam telah terpental sepuluh langkah ke depan, namun yang menyentuh tanah adalah tetap ujung kakinya yang tidak mengeluarkan bunyi sedekit pun bagaikan kucing melompat dari dahan pohon dan menghadap kembali kearah gurunya.
“Maryam, keluarkan pisaumu !” perintah Siti Aisyah.
Dengan serta merta Maryam mencabut pisau ‘sirauik’-nya, pisau bengkok bertangkai kayu bulat yang panjangnya satu setengah jengkal, dan mengangkatnya kemuka pelan-pelan sambil menciumnya dan kemudian mencorengkan ujung pisaunya ke tanah dan memberikan tanda silang serta mempermainkan pisau dengan tarian yang sangat indah. Kemudian Siti Maryam berpaling sambil mengucapkan, “Bundo sudah siap untuk menyambutnya ?”
“Ya !, sudah siap, Maryam !” Jawab Siti Aisyah
Sesampai jawaban si Guru Tuo itu, Maryam menujamkan pisaunya ke arah lambung kanan Siti Aisyah dengan sangat kencang dan kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah yang cekatan ini menyambut pergelangan tangan Siti Maryam dan mempelintirnya, sesaat pula Siti Maryam dengan cepat memutar badannya searah dengan putaran tangannya yang dipelintir Aisyah, serta segera berkelit ke belakang, pelintiran Aisyah lepas dan pada saat itu Maryam langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan Aisyah segera pula berkelit sedikit ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat menyepak pangkal siku Maryam dan kemudian mengepit tangan Siti Maryam ke tanah hingga pisau terlepas dari tangan Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah, sementara Siti Maryam dengan cepat pula berbalik ke belakang.
“Waaah....!” bisik penonton dibalik kain sarung yang disandangnya, karena melihat ketenangan Aisyah mematikan serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat lincahnya gadis itu berkelit sambil waspada akan serangan balik Siti Aisyah.
“Iyo, bebar-benar alot !,” komentar penonton lainnya, karena permainan kedua ‘merpati’ itu tidak terputus putus. Saling mengunci dan melepaskan kemudian meyerang kembali, seolah mereka memiliki cadangan gerakan dalam geliat permainan itu.
“Sekarang giliranku Maryam, karena pisaumu berada dalam genggamanku,” kata Siti Aisyah. Sudah siapkah kau, Maryam ?”
“Sudah, Bundo, Majulah Bundo !” jawab Siti Maryam.
Siti Aisyah maju menjuruskan pisau ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti Maryam, sambil memberikan aba-aba.
“Awas...!,” teriak Aisyah.
Sesaat itu pula Siti Maryam dapat berkelit, cuma saja dia tidak dapat menangkap pergelangan tangan Aisyah. Sehingga Aisyah pun terlaju beberapa langkah ke depan, secepat itu pula Aisyah berbalik dan menghela napas sejenak untuk mengumpulkan tenaga dan kembali menyerang Maryam. Kali ini Maryam tidak berupaya untuk menangkap dan mengunci persendian Guru Tuo-nya itu, melainkan hanya mengelak dan mengelak saja dengan lincahnya. Akhirnya Siti Aisyah kehabisan tenaganya sendiri, terkuras staminanya karena tubuhnya terseruk kesana kemari, kearah dia menyerang sementara sasaran serangnya berupaya tidak tersentuh sama sekali. Siti Aisyah merasa letih dan segera merangkul pinggang Siti Maryam sambil berkata
“Sudah cukup Maryam, ambo sudah letih.”
“Baiklah, Bundo ! Terimakasih, Bundo !,” jawab Siti Maryam yang kemudian mencium kedua pipi gurunya.
Selesai memberi salam kepada Haji Abdul Manan dan kepada yang tua-tua dan sekalian penonton yang masih terkesima dan terganga yang seakan di bumikan di tempat duduknya masing-masing Keduanya duduk pada tempat yang sudah disediakan, dan Haji Abdul Manan bertepuk tangan dengan rasa puas mempersaksikan kepintaran Siti Maryam dan sosok Siti Aisyah sebagai Guru Tuo yang penuh kearifan dan bijaksana memandu dan melatih Gadis dari kampuang Hanguih, Bonjol itu.
Setelah Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk tangan Haji Abdul Manan, barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah membimbing Siti Maryam sudah selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari.
Dengan sudut matanya, Siti Maryam mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah olehnya seseoramg yang berdiri diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, Siti Maryam merasa senyuman kecil itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti Maryam berdesir, mendapatkan sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis – yang mana beberapa saat menghilang. (bersambung)
No comments:
Post a Comment