Alek Pacu Kuda
(Bagian VII)
(Bagian VII)
PERTEMUAN – pertemuan pemimpin - pemimpin masyarakat dengan Haji Abdul Manan, maka aku sebagai juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang tokoh-tokoh masyarakat seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dari Kamang Ilia, Angku Jangguik yang dikenal pula dengan panggilan Inyiak Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo Pangulu dari Babukik Limau Kambiang dan Datuak Marajo beserta pemimpin lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu.
Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar dilakukan peninjauan (menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras Sungai Pua sehubungan dengan ‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat, kepada tenaga yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.
Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar dilakukan peninjauan (menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras Sungai Pua sehubungan dengan ‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat, kepada tenaga yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.
Inyiak Haji Abdul Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya. Sedangkan Solok dan Sawah Lunto diserahkan kepada rombongan dari Padang Panjang. Datuak Parpatiah (di Magek) dan Datuak Rajo Pangulu, keduanya dari Kamang Ilia menuju Limo Puluah Koto dan Tanah Data. Inyiak Jabang dan Tuangku Pincuran ke Suliki, Suayan, Koto Tinggi, Pua Gadih, Palupuah, Bonjo dan Sipisang.
Sedangkan Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam kaum perempuan pilihan untuk memegang peran sebagai propagandis, selain beberapa tokoh laki-laki yang dianggap mapan untuk peran tersebut.
Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara’, yaitu telah bersuami maka hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk Basung dan Simpang Empat (Pasaman).
Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat dipergunakan pada waktunya nanti.
Pada awal bulan April 1908, bertepatan dengan digelarnya alek pacu kuda oleh pemerintah Belanda di Bukit Ambacang, sengaja dikondisikan agar semua utusan daerah mempergunakan moment itu untuk berkumpul guna mematangkan gerakan dan pemberontakan melawan tirani Hindia Belanda dengan issu anti belasting sebagai kelanjutan revolusi Minangkabau setelah perang Paderi dapat dipadamkan.
Bagai masyarakat Minangkabau sebelum kedaulatannya dikembalikan secara bulat ketangannya oleh pemerintah Hindia Belanda, maka bara api sisa-sisa api revolusi Pederi itu tetap dinyalakan. Untuk mengkonkritkan perlawanan, maka moment alek (pesta) pacu kuda di Bukit Ambacang itu tidak disia-siakan sama sekali.
Kali ini pertemuan dari berbagai utusan daerah yang menjadi motor pengerak ‘gerakan anti belasting’ itu berkumpul di Bukittinggi dengan alasan untuk menghadiri alek pacu kuda di Bukik Ambacang. Tepatnya pertemuan rahasia itu dilaksanakan di Bukik Apik, suatu perkampungan di pinggir jurang Ngarai Sianok. Sebelum pertemuan dilaksanakan, Siti Aisyah telah melakukan propaganda pengkondisian yang intensif secara rahasia kebeberapa tokoh perempuan di sekitar Tilatang Kamang.
Sehubungan berkumpul itu, Siti Aisyah mengkondisikan beberapa orang penjual masakan di Nagari Kapau (Tilatang). Karena para kaum perempuan Kapau selain bertani banyak juga yang berjualan makanan, seperti penjual nasi kapau - yang banyak ditemukan pakan-pakan (pasar pasar) nagari dan di pasar Bukittinggi sendiri di bawah payung-payung kaki lima.
Kepada beberapa penjual nasi kapau itu dikondisikan untuk berjualan nasi di Bukit Ambacang pada saat alek pacu kuda dilaksankan yang tujuannya selain berdagang adalah juga sebagai arena pusat informasi tentang pelaksanaan dan hasil pertemuan rahasia di Bukik Apit tersebut.
Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciri-cirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi. Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk meladeni orang yang singgah makan.
Hari yang telah dinantikan tiba. Berduyun-duyunlah masyarakat disekitar Agamtuo dan dari beberapa daerah menghadiri pesta rakyat menonton kuda kuda yang dijagokan dalam berpacu. Pemerintah Belanda pun tidak mencurigai siapapun, karena sudah biasa di gelanggang manapun pacu kuda dilaksankan di berbagai tempat dan daerah di Sumatera. Apalagi kalau di Gulai Bancah Bukittinggi karena arenanya cantik dan bagus yang dikelilingi oleh bukit. Penonton dengan leluasa memandang bundaran oval tempat kuda menguji ketangkasannya.
Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai. Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut angin.
Setelah panitia pacuan mengumumkan bahwa pacuan segera dimulai, maka penonton semakin antusias, berdesakan ke pinggir gelanggang, sehingga mendapat deraan rotan dan pentungan petugas keamanan untuk mengusirnya kembali guna menjauhi arena kuda berlari. Sedangkan yang berada di atas bukit riuh rendah mencari posisi yang paling menguntungkan untuk menonton kuda-kuda yang akan berpacu.
Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck (Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumateras Westkuust) :
“...bahwa pergelaran alek pacu kuda dan menampilkan acara kesenian dan kebiasaan - kebiasaan lama daerah ini, termasuk dibebaskan untuk menggelar berbagai bentuk perjudian dan sabung ayam adalah suatu bentuk kepedulian pemerintah terhadap budaya Minangkabau asli sebelum kedatangan Islam yang harus dipupuk dan dipelihara. Kami pihak pemerintah tidak akan mengikis kebudayaan-kebudayaan lama tersebut, karena hal itu adalah miliknya masyarakat Minangkabau yang diwarisinya dari para leluhurnya sejak dahalu kala....”.
Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau, Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826. Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas, dll.
“Marilah kita untuk selalu menjunjung tinggi kebiasaan-kebiasaan lama leluhur orang Minangkabau ini, sedangkan pemerintah tidak sedikit pun berniat untuk campur tangan terhadap kedaulatan rakyat Minangkabau. Namun supaya tetap berjalannya pemerintahan dan hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah, maka diperlukan pula kerjasama yang baik dalam berbagai bidang untuk lebih memperelok nagari-nagari, terutama nagari-nagari di Agamtuo ini. Sedangkan untuk memperelok nagari, memperbagus jalan-jalan dan jembatan, serta guna membiayai pemerintah, termasuk gaji para pegawai dan opas maka diperlukan biaya yang besar sekali. Karena biaya yang banyak itulah diperlukan pungutan belasting,“ sambung Westenenck lagi. Kemudian dia mengajak seluruh masyarakat supaya membantu pemerintah dalam membangun dan membayar belasting.
Pidato-pidato Contreleur Agamtuo itu disanjung-sanjung oleh barisan ‘Belanda Hitam’ dengan mengangguk-anggukkan kepala dan memperlihatkan keseriusan, kesungguhan dan mengelu-elukan bujuk rayuan, ajakan L.C. Westenenck yang telah fasih berbahasa Minang itu. Akan tetapi bagi rakayat ‘badarai’, rakyat banyak yang berada di tribune yang beratap rumbia dan yang berada di atas bukit tersebut tidak memperdulikannya, karena tidak sampai ke telinga mereka, dan lagi maksud kedatangan mereka ke Bukit Ambacang semata untuk menonton kuda-kuda berpacu.
“Kapan kudanya berpacu ? Kalau pidato berpidato juga !,” diantara mereka berciloteh
“Habih hari dek pidatosen kasudahano,” ciloteh yang lain lagi. Maksudnya, habis waktu karena pidato-pidato.
Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan aba-aba “...joki segera ditimbang...!” Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai membahana.
Terompet kedua dibunyikan, kuda-kuda yang sudah ditenggeri para jokinya memasuki garis star, di depan tribune bulat yang lebih dikenal dengan dengan sebutan ‘rumah bulat’.
Terompet ketiga dibunyikan, tukang bendera yang melepas kuda sudah mulai bersiap-siap dan bendera pun segera dikibarkan, kuda-kuda berhamburan dari garis start. Bersamaan lepasnya kuda-kuda tersebut penontonpun bersorak.
“Kudo lapeh...!, kudo lapeh....!” Maksudnya kuda lepas, yaitu kuda sudah mulai berpacu. Sesaat kemudian sorak-sorai beralih dengan terikan “Agam...!, Agam...!, Agam...!” Maksudnya kuda orang Agam dengan jokinya berpakain warna merah yang menggambarkan Luhak Agam berwarna merah sedang berada di depan dan sekaligus memberi semangat kepada joki untuk merambah kudanya dengan rotan di tangannya supaya kudanya melesar, melejit kencang. Meskipun kuda dari Lima Puluh Kota yang ditandai pakaian jokinya berwarna hijau yang duluan sampai di garis finish dan disusul kuda berjoki warna kuning, dari Tanah Datar, namun teriakan “Agam...!, Agam...!, Agam...!” terus berkumandang.
Semenjak pagi kedai nasi di bawah payung bundar dengan tonggak dan kaso kasonya terbuat dari buluh, bambu dan atapnya dari kertas semen porland yang dijahitkan, dan kedai nasi itu berdindingkan kain berwarna putih belum disinggahi pengunjung. Setelah ‘rece’, putaran pertama barulah pengunjung berangsur-angsur mencari tempat makan dan minum. Dan Siti Aisyah, Siti Maryam mulai melayani pengunjung yang masuk ke kedainya itu, Rabiatun Kapau berlagak sebagi induk semang yang hanya menerima dan mengembalikan uang kembali pengunjung setelah selesai menikmati masakan khas Kapau-nya.
Pada saat putaran kedua digelar dan para pengunjung Bukit Ambacang kembali hiruk pikuk karena kuda-kuda telah dilepas lagi untuk berpacu. Pada saat itu masuklah ke kedai Rabiatun Kapau dua orang laki-laki dewasa dari sisi kedai yang berbeda, sepertinya kedua orang ini tidak saling mengenal karena dinisbatkan hanya sebagai pengunjung alek pacu kuda.
Akan tetapi Siti Aisyah telah mengenal wajah kedua pria itu, namun tetap berpura-pura tidak mengenalinya dan langsung meladeni pengunjungnya itu. Siti Aisyah menanyakan lauk nasi yang diingini.
“Uni ambo ka makan, sambanyo jo tambunsu, yo Ni..!” (Uni saya mau makan, lauknya adalah usus, ya Uni),” kata salah seorang laki-laki itu kepada sang pelayan.
“O, ya !,” jawab Siti Aisyah.
“Tuan sambanyo jo apo ?,” tanya Aisyah pula kepada yang seorang lagi.
“Untuak ambo sambanyo randang itiak, Ni,” (untuk saya lauknya rendang itik, Uni) jawab orang tersebut.
Meskipun Aisyah lebih muda usianya dari kedua laki-laki tersebut, tetapi laki-laki ini memanggil uni kepada pelayan itu sebagi basa basi dalam bertutur kata kepada orang yang belum dikenal. Kalaupun ada orang yang menguping di luar maka orang tidak akan curiga karena sepertinya adalah pengunjung biasa saja. Selesai kedua orang itu menikmati makanan dari nagari Kapau itu, seorang diantaranya bertanya,
“Dimana dapur tempat memasaknya, Uni ?”
“Di sebuah Rumah Gadang di Bukit Apik,” jawab Aisyah dengan suara berbisik sambil menunjuk ke arah Barat Daya dari tempatnya itu, kemudian menderaskan kembali suaranya menyambung bisikannya itu, “Agak jauh juga dari sini, Kapau nama negerinya,” sambung Aisyah.
Rupanya pertanyaan seseorang itu merupakan sebuah isyarat yang maksudnya adalah tempat pertemuan rahasia itu. Maka jawaban Siti Aisyah dengan suara lunak itu langsung mengatakan tempat pertemuan tersebut yang kemudian ditimpali dengan kalimat berikutnya tentang Negeri Kapau, sebagai pengelabuan kalimat pertamanya, kalau-kalau ada pihak lain yang mendengar dari luar tabir kedainya itu.
Menimpali jawaban Aisyah itu, seorang lagi bertanya pula. “Dengan apa kita ke sana, Ni ? Apa saja kampung yang kita lewati menjelang sampai di sana ?”
“Ke sana cukup berjalan kaki, kalau mau naik bendi pun bisa. Maka naikilah bendi di luar gelanggang ini dan kusir bendi pasti tau akan kampung itu !,” jawab Aisyah pula.
“Terimakasih, Uni,” jawab pria itu lagi sambil merogo kantongnya dan berdiri untuk membayar hutangnya. Kemudian diringi pula oleh yang seorang lagi.
Kali ini bukan Rabiatun Kapau lagi yang menerima dan memberikan uang kembali, melainkan langsung diterima oleh Siti Aisyah. Pada saat memberikan uang kembali, maka Siti Aisyah menyelipkan selembar kertas kecil dalam sela uang kertas kembalian tersebut. Kedua orang itu berlalu dari kedai Rabiatun Kapau secara terpisah dan langsung masuk ke dalam keramaian penonton.
Dalam jarak sepuluh meter dari kedai Rabiatun Kapau, kedua orang ini bertemu kembali sambil berjalan menuju parkiran bendi, sembari mencuri pandang ke kiri-kanan dalam kewaspadaan mereka membuka kertas kecil yang diselipkan Siti Aisyah tadi guna mempelajari rute dan ciri rumah rahasia yang akan ditujunya.
Sepeninggal kedua orang pria itu Rabiatun Kapau bertanya dengan berbisik tentang siapa dan darimana kedua orang tersebut.
“Pria yang berjenggot hitam dan duduk di sebalah kanan tadi utusan yang datang dari Padang Panjang. Sedangkan yang duduk di bangku sebelah kiri utusan yang datang dari Selayo (Solok), Tek !,“ jawab Siti Aisyah kepada Rabiatun Kapau.
Begitulah siasat yang dijalankan untuk beberapa kali oleh tamu-tamu rahasia yang berdatangan ke kedai Rabiatun Kapau dalam mencari petunjuk dan informasi pada saat-saat orang sedang dilengahkan oleh deru telapak kuda, dihiasi gumpalan kabut mengepul di belakang kuda sedang bertarung mengejar garis finish.
Utusan - utusan itu bermacam gaya dan corak pakaian yang dikenakannya. Ada yang berlagak seperti parewa, ada seperti orang intelek dan ada pula berlagak seperti orang kampung totok. Rata-rata diantara mereka tidak memperlihat ciri-ciri sebagai ulama dan ninik mamak atau cerdik pandai (cendikiawan).
Tentu saja cara-cara seperti ini adalah untuk menghindari kecurigaan para opsir dan ‘spion melayu’ Belanda. Kalau dintara mereka seorang ulama dan berpakaian ulama, tentulah akan mencurigakan pihak Ulando. Karena tidaklah mungkin seorang ulama mau datang ke gelanggang pacu kuda yang dimeriahkan dengan berbagai bentuk perjudian tanpa ada maksud-maksud yang terselubung.
Begitu pula bagi para ninik mamak dan cerdik-pandai, ninik-mamak dan cerdik pandai yang pro-Belanda sudah disediakan tempatnya di tribune. Dan tentu saja ninik mamak dan cerdik pandai yang membangkang pada Belanda tidak akan mau menghadiri acara yang dibuat oleh Belanda tersebut.
Dalam pertemuan rahasia pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit itu, dengan suara bulat diambil beberapa butir kesepakatan sebagai keputasan rapat. Dan rapat tersebut berjalan dengan aman dan tertib, sama sekali tanpa adanya gangguan dan kecurigaan pemerintah Belanda. Kondisi ini tercipta adalah berkat bantuan dan fasilitator yang sungguh sungguh dari Tuanku Laras Kurai yang berperan dari belakang layar.
Bersimpatiknya Tuanku Laras Kurai ini adalah berkad pendekatan yang dilakukan oleh Pakiah Muncak, seorang pemuda Kurai (Pakiah Mucak gugur sebagai suhada dalam perang 1908 di Kamang dalam usia tiga puluh tahun).
Menjelang tengah hari di tengah lapangan arah Utara Nagari Gadut, disitu digelar beberapa hiburan, termasuk perjudian. Ada yang menyabung ayam, dadu kuncang dan sebagainya. Kesemuanya itu berada dalam perlindungan dan pengawasan polisi-polisi Ulando.
‘Malang tak dapat ditolak – mujur tak dapat diraih’. Ternyata di gelanggang perjudian itu, persisnya pada tempat ‘dadu kuncang’ diputar, terjadi perkelahian antara petaruh dan bandarnya. Perkelahian itu dipicu karena bandar judi ketahuan berlaku curang, semenatara petaruh yang berkumis tebal itu sedang kalah banyak. Si kumis naik pitam dan merampas uang yang sedang menumpuk di depan bandar judi. Dan pada saat Si Kumis sedang merunduk merangkul uang-uang tersebut, sang bandar judi terkaget, secara reflek tumit kakinya yang sebalah kanan langsung melayang kearah rumpun telinga sebelah kiri Si Kumis. Pada saat itu juga Si Kumis membalas dengan mengarahkan tinju ke mulut sang bandar, tetapi dapat dielakkan oleh sang bandar. Terjadilah perseteruan dengan memperlihatkan kebolehannya masing-masing, yang akhirnya berobah menjadi cakak banyak, perkelahian masal.
Pada saat Si Kumis menyentakkan pisau yang terselip di pinggang sebelah kirinya, mengacungkan pisaunya itu dan kemudian mengejankan tuahnya.
“Rasokan dek waang makan pisau kamanakan lareh sungai pua ko !” (Rasakan olehmu pisau kemenakan Tunagku Laras Sungai Pua ini !)
Dijawab oleh si bandar judi yang telah mengambil ancang-ancang, pasang kuda-kuda.
“Buliah ! Supayo nak tau pulo waang jo aden nan dubalang lareh kurai ko !” (Boleh ! Supaya tau pula kamu dengan saya sebagai dubalang Tuangku Laras Kurai ini !)
Si Kumis yang mengaku sebagai kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua itu pun menikamkan pisaunya yang mirip kuku elang yang panjangnya hampir sehesta itu ke arah lambung si bandar judi yang katanya dubalang Tuangku Laras Kurai tersebut.
Rupanya kedua parewa ini sama-sama lihai dalam bersilat, meskipun dubalang menyentakkan pisaunya pula tetapi keduanya tidak sempat terluka oleh masing-masing tikamannya. Agak lama juga mereka itu berkelahi dengan mempergunakan pisau. Sehingga terpaksalah seorang opas Belanda menembakkan senapannya ke udara untuk melerai perkelahian yang sengit ini. Pada saat kedua orang yang sedang bermain pisau itu tertegun, barulah opas-opas yang lain menangkap masing-masingnya dan langsung tangan kedua orang itu dirantai dan digiring ke pos keamanan. Sebentar mereka ditawan di pos keamanan itu, kemudian komandan polisi Belanda memerintahakan untuk secepatnya diangkut langsung bersama anak buahnya masing-masing yang terlibat dalam cakak banyak itu dengan bendi dalam pengawalan opas menuju Pos Polisi dekat kantor kontroler di jantung kota, demi keamanan alek dan juga supaya tidak terlalu tersiar beritanya tentang keonaran itu. Tidak lama diproses di Pos Pilisi dekat kantor kontroler, disamping Jam Gadang itu, para perusuh itu pun dibawa ke penjara sebagai titipan sementara.
Di Bukit Apit, yang terkenal dengan rendang kopinya itu rapat pun berakhir bersamaan dengan berakhirnya alek pacu kuda, sehingga peserta rapat kembali pulang ke daerahnya masing-masing untuk melakukan persiapan yang matang guna melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
Seorang pemuda sambil berjalan pulang, mampir dulu ke kedai Rabiatun Kapau yang sedang berkemas-kemas pula untuk pulang. Pemuda itu mampir pura-pura menanyakan sudah habisnya julan Rabiatun Kapau.
“Sudah habis dagangannya, Tek ? Adakah laris dagangannya ?,” tanyanya kepada Rabiatun Kapau.
“Alhamdulillah, berkad pertolongan Allah, habis semua dagangan kami,” jawab Rabiatun Kapau.
Kemudian dengan suara berbisik dan gaya yang sangat hati-hati pemuda itu bertanya kepada Rabiatun Kapau.
“Mana, Kak Aisyah dan Maryam, Tek ?”
“Mereka sedang mengantarkan barang barang ke pedati,” jawab Rabiatun Kapau.
“Kalau begitu tolong saja etek berikan surat ini kepada Maryam nanti, dan saya duluan pulang. Permisi, Tek,” kata pemuda itu lagi, sambil mengunjukkan surat tersebut.
Sekemblinya Maryam membantu Aisyah mengantarkan barang-barang ke pedati, Rabiatun Kapau menyerahkan surat itu dengan sembunyi kepada Siti Maryam. Surat tersebut yang bertulisan Arab-Melayu itu dibuka dan dibaca Maryam. Ternyata isinya sebuah perintah kepada Siti Maryam supaya berangkat segera ke Mangopoh untuk menemui Yahya Taungku Sutan, Rahman Saidi Rajo, Sutan Syarif, Kana Angku Padang dan Majo Ali guna menjalankan misi khusus. Tapi sebelum menemui tokoh gerakan bawah tanah di Mangopoh itu terlebih dahulu berkonsultasi dengan Siti (Siti Mangopoh).
Sambil berkemas-kemas, mereka mendiskusikan persoalan keberangkatannya ke Mangopoh. Meskipun Siti Maryam keras hatinya untuk langsung berangkat ke Mangopoh sore itu juga, Rabiatun Kapau menyarankan sebaiknya Siti Maryam pulang dulu ke Kamang untuk beristirahat karena sudah kecapaian seharian sebagai pelayan, tukang cuci piring di kedainya itu dan penjaja makanan yang berkeliling di tengah lapangan pacu kuda.
“... dan sampai sekarang kita belum tau pesan apa yang akan dibawa kepada Ibu Siti Mangopoh. Jadi, sambil beristirahat nanti malam, kamu bisa meminta penjelasan dan pertimbangan lebih lanjut dari pimpinan gerakan kita, terutama kepada Inyiak Manan atau kepada Tuan Datuak Rajo Pangulu dan pemimpin lainnya !,” Kata Siti Aisyah yang diamini pula oleh Rabiatun Kapau.
Besok harinya Contreleur memanggil Tuanku Laras Kurai untuk menghadap di kantornya, dekat Jam Gadang. Pagi-pagi Laras Kurai telah naik bendi kebesarannya menghadap ke kantor kontroler. Sesampai disana Tuangku Laras dipersilakan masuk. Contreleur J.C. Westenenk langsung bertanya setelah Tuanku Laras di persilakan duduk dalam jarak tertentu dengannya dengan dibatas sebuah meja batu oval.
“Tuanku Laras, tahukah tuan laras sebab dipanggil ke sini ?,” tanya Westenenk.
“Tau, tuan komendur !,” jawab Laras Kurai.
“Kira-kira apa itu persoalan, Tuan Laras ?,” tanya Westenenk lagi.
“Barangkali..., mengenai persoalan ‘cakak banyak’ di gelanggang kapatang, Tuan !,” jawab Tuanku Laras.
“Bukan barangkali...!, Tuan Laras...!,” belalak Westenenk. Memang itu persolannya. Dan malah kenapa yang kedua belah pihak sebagai dalang perkelahian tersebut adalah di bawah dagu tuan-tuan laras sendiri ?,” tukas Westenenk lagi dengan nada agak meninggi, kesal.
“Maafkan hamba, Tuan Komendur. Sama sekali itu hal adalah di luar sepengetahuan saya, Tuan ! Kan tuan mengetahui sekali bahwa saya sama-sama duduk dengan laras-laras dan penghulu kepala lainnya di belakang para pembesar pemerintah, Tuan Kumendur,” jawab Tuangku Laras Kurai.
“’Ik’... tidak menuduh tuan Laras mengetahui persis persolannya. Untuk mengetahui sebab-sebab perkelahian itu, ‘Ik’ sudah cukup punya informasi dan saksi mata, Tuan Laras !,” bentak kontroler yang tidak simpatik itu.
“Lalu..., kenapa Tuan mempersoalkan itu kepada hamba, Tuan komendur ?,” tanya Laras Kurai sambil memperbaiki posisi duduknya dengan sedikit memperlihatkan wajah menantang.
“Maksud ‘Ik’, adalah itu orang mau diapakan Tuan Laras ? Karena mereka itu sama-sama dibawah lenggang ketiaknya Tuanku-tuanku laras ! Kalau itu orang-orang biasa yang bikin onar seperti itu, maka ‘Ik’ tak ambil peduli. Pasti akan dihukum berat. Ini adalah timbang rasa kami kepada laras berdua !,” kata Westenenk membujuk Laras itu.
“Kalau begitu, berarti kita sependapat Tuan !, dan bukan alasannya seperti penuturan Tuan Komendur itu saja. Tetapi yang lebih celaka lagi adalah apa kata masyarakat banyak nanti, bahwa dengan perjudian yang telah pemerintah bebaskan itu ternyata menyebabkan sebuah perkelahian banyak. Tuan pun sangat tau bahwa perjudian adalah sesuatu yang dilarang keras oleh agama kami. Apakah hal ini akan menjadi alat propaganda oleh kelompoknya Haji Abdul Manan yang sedang giat-giatnya menentang pelaksanaan rodi dan belasting, Tuan !,” kata Tuanku Laras Kuarai yang sedang bermuka dua.
Westenenk terdiam sejenak, keningnya semakin berkilat-kilat dan urat-urat darah semakin mengelembung dibalik kulit dahinya yang lebar itu.
“Terimakasih tuan Laras, bagus juga analisa ‘Yey’ tersebut. Dan itulah yang menggundahkan ‘Ik’ semalam. Tentu Dul Manan dengan tenaga propagandanya semakin bertambah bahannya untuk mendapatkan dukungan simpatik rakyat. Tapi menurut tuan Laras siapa kira-kira yang berperan dibalik kejadian ini ?”
“Tuan Komendur jangan menanyakan hal-hal diluar kemampuan hamba seperti itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan Komendur !,” pintas Tuanku Laras.
”Tapi yang penting menurut hamba sekarang, Tuan Komendur janganlah berlama lama menawan mereka itu di sel penjara, Tuan Komendur ! Lebih baik kita berpura-pura tidak ada masalah terhadap kejadian itu, sehingga masyarakat pun tidak bertanya-tanya pula kiri kanan. Dan dipihak kelompok Haji Abdul Manan kehabisan bahan propaganda pula jadinya, Tuan Komendur. Maafkan saya kalau saya terlalu lancang dalam persoalan ini, Tuan Komendur !,” kilah Tuanku Laras pula.
Tuan komendur yang ongeh (congkak) itu tidak menanggapi pernyataan Tuanku Laras Kurai itu, dia hanya diam dalam wajah yang mengkal. Setelah dia berfikir sejenak maka dia memanggil ajudannya.
“Ajudan !, sampaikan kepala lapas penjara agar tawanan yang berkelahi di gelanggang kemarin itu dilepaskan saja tanpa proses. Lepaskan saja seperti melepaskan anak ayam dari kandangnya !,” perintah Westenenck.
Kemenakan Laras sungai Pua dan dubalang Laras Kurai berserta pengikutnya yang ditawan karena terlibat perkelahian di gelanggang Bukit Ambacang sejak kemarin itu dibebaskan. Sedangkan kedok Tuanku Laras Kurai tidak terbongkar sebagai dalang keonaran guna mengalihkan perhatian opas untuk meraziai kampung-kampung di sekitar Bukit Ambacang, karena di Bukit Apit sedang berlangsung pertemuan rahasia kaum gerakan.
Sewaktu angku sipir penjara akan melepaskan para tahanan itu, lama juga dia memperhatikan tingkah kedua orang tahanan yang sengaja di satukan kamarnya. Angku sipir melihat Si Kumis dan Si Dubalang berganti-gantian pijit-pijitan sambil bercakap-cakap yang terlihat sangat akrab. Sejenak dia mengurungkan niatnya untuk membuka kunci pintu jeruji besi dan berupaya menyelinap untuk menguping pembicaraan mereka. Secara seksama angku sapir menangkap pembicaraan kedua tokoh yang membuat kacau di gelanggang tempo hari. Sang Sipir merogo kantongnya dan mengeluarkan notes kecil untuk mencatat atas pembicaraan mereka.
Rupanya kedua orang itu adalah teman seperguruan silat dahulunya. Sewaktu masih belia, mereka sama-sama belajar silat kepada Nan Batapo di Lasi dalam Kelarasan Canduang. Tentu saja tidak ada diantara mereka itu yang terluka karena mereka bukan berniat untuk saling membunuh, tidak lain mereka sedang beratraksi kepintarannya di depan umum, sambil mefasihkan kembali pelangkahan, jurus-jurus silat yang sudah lama tidak diulang.
Rupanya, Si Dubalang disuruh Laras Kurai untuk membuka perjudian dadu kuncang dan kemudian dia harus bermain curang yang nantinya dia pura-pura dirampas dan diserang oleh seseorang yang berbadan tegap berkumis tebal yang memakai topi trabus, sejenis topi morris.
Si Kumis mengakui pula kepada Dubalang bahwa dia menerima pesan dari Tuan Laras Kurai yang disampaikan oleh Siti Maryam, bahwa dia harus datang memasang taruhan dadu kuncang dan nantinya berpura-pura menyerang, dengan menggunakan pisau.
“Tetapi sesampai di tengah gelanggang, ambo bingung, di lapiak (tikar) dadu mana rencana ini harus dilaksankan, karena ambo dapati ada lima tempat yang menggelar dadu kuncang tersebut. Lama juga ambo memperhatiakan ke lapiak mana yang akan dituju,” kata Si Kumis sambil memijit pundak dan punggung Si Dubalang.
“Lalu kenapa awak sampai juga di lapaiak dadu ambo tuk ?,” tanya Si Dubalang kepada Si Kumis.
“Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek,” cerita Si Kumis.
Maksud awak gadih nan bajojo lapek jo bika tu si Maryam ?,” tanya Dubalang pada Si Kumis.
“Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !,” jawab Si Kumis.
Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah kanan dan pulpen di kantong kirinya.
“Bagus, bagus...! Sudah berbaikankah kalian ?,” tanya sipir memutus pembicaraan mereka.
“Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan,” jawab mereka berdua serentak.
Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut. (bersambung)
4 comments:
pak
klo boleh tau,,
data sejarah alek pacuan kudo bukik ambacang bukittinggi itu sumbernya dari mana?
boleh saya minta data sejarah komplit mengenai arena pacuan kudanya?
klo pun tidak ada,
boleh saya diberi saran untuk mencari datanya kemana,,,
terima kasih pak
Novel Catatan Usang Seorang Juru Tulis, kiriman penulis. Bahwa, di Sumatera Barat ada tradisi pacu kuda. Kuda - kuda terbaik dan tercepat nasional bahkan berasal dari Sumbar. Setiap kota mempunyai pacuan kuda sendiri, dilaksanakan secara bergilir. Biasanya bulan Agustus. Saya akan cari keterangan tentang event tersebut.
Pak bisa kah saya diberi info sebanyak2nya tentang Tuangku Pincuran?
Rumah Gadang, untuk mengetahui lebih banayak tentang salah satu tokoh dalam cerita ini, saya akan hubungi dulu penulisnya. Penulisnya tinggal di Bukittinggi, Sumbar. Apakah Anda beromisili di Sumbar pula?
Post a Comment