Tuesday, October 26, 2010

Novel Bagian VIII


Catatan Harian Seorang Juru Tulis
Misi Khusus

Sampai jualan Siti Mariam di kediamana Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia  mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula sat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam  menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.

“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan,”  pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.

Wajah Siti Mangopoh seketika mengkeru. Bibirnya memagtup. Nampkanaya dia berpikir keras. Para pendampignya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantra perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akl tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan  juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !,”  jawab Siti Mangopoh pula.






INTENSITAS latihan perang dengan mempermahir gerakan mempergunakan rudus, pedang terhunus buatan Apar, pandai besi di Palembayan, Salo dan Salimpaung semakin meningkat. Tempat latihan dilaksankan tidak saja di goa batu, Ngalau Batu Biaro tetapi telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, guna menghindari pemantauan kaki tangan, intel-intel Belanda.  Kali ini latihan silat yang boleh dikatakan latihan berkelahi dengan mempergunakan senjata tajam dilaksankan di halaman belakang Surau Taluak, arah Utara dari Simpang Pintu Koto sekitar lima kilometer di Timur Kampuang Budi.

Semua pasukan ‘harakiri’, pasukan berani mati Haji Abdul Manan tidak pernah absen mempersiapkan dirinya untuk perang basosoh (serentak) dengan pasukan Belanda nantinya, termasuk ketiga orang srikandi Kamang, Siti Anisyah, Siti Aisyah dan Siti Maryam. Perang frontal dengan menyerbu sedekat mungkin dengan musuh adalah salah satu jalan untuk melawan dan melumpuhkan musuh.

Tidak biasanya malam itu Siti Anisyah membawa putranya yang semata wayang ke arena latihan. Tetapi karena Ramaya yang tidak mau tinggal bersama neneknya malam itu, terpaksa Sutan Nan Basikek, suami Anisyah menyuruh istrinya untuk membawa serta Ramaya ke arena latihan malam itu.
Pada saat Anisyah maju ke tengah arena latihan, Ramaya dipeluk oleh Siti Maryam yang bergantian dengan Siti Aisyah. Tetapi pada saat Anisyah sedang latihan dengan Aisyah dan Maryam barulah Ramaya berpeluk dengan bapaknya, Sutan Nan Basikek yang sering kami panggil dengan Mak Sikek.
Malam telah larut, kelopak mata Ramaya bertaut karena mengantuk dia ditiurkan di dalam surau dengan berselimut kaian sarung bapaknya. Sesuatu yang penuh haru mengundahkan Siti Anisyah, Maryam, Siti Aisyah.

Dalam lelapnya di atas surau, terdengar isak tangis Ramaya yang tersentak tidur, dia memangil-manggil ayah dan ibunya. Sehingga ibunya segera naik ke atas surau memungut dan memeluk anaknya itu sambil membujuknya untuk berhenti menangis. “...ma... apak mak...?,” dalam isak tangis yang menghiba Ramaya menanyakan mana bapaknya meskipun dia telah dipeluk ibunya.
“Apak sedang latihan bersilat di luar nak. Apakah kamu mau melihat apak bersilat?,” jawab Anisyah menenangkan hati anaknya.
“Iyo, Mak,” kata Ramaya.
“Kalau begitu, ayao kita lihat bapak, tapi jangan nangis lagi, ya...!”

Ramaya memang tidak menangis lagi, dia menerawang menatap ayahnya yang lagi asyik berlatih  dengan sebilah rudus di tangannya menghadapi tiga orang lawan yang di tangannya masing-masing juga memegang rudus dan pedang.

“’Mak..., mak...!,’ kata Ramaya mengalihkan perhatian ibunya yang sedang asyik menonton kelincahan gerakan suaminya ‘kalau amak dan apak pai baparang nanti jo sia awak amak tinggakan.’” Maksudnya Kalau Ibu dan Bapak pergi berperang nanti dengan siapa dia (Ramaya) ditinggalkan. Rupanya desas-desus akan terjadi perlawanan rakyat terhadap kompeni sudah santer di Kamang, tua, muda, besar dan kecil bahkan anak-anak dibawah umur seperti Ramaya sendiri sduah mengetahuinya.
“Kan ada nenek dan etek,” jawab Anisyah
“Kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...?!,” sambung Ramaya lagi. Maksdunya ‘andaikan ibu dan bapak pergi berperang nanti, dan meninggal ibu dan bapak, dengan siapa saya ibu tinggalkan ?

Mendengar pertanyaan anaknya yang polos, lugu dalam usia tidak lebih lima tahun itu kerongkongan Siti Anisyah terasah tercekik, namun dia berupaya untuk tidak memperlihat wajahnya yang berubah pilu itu.

Anisyah menekurkan wajahnya memandang tubuhnya yang masih belum kering dari keringatnya sehabis latihan tadi, sekejap memandang ke arah suaminya yang sedang berlatih di tengah gelanggang sambil mendekap dan mengelus-elus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Kepalanya berdenyut bagaikan tersengat listrik tegangan tinggi, diiringi deraian air mata yang satu demi satu mulai menimpa tubuh Ramaya dalam pelukannya itu.

Terbayang  akan kegelapan masa depan si buyung yang tidak berkakak dan beradik itu nantinya. Anak semata wayang yang tidak akan disinari oleh kasih sayang ayah dan ibunya sepeninggalnya kelak kalau nasib tidak berpihak kepadanya dalam peperangan. Sebaliknya perang melawan tirani Belanda adalah sebuah perjuangan suci yang berpegang kepada tali agama dan untuk negeri, anak cucu dikemudian hari.

Ramaya bingung melihat pandangan ibunya yang nanar yang diiringi deraian air mata itu. Cepat-cepat Siti Anisyah mendekap anaknya lagi. Anisyah takut akan timbul kegalauan dan pertentangan dalam bathin anaknya. Namun tanpa disadarinya kristal-kristal mutiara kasih sayang ibu semakin tidak terbendung, mulai menganak sungai menelusuri lekukan batang hidung Anisyah hingga ke dagunya dan jatuh satu-satu membasahi dahi Ramaya yang sedang mentengedah dalam pelukannya ibunya.
Pada saat itu Maryam yang duduk agak terpisah dari Anisyah, tetapi masih dalam balutan pandangannya melihat sebuah gelagat yang tidak biasanya pada diri Anisyah. Maryam pun memberi isyarat kepadaku untuk menghampiri Anisyah.

Aku coba mendekati Anisyah, sekilas aku menangkap ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya. Hal itu terlihat jelas dari urat-urat yang menegak di dahi, matanya basah pada bandar hidungnya terlihat lendir bening yang meleleh, sedangkan sikap dan bawaannya sedikit gelisah, tidak tenang. Dengan suara setengah berbisik aku berusaha membuka tabir rahasia sesaat yang telah mencurigakan pandangan Maryam tadi.
“Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat ?”
“Tidak, jurutulis. Tidak apa-apa. Tapi..., dimana Maryam tadi, adakah kamu melihatnya ?” Aku tahu persis, bahwa jawaban dan sikap Anisyah seperti itu adalah caranya mengalihkan perhatianku dan sekaligus mengalihkan perasaannya yang sedang galau. Tapi aku belum tau apa sesungguhnya yang terjadi. Akupun tidak mau pula mendesaknya.
“Ada, Tek. Tadi Maryam berdiri di sebelah sana, dekat ‘Kak Aisyah. Apakah perlu aku panggilkan dia, Tek ?”
“Kalau kamu tidak keberatan, suruhlah Maryam ke sini !”
“Baik, Tek.”

Aku berjalan membungkuk-bungkuk, menyelinap-nyelinap disela-sela penonton yang sedang menunggu giliran untuk  latihan akupun sampai juga didekat Kak Siti Aisyah dan Maryam.
“Kak, Kak Aisyah, sepertinya etek Anisyah ada masalah, beliau menanyakan Maryam. Bagaimana kalau Maryam menemui dia dulu ke sana, ketempat dia beristirahat itu dan mana tau Maryam bisa mencari tau masalah yang dihadapi Etek Anisyah,” kataku pelan.
“Bagaimana baiknya, Tek ?,” kata Maryam pula kepada Aisyah. Karena Maryam tidak enak juga meninggalkan kakak Aisyah begitu saja sendirian.
“Sebaiknya kita ke sana saja, Maryam !,” jawab Siti Aisyah.

Kami bertiga pun telah mengelompok bersama Anisyah dan Ramaya dalam keramian itu.
“Apa gerangan yang terjadi Kak ?,” Aisyah.
”Ayolah, Tek ! Apa gerangan yang telah menimpa diri etek,” bujuk Maryam pula menimpali pertanyaan Siti Aisyah dalam posisi jongkok dan memegang lutut Anisyah dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membelai-belai kepala Ramaya.
“Kak, kenapa hanya diam saja, cobalah kakak berbagi sedikit dengan kami,” timpal Aisyah kembali kepada Anisyah.
“Tidak ada apa-apa Aisyah, tidak perlu pula kalian turut gelisah, karena tidak ada kejadian apa apa.”
“Kalau tidak kenapa mata etek memerah dan pipi Etek basah oleh air mata, dan wajah Ttek kusam pula,” sela Maryam secara beruntun.
“Hanya mengenai Ramaya, namun biarlah perasaan ini aku rasakan sendiri, karena kalian pun tidak akan dapat memahaminya,” jawab Anisyah
“Meskipun kami belum mempunyai anak, tapi bukankah kejadian kita dari nur kasih sayangNya Allah, Tek ! Maka secuil perasaan untuk turut merasakan yang dialami orang lain pasti ada disetiap kita. Ini adalah sebuah keyakinan, Tek !”

Tanpa aku sadari ternyata aku telah mendakwahi orang yang hampir sepataran ibuku itu dan malah selama ini beliau telah turut membesarkanku dalam pandangan hidup dan bersikap.

“Biarlah aku yang memeluk Ramaya mejelang latihan ini selesai, Tek. Kelihatnnya dia sudah tertidur,” kata Maryam.
“Maukah kakak berbagi dengan kami ?,” pnita Aisyah lagi.
“Setidaknya, supaya kami tidak mendustai jiwa dan nurani kasih sayang itu, Tek,” tegasku pula kepada Anisyah yang sedang mengepal kedua tinjunya dan mendekapkan ke dadanya sambil menggoyang goyangkan tubuhnya ke arah dengkulnya menahan pilunya. Tak obahnya seperti orang sedang didepan bara api dalam kedinginan.Sambil menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk itu, dia tidak dapat menyembunyikan kisah yang baru saja memilukan hatinya.

“Tadi Ramaya bilang kepada saya ’kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...? ”
“Ibu manakah yang tidak akan luluh hatinya mendengarkan ucapan anak yang tidak lebih tiga setengah tahun lalu melepaskan mulut dari punting susuku jika dia haus, lapar, buang hajat atau karena rasa mengantuk sedang merajam matanya tatkala berucap seperti itu dengan lidah yang belum fasih itu,” rintih Anisyah lagi kepada kami.

Akh, celakalah aku. Tepat juga rupanya alasan etek Siti Anisyah, sehingga berat hati untuk berbagi dengan kami. Sekarang tiba giliran kami, leherku kaku, urat-urat darah terasa meregang di dahiku. Maryam memalingkan muka dan menutup wajahnya dengan ujung kain panjang penyelimut Ramaya. Kak Aisyah seakan menatap replika keabadian pohon beringin sunsung di bulan yang hampir ditutup awan itu, deraian air mata pun menjelajahi pipinya menuju muaranya di dagu yang runcing itu milik mamak Datuak Rajo Pangulu itu.

“Pertanyaannya itulah yang melemaskan tulang-tulang dan menggoyahkan persendianku ini,” sambung Anisyah dengan suara memelas meceh kebekuan kami.

Kamipun tidak menduga, kalau pada saat itu juga Siti Anisyah tetap memberikan semangat hidup kepada Ramaya
“Ramaya, anakku. Semua orang akan menjadi ayah dan ibumu, nak ! Selagi orang orang itu tetap membenci perangai Ulando yang ingin menguasai negeri ini, dan ingin merubah cara hidup kita ini, Nak !,” ujar istri Mak Sikek itu.

Rupanya, betapapun tegarnya hati seorang ibu, tetapi karena ‘sayang kepada anak sepanjang jalan’ luluh juga perasaan ‘singa betina’ dari kaki Bukit Barisan itu.

Dalam diam, senyap yang hanya ditingkah bunyi telapak kaki dalam perjalanan pulang dari Surau Taluak menuju Kampung Tangah pikiranku pun melayang kepada kejadian yang menimpa pejuang kita, Tuangku Nan Cerdik  di Naras Pariman tempo dulu dengan kepiliuan yang menimpa Etek Anisyah tadi.

Taungku Nan Cerdik nama lain dari Bagindo Maraganti atau disebut orang juga dengan Bagindo Nan Cerdik atau Tuangku Ketek (Kecil), adalah pewaris tahta raja di hulu yang berkedudukan di Mangguang, Naras Pariman menggantikan mamak (paman)-nya, Rajo Nando.  Tuangku Nan Cerdik tidak mengacuhkan larangan Belanda untuk berdagang dengan Aceh dan membuat garam sendiri yang pada waktu itu Belanda telah memonopoli perdagangan dengan memasok garam dari Madura - dan rakyat di pesisir dilarang membuat garam sendiri.

Pada bulan Desember 1930 Komandan Militer Sumatera Barat De Rochemont membawa pasukan satu detasemen dari Padang ke Pariman dengan invantri, berjalan kaki selama sebelas jam, dan secara diam-diam  dapat menguasai Pariaman. Kemudian Resident Mac Gillavry menugaskan Asisten Residen Padang untuk mengambil alih pemerintahan di Pariman tersebut guna menghancurkan Tuangku Nan Cerdik itu.

Penyerangan ke Mangguang dimulai pada 12 Desember 1930, dengan memberangkatkan pasukan sebelum subuh yang terdiri dari 1.000 orang invantri, 50 orang marinir  dan pelaut-pelaut dari korvet “Pollux” bersama sejumlah besar pasukan pribumi  dengan membawa 3 buah meriam kecil dan 1 buah meriam besar.

Perjalanan dari pusat pemerintahannya di Pariaman dilakukan dengan menyisir pantai menuju utara dan dua buah kapal perang pun dikerahkan ke Naras (Mangguang). Sesampai di Manguang ternyata kota itu telah dikosongkan Bagindo Nan Cerdik.

Akhirnya Belanda tetap melanjutkan  perjalanan ke Naras dengan meninggalkan sepasukan di Mangguang untuk berjaga-jaga. Saat memasuki Naras pasukan Belanda mulai dibuat kucar-kacir oleh tembakan senjata dan meriam pasukan Tuangku Nan Cerdik. Belanda kewalahan, meriam-meriam belanda berbalik pulang ke Pariman.  Adalah kekecawaan pertama pasukan Belanda, meskipun meriam-meriam perang dari dua buah kapal yang telah sampai di laut muka Naras, turut “menggonggong” mengahantam kubu pertahanan Tuangku Nan Cerdik tersebut.

Pada 21 Desember diatur lagi strategi berikutnya dan dimulailah penyerangan balasan oleh Belanda. Kalau taktis ini kita namakan dengan ‘rencana B’, maka rencana B juga tidak berhasil. Ternyata Tuangku Nan Cerdik selama gencatan senjata telah menebar banyak ranjau dan semakin memperkuat benteng pertahanannya di Naras. Hal hasil Komandan Militer Belanda De Rochemont sebelum bertempur telah ketakutan dan menyuruh saja pasukannya untuk mundur. Komandan Militer Belanda, De Rochemont sebagai bekas pasukan Napoleon itu terpaksa meracik otaknya membuat ‘rencana C’.

Dalam bulan Mei 1831 rencana itu pun dilaksankan. Dibawah pimpinan  Michiels dengan sebuah ekspedidi kuat berhasrat kembali untuk menghancurkan Naras, tentu saja yang dicari adalah sang raja pesisir itu. Tanggal 7 Juni 1831 Naras dan VII Koto digempur habis-habisan oleh Belanda, sehingga lokasi untuk menempati meriam-meriamnya menghadap  ke Naras dan VII Koto dinamakan orang dengan dusun Meriam.

Meskipun Naras telah rata dengan tanah, namun dengan sebuah tipu muslihat Tuangku Nan Cerdik dengan pasukannya dapat meloloskan diri ke Bonjol. Belanda kesal, sakit hati, marah. Karena entah kemana rasa sakit hati akan dilepaskan akhirnya ‘rencana D’ perlu dipikirkan untuk membalas sakit hati karena telah dipermalukan oleh Tuangku Nan Cerdik lantaran yang dihancurkankan adalah kampung yang telah tidak berpenghuni itu.

Belanda mengambil cara yang licik. Akhirnya ibu, istri dan kedua putri Tuangku Nan Cerdik ditangkap. Istri dan ibu Tuangku Nan Cerdik dipenggal kepalanya oleh Belanda dan dibawa ke Pariman untuk dipertontonkan dikhalayak ramai, sedangkan seorang putrinya di bawa Ellout ke Padang untuk ‘dididik’-nya. Wallahu a’lam bissawab. Putri yang seorang lagi ditawan di rumah komandan militer di Pariaman.

Sejalan dengan penghinaan Belanda yang tidak berprikemanusiaan itu ‘rencana E’ pun dilancarkan. Ellout mengeluarkan sebuah sayembara, bahwa “barang siapa yang dapat menangkap Tuangku Nan Cerdik hidup-hidup akan mendapat hadiah 1.000 gulden; dan siapa yang hannya dapat menyerahkan kepala Tuangku Nan Cerdik akan memperoleh uang 500 gulden.

Tapi, toh sayembara itu tidak laku, tidak membuahkan hasil. Sekarang Gubernur Militer Sumatera Westkust mendapat giliran, hidup seperti kue ‘bika’, ditasnya bara di bawahnya api. Jabatan harus dipertaruhkan kembali kepada Gubernur Jenderal di Batavia seandainya Tuangku Nan Cerdik masih belum dapat dilumpuhkan. Alasan petinggi di Batavia sederhana saja, karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan pemerintahan kerajaan gara-gara seorang itu saja, belum lagi menghadapi pasukan Paderi yang dipimpin Tuangku Imam.

Dalam bulan Maret 1832 kedudukan Belanda di Utara mulai gawat. Momen ini dipergunakan oleh Tuangku Imam Bonjol yang dibantu Tuangku Muda membawa 4.000 orang pasukan bergerak menuju Tiku. Sedangkan Tuangku Nan Cerdik memimpin 3.000 pasukan. Pasukan Paderi yang bergerak dari Bonjol itu membuat pertahanan di Mangopoh.

Pihak Belanda harus mematangkan ‘Rencana E’ dan dilaksankan. Belanda mulai memerlukan kapten intel, yang terkenal dengan ‘spion-spion melayu’-nya.

Sekali lagi Petinggi Belanda di Padang memasukkan benaknya ke kilangan akal untuk mendapatkan setetes harapan lagi untuk melumpuhkan Tuangku Cerdik kalau tidak, tuan Gubernur Militer di Sumatera Barat itu akan memperoleh  seuntai kalimat  ‘penghargaan’, yaitu “Selamat Jalan” menuju tanah kelahiran. Holland masih setia menunggu kepulangannya.
‘Rencana E’ belum  hasilnya, target belum tercapai. Terpaksalah ‘rencana E’ dikembangkan menjadi ‘Rencana F’.

Sewaktu Tuangku Nan Cerdik memasuki VII Koto, Elout menyeret anak gadis kecil Tuangku Nan Cerdik ke hadapannya untuk dipampangkan kehadapan bapaknya sendiri yang telah siap menyerbu pasukan Belanda yang sedikit dalam keadaan ‘nervous’ itu. Dengan tiba-tiba pasukan Taungku Nan  Cerdik langsung mengundurkan diri dan lari meninggalkan medan pertempuran. Tentu saja ‘psywar’  yang diciptakan Kolonel Elout  ini telah membawa hasil gemilang di pihak Belanda.

Dengan berhasilnya ‘rencana F' inilah lumpuhnya perjuangan – ‘petak umpet’ – Tuangku Nan Cerdik terhadap Belanda. Adalah karena ‘si pengobat rindu-pelerai deman - si buah hati limpa berkurung’ telah menjadi pampasan perang. Demi anak ‘tidak kayu jenjang pun di keping”, demi anak apun diperbuat.

“Zonderlinge overwinning”, suatu kemenangan aneh buat Belanda. Akhirnya Tuangku Nan Cerdik pada bulan Agustus 1832 itu menyerahkan diri, karena tidak kuat menahan rindu kepada anak yang masih hidup dan ditawan orang ‘lanun’ dari negeri asing di seberang lautan luas itu. Beliau menyerahkan diri dan memohon untuk dapat berjumpa dengan anaknya yang sedang ditawan dan berjanji akan hidup bersama anaknya itu di Padang, tidak kembali lagi ke Mangguang dan Naras.
Sehingga dikemudian hari ‘borderline’, garis batas, antara daerah pesisir dan darek mulai terbuka bagi Belanda untuk mendesak jantung gerakan Paderi di pedalaman Luhak Agam terus ke utaranya, yaitu Bonjol.

Dalam keasyikanku melayang jauh ke masa lalu itu, yaitu setelah kami berpisah dengan Aisyah dan suaminya Datuak Rajo Pangulu di Simpang Pintu Koto . Kami berbelok ke kanan, ke arah Joho menuju Surau Koto Samiak. Dan persis selepas jembatan di Joho tiba-tiba Mak Sutan Nan Basikek, suaminya Etek Siti Anisyah memegang lenganku, seakan mengisyaratkan berhenti sejenak.
“Ambo ingin bertanya sesuatu padamu, apakah boleh ?”
“Boleh, Mak. Apa gerangan, Mak”,  aku masih terkaket karena baru saja disentakkannya dari lamunanku barusan.
 “Begini, sepertinya ada terjadi sesuatu diantara kalian tadi itu. Tetapi karena saya khawatir membuyarkan semangat kawan-kawan yang sedang latihan makanya saya tidak mendekati kalian,” jelas Mak Sikek kepadaku sambil kembali melangkah kembali melanjutkan perjalanan pulang.
“O, rupanya mamak, memperhatikan kami juga tadi itu ?,” jawabku mereda.

Aku raba dan akau usap-usap kepala Ramaya yang terkulai lelap dalam gendongan ayahnya itu.
“Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada mamak,” ulasku lagi.
“Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ?”
“Tidaklah, Mak ! Bagaimana pula saya akan bertandang di rumah mamak, sedangkan Maryam juga ada di sana. Tidak bagus dilihat orang, tentu akan menjadi fitnah pula nantinya, Mak.”
“O, ya!, Lalu...?,” tanya Mak Sikek lagi
“Ya, saya tetap tidur di Surau Inyiak, Mak,” jawabku.

Kemudian kami hanyut lagi dalam keheningan malam dalam perjalanan pulang. Maklumlah beralas kakipun tidak sehingga yang terdengar adalah bunyi telapak kaki pada saat menginjak jalan tanah dan becek yang ditingkah oleh suara kodok, caciang gilo yaitu cacaing berukuran besar di semak-semak di sepanjang sawah. Sudah separo jalan kami berlalu, kemudian Mak Sikek memulai angkat bicara lagi.
“Kalau malam ini aku tidur bersamamu di surau bagaimana, ya ?, sehingga sebelum tidur kamu dapat menceritakan kejadian itu padaku.”
“Kalau begitu tidak apalah, Mak.”
“Jadi sekarang kita antar mereka ini dulu bersama-sama ke rumah, setelah itu kita berbalik menuju suaru di Budi.”

Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri. (Bersambung)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023