Pasar di Minangkabau pada abad ke 18 |
Catatan Usang Seorang Juru Tulis
Rahasia sebuah Surat Rahasia (Bagain 1)
BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus mengerek telapak kaki orang yang sedang tidur, dengan cara mulai merombak sistem pemerintahan dan sistem moneternya di Minangkabau. Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837, perjanjian Pelakat Panjang disetujui tahun 1833 dilanggarnya. Sebagai kelanjutan atas Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang berisikan selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau, diantarnya menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain. Dipicu pula oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan Belanda mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya peperangan pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya ‘pajak langsung’ yang dikenal dengan ‘belasting’ dalam bentuk penyerahan langsung berupa uang yang dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti ‘Coffeestelstel’ - buah tangan Deandels dengan Nederlandshe Handels Maatshappij sebagai agen tunggalnya selama ini.
Besarnya ‘pajak langsung’ itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah-ladang dan termasuk luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya, sekalipun tanah ulayat, harta milik kaum.
“Peraturan untuk membayar ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.
“Dengar ya, Maryam ! Bahwa di tanah yang di ‘taruko’ (dipaculi), hasil cencang retas ninik moyang kita - yang dahulunya hanyalah hutan rimba, rawa, semak belukar sekarang harus pula kita membayar kepada sihudung anggang tersebut,” ketus si Juru Tulis dalam perbincangannya dengan Maryam di rumah istri Sutan Nan Basikek.
“Kalau begitu bisa hilang juga tanah milik ulayat kita nantinya, Kanda,” sela Maryam.
“Ya, tepat sekali ! Memang itu sasaran akhir dari sifat monopoli kekuasaannya, yang katanya, mereka sebagai penguasa negeri ini. Sebagai pemerintah, katanya,” jawab si Juru Tulis lebih meyakinkan Maryam. Maryam pun manggut-manggut seperti orang yang sedang menganalisa sebuah sebab dan akibat kejadian,
“Darimanakah, Kanda tau tentang itu ?”
“Dari tindakan Ulando hari demi hari saja telah menjelaskan kepada kita.”
Hukum adat Minangkabau dipandang Belanda sebagai kendala atau penghalang dalam pengambilalihan tanah oleh pemerintah. Karena tanah yang tidak bertuan sebetulnya tidak terdapat di Minangkabau ini.
Posisi hak ulayat atas tanah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tanah ulayat merupakan persoalan hidup dan mati bagi setiap kaum dan tanah ulayat nagari adalah lambang kebesaran dan aset anak nagari di Minangkabau. Akibatnya, upaya penyediaan tanah garapan menjadi terkendala bagi Belanda. Terkendala bagi kaum kapitalis yang berfikiran materialistis.
Berdasarkan hal tersebutlah, akhirnya memaksa pemerintahan Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1875, Nomor 199a yang berisikan ‘domeinverklaring’ itu, berupa pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari “dicaplok” menjadi milik negara. Di atas tanah-tanah itulah perkebunan liberal dilangsungkan di Minangkabau.
Munculnya Undang-Undang Agraria 1875 dengan domeinverklaring-nya, berarti penghapusan segala bentuk hak ulayat di Minangkabau, sama artinya menghapuskan hukum kewarisan dalam hukum adat , karena tanah ulayat melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat.
Kondisi ini diperparah lagi oleh kebijaksanaan Belanda di Minangkabau dengan banyaknya penghulu yang diangkat dan diberi ‘besluid’ oleh pemerintah Belanda. Kenapa tidak, orang-orang yang dikatagorikan sebagai ‘urang nan malakok’ (pendatang baru), tidak mempunyai hubungan genologis dalam status adatnya di dalam kaum di nagari itu oleh Belanda dibuka peluang untuk mengangkat penghulunya sendiri. Sehingga, mereka duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan orang yang memayunginya secara hukum adat dan sekaligus - yang telah memberinya tumpangan hidup. Malah statusnya pun di back-up oleh pemerintah (Belanda) asalkan dia patuh sebagai - ‘pesuruh’ - Belanda, seperti para Angku Suku, Angku Palo, Laras, Demang dan paling tidak sebagai Penghulu Nan Bapisuluik, yang telah dilegalkan oleh pemerintah Ulando dengan berbagai pengkondisian dan perekayasaannya, kesemuanya mendapat tunjangan dan gaji dari pemerintah.
Meskipun tidak semua yang diberi pangkat dan jabatan masih ada orang yang asli, tapi Ulando tetap mendasarinya kepada “kepatuhan” seseorang. Tujuannya adalah kukuhnya kekuasaan, pengerukan kekayaan rakyat, menghancurkan pola musyawarah dan munfakat rakyat, hidup timbang rasa dan kikis sistem hukum adat Minangkabau. Artinya, “Bareh diserakkan, pinggalan diacungkan” (beras ditebar, pentungan diacungkan), fasilitas pembangunan dilengkapi, tapi kedaulatan rakyat dikerdilkan, sehingga masyarakat tidak bisa melawan kesewenang - wenangan ninik mamak – boneka – Belanda semacam itu. Sebaliknya, meskipun dalam ‘ranji’ ninik mamak di setiap nagari tetap terberai, tetapi karena takut dengan ancaman pemerintah maka terpaksa didiamkan. Kesemuanya akan dinilai atas kekayaan dan keberadaan seseorang dan bukan lagi karena luasnya ilmu seseorang dan bukan pula atas ketawaqalan nya terhadap Tuhan.
Kebijakan ini bagaikan pedang bermata dua, ‘tidak ujung – pangkal pun mengena’, karena secara berangsur-angsur akan menipis dan hilangnya nilai-nilai - ‘raso jo pareso’ - sesama anak nagari nantinya, berkuah darah antara anggota satu kaum kelak pun bisa terjadi. Peluang konflik telah diciptakan dalam kerangka ‘devide ed impera’, karena ninik mamak akan berbuat semau-maunya disebabkan di dalam dirinya sudah tertanam paham sebagai penguasa dan bukan lagi sebagai seorang pemimpin.
Seseorang diukur dari sudut materialisme. Penghulu itu adalah pemimpinn, bukan penguasa. Karena itu sifat seorang penghulu di Minangkabau harus merujuk kepada sifat-sifat Rasulullah, Saw.
Begitulah upaya-upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menghilangkan status adat Minangkabau, tahap demi tahap, pelan tapi pasti.
“Maryam, benar juga apa yang disampaikan oleh guruku dahulu bahwa ‘jerat tidak akan lupa dengan burung balam, jerat serupa dengan jerami.’ Memang penjajahlah yang pertama sekali menjerat kita untuk meluluhlantahkan aturan dan kehidupan banagari,” kata Si Juru Tulis.
Kemudian, pada tahun 1901, permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda membutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit untuk memperkuat kedudukannya di Minangkabau, apalagi untuk menutupi biaya yang telah cukup besar dikeluarkan selama berlangsungnya ‘Perang Minangkabau’. Bayangkan saja, satu-satunya daerah yang didatangi langsung oleh seorang Gubernur General yang lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan sebutan ‘Tuan GeGe’ ke wilayah jajahannya di Nusantra ini dalam menumpas pemberontakan rakyat pada masa itu, hanyalah Minangkabau.
Toh, meskipun pada akhirnya peperangan itu hanya dapat dihentikan Belanda dengan siasat, tipu muslihat pula, karena Belanda sendiri mengakui bahwa orang-orang kita tangguh, “deden van ongelooflijken med”, sebuah tindakan berani yang luar biasa dengan penuh perhitungan (strategi). Dengan jalan berpura-pura ingin melakukan perundingan, Peto Syarif Tuangku Imam Bonjol disandera. Dan untuk kesekian kalinya pula hasil perundingan Pelakat Panjang itu pun mereka ingkari.
“Ulando itu kan memerintah di negeri kita ini, Kanda, tentu ada yang mendasari hingga sejauh itu tindakannya, baik terhadap kehidupan maupun terhadap adat dan agama kita ?” sela Maryam pula.
Mendengar pancingan Siti Maryam itu semakin timbul semangat si Juru Tulis dan semakin terungkap segala pengetahuan dan analisisnya selama ini.
“Maryam, semua tindak-tanduk, kebijakan Ulando di Minangkabau pada prinsipnya didasari oleh surat rahasia Tuan GeGe kepada Tuan Resident di Padang,” tegas Juru Tulis.
“Surat rahasia yang mana, Kanda ?,” Maryam sedikit terkaget.
“Maryam, pada tahun 1839, Tuan GeGe yang bernama Van den Bosch, menulis sebuah surat rahasia kepada Resident di Padang. Dan salinan surat rahasia itu telah berada di Inyiak Manan. Kemudian Inyiak Manan membahasnya bersama Mak Garang Datuak Palindih, Tuan Kari Mudo, Mak Datuak Rajo Pangulu, Inyiak Haji Musa, Inyiak Jabang. Kemudian hasil pembahsan itu kami kembangkan pula kepada beberapa ninik mamak dan cerdik pandai yang patut serta mungkin lainnya.”
“Sejak kapan Inyiak Manan menyimpan surat yang amat penting itu, Kanda ?”
“Itu tidak perlu kita bahas.”
“Siapa yang berbaik hati untuk membocorkan rahasia itu, Kanda ?”
“Itu tidak Penting. Tapi sudah pasti melalui tangan seseorang yang dipercayai Inyiak Manan sendiri,” Juru Tulis seperti merahasiakannya kepada Maryam siapa yang berperan sebagai penghubung antara mata air dan saluran air ke sawah. Sementara itu Maryam sedikit tersentak hatinya, agak curiga.
“Adakah sesuatu yang Kanda sembunyikan kepadaku ?” lentuh Maryam kepada Juru Tulis.
“Tidak, Maryam. Untuk apa saya sembunyikan kepadamu. Saya sungguh tidak tau kapan dan siapa yang telah membawa surat rahasia itu kepada Inyiak Manan.”
“Ada apa, kenapa kamu memikirkankan dan gigih tentang sumber surat itu, Maryam ?”
“Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saja.”
“Tapi, Maryam, yang pasti... salinan surat itu dari Pandeka Mukmin.”
“Apa ? Pandeka Mukmin ? Berarti belum lama ini ?,” Maryam terperanjat sambil menempelkan jari tangan kananya dibibir dalam keheranan.
“Ya ! Pandeka Mukmin, prajurid Ulando di Gaduang, di Bukittinggi. Memangnya kenapa, Maryam ?,” Si Juru Tulis pun heran dan ingin tau sebaliknya dari Maryam.
“Ya, karena dalam kurun waktu ini hanyalah saya yang pernah bertemu dengan Pandeka Mukmin. Disuruh Inyiak Manan, Kanda.”
Juru Tulis mengerinyitkan dahinya sebagai ekspresi dari berkecamuk pikirannya dalam kebisuan kata-kata. Jangan-jangan Maryamlah yang telah menjadi tukang pos antara Pandeka Mukmin dengan Inyiak Manan. Kalau memang begitu, kenapa aku tidak tau atau dikasih tau oleh Maryam atau Inyiak Manan sendiri ?
“Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya sepotong ranting buluh bambu.”
“Bagaimana ceritanya pertemuan kamu dengan Pandeka Mukmin, Maryam ?”
“Beberapa waktu lalau saya disuruh Inyiak Manan menemui Pandeka Mukmin ke Gaduang. Dan pandeka mukmin pura-pura membeli kue talam saya lalu menyelipkan sebuah ranting buluh bambu ke bawah daun di dalam talam kue saya itu.”
“Jadi kamu yang membawa benda keramat itu !,” Juru Tulis lebih memastikannya kepada Maryam.
Juru Tulis mulai menggerutu dalam hatinya ...rupanya memang dialah yang menjadi ‘tali bandar’, sebagai saluran tersier antara Pandeka Mukmin dan Inyiak Manan. Aku terkecoh !
“Benda Keramat bagaimana, Kanda ?,” Maryam agak kaget pula.
Si Juru Tulis tidak menjawabnya malah balik bertanya.
“Apakah kamu tidak tau isi dari ranting bambu kecil itu, Maryam ?”
“Tidak, Kanda.”
“O, begitu !,” Juru Tulis merespon dengan dingin, tapi hatinya merasa geli.
“Kenapa begitu, Kanda. Saya tidak berani mebuka benda itu, Kanda ! Karena saya kira benda itu adalah penangkal sesuatu atau semacam ajimat anti peluru, dan lagi amanah yang saya terima hanya menerima sesuatu dari Pandeka Mukmin dan memberikan kepada Inyiak Manan. Itu dalam penuh kerahasiaan dan tidak boleh jatuh ketangan orang lain.”
“Tepat sekali, Maryam, benda itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Tetapi ternyata Ulando itu dapat juga dikecoh oleh Pandeka Mukmin.”
“Memangnya, ada apa dengan benda itu. Apa hubungannya dengan Pandeka Mukmin dan Ulando, Kanda ?”
Untuk mengelabui Belanda apabila terjadi pemeriksaan dan kertas itu ditemukan maka disiasatilah oleh si punya ide. Surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam sepotong ranting buluh bambu sepanjang tiga sentimeter. Ranting bambu itu dililit dengan benang tujuh rupa dan ditempeli dengan kemenyan pada kedua ujungnya, sehingga menyerupai sebuah azimjat. Sudah pasti Belanda tidak akan memperdulikan benda yang berhubungan dengan ‘magic’.
“Benar, Maryam. Benda itu tidak ada hubungannya dengan ilmu kebatinan, tetapi isinya lebih berbahaya daripada sihir apapun.”
“Kenapa seperti itu, Kanda.”
“Betul kamu tidak membukanya, Maryam,” sekali lagi Juru Tulis mencari kepastian dari Siti Maryam, si buah hati yang lugu itu.
“Benar, Kanda. Bukankah sudah saya jelaskan tadi. Saya hanya memegang amanah sebagaimana yang diperintahkan saja Kanda. Apakah kanda tau isi benda itu ?”
“Untuk kamu ketahui, Maryam ! Bahwa benda yang kamu serahkan Kepada Inyiak Manan tersebut di dalamnya adalah sebuah surat rahasia yang ditulis prajurit Belanda si Hendrick itu. Surat itu dia dimasukkan ke dalam ranting bambu itu. Kamu sediri yang membawanya menyangka pula benda itu adalah sebuah azimat, bukan ?”
“Surat rahasia apa, Kanda ?”
“Ya ! Itu..., adalah surat rahasia dari ‘si hidung anggang’ yang berkulit pasi – putih pucat – itu. Tentu saja surat rahasia dari tuan GeGe Van den Bosch di Jawa kepada tuan resident di Padang yang saya maksudkan tadi."
“Saya tidak ada bertemu dengan prajurit Ulando yang bernama Hendrick, Kanda. Sungguh, saya berani bersumpah, Kanda ! Yang menyerahkan benda itu adalah Pandeka Mudo. Bukan Hendrick, Kanda !” Maryam sedikit cemas seakan dia telah menjalin hubungan gelap atau bermuka dua dengan pihak Belanda. Ya, begitulah tabiat seorang yang lugu.
“Ha, ha, ha...!, maksudmu Pandeka Mukmin ?”
“Iya, Kanda !”
“Ha, ha, ha...!, Pandeka Mudo, Pandeka Mukmin atau dipanggil orang juga dengan Pandeka Ulando..., adalah si Hendrick itu, Maryam! Hendrick Scouten nama lengkapnya.”
“Jadi..., yang menyerahkan benda berkemenyan itu adalah Hendrick. Hendrick adalah Pandeka Mukmin atau Pendeka Mudo, Pandeka Mudo adalah Hendrick, begitu Kanda ?,” Maryam bingung.
“Bukankah dia orang Kamang ini, Kanda ?” Tanya Maryam pula.
“Iya, dia sejak kecil sudah menjadi orang Kamang ini, Maryam.”
“Lalu, kenapa dia mau menjadi tentara Ulando, Kanda.”
“Akh..., itu panjang ceritanya, Maryam. Lain waktu akan saya kisahkan kepadamu siapa si Hendrick itu sesungguhnya. Biarlah menjadi bahan cerita menjelang tidur di malam pengantin kita nanti, Maryam. Ha..., ha..., ha...!”
“’Ah, Kanda...’ Maryam merungut mesra, menekurkan wajahnya tapi tidak mencubit atau menepuk si abangnya itu, seperti anak gadis sekarang ‘...ambo bersungguh sungguh, tapi kanda ‘bergurau’ pula !”
(bersambung ke Surat Rahasia 2)
No comments:
Post a Comment