Tuesday, December 28, 2010

Novel Bagian XI,Bagian 1

Hari-Hari Terakhir, Bagian XI
Bab I

KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang Mudiak).

Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama. Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula. 
Kebetulan pula, sewaktu aku kembali dari Padang Panjang akan melaporkan hasil perjalananku kepada Inyiak Manan, waktu itu mendapat suruhan menggantikan tugasnya Inyiak Manan sendiri. Aku mampir dahulu di rumah Kak Siti Aisyah, istri Mak Datuak Rajo Pangulu. Sepulang dari Rumah Kak Siti Aisyah -  menuju Surau Inyiak Manan, aku melewati rumah Etek Siti Anisyah, istrinya Mak Sikek. Sesampai di depan  ‘kaporo’ (gerbang)  rumah Etek Anisyah, kebetulan bertemu  dengan Etek Anisyah sendiri dan beliau  menyuruh saya mampir, tapi saya tetap berbasa-basi. Etek Anisyah tetap memaksa dan mengingatkan janji saya dengan suaminya Mak Sikek, bahwa aku akan mampir ke rumahnya sepulang dari Padang Panjang, maka terpaksa jugalah aku untuk naik, singgah dahulu ke rumahnya, sesuai dengan janji yang telah terkatakan.

“Assalamu’alaikum !,” sewaktu memasuki rumah, tetapi yang menjawab salamku masih Siti Anisyah yang mengiringiku sejak dari halaman rumahnya itu.
“Mana Mak Sikek, Tek?,”  tanyaku kepada Siti Anisyah.
“Tadi siang dia ke Salo, menjemput rudus yang sudah dipesan itu!,” jawabnya.
“Kalau begitu, nanti sajalah saya kembali ke sini, Tek !”
“Tunggu sajalah beliau sebentar disini. Tadi beliau juga berpesan, ‘seandainya kamu datang sebelum beliau kembali dari Salo maka kamu disuruhnya menunggu dulu di sini. Dan tidak lama lagi beliau akan datang !,”  kata Siti Anisyah menyampaikan pesan suaminya itu.

Sambil menunggu suaminya itu, aku duduk – duduk saja. Suasana rumah sangat berbeda dengan rumah Siti Aisyah. Bunyi telapak kaki Ramaya yang berlari-lari hilir mudik, sebentar-sebentar dia berlari, sebentar sebentar dia berpeluk dengan ibunya, Siti Anisyah. Buyung Ramaya lah yang menjadi pusat perhatian dan hiburan bagi ibu dan ayahnya. Bahkan aku yang sedang bertamu saja saat itu juga turut terhibur melihat anak yang  sedang lincah lincahnya itu.

Sesaat terbayang pula bagiku bagaimana nasib anak ini nantinya, kalau-kalau benar menjadi kenyataan apa yang telah menjadi kehawatirannya dan telah terlontar di mulutnya sendiri sewaktu kami latihan gabungan di belakang Surau Taluak beberpa waktu lalu. Kalau memang ibu dan ayahnya gugur sebagai Srikandi dan Arjuna dalam pertempuran kelak. Sambil menunggu Mak Sikek pulang dari Salo, saya coba juga menyelami hati dan fikiran Etek Anisyah.

“Jadi juga Etek turut berjuang menghadang Ulando itu nanti ?,”   tanyaku dengan pelan kepada Siti Anisyah.
“Menurut kamu ambo tidak sunguh - sungguh. Untuk apo ambo turut bermandi peluh berlatih, mempersiapkan diri dan menjalankan amanah bersama-sama Siti Aisyah dan Siti Maryam itu!,”  sanggah Etek Anisyah.
“Aku dan Aisyah bertugas sebagai tukang propaganda bagi kaum perempuan di kampung ini dan berupaya pula untuk terkumpulnya beberapa sumbangan guna membantu perjuangan ini dari masyarakat kita. Sedangkan Siti Maryam lebih sering mendapat tugas ke Mangopoh, Pariaman dan Pasaman. Walau bagaimanapun karena kami, Aisyah dan ambo sudah bersuami, tentu kami tidak sebebas Maryam lagi untuk bepergian,” jelas Siti Anisyah lagi kepadaku.

“Berarti nanti, kalau waktunya telah tiba dan peperangan tidak terelakkan lagi, tentunya Ramaya Etek tinggalakan ? Tidak ibakah Etek meninggalkan Ramaya nan sedang lincah - lincah ini dan sedang membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya ? Kalau-kalau dalam perang kita itu nanti Etek dan Mak Sikek selamat tidak apa-apalah, tapi kalau Allah, Swt mentakdirkan lain, bagaimana jadinya Ramaya sepeninggal ibunya, tidak terfikirkankah oleh Etek tentang itu ?,”  tanyaku pula, mencoba memancingnya.
“Kamu jangan lagi membuncahkan pikiranku, Juru Tulis !,”  bentak Anisyah.
“Kamu ini dubilih, setan atau jiin, yang mencoba menggoyahkan keimananku untuk melawan Ulando, si kapia itu!,” bentaknya lagi.

Tersimama (merah muka) juga mukaku jadinya.

“Nasib manusia, telah ditentukan oleh Allah, Buyuang. Hutang kita hanya menepati saja. Harta, benda, anak, istri, suami hanyalah perhiasan dunia. Dan yang saya harapkan adalah perhiasan Allah di akhirat nanti. Kamu harus ingat bahwa kunci bathin itu adalah ‘Illahi anta makshudi, waredhakamatlubi’, kepada Allah semata,” tukasnya lagi. Kamu jangan lagi membuai-buai perasaan etekmu ini Juru Tulis, meskipun seorang perempuan. Tapi hatiku telah beku untuk fi...sabilillah demi agamaku dan negeriku ini,” serapah etek Anisyah semakin menjadi jadi kepadaku.

Surut juga nyaliku ‘dilantiak ayam batino (ayam betina)’  itu. Ya..., terpaksalah aku mengurut dada saja. Terperangah juga saya jadinya. Dalam keadaan terengah setelah dibentak Etek Anisyah terdengarlah suara di  batu tapak-an.

“Assalamu’alaikum !”

Mendengar suara itu sudah dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah Mak Sikek, suaminya Etek Siti Anisyah.

“Wa’alaikum Salam !,”  jawab kami dari atas rumah.
“Sudah kembali kamu dari Padang Panjang ?,”  tanya Mak Sikek langsung padaku sambil mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.
“Sudah, Mak !,”  jawabku.
“Terbawakah yang Mamak jemput ke Salo itu ?,”  tanyaku pula.

Kemudian aku menjamba (mengambil) kain sarungku yang sengaja tadi saya letakkan diatas bandur jendela rumah itu. Kebiasaan menyangkutkan kain sarung kita di kusen jendela rumah tempat kita bertamu seperti itu, meskipun rumah saudara sendiri adalah suatau tanda kepada orang lewat di depan rumah bahwa kita sebagai tamu yang baik.

“Alhamdulillah, ada !, kelewang itu sudah saya surukkan di dalam kandang sebentar ini !,”  jawab Mak Sikek.
“Kalau begitu, berarti tadi itu terdengar pula oleh Mamak saya dihardik dan marahi Etek Anisyah sebentar ini, Mak ?,”  tanyaku lagi sambil tertawa geli kepada Mak Sikek. Akalku menjalar untuk mengembalikan nyaliku akibat tamparan kalimat istrinya yang seakan-akan saya mengadunya untuk berantam.
“Kenapa kamu dihardik oleh etekmu ?”
“Tadi saya menanyakan prihal, Ramaya ! Bagaimana dengan Ramaya nanti kalau etek turut pula berjuang bersama kita !,”  jelasku kepada Mak Sikek.
“Jelas dia marah kepadamu, kalau itu yang kamu tanyakan. Karena pertanyaanmu itu akan mengacaukan fikirannya, sedangkan hati dan fikirannya sudah kuat untuk meninggalkan dunia ini, demi memperjuangkan yang hak di jalan Allah, Swt,” kata Mak Sikek pula padaku.

Rupanya aku tidak mendapat pembelaan dari Mak Sikek. Akhirnya suasana itu kami lerai saja dengan tawa canda ria.

“Kalau begitu, Mak ! Saya tidak akan menguji mentalnya Etek lagi, nanti bisa melayang pula induk jari kakinya ke pangkal ketiakku. Dibelah pula katiak ambo nanti. Ha... ha... ha...!,” selorohku untuk menghilangkan ketegangan suasana  itu. Akhirnya saya, Mak Sikek dan juga Etek Anisyah sama-sama ketawa jadinya.

“Anisyah!’ Seru Mak Sikek pada istrinya ‘inilah perangai anak yang satu ini, pemudamu yang kamu bangga-banggakan itu’, sambil dia menunjuk kepadaku ‘dia pintar memancing amarah kita dan pintar pula membuat kita terpingkal-pingkal. Wajar saja tidak ada orang yang dendam padanya !,” kata Mak Sikek kepada istrinya itu.
“Betul, begitu perangainya, Tuan. Kadang kadang ulahnya menyengkelkan kita, karena dia pintar mencongkel rahasia kita, tapi kita tidak bisa benci sama dia, kita tetap sayang saja padanya. Wajar saja si Maryam terpedaya kepadanya !”
“Hop...!, jangan! Jangan pula Etek bongkar rahasiaku kepada Mak Sikek. Nanti bertambah lawan perang saya disore ini. Ha... ha... ha...!,” pintasku memotong komentar Etek Anisyah itu.

Dalam suasana senda gurau itu Mak Sikek bertanya kembali kepadaku.

“Sudahkah kau laporkan hasil perjalananmu ke Padang Panjang dan sekitarnya tadi itu kepada Inyiak Manan atau kepada yang lain ?”
“Belum, Mak!, tapi tadi saya sudah singgah ke rumah Mak Datuak Rajo Pangulu, ternyata beliau  tidak ada. Saya hanya ketemu dengan Kak Siti Aisyah. Lama juga saya di rumahnya itu karena ingin menunggu Mak Datuak. Dan kebetulan pula Kak Aisyah bercerita tentang suatu hal yang sangat rahasia tetapi ceritanya itu membuat jantungku gedebak-gedebur dan napasku agak sesak  juga mendengarnya.”
“Tentang masalah apa itu?!,”  Mak Sikek dan Etek Anisyah minta penjelasan lebih lanjut.
“Apakah Mamak dan Etek siap  mendengarkannya?,”  tanyaku pula.
“Memangnya ada kejadian apa dengan Aisyah?!,” desak mereka dengan cemas.
“Yaitu tentang kisahnya semalam penuh yang dia nikmati sepuas-puasnya dengan Mak Datuak, suaminya,”  jawabku.
“Akh!, kamu ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau membuka aibnya sendiri!,” kata Mak Sikek
“kalau mamak tidak percaya, ya sudah,” jawabku ketus
“Kalau begitu, pandai betul kamu memancing hasrat orang untuk terbawa arus olehmu,”  pancing Tek Anisyah pula.
“Tapi, kenapa Aisyah sendiri mau menceritakannya kepadamu, ya?,” tanyanya pula.
“Barangkali karena dia sangat merasa dekat dengan saya, Mak ! Saya sendiri juga sering mengeluhkan tentang nasibku sendiri padanya, Mak. Sama halnya bagaimana saya dengan Etek Anisyah ini!,”  jawabku
“Atau... Aisyah ini sedangmeninggal - ninggalkan perangai,” gerutu Mak sikek lagi sambil membuka peci hitam dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Maksudnya, dia sedang mendekati ajalnya, begitu maksud Mamak?!,”  desakku
“Bisa jadi begitu!, karena biasanya orang orang yang sedang dalam hitungan empat puluh hari atau tujuh hari sebelum dia meninggal dunia sering dia bertingkah yang tidak biasa dia lakukan sebelumnya atau bercerita tentang hal hal diluar dugaan, aneh-aneh!,”  jelas Mak Sikek
“Berarti Kak Aisyah akan gugur nantinya dalam pertempuran pada saat  mengahadapi Ulando itu ?  Tapi, Mamak jangan berprasangka seperti itulah, Mak ! Saya tidak mau kehilangan Kak Aisyah dan bahkan pejuang lainnya, termasuk Etek saya ini, Etek Anisyah, Mak !”  kataku dalam kecemasan.
“Iya !, kita memang tidak berprasangka dan bahkan saya pun berharap sama seperti harapanmu itu, tidak mau semua itu terjadi ! Tapi, ya…!, begitulah pada galibnya !,”  jawab Mak Sikek lagi.  
“Hei !, kalau mengenai apa yang dia lakukan dengan suaminya itu untuk apa kamu ceritakan kepada kami. Toh kami pun punya kisah pula !, tapi nasibmu sendiri bagaimana dengan Maryam ?,”  tukas Etek Anisyah memotong pembicaraan kami dan sekaligus meledekku.
“Mati kau !, kena batunya lagi kan ?,”  timpal Mak Sikek lagi kepadaku.
“Tapi, kadang-kadang kamu lucu juga, pandai membangkitkan suasana. Dengan caramu seperti itu kejumutan fikiran hilang juga jadinya. Ya, begitulah  perangaimu itu !,”  kata Mak Sikek pula padaku sambil tersipu-sipu.
“Sekarang begini sajalah, kamu simpanlah segala kisah dan segala peristiwa yang kamu dengar dan yang kamu saksikan dalam ‘keranda mutiaramu’, dan pada suatu saat nanti kamu tulislah pada kitabmu sepatah kalam-mu dan sekering dawatmu menuliskannya !,”  kata Etek Anisyah pula.
“Dan sekarang kita makan bersama dulu, dan saya akan ke dapur  untuk mempersiapkannya dan kamu belum boleh pergi, ya! ,” seru Etek Anisyah padaku.\

Sambil mengendong Ramaya  Etek Anisyah beranjak ke dapur, sementara kami dengan Mak Sikek tetap melanjutkan obrolan kami. Tanpa aku duga, dengan suara pelan dan sambil menghampiriku Mak Sikek pun betanya.
“Apakah selama ini pimpinan kita sudah menurunkan ilmunya kepadamu ?”
“Beberapa yang penting sudah, Mak,” jawabku dengan serius.
“Ilmu apa saja yang telah kamu dapatkan,”  desak Mak Sikek lagi.
“Diantaranya ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, ilmu tahan peluru, ilmu petunduk, dan sedikit ilmu pemanis, Mak!,”  jawabku dengan polos.
“Apakah itu saja !,”  desaknya lagi.
“Iya ! Memangnya kenapa, Mak ?”  kataku pula kepada Mak Sikek.
“Kalau ilmu-ilmu semacam itu sudah umum bagi anak muda, apalagi dalam suasana seperti sekarang ini. Kepada siapa saja sudah disebarkan oleh orang-orang pintar, termasuk dari Inyiak Manan sendiri. Bukan kepadamu saja diturunkan ilmu itu, bahkan kepada etekmu ini, kepada Aisyah atau pun kepada Maryam sekalipun !, tapi ada yang lebih khusus lagi, yang harus kamu miliki !,”  kata Mak Sikek pula.
“Tapi, Mak !, rasa-rasanya tidak ada artinya bagi hidup ini semua ilmu-ilmu itu. Sebab saya sangat yakin, walau bagaimana pun hebatnya ilmu itu kalau Allah, Swt berkehendak lain, toh manusia juga tidak dapat berbuat apa apa ! Suratan kita sudah jelas sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, Swt. Sewaktu roh menimpa jasad semasa masih di dalam rahim ibunya.  Saya hanya menyerah saja kepada Allah tentang apa yang akan dia timpakan kepada kita. Maka kita harus dengan ikhlas menerimanya, Mak !,”  jelasku kepada Mak Sikek dengan sejujurnya, karena akhirnya aku pun tidak bergantung dan bahkan tidak mempurganakan ilmu-ilmu tersebut dalam hidupku, tidak lain hanya sekedar untuk mengetahuinya saja.
“Kata-katamu itu memang benar, sayapun tidak akan membantahnya !, tapi yang satu itu sangat lain dan sangat perlu, apalagi kamu pada suatu saat nanti juga akan berkeluarga !,”  kata Mak Sikek lagi.

Karena saya malas untuk bersitegang urat leher dengan Mak Sikek, maka saya coba juga untuk memperturutkan desakannya itu.
“Ilmu apa itu kira-kira, Mak ?,”  tanyaku pula.

Dengan penuh semangat dan dengan matanya yang sedikit terbulalak menerangkan kepadaku tentang khasiat ilmu yang satu itu.

“Ilmu itu gunanya untuk menjaga istri kita, supaya orang yang berniat curang dan jahat di belakang kita tidak berani mencoba menidurinya, kalaupun dia paksakan juga akhirnya ‘kemaluan’-nya itu tidak akan berfungsi lagi selama-lamanya. Tidak akan bisa dipergunakannya lagi sampai dia mati, kecuali hanya untuk terkencing saja ! Cobalah kamu ambil selembar rambutmu itu lalu kamu bakar, kira-kira seperti itulah bentuk ‘kemaluan’-nya itu nantinya, setelah dia meniduri istri kita itu !,”  terang Mak Sikek padaku.

Mendengar penjelasan Mak Sikek itu, akhirnya saya bersemangat pula jadinya.

“Sudah ada buktinya, Mak ?,” tanyaku pula
“Kalau buktinya yang kamu tanyakan, bagaimana caranya membuktikan, kalaupun sudah ada yang teraniaya seperti itu siapa pula yang mau mengakuinya. Kan ‘mancabiak baju di dado’ juga jadinya,” jelas Mak Sikek pula.
“Panjangkah bacaan do’anya, Mak ?, dan kepada siapa saya dapat menuntut ilmu itu ?,”  desakku dengan antusias pula kepada Mak Sikek.
“Itu kan ?!, makanya jangan terburu-buru dulu untuk mengatakan tidak. Kan sudah ada pepatah yang mengatakan ‘jika manis jangan terburu-buru menelannya, dan jika pahit jangan terburu-buru pula memuntahkannya’. Ilmu batin itu bukankah juga merupakan do’a-do’a kita kepada Tuhan !  Nah, ternyata sekarang kamu bersemangat pula untuk memilikinya bukan ? He, he, he…!,”  ledek Mak Sikek lagi kepadaku sambil terkekeh-kekeh.

Agak malu juga aku jadinya karena kecongkakanku sebelumnya, sehingga akupun diledek oleh Mak Sikek. Tapi aku memang merasa perlu akan ilmu itu.

“Begini!, ada suatu jalan yang aku tunjukkan padamu. Seandainya pemimpin kita tidak berkesempatan lagi mengasihkan ilmu itu kepadamu, karena tidak ada lagi waktu yang senggang, maka janganlah gusar, karena ilmu itu pun telah sampai kepada Etek Siti di Mangopoh. Pada suatu kali nanti cobahlah kamu telusuri ke sana. Kamu tuntut lah ilmu itu kembali kepada Etek Siti Mangopoh itu !”.

Dalam merenung, menyimak penjelasan Mak Sikek itu, terbayang olehku ‘barangkali inilah sebabnya kenapa pemimpin perlawanan ini dan para kaum laki-laki tidak menyangsikan untuk meninggalkan para istri mereka kelak. Bahkan untuk beberapa orang suami rela pula melepas istri-istrinya untuk berjuang mempertaruhkan nyawanya. Mereka percaya bahwa anaknya tidak akan berbapak tiri dan para ibu-ibu atau pun para gadis tidak khawatir pula mahkotanya akan dirampas oleh cecunguk-cecunguk Ulando itu nantinya. Agaknya pula, Maryam sang kekasihku juga telah menimba ilmu ini dari pemimpin perlawanan ini atau dari Etek Siti Mangopoh sendiri, karena dia sering menemuinya dalam mengkonsolidasikan perjuangn ini. Tapi, kenapa Maryam tidak pernah berterus terang padaku tentang satu hal ini, ya ?! Bisik hatiku lagi. Akhirnya aku dikagetkan dari lamunan itu dengan suara Mak Sikek lagi.

“Persoalan yang satu inilah sebetulnya yang ingin aku bicarakan denganmu !, makanya saya suruh kamu untuk mampir hari ini dan malah saya pesankan pula kepada etekmu ini tadi pagi, sebelum aku berangkat ke Salo itu,”  kata Mak Sikek.

Dalam pada itu istri Mak Sikek pun telah menghidangkan nasi yang asapnya sedang mengebul-ngebul. Maka kamipun segera menikmatinya, namun tidak sepatah katapun diantara kami ada yang keluar, keculai Etek Anisyah dan Mak Sikek sesekali mencuri pandang, seakan-akan mereka berbicara dalam bahasa isyarat. Entah apa arti dan maksudnya sampai sekarang pun saya tidak bisa menebaknya.

Makan di rumah Etek Siti Anisyah sore itu terasa nikmat sekali, karena sebelumnya kami terlibat dalam pembicaraan yang penuh arti, meskipun kadang kala dalam suasana berseloroh. Atau mungkin juga lantaran udara terasa dingin karena hujan di sore itu telah turun pula. Dan yang pasti saat itulah aku makan terakhir kalinya di rumah Etek Anisyah sekeluarga. (bersambung ke Bab II)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023