Sunday, January 09, 2011

Novel Bagian XI,Bagian 2


Hari-Hari Terakhir, Bab 2

Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam  keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an.  Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.





Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut.
Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain adalah semacam kekayaan khasanah saja.

Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itu dia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-mana membuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan selera untuk menyantapnya.

Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu a’lam akan turut berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi ‘cermin’  bagi masyarakat.

“Ambo mau bertanya pada awak tentang satu hal,” katanya kepada istrinya.
“Apa yang ingin Tuan tanyakan pada ambo?,”  jawab istrinya.
“Kenapa awak mengikhlaskan ambo untuk turut berjuang menentang Ulando bersama pejuang anti belasting lainnya itu, apa alasan awak yang sesungguhnya?,”  tanya sahabatku itu lagi kepada istrinya.
“O, itu yang mau Tuan tanyakan pada ambo?,” istrinya balik bertanya.
“Hal ini adalah sebuah pertanyaan penting bagi ambo sebagai salah seorang anggota pasukan Inyiak Manan, dan pertanyaan ini harus awak jawab dengan sunguh-sunguh!”
“Begini, Tuan! Ambo lihat pemimpin kita yang bertiga itu, yaitu Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Tuan Kari Mudo itu adalah gambaran pemimpin di Minangkabau. Mereka benar-benar Tali Tigo Sapilin.
Inyiak Haji Abdul Manan, Tuan Kari Mudo dan Mak Datuak Rajo Pangulu tidak seorang pun yang dapat dikatakan mana yang pemimpin utama dari mereka, sebab beliau bertiga itu berfungsi pada posisinya masing- masing dalam satu tekad dan satu tujuan yang sama. Seperti yang awak pahami, Inyiak Manan adalah seorang Ulama, Mak Datuak Rajo Pangulu sebagai Ninik Mamak. Sedangkan Tuan Kari Mudo adalah seorang cerdik pandai, karena dia seorang berilmu, berfaham tapi tidak seorang penghulu dan juga tidak sebagai seorang ulama. Sementara pemimpin yang diinginkan oleh penjajah itu adalah pemimpin tunggal, yaitu pimpinan yang berada pada satu tangan saja. Dia mengatur segala-galanya. Jika bertampuk dia seorang yang memegang, jika bertangkai dia seorang menggenggamnya. Itulah dia seperti Angku Palo, Angku Lareh hasil perbuatan Ulando itu. Bukankah begitu, Tuan?” tanya istrinya kepada sahabatku itu, mempertegas penyampaiannya.
“Ya! Tepat sekali!, lalu dari mana kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu?”

Sahabatku itu tercengang mendengar penjelasan istrinya itu, meskipun hakikat pertanyaan yang dituntutnya belum terjawab oleh istrinya itu.

“Dari Maryam, Tuan. Ambo kan sering berjalan  dengannya di kampung ini. Maka sepanjang perjalanan itu sering kami bertukar pikiran tentang banyak hal,” jelas istrinya.
“Nah, suatu hal lagi. Kak Siti Aisyah dan suaminya Mak Datuak Rajo Pangulu akan langsung turut berperang, Siti Maryam juga demikian dan Etek Siti Anisyah sudah mengikhlaskan pula dirinya bersama suaminya untuk meninggalkan anaknya Ramaya yang masih kecil  kalau dia gagal dalam peperangan itu nanti. Dan kalau ambo mempunyai kemampuan dan kepintaran berperang seperti mereka itu tentunya ambo akan turut pula ke medan lagi itu. Makanya ambo hanya mengikhlaskan Tuan untuk turut dalam perjuangan suci itu,” tambah istrinya lagi menjawab tuntutan suaminya itu.
“Meskipun nanti Tuan - junjungan jiwa dan badan ambo – gugur dalam pertempuran itu tentu ambo akan hidup sendirian, sebab tidak ada lagi orang sebagai sandaran jiwa dan badan, tidak ada lagi orang sebagai curahan kasih dan sayang. Maka tidak obahnya ibarat pantun orang juga Tuan,” sambung istrinya:

‘Nan karimbo rasak nan banyak
 Nan tumbuah di kaki Singgalang.
 Nan kalawan galak nan ka kabanyak
 Nan kok rusuah ka ambo surang’.”


(Kerimba rasak [kayu] yang banyak
yang tumbuh di kaki [gunung] Singgalang.
Untuk ketawa kawan yang banyak
yang rusuh [risau] aku seorang)


“Kenapa awak tidak punya alasan lain dan berbicara tentang masalah  yang lain, seperti kalau perlawanan ini kita menangkan maka si kafir itu tidak akan jadi menjajah kita. Seluruh rakyat akan betul-betul menikmati kemerdekaannya, mereka akan menikmati hasil buminya sendiri secara bulat dan utuh,”  sanggah sahabatku itu lagi kepada istrinya, menirukan kembali ucapannya kepadaku.
“Tentu saja, Tuan-ku...!”
“Kan dalam perang itu kita dihadapkan pada dua pilihan saja. Hidup atau mati!”
“Maka, lebih baik kita bicarakan dulu sesuatu kepahitan yang akan kita tempuh nantinya.”
“Seandainya, Allah Swt mentakdirkan, dalam pertempuran itulah ajal kita sampai, Malaikat Izrail mencabut nyawa kita yang tersebabkan oleh peluru mesiunya pasukan Ulando itu, maka tamatlah semua perjalanan hidup kita. Di akhiratlah tempat kita bertemu kembali!. Iya, kan Tuan?!,” kata istrinya, yang ditirukan sahabatku itu sambil menghirup kopi pada cawan porsolen buatan cina yang bermotif kembang sepatu itu. Menirukan jawaban istrinya itu, tersedak kerongkongannya sewaktu menelan kopi pahit itu dan buru-buru menyanggah pernyataan istrinya.
“Nah, kenapa kamu tersedak,” kataku kaget padanya.
“Ya, karena dia bicara soal kematian, kawanku, Juru Tulis,” katanya padaku
“Memangnya kenapa, kematian adalah ketentuan, mutlak hukumnya bagi setiap yang bernyawa, bukankah begitu?,” jawabku pula
“Ya, memang!,” jawabnya pintas
“Nah, apa lagi dalam sebuah peperangan. Sudah jelas tantangannya ‘hidup atau mati’, seperti yang dikatakan istrimu itu” Kataku padanya
“Terus, bagaimana lagi kelanjutan cekrama kalian, kemarin itu?” Pancingku lagi
“Ya, apa yang akan kita risaukan Tuan, kalau memang kita ditakdirkan meninggal dalam pertempuran itu ‘si buyung tak ada yang akan menangis, si upik pun tak ada yang akan meratapi kita’!”  Kata istriku lagi.
Sekilas aku menangkap terjadi perubahan sinar wajah dan sedikit matanya berlinag menyertai geleng-geleng kepalanya sambil meletakkan kembali cawan kopi ke tatakannya seakan dia mengeluhkan tingkah istrinya itu.
“’Kemudian istriku itu masuk kedalam kamar, meninggalkanku sendirian di tengah rumah yang sedang menikmati rokok yang asapnya mengepul-ngepul,” ulasnya padaku
“Maklumlah sajalah kamu, sepasang suami-istri itu belum diamanahkan oleh Allah, Swt. seorang keturunan pun, dan kamu juga tau bukan bahwa istriku ini adalah perempuan semata wayang pula oleh keluarganya, meskipun dia punya kakak dan adik tetapi laki-laki semua. Sehingga rumah kami ini terasa sunyi dari suara anak anak,” sambungnya lagi

“Tau-ataunya,” katanya lagi kepadaku dengan mendongakkan sedikit kepala dengan wajahnya  berseri,  “ istriku keluar dari kamarnya dan bertanya padaku.”
“Taukah kamu apa yang terjadi selanjutnya?” Tanya dia pula padaku.
“Ya, apa?” akau balik bertanya padanya
“Tau-taunya, istriku keluar dari kamarnya dengan  membawa tiga potong baju yang sudah lama tersimpan di lemari ke hadapanku yang diringi pertanyaanya...’Tuan, manakah yang bagus kebaya ini untuk ambo pakai sekarang?’,” tanya dia kepadaku sambil memperlihatkan tiga helai kebaya panjang yang masih dalam keadaan terlipat. Tentu saja saya terperanjat, “Juru Tulis !,” katanya padaku. Akupun tak berkedip mendengarkan ucapannya yang diiringi semangatnya yang mulai berapi-api.

“Baju apa maksudmu, kawan?,” tanyaku dengan penuh antusias
“Satu lembar kebaya itu adalah kebaya kurung yang sedikit saja tekukan gunting di bahagian lehernya, seperti huruf. V (ve), sedangkan dua lembar lagi adalah kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya,” jelasnya.

Biasanya kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya itu mempergunakan peniti yang berderet ke bawah untuk mengenakannya di badan. Dan biasanya pula kebaya tersebut dipergunakan untuk menghadiri jamuan atau perhelatan sering penitinya berupa rupiah emas Amerika.

Rupiah emas merupakan jenis mata uang Amerika yang terbuat dari emas 24 karat beratnya berkisar 7,5 gram. Rupiah emas ini ada berupa rupiah emas polos, ada pula yang dijadikan mainan lontin dan sering juga dikasih peniti emas di tengah-tengah untuk disematkan di baju kurung perempuan Minang. Kaum perempuang Minang menjadikan rupiah emas Amerika ini sebagai simbol atas keberadaannya. Dan sering pula dijadikan sejenis tabungan karena harganya selalu naik bila dibandingkan nilai uang.

“Memangnya awak mau kemana?, siapa yang berhelat?,”  tanyaku penuh heran saat itu.
“Tidak kemana-mana Tuan!, tidak ada pula orang yang berhelat sekarang ini! Cuma ambo ingin sekali memakai salah satu diantara kebaya yang saya sukai ini. Setelah mandi sore nanti ambo akan berdiam diri saja di rumah bersama Tuan, ambo akan memakai salah satu dari kebaya kebaya ini, hasil pilihan Tuan. Tuan tidak kemana-mana bukan?!,” tukasnya lagi
“Ya, ambo memang tidak ke mana-mana, ambo saat ini ingin beristirahat dulu di rumah! Kalau begitu kenapa awak akan memakai kebaya, sedangkan kita di rumah saja?,”  tanyaku lagi menyambung jawabannya itu.
“Entah kapan lagi rasanya ambo akan memakai kebaya pembelian Tuan ini,” jawabnya
“Sebetulnya bukan Aisyah saja yang berprilaku sedemiakian, baik laki-laki maupun perempuan pada pekan-pekan ini, berusaha menggembirakan hatinya masing-masing dengan mengenakan pakaian bagus-bagus setiap harinya. Karena mereka sudah siap berhadapan dengan ‘maut’. Dan kalau memang kematian menjadi kenyataan, kapan lagi akan mengenakan pakaian yang bagus-bagus itu. Itulah anggapan rmereka yang sudah siap untuk berperang belawan Ulando nantinya,” komentarku pula, mencoba menghibur sahabatku itu.
”Tapi bukan sebegitu saja, Juru Tulis, dia, istriku itu melontarkan kata-kata pula ’Tuan, semakin hari perasaan ini semakin tidak enak. Rasa-rasanya akan ada sesuatu yang akan terjadi pada kita, Tuan! Maka, izinkanlah ambo memakai kebaya ini pada malam ini, dan tolonglah Tuan pilihkan yang mana akan ambo kenakan nanti. Ada-ada saja perangai istruku itu,” Sambil gelelng-geleng kepala dia mengkisahkan tingkah istrinya
”Lalau kamu pilihkan?,” aku semakin ingin tau akan cerita yang semakin mengasikkan itu.
”Begini, Juru Tulis, ambo katakan sama dia ’masak ambo yang disuruh memilih, sedangkan yang akan memakainya adalah awak sendiri!,” kataku padanya, tahukah kamu jawabannya Juru Tulis?
”Ya, tidaklah kawan, dari mana pulaku tau! Kamu ini ada-ada saja.”

Sambil setengah berbisik dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku dia kembali menirukan kalimat istrinya.

“Iyalah, Tuan!, kan yang melihat bagus atau tidaknya tentu orang yang memandang. Sedangkan orang yang akan menikmati atau merasakan keindahan itu adalah Tuan sendiri!  Katanya lagi padaku”.

Kawanku semain berbinar. Aku pun mulai tersimpul-simpul pula melihat gaya sahabatku meragakan gaya istrinya yang bermanja dengannya tentang selembar kebaya.

“O, ya… ya!. Terserah awak sajalah mana yang lebih pantas untuk awak kenakan. Ambo menyukai ketiganya. Jadi ambo tak dapat membedakannya. Mana yang awak kenakan itulah yang terbagus!”
“Betulkah begitu, Tuan?”
“Iya, betul begitu!”

Tanpa disadari kami yang sedang berleha-leha diberanda depan rumahnya itu kami dipergok oleh istrinya.

”Apa mempergunjangkan awak pula Tuan-tuan, ya?!”
”Tidak, tidak! Siapa yang mempergunjingkan kamu sepagi ini,” jawabku agak gagap. Rupanya selentingan menjelang di menjumpai kami di beranda itu dia sudah mendengar senda gurau kami itu.
”Ke dapur saja lah awak atau pergilah mencuci ke pancuran biarlah kami maota-maota (ngobrol)saja disini!,” timpal sumainya, kawanku itu.
”Iya pula yang disampikan suamimu ini, biarlah kami angsur-angsur juga mncicipi ketan dan kalio masakan kamu ini,” kataku pula.
”Iya, dihabiskan itu ketannya itu Tuan!,” serunya pula kepadaku
”Iya, terimakasih. Siapa pula yang tidak mau menghabiskan makanan yang seenak ini!,” sanjungan pula padanya.

Istrinya itu berlalu dari hadapan kami, seperti berkemas-kemas membersihkan kamarnya dan memisahkan kain-kain yang akan dicuci pancuran, tepian umum di kampung itu.

Setelah mandi dan Shalat Ashar, mereka hanya mengaso saja di rumah dan menjelang Shalat Magrib mereka makan bersama, tapi Aisyah ternyata tidak mengenakan kebaya yang dia perlihatkan siang tadi pada suaminya. Sehingga sewaktu makan sore, bertanya tanya sendirian sajalah Dt. Rajo Pangulu dalam hati. Mau ditanyakan langsung kepada Aisyah kenapa tidak jadi dia mengenakan kebaya itu agak ragu pula. Masih dalam suasana sedemikian Aisyah berkata pada suaminya.

“Tuan, kali ini ambo tidak Shalat Maghrib di Surau, ya! Tuan sajalah yang pergi ke Surau. Tapi Shalat Isya nanti kita berjamah saja di rumah. Tidak apa bukan?,”  kata Aisyah pada suaminya dengan sedikit bergaya memanjakan diri.
“Ya, tidak apalah!,”  jawab suaminya dengan singkat.
Sepulang dari Surau, Dt. Rajo Pangulu mendapati istrinya sudah mengenakan baju kebaya dengan sedikit polesan berhias diri. Ternyata kebaya panjang yang dikenakan Siti Aisyah adalah yang berbelah di tengah dan dilihatnya peniti yang terbuat dari rupiah emas telah berderat pula dari atas sampai ke bawah, setentangan pusatnya. Peniti-peniti dari rupiah emas itu mempertemukan kedua ujung kebaya tersebut.

Semerbak bau kasturi pun terlintas meransang penciuman Dt. Rajo Pangulu. Sehingga suami Siti Aisyah ini semakin terheran - heran melihat tingkah isterinya semenjak pagi tadi, yang terlihat agak aneh-aneh, tidak seperti biasanya.

Dt. Rajo Pangulu duduk di tengah rumah selesai dia bersalin di kamarnya, Siti Aisyah menghidangkan secangkir minuman khas waktu itu, yaitu aia kawa, bercampur santan, madu dan sedikit irisan jahe merah yang masih hangat. Aia kawa adalah air seduhan daun kopi arabica atau robusta yang telah tua dan dikeringkan dengan cara mendiangkan (diasap) dengan cara menusuk daun-daun kopi yang telah tua itu dengan lidi lalu digantungkan di atas tungku kayu. Setelah daun itu kering dan berwarna coklat lalu diremukkkan bagaikan teh. Serbuk inilah yang diseduh dengan air panas dalam tabung bambu hingga dingin airnya. Tabung bambu itu dikenal juga dengan nama ‘katiang’.

“Minuman apa ini yang awak bikin?,”  tanya Dt. Rajo Pangulu
“Santan dan aia kawa, Tuan!”
“Eh, biasanya kan pada pagi hari minuman  ini awak buatkan untuk ambo, kenapa sekarang, pada malam hari awak buatkan?,”  tanya suaminya lagi.
“Iya, Tuan!, tadi ambo lupa membuatkannya, maka sekarang saja ambo bikinkan!’”
‘Kalau Tuan tidak suka, ya tidak apa-apa, biarlah ambo buang kembali!,”   jawab Aisyah dengan sedikit merajuk, takut kalau suaminya tidak mau meminum minuman yang berkhasiat itu.
“O, o…! Tidak, tidak Aisyah! Ambo kan cuma bertanya saja pada awak. Kalau sudah dibuatkan ini ya..., untuk apa dibuang. Kan mubazir kalau dibuang. Diminum juga tidak ada salahnya!,”  jawab suaminya yang takut istrinya akan kecewa karena dia sudah cape-cape membikinkannya.
“Tapi, kenapa berbusa airnya, Aisyah?,”  tanya Dt. Rajo Pangulu lagi.
“Tentu saja berbusa, Tuan! Kan minuman itu juga ambo campur pula dengan kocokan kuning telor itik,”  jawab Aisyah dengan malu-malu kucing.
“Aaaa..., agak panas pula kerongkongan ambo dan menyengat ke hidung!, rasa apa pula itu Aisyah?!,”  kata Dt. Rajo Pangulu pula.
”Akh, Tuan!, masak segala ditanya, tentu saja agak panas dan menyengat rasnya Tuan. Kan ambo kasih pula air parutan sipadeh siarah dan sedikit merica, kayu manis, Tuan!,” jawab Aisyah dengan tersipu-sipu malu kepada suaminya.

Dt. Rajo Pangulu pun tertawa tawa kecil melihat tingkah istrinya itu, dan Siti Aisyah pun tertawa geli juga karena malu seakan-akan niatnya yang terselubung tertebak oleh suaminya. Sehingga dalam suasana saling tertawa itu mereka tanpa sadar telah ber-‘endek endek’-an pula. Endek-endekaan adalah senggol senggolan dengan bahu kanan dan bahu kiri pasangan.

Sehabis minum santan-aia kawa yang ditambah telor itik dan ramuam rempah-rembah tradisional tersebut dari kejauhan terdengarlah bunyi beduk berirama menandakan waktu Shalat Isaya sudah tiba. Maka Dt. Rajo Pangulu pun berkumur kumur dengan air putih dan berdiri untuk mengambil wudhuk ke belakang. Siti Aisyah pun bergegas pula untuk berwudhu karena mereka akan melaksankan Shalat Isya berjamah.

Selesai Shalat, Siti Aisyah mengemas mukena dan dua buah sajadah yang terbentang, kemudian masuk ke kamarnya. Dan Dt. Rajo Pangulu duduk kembali bersandar di dinding rumah persis menghadap kearah kamarnya sambil mempelintir sebatang rokok yang terbuat dari daun nipah yang digulung dengan tembakau dari Nagari Guntuang di Luhak Limo Puluah Koto. Sesaat kemudian Siti Aisyah muncul kembali di pintu kamar dan langsung berhadapan dengan suaminya yang sedang mengkulum asap rokok.

“Tuan, bagaimana menurut Tuan pakaian kebaya yang ambo kenakan ini?,”  anya Aisyah.
“O, bagus!, ambo suka dengan pakaian yang awak kenakan itu. Cocok sekali dengan paras awak!,” jawab Dt. Rajo Pangulu memuji kecantikan istrinya itu.

Kalau mengenai kecantikan Siti Aisyah, apa yang hendak dikata. Belanda saja sering mengeluhkannya. Kontroler Westenenck sendiri mengakui akan kemolekan istri Dt. Rajo Pangulu itu, sehingga Westenenck sangat heran kenapa wanita muda yang secantik itu mau mensucikan dirinya dan mau mati syahid dalam berperang.

Lalu Aisyah menghampiri suaminya, dan duduk di sebalah kiri suaminya.
“Taukah Tuan apa maksud ambo berpakaian seperti ini pada malam ini?”
“Memangnya mengapa?,” tanya suaminya pula.
“Malam ini sepertinya malam terakhir bagi kita untuk bersama di rumah kita ini, Tuan!”
“Ya, barangkali firasat kita sama, Aisyah! Perang sudah diambang pintu. Belum taulah bagaimana nasib kita selanjutnya. Cuma saja ambo tidak  memperlihatkan kegundahan ambo itu kepada awak atau pun kepada orang lain. Ambo khawatir nantinya akan melemahkan semangat perjuangan kita,”  jawab Dt. Rajo Pangulu.
“Makanya ambo sangat menginginkan tiada tersisa dan terbuang waktu semalam ini bagi kita. Ambo tidak mau malam ini waktu kita terbagi kepada yang lain, Tuan!,”  tukas Aisyah pula.

Dt. Rajo Pangulu berdiri, berjalan kearah kamarnya, dan menggantung kan peci hitam berlilitkan kerutan kain sutra hitam yang dikenakannya itu di sisi samping pintu kamarnya. Sambil berdiri itu Dt. Rajo Pangulu pun bertanya kembali kepada isterinya.

“Kenapa awak pakai peniti rupiah itu semuanya ? Kalau sempat terlihat orang bisa bikin susuah juga nantinya!”

Sambil berdiri dan menyusul ke tempat suaminya berdiri itu, Aisyah mencoba menjawab tanya sumainya itu.

“Karena ambo ingin segala perhisan ambo ini, hanya Tuan yang mengumpulkan dan menggenggamnya dengan erat,”  jawab Aisyah.

Maklumlah, Dt. Rajo Pangulu adalah seorang ninik mamak yang sangat paham dengan maksud kata malereng dari isterinya itu, apalagi semenjak dari siang tadi kurenah isterinya pun sudah menunjukkan ada sesuatu hasrat yang harus ditunaikannya.

Bagi Dt. Rajo Pangulu sendiri rasa hangat telah mulai menjalar naik di sela-sela tulang punggungnya menuju pundak dan  kepalanya, dari kepala pun sudah menyebar ke seluruh tubuh, otot-ototnya sudah mulai mengencang. Apakah karena pengaruh ramuan minuman yang dibuatkan isterinya tadi atau karena mendengar resah suara yang melirih dari istrinya itu. Atau mungkin juga karena sudah ‘serentak niat dan takbir’ untuk menunaikan nafkah bathin.

Dt. Rajo Pangulu berbalik dan melangkah untuk mendekati istrinya, dan mencoba untuk memagang pundak istrinya yang terlihat sudah mulai agak kaku itu untuk dirangkul dan didekapnya. Dalam dekapan yang penuh kehangatan itulah dada Dt. Rajo Pangulu merasakan sesuatu yang hanya dibatas oleh selembar kain kebaya yang lembut dan tipis itu.

Tapi Aisyah seakan meronta dengan gerakan-gerakan kecil yang lambat, seakan dia ingin melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya itu. Ternyata gerakan kecil Siti Aisyah itu semakin membubungkan darah Dt. Rajo Pangulu, sehingga dia semakin mengeratkan rangkulannya.

“Aisyah, apakah maunya awak juga ambo yang akan membuka satu persatu peniti rupiah yang menyemat baja awak ini?,” tanya suaminya dengan suara setengah berbisik sambil merenggangkan rangkulannya pada Aisyah.
“Rupanya Tuan sangat arif sekali, tapi kenapa dari tadi siang Tuan seolah tidak mengerti apa sebenarnya yang ambo maksud dan inginkan?,”  kata Aisyah pula yang saat itu tangan kirinya diletakkannya di bidang dada suaminya sebelah kanan, sedangakan jari telunjuk dan jari malangnya tangan kanannya mencoba untuk masuk disela-sela kancing baju ‘ganiah’  bergunting teluk belanga yang dikenakan Dt. Rajo Pangulu untuk mengukir dada suaminya dengan lembut.

Dt. Rajo Pangulu membuka semat peniti dari rupiah emas di baju istrinya itu satu persatu dan sambil melangkah ke pinggir tempat tidurnya di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan darahnya dan mengalihkan sedikit perhatiannya. Dia menerangkan suatu penjelasan tentang pertanyaan istrinya itu.

“Aisyah, seharusnya kita sebagai seorang yang ‘berpaham’ tidak harus serta-merta menanggapi sesuatu yang kita dengar, yang kita lihat atau pun sesuatu yang dapat kita rasakan. Meskipun lemang dan serikaya yang terhidang di depan kita, bukanlah langsung kita santap, meskipun sudah untuk kita sendiri. Tentu kita patut dan renungkan dulu untuk sesaat, cobalah kita rasa-rasakan dulu dikerongkongan kita bagaimana nikmatnya lemang dan serikaya itu, yang dimakan itu rasa dan yang dilihat itu rupa, Aisyah. Setelah itu, barulah nantinuya kita akan benar-benar merasakan kenikmatan yang sesungguhnya. Bukankah begitu yang pernah kita lakukan selama ini, Aisyah?”

Sepanjang itu penjelasan Dt. Rajo Pangulu pada istrinya, namun Siti Aisyah seakan telingahnya sudah pekak. Dia hanya membisu, sementara tangan kirinya sudah melingkar dipinggang suaminya dan tangan kanannya telah mengerayang pula tak tentu arah. Kala itu Aisayah hanya bisa menjawab dengan sopotong kalimat dalam suara yang amat gemetar.

“Selama ini memang begitu, Tuan! Tapi sekarang sangat berbeda!, dan ambo ingin sekali untuk menikmati yang berbeda itu sepuasnya malam ini!,”  tegas Aisyah pada suaminya.

Bagaimana kisah dalam perjalanan malam istimewa mereka itu kuranglah terang bagiku. Namun yang jelas pada Subuh itu jamaah Surau bertanya-tanya ‘kenapa Dt. Rajo Pangulu dan Siti Aisyah tidak  nonggol subuh itu?’.  Tentu saja jamaah surau itu merasa berwas-was, karena situasi bagi masyarakat Kamang waktu itu sudah sangat mencekam dan mengkhawatirkan. (bersambung)



 

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023